Minggu, 14 Juni 2009

Dan Cinta Pun Bertasbih

Anna tidak sabar untuk segera bertemu Azzam. Selesai
shalat Isya ia berharap Azzam akan dibawa Abahnya langsung
ke rumah. Tapi Abahnya malah meminta Azzam untuk
memberikan pengajian Tafsir
Jalalain. Dengan agak berat
Azzam maju ke mimbar pesantren. Ia
meminjam kitab Tafsir
seorang santri. Di atas mimbar setelah membaca hamdalah,
Azzam berkata,
”Para santri Pesantren Wangen yang saya cintai. Jujur
saya tidak siap untuk membacakan Tafsir Jalalain. Saya tidak
punya persiapan apa- apa. Saya tidak mau ngawur dalam
memahami tafsir ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebagai gantinya
saya akan sedikit bercerita saja. Semoga ada gunanya.
Saya awali dari sebuah kisah yang sangat menggugah
saya. Suatu siang, saat saya masih kuliah di Universitas Al
473
Azhar Kairo, sekitar tahun 1999 saya membeli majalah Al ij’uu
Al Islami yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Kuwait.
Sampai di flat, karena lelah, yang saya baca dulu adalah
suplemen majalah itu. Yaitu majalah tipis untuk anak,
namanya Bara’imul Iman.
Dalam keadaan lelah saya memang biasa membaca
bacaan yang ringan dan menghibur. Pokoknya harus tetap
membaca. Termasuk majalah anak-anak. Bahkan, saat itu saya
juga sering membaca komik Donal Bebek versi bahasa
Arabnya. Selain ringan, lucu, menghibur, seringkali saya juga
menemukan kosa kata baru dan lucu dalam bahasa Arab. Jadi
dalam lelah pun masih tetap bisa mendapatkan manfaat
berlipat.
Di majalah Bara’imul Iman yang saya pegang itu saya
menemukan sebuah kisah yang sangat bergizi dan memotivasi.
Sebuah kisah fabel yang sangat menggugah dan inspiratif
judulnya Kisah Seekor Anak
Singa.
Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa
yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah
itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu
kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu.
Bayi singa itu menggerak- gerakkan tubuhnya yang lemah.
Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat
anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah
nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.
Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan
membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang.
Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa
tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus
mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian
474
dari keluarga besar rombongan kambing itu.
Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar
dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas
kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-
anak kambing lainnya. Tingkah lakunya juga layaknya
kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu
pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik
bukan mengaum!
la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan
kambing- kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa
bahwa dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala
buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-
kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing
yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi
serigala.
”Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan
aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!”
Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar
dan kekar.
Tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah
komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah
berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-
kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan.
Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu
tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing
yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan
dibawa lari serigala.
475
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas
dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan
nanar dan marah,
”Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu
bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir
serigala yang jahat itu!”
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham
dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa
takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak
singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-
apa.
Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali
memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk
kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala.
Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa
itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap
sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan
menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang
melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan
cengkeramannya.
Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah,
ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!
Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu
berteriak keras,
”Emmbiiik!”
Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang
untuk menyeruduk lagi.
476
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan
licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah
singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan
kambing.
Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram
marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau
singa bermental kambing itu!
Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan
kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan
kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu
merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu
terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh.
Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan
rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa
singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa
adalah raja hutan?
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang
anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap
menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk
kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang
sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun.
Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan
auman yang dahsyat!
Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu
juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala
langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam
kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan
kambing itu ada seekor anak singa.
477
Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak
singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran
kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar
anak singa itu dan berkata,
”Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing!
Aku tak akan memangsa anak singa!”
Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu
terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi
malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu
tertangkap. Anak singa itu ketakutan,
”Jangan bunuh aku, ammpuun!”
”Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak
membunuh anak singa!”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata,
“Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”
Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya
bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara
kambing.
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana
mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental
kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau.
Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu
sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu
melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu membandingkan
dengan singa dewasa.
478
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut,
“Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama
dengan singa, si raja hutan!”
”Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak
kambing!” Tegas singa dewasa.
”Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”
”Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa
dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana
menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh
wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu
menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum,
menggetarkan seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas
itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak
singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan,
“Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah
perkasa!”
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
Saya tersentak oleh kisah anak singa di atas! Jangan
jangan kondisi kita, dan sebagian besar orang di sekeliling kita
mirip dengan anak singa di atas. Sekian lama hidup tanpa
mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimilikinya.
Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa
adanya, biasa- biasa saja, ala kadarnya. Hidup dalam keadaan
479
terbelenggu oleh siapa dirinya sebenarnya. Hidup dalam
tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan
kegamangan. Hidup tanpa semangat hidup yang seharusnya.
Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.
Saya amati orang-orang di sekitar saya. Di antara mereka
ada yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan
prestatif. Sangat faham untuk apa ia hidup dan bagaimana ia
harus hidup. Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat
dan optimis. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan
prestasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan
menghadap semakin besar pula semangatnya untuk
menaklukkannya.
Namun tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka
hidup apa adanya karena tidak memiliki arah yang jelas. Tidak
faham untuk apa dia hidup, dan bagaimana ia harus hidup.
Saya sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya,
“Bagaimana Anda menjalani hidup Anda?” atau
“Apa prinsip hidup Anda?”, mereka menjawab dengan
jawaban yang filosofis,
”Saya menjalani hidup ini mengalir bagaikan air. Santai
saja.” Tapi sayangnya mereka tidak benar-benar tahu filosofi
’mengalir bagaikan air’. Mereka memahami hidup mengalir
bagaikan air itu ya hidup santai. Sebenarnya jawaban itu
mencerminkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana mengisi
hidup ini. Bagaimana cara hidup yang berkualitas. Sebab
mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka? Potensi
terbaik apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada
mereka. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah ’seekor singa’ tapi
tidak tahu kalau dirinya ’seekor singa . Mereka menganggap
480
dirinya adalah ’seekor kambing sebab selama ini hidup dalam
kawanan kambing.
Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang
dimaknai dengan hidup santai saja, atau hidup apa adanya
bisa dibilang
prototipe, gaya hidup sebagian besar penduduk
neger i ini. Bahkan
bisa jadi itu adalah gaya hidup sebagian
besar masyarakat dunia Islam saat ini.
Ketika saya pulang kampung, setelah sembilan tahun
meninggalkan kampung halaman untuk belajar di Cairo, saya
menemukan tidak ada perubahan berarti di kampung halaman
saya. Cara berpikir masyarakatnya masih sama. Cara hidupnya
masih sama saja. Pak Anu yang ketika saya masih di SD dulu
kerjanya menggali sumur, sampai saya pulang dari Mesir,
bahkan sampai saat saya berdiri di mimbar ini juga berprofesi
menggali sumur. Bu Anu yang dulu kerjanya menjual air
memakai gerobak sampai sekarang juga tidak berubah. Mbak
Anu yang dulu jualan krupuk sambal di dekat SD sampai
sekarang juga masih di sana dan berjualan dagangan yang
sama.
Bahkan teman-teman yang dulu ketika di bangku sekolah
dasar terlihat begitu rajin dan cerdas, yang dulu pernah bercita-
cita mau jadi ini dan itu dan saya berharap ia telah meraih cita-
citanya sekian tahun berpisah ternyata jauh panggang dari api.
Orang-orang yang dulu hidup memprihatinkan ternyata sampai
sekarang tidak berubah. Kenapa tidak berubah?
Jawabnya karena mereka tidak mau berubah.
Kenapa tidak mau berubah?
Jawabnya karena mereka tidak tahu bahwa mereka harus
481
berubah. Bahkan kalau mereka tahu mereka harus berubah,
mereka tidak tahu bagaimana caranya berubah. Sebab mereka
terbiasa hidup pasrah. Hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh
kesah. Dan cara hidup seperti itu yang terus diwariskan turun-
temurun.
Ada seorang sastrawan terkemuka, yang demi melihat
kondisi bangsa yang sedemikian akut rasa tidak berdayanya
sampai dia mengatakan,
”Aku malu jadi orang Indonesia!”
Di mana-mana, kita lebih banyak menemukan orang
orang bermental lemah, hidup apa adanya dan tidak terarah.
Orang-orang yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan
oleh Allah kepadanya. Orang- orang yang rela ditindas dan
dijajah oleh kesengsaraan dan kehinaan. Padahal sebenarnya
jika mau, pasti bisa hidup merdeka, jaya, berwibawa dan
sejahtera.
Tak terhitung berapa jumlah masyarakat negeri ini yang
bermental kambing. Meskipun sebenarnya mereka adalah
singa!
Banyak yang minder dengan bangsa lain. Seperti
mindernya anak singa bermental kambing pada serigala dalam
kisah di atas. Padahal sebenarnya, Bangsa ini adalah bangsa
besar! Ummat ini adalah ummat yang besar!
Bangsa ini sebenarnya adalah singa dewasa yang
sebenarnya memiliki kekuatan dahsyat. Bukan bangsa
sekawanan kambing. Sekali rasa berdaya itu muncul dalam
jiwa anak bangsa ini, maka ia akan menunjukkan pada dunia
bahwa ia adalah singa yang tidak boleh diremehkan
482
sedikitpun.
Bangsa ini sebenarnya adalah Sriwijaya yang perkasa
menguasai nusantara. Juga sebenarnya adalah Majapahit yang
digjaya dan adikuasa. Lebih dari itu bangsa ini, sebenarnya,
dan ini tidak mungkin disangkal, adalah ummat Islam terbesar
di dunia. Ada dua ratus juta ummat Islam di negeri tercinta
Indonesia ini.
Banyak yang tidak menyadari apa makna dari dua ratus
juta jumlah ummat Islam Indonesia. Banyak yang tidak sadar.
Dianggap biasa saja. Sama sekali tidak menyadari jati diri
sesungguhnya.
Dua ratus juta ummat Islam di Indonesia, maknanya
adalah dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia. Itulah
yang sebenarnya. Sayangnya, dua ratus juta yang sebenarnya
adalah singa justru bermental kambing dan berperilaku
layaknya kambing. Bukan layaknya singa. Lebih
memperihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya
sesungguhnya singa tapi memilih untuk tetap menjadi
kambing. Karena telah terbiasa menjadi kambing maka ia malu
menjadi singa! Malu untuk maju dan berprestasi!
Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang memilih
tetap menjadi kambing itu menginginkan yang lain tetap
menjadi kambing. Mereka ingin tetap jadi kambing sebab
merasa tidak mampu jadi singa dan merasa nyaman jadi
kambing. Yang menyedihkan, mereka tidak ingin orang lain
jadi singa. Bahkan mereka ingin orang lain jadi kambing yang
lebih bodoh!
Marilah kita hayati diri kita sebagai seekor singa. Allah
telah memberi predikat kepada kita sebagai ummat terbaik di
483
muka bumi ini. Marilah kita bermental menjadi ummat terbaik.
Jangan bermental ummat yang terbelakang. Allah berfirman,
“Kalian adalah sebaik-
baik ummat yang dilahirkan untuk
manusia, karena kalian menyur uh berbuat yang makruf,
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.!”
3 5
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Pidato motivasi yang disampaikan Azzam membuat dada
para santri membara oleh semangat. Ketika Azzam turun, ia
langsung disambut dengan takbir yang menggema di seluruh
masjid. Pak Kiai Lutfi langsung memeluknya erat-erat dan
mengatakan,
“Aku cinta padamu Nak! Ini aku hadiahi kamu sorban
yang paling kucintai, sorban pendiri pesantren ini!” Azzam
menerima sorban itu dengan linangan air mata.
* * *
Dengan hati bergetar Azzam mengiringi Kiai Lutfi ke
rumah. Ia lihat dengan ujung matanya Anna dan Umminya
sudah masuk duluan. Ia sudah punya isteri. Inilah rezeki
yang tidak di sangka-sangka datangnya.
Begitu sampai Bu Nyai Nur langsung berkata kepadanya,
“Langsung naiklah ke atas Nak! Isterimu sudah menunggu
di sana. Di atas cuma ada dua kamar, perpustakaan dan kamar
isterimu. Kamar isterimu yang ada di sebelah kanan. Yang
35
Ali Imran: 110
484
pintunya ada tulisannya Anna .”
Azzam agak ragu.
”Jangan ragu, naiklah! Ini juga rumahmu.” Kata Kiai Lutfi
menguatkan.
Azzam naik ke atas. Hatinya berdegup kencang ketika
sampai di sebuah kamar yang ada tulisannya Anna. Ia ketuk
kamar itu pelan sambil mengucapkan salam. Ada suara yang
bening menjawab dari dalam. Pintu terbuka perlahan. Dan
tampaklah bidadari itu di hadapannya. Azzam masuk. Anna
mengunci pintunya. Azzam memandang Anna dengan mata
berkaca-kaca. Anna memakai jilbab dan baju birunya. Jilbab
dan baju biru yang ia kenakan saat pertama bertemu di Cairo.
Saat ia menolong gadis yang kini jadi isterinya itu dengan
memberinya tumpangan taksi.
Anna menunduk malu. Dalam terpaan temaram cahaya
lampu tidur Anna tampak begitu jelita. Bau harum wangi
yasmin merasuk jiwa. Azzam maju dan mengangkat wajah
isterinya, lalu lirih berkata,
”Apakah kamu ridha dinikahkan Abahmu denganku?”
Anna menganggukkan kepala. Ternggorokannya tercekak
haru. Ia seperti tak mampu bicara.
”Kalau begitu duduklah, aku akan membacakan doa
barakah.”
Anna menuruti perintah Azzam. Ia duduk di samping
ranjang. Azzam duduk di samping isterinya. Ia meletakkan
sorban pemberian Kiai Lutfi ke ranjang, lalu pelan tangan
485
kanannya memegang ubun- ubun isterinya dan membacakan
doa barakah yang diajarkan Rasulullah. Ann mengamini
dengan air mata meleleh.
”Ayo kita sholat dulu!”
”Baik Mas.”
Mereka mengambil air wudhu lalu shalat. Selesai shalat
Azzam berdoa lagi. Anna mengamini. Setelah itu perlahan
Anna melepas mukenanya. Di balik mukena Anna memakai
baju dan bawahan biru. Azzam berdiri dan berkata pada Anna,
”Maaf Dik, aku harus pulang.”
”Pulang ke mana?”
”Ke Sraten. Kasihan Husna dan Lia.”
”Mas tidak boleh pulang. Malam ini harus tidur di kamar
ini.”
”Mereka nanti cemas kalau Mas tidak pulang.”
”Jangan khawatir Husna tadi sudah aku beritahu lewat
handphone, sebelum Mas masuk kamar ini. Dia titip salam.”
”Tapi aku harus pulang, ada urusan yang Husna tidak
tahu.”
”Apa itu?”
”Memberi bumbu adonan bakso.”
486
”Apakah bakso itu lebih berharga dari isterimu ini Mas.”
”Tidak Dik, tentu kamu lebih berharga. Bahkan dibanding
dengan dunia seisinya.”
”Kalau begitu sekarang lakukanlah tugasmu sebagai
seorang suami.” Ucap Anna pelan.
Jari-jari Anna memegang kancing baju birunya. Azzam
melihat dengan hati bergetar.
”Tunggu isteriku!”
“Kenapa?”
Azzam maju lalu perlahan mencium kening isterinya.
Dengan suara halus Azzam berkata kepada isterinya,
“Ini bukan tugasmu, ini tugas suamimu!” Ia merebahkan
isterinya pelan-pelan. Dengan mata berlinang Anna berkata,
“Mas Azzam, aku punya puisi untukmu, mau kamu
mendengarkan?”
Azzam mengangguk dengan tangan terus bekerja untuk
menyempurnakan ibadah dua insan yang dimabuk cinta. Anna
berkata kepada Azzam:
Kaulah kekasihku Bukalah cadar ku Sentuh suteraku
Muliakan mahkotaku Nikmati jamuanku Jangan khianati aku!
Azzam tersenyum, lalu mencium kembali kening isterinya.
Lalu ia membalas,
487
Bismillah, Kemaril ah cintaku Akan kubuka cadarmu
dengan cintaku Akan kusentuh suteramu dengan cintaku Akan
kumuliakan mahkotamu dengan cintaku Dan kunikmati
jamuanmu dengan cintaku Tak mungkin aku mengkhianatimu
Karena aku cinta padamu
Kedua insan itu bertasbih menyempurnakan ibadah
mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mengikuti sunnah
para nabi dan rasul yang mulia. Malam begitu indah.
Rembulan mengintip malu di balik pepohonan. Rerumputan
bergoyang-goyang bertasbih dan bersembahyang. Malam itu
Azzam dan Anna merasa menjadi hamba yang sangat disayang
Tuhan.
Selesai shalat subuh, Azzam membaca Al Qur’an disimak
oleh isterinya tersayang. Setengah juz ia baca dengan tartil dan
penuh penghayatan. Ia telah melewatkan malam yang tak akan
terlupakan selama hidupnya. Anna tampak begitu ranum dan
segar. Senyumnya mengembang ketika suaminya selesai
membaca Al Qur’an.
”Mau apa pagi ini sayang?” Tanya Anna.
”Terserah kamu.”
”Bagaimana kalau kita buka internet. Aku akan beritahu
teman- teman di Cairo bahwa aku sudah tidak janda lagi.”
”Boleh, tapi di mana kita buka internet?”
”Di kamar samping. Komputernya ada line internetnya.”
”Baik. Ayo kita ke sana.”
488
Suami isteri itu lalu beranjak ke perpustakaan dan
membuka internet. Ketika mereka sedang berduaan di depan
komputer, Kiai Lutfi masuk ke perpustakaan. Kiai Lutfi
tersenyum, lalu balik kanan, sebelum pergi Kiai Lutfi bertanya
pada Anna dengan nada canda,
”Nduk bagaimana jago yang Abah pilihkan?”
”Pilihan Abah tepat. Jagonya lebih hebat dari elang!”
Jawab Anna sekenanya.
Azzam langsung menguyek-uyek kepala isterinya dengan
rasa cinta dan sayang.
Anna melihat inbox emailnya. Email terbaru dari Furqan.
Ia ingin melewati email itu, tapi Azzam berkata,
“Coba buka emailnya apa isinya?”
Mau tidak mau Anna membuka email mantan suaminya
itu. Pelan- pelan email itu mereka baca berdua:
Untuk Anna Di Kartasura
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakaatuh. Semoga kamu, Abahmu, Ummimu, dan
seluruh keluarga-
**MISSING TEXT***
****

Karena dipaksa, ya baiklah, dengan senang hati isteriku.”
Ucap Azzam pelan di telinga isterinya.
489
Mereka berdua kembali ke kamar dan menutup pintu
kamar. Anna kembali membacakan puisinya dengan sepenuh
jiwa, Azzam menjawab dengan suara bergetar,
Akan kumuliakan mahkotamu dengan cintaku Dan
kunikmati jamuanmu dengan cintaku Tak mungkin aku
mengkhianatimu Karena aku cinta padamu
Kedua insan itu kembali bertasbih menyempurnakan
ibadah mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mengikuti
sunnah para nabi dan rasul yang mulia. Pagi begitu indah.
Sang Surya mengintip malu di balik pepohonan. Rerumputan
bergoyang-goyang bertasbih dan bersembahyang. Pagi itu
Azzam dan Anna kembali merasa menjadi hamba yang sangat
disayang Tuhan.
Fa biayyi aalaai Rabbikuma
tukadzibaan!
Selesai
Selesai
Selesai
Selesai
Candiwesi, Salatiga-Ciputat-Kukusan, Depok:
Oktober-Nopember 2007
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ’ala Rasulillah.
490
TENTANG NOVEL BERIKUTNYA
Alhamduliltah, dengan rahmat dan taufiq dari Allah Azza wa
Jalla
dwilogi “Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2” berhasil penulis
rampungkan. Dengan berleleran keringat dan berdarah-darah
Azzam akhirnya berhasil meraih apa yang diikhtiarkannya.
Namun di hadapan Azzam masih terbentang seribu satu
tantangan kehidupan. Tanggung jawabnya setelah rnenikah
dengan Anna Althafunnisa justru semakin berat. Azzam tak
akan pernah benar-benar beristirahat. Memang demikianlah
seorang Muslim sejati seharusnya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjelaskan,
bahwa seorang Muslim sejati akan benar-benar istirahat adalah
jika kedua kakinya telah menginjakkan pintu Surga. Sebelum
itu tak ada istirahat, yang ada adalah ikhtiar dan terus ikhtiar
untuk menggapai cinta dan ridha Allah Swt.
Lalu bagaimanakah nasib Eliana, Furqan, Husna, Zumrah,
juga Fadhil dan Cut Mala? Juga nasib Husna dan kedua
adiknya?
Tentang perjuangan hidup Husna selanjutnya, juga
perjuangan Eliana untuk mendapatkan hidayah di tengah
tengah kehidupan hedonis yang mengepungnya, serta
perjuangan Furqan untuk kembali bangkit menciptakan masa
depannya insya Allah penulis sedang menyiapkan novel
pembangun jiwa berikutnya berjudul:
+
DARI SUJUD KE SUJUD.
Kepada segenap pembaca yang penulis cintai; mohon
491
doanya, semoga novel DARI SUJUD KE SUJUD segera bisa
penulis selesaikan. Semoga Allah Swt. senantiasa mencurahkan
hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Wallahu waliyyut taufiq wal hidayah.
Salam cinta dan
ta’zhim, Habiburrahman El Shirazy 429 KITAB-KITAB
YANG MENDAMPINGI PENULISAN NOVEL INI:
Al Fiqh Al
Islami Wa Adillatuhu, Pr of. Dr. Wahbah Zuhaili, Dar Al
Fikr Al
Mu’ashir, Damaskus, 2006
Al Hikam, Al Imam Ibnu ’Athaillah Al Sakandari, Thaha
Putra,
Semarang, Tanpa Tahun
Al Islam Aqidatun Wa Syari’atum Al Imam Al Akbar
Syaikh
Mahmoud Shaltout, Dar Al Syuruq, Cairo, 2004
Al Jami’ Li Ahkami Al Qur’an, Imam Al Qur thubi, Al
Maktabah At
Taufiqiyyah, Cairo, Tanpa Tahun.
Al Mughni, Ibnu Qudamah, Al Maktabah Al Riyadh Al
Haditsah,
Riyadh, Tanpa Tahun.
Al Qawaa’id Al Fiqhiyyah Baina Al Ashaalah Wa At
Taujiih, Prof.
Dr. Muhammad Bakar Ismail, Daar Al Manaar,
Cairo, 1997
Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al
Asqalani,
Dar Al Hadits,1998
Min Taujihat Al Islam, Al Imam Al Akbar Syaikh Mahmoud
Shaltout, Dar Al Syuruq, Cairo, 2004
Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi, Imam Abu Zakariya
An
Nawawi, Dar At Taqwa, Cairo, 2001
Subul Al Salam, Al Imam Al Shan’ani, Thaha Putra,
Semarang, tanpa
tahun
Syar h Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Syaikh Ahmad
Muhammad Al
Zarqa, Dar Al Qalam, Damaskus, 1989.
492
PROFIL PENULIS
HABIBURRRAHMAN EL SHIRAZY, lahir di
Semarang, pada
hari Kamis, 30 September 1976. Sasterawan
muda yang oleh wartawan majalah Matabaca dijuluki
“Si Tangan Emas” karena karya-karya yang lahir dari
tangannya dinilai selalu fenomenal dan best seller ini, memulai
pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen
sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Anwar,
Mranggen, Demak di bawah asuhan KH. Abdul Bashir
Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke Kota Budaya
Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus
(MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995. Setelah itu
melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Fak. Ushuluddin,
Jurusan Hadis, Universitas Al-Azhar, Cairo dan selesai pada
tahun 1999. Telah merampungkan Postgraduate Diploma
(Pg.D) S2 di The Institute for
Islamic Studies in Cairo yang
didirikan oleh Imam Al-Baiquri
(2001). Profil diri dan karyanya
pernah menghiasi beberapa koran dan majalah, baik lokal
maupun nasional, seperti Jawa Post, Koran Tempo, Solo Pos,
Republika, Suara Merdeka, Annida, Saksi, Sabili, Muslimah,
Tempo, Majalah Swa dll.
Kang Abik—demikian novelis muda ini biasa dipanggil
adik-
adiknya — semasa di SLTA pernah menulis naskah
teatrikal puisi berjudul
“Dzikir Dajjal” sekaligus menyutradai pementasannya
bersama Teater Mbambung di Gedung Seni Wayang Orang
Sriwedari Surakarta (1994). Pernah meraih Juara II lomba
menulis artikel seMAN I Surakarta (1994). Pernah menjadi
pemenang I dalam lomba baca puisi relijius tingkat SLTA se-
Jateng (diadakan oleh panitia Book Fairx94 dan ICMI Orwil
493
Jateng di Semarang, 1994). Pemenang I lomba pidato tingkat
remaja se-eks Karesidenan Surakarta (diadakan oleh Jamaah
Masjid Nurul Huda, UNS Surakarta, 1994). Kang Abik juga
pemenang I lomba pidato bahasa Arab se-Jateng dan DIY
yang diadakan oleh UMS Surakarta (1994). Ia juga peraih
Juara I lomba baca puisi Arab tingkat Nasional yang diadakan
IMABA UGM Jogjakarta (1994). Pernah mengudara di radio
JPI Surakarta selama satu tahun (1994- 1995) mengisi acara
Syarhil Qur’an setiap Jumat pagi. Pernah menjadi pemenang
terbaik ke-5 dalam lomba KIR tingkat SLTA se- Jateng yang
diadakan oleh Kanwil P dan K Jateng (1995) dengan judul
tulisan, Analisis Dampak Film Laga Terhadap Kepribadian
Remaja.
Ketika menempuh studi di Cairo, Mesir, Kang Abik pernah
memimpin kelompok kajian MISYKATI (Majelis Intensif Studi
Yurisprudens dan Kajian Pengetahuan Islam) di Cairo (1996-
1997). Pernah terpilih menjadi duta Indonesia untuk mengikuti
”Perkemahan Pemuda Islam Internasional Kedua” yang
diadakan oleh WAMY (The World Assembly of Moslem Youth)
selama sepuluh hari di kota Ismailia, Mesir (Juli 1996). Dalam
perkemahan itu. ia berkesempatan memberikan orasi berjudul
“Tahqiqul Amni
Was Salam Fil *Alam Bil Islam” (Realisasi
Keamanan dan
Perdamaian di Dunia dengan Islam). Orasi
tersebut terpilih sebagai orasi terbaik kedua dari semua orasi
yang disampaikan peserta perkemahan berskala internasional
tersebut. Pernah aktif
di Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orsat Cairo (1998-
2000). Dan pernah menjadi koordinator sastra Islam ICMI
Orsat Cairo selama dua periode (1998-2000 dan 2000-2002).
Sastarawan muda ini juga pernah dipercaya untuk duduk
494
dalam Dewan Asaatidz Pesantren Virtual Nahdhatul Ulama
yang berpusat di Cairo. Dan sempat memprakarsai berdirinya
Forum Lingkar Pena (FLP) dan Komunitas Sastra Indonesia
(KSI) di Cairo.
Selain itu, Kang Abik, telah menghasilkan beberapa
naskah drama dan menyutradarai pementasannya di Cairo, di
antaranya: Wa Islama (1999), Sang Kyai dan Sang Durjana
(gubahan atas karya Dr. Yusuf Qardhawi yang berjudul ’Alim
Wa Thaghiyyah, 2000), Darah
Syuhada (2000). Tulisannya
berjudul, Membaca Insaniyyah al Islam
terkodifikasi dalam
buku Wacana Islam Universal (diterbitkan oleh Kelompok
Kajian MISYKATI Cairo, 1998). Berkesempatan menjadi Ketua
Tim Kodifikasi dan Editor Antologi Puisi Negeri Seribu menara
“NAFAS PERADABAN” (diterbitkan oleh ICMI Orsat
Cairo, 2000).
Kang Abik, telah menghasilkan beberapa karya
terjemahan, seperti Ar-Rasul (GIP, 2001), Biografi Umar bin
Abdul Aziz (GIP, 2002), Menyucikan Jiwa (GIP, 2005), Rihlah
Ilallah (Era Intermedia, 2004),
dll. Cerpencerpennya termuat
dalam antologi Ketika Duka
Tersenyum (FBA, 2001), Merah di
Jenin (FBA, 2002), Ketika Cinta Menemukanmu (GIP, 2004)
dll.
Sebelum pulang ke Indonesia, di tahun 2002, Kang Abik
diundang oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia selama
lima hari (1-5 Oktober) untuk membacakan puisipuisinya
berkeliling Malaysia dalam momen Kuala Lumpur World
Poetry Reading Ke-9, bersama penyair-penyair dunia lainnya.
Puisinya juga termuat dalam Antologi
Puisi Dunia PPDKL
(2002) dan Majalah Dewan Sastera (2002) yang
diterbitkan
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dalam dua bahasa,
495
Inggris dan Melayu. Bersama penyair dunia yang lain, puisi
Kang
Abik juga dimuat kembali dalam Imbauan PPDKL (1986-
2002) yang
diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka
Malaysia (2004).
Pada medio pertengahan Oktober 2002, Kang Abik tiba di
Tanah Air, saat itu juga, ia langsung diminta menjadi
kontributor penyusunan
Ensiklopedi Intelektualisme Pesantren;
Potret Tokoh dan Pemikirannya,
(terdiri atas tiga jilid dan
diterbitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003). Mengikuti
panggilan jiwa, antara tahun 2003 hingga 2004, Kang
Abik
memilih mendedikasikan ilmunya di MAN I Jogjakarta.
Selanjutnya, sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 ini, Kang
Abik tercatat sebagai dosen di Lembaga Pengajaran Bahasa
Arab dan Islam Abu Bakar Ash Shiddiq UMS Surakarta. Selain
menjadi pernah dosen di UMS Surakarta, kini Kang Abik
sepenuhnya mendedikasikan dirinya di dunia dakwah dan
pendidikan lewat karya-karyanya, lewat Pesantren Karya dan
Wirausaha BASMALA INDONESIA, yang sedang dirintisnya
bersama sang adik tercinta, Anif Sirsaeba dan budayawan
kondang Prie GS di Semarang, dan lewat wajihah dakwah
lainnya.
Berikut ini adalah beberapa karya Kang Abik, yang telah
terbit di Indonesia dan Malaysia dan menjadi karya fenomenal,
bahkan megabestseller di Asia Tenggara, antara lain: Ayat Ayat
Cinta,
Pudarnya Pesona Cleopatra, Di Atas Sajadah Cinta,
Ketika Cinta Bertasbih dan Dalam Mihrab Cinta (Republika-
Basmala, 2007). Kini
sedang merampungkan Dari Sujud ke
Sujud, Langit Makkah Berwarna
Merah, Bidadari Bermata
Bening dan Bulan Madu di Yer ussalem.
Sastrawan muda yang kini sering diundang di forumforum
nasional maupun internasional ini masih duduk di Pengurus
496
Pusat Forum Lingkar Pena. Dan untuk mendulang manfaat
Kang Abik membuka komunikasi dan silaturrahim kepada
sidang pembaca lewat e-mail: kangabik@yahoo.com.
497

Barakah Cincin Ibu

”Bagaimana Kak? Mau mencoba memberikan cincin itu
pada Eliana? Kalau kakak malu, biar Husna yang bilang sama
dia.”
”Na, hatiku masih bimbang.”
”I
nsya Allah dia bisa jadi isteri yang baik. Aku sudah baca
di koran
dia sudah berniat tidak akan melepas jilbabnya setelah
umrah.”
”Dunia yang kuimpikan rasanya berbeda dengan dunia
yang diimpikannya. Aku juga belum menerima kecantikan
isteriku setiap hari dinikmati jutaan orang. Di antara jutaan
orang itu mungkin ada yang membayangkan yang bukan-
bukan ketika melihat wajah isteriku di layar kaca. Entah kenapa
aku belum bisa. Mungkin aku ini kolot dan koneservatif. Ya
458
inilah aku. Jelas Azzam pada Husna.
”Husna paham yang Kak Azzam inginkan. Bagaimana
kalau Kak Azzam coba cari di pesantren. Kan ada ribuan
santriwati di Solo dan sekitarnya ini. Kakak minta tolong aja
sama pengasuhnya. Minta satu saja santriwatinya. Masak sih
tidak juga ada satu orang pun yang mau.”
“Mungkin ini juga ikhtiar yang harus kakak tempuh.”
“Ya coba saja Kak. Kata orang Arab yang sering Husna
dengar dari para ustadz man jadda wajada. Siapa yang
sungguh-sungguh akan mendapatkan apa yang
diinginkannya.”
”Benar Dik. Tapi enaknya ke pesantren mana ya?”
“Menurut Husna ya dimulai yang paling dekat dan paling
dikenal. Tak ada salahnya dicoba dulu Pesantren Wangen.”
”Masak muternya ke Pesantren Wangen lagi?”
”Kenapa memangnya?”
”Malu sama Kiai Lutfi.”
”Malu kalau dikira mau melamar anaknya yang janda? Ya
kakak jelaskan saja minta santriwatinya. Kakak jelaskan apa
adanya. Minta santriwati yang cocok untuk kakak. Pak Kiai
pasti akan bijak dan legowo. Banyak juga kok kak santriwati di
Wangen yang tak kalah dengan Vivi.” Husna mencoba
menyemangati kakaknya.
”Oh ya kak hampir lupa. Husna pernah hutang sama
459
Anna lima juta untuk biaya administrasi rumah sakit. Mumpung
ingat. Kakak bayarkan ya. Kalau bisa hari ini biar tidak lupa
lagi. Tidak enak rasanya. Sudah hampir satu tahun lho kak.
Jangan-jangan Anna sebenarnya perlu dengan uang itu tapi
malu menagihnya.”
“Baik nanti sore insya Allah kakak akan ke sana.”
* * *
Sore itu Kiai Lutfi dan Bu Nyai Nur membantu putrinya
Mengemasi dan merapikan barang-barang yang akan dibawa
terbang ke Cairo. Sudah satu tahun lebih Anna di Indonesia.
Tesis yang ditulisnya sudah dua pertiga. Tinggal sepertiga lagi
hendak dirampungkan di Mesir.
”Jangan lama-lama di sana ya Nduk?” Tanya Pak Kiai
Lutfi.
”I
nsya Allah Bah. Anna akan ber usaha secepatnya. Yang
sering jadi
kendala itu justru administrasi di Fakultas yang
sering berbelit dan molor Bah. Sering juga yang jadi kendala
adalah promotor yang sering terbang ke luar negeri. Sebab-
sebab itu yang seringkali membuat tesis jadi tidak selesai-
selesai. Ya doakan saja Bah.”
”Tak pernah putus Abah dan Ummimu berdoa untukmu
anakku. Oh jadinya naik apa ke Caironya?”
”Kata teman yang mengurus di Jakarta naik Etihad Bah.
Katanya itu sekarang yang paling murah.”
Mereka bertiga ada di ruang tengah. Ruang itu dengan
ruang tamu disekat dengan kaca riben hitam tebal. Sehingga
dari ruang tengah bisa melihat ruang tamu dan tidak
460
sebaliknya. Hanya bertiga mereka menata pakaian, oleh-oleh,
dan buku-buku yang akan dibawa Anna ke Cairo.
”Kalau di Cairo kamu rasa ada yang cocok untuk jadi
suami ya tidak apa-apa kamu nikah di sana Nduk. kamu kan
sudah janda, sudah lebih bebas menentukan pilihanmu. Nanti
Abah bisa kirim surat
taukil
ke KBRI untuk menikahkan
32
kamu.” Seloroh Pak Kiai Lutfi.
”Anna agak trauma dengan pilihan Anna Bah. Anna
sudah berjanji pada diri Anna sekarang Anna serahkan pada
Abah dan Ummi siapa yang akan mendampingi hidup Anna.
Sekarang Anna sudah tidak sedikitpun mempertimbangkan
fisik lagi. Ibaratnya kalau ada orang buta jadi pilihan Abah,
Anna akan terima dengan kelapangan hati.”Jawab Anna.
”Masak Ummi sama Abah mau memilihkan yang begitu
untukmu.” Tukas Bu Nyai Nur.
”Itu ibarat saja Mi. Tapi seandainya benar juga tidak ada
masalah. Orang buta, apalagi butanya sejak kecil malah tidak
banyak maksiat. Di Mesir banyak guru besar yang buta. Tapi
keilmuan dan ketakwaannya luar biasa.”
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-
tiba...”Assalamu ’a
laikum”.
Pak Kiai Lutfi, Bu Nyai dan Anna spontan melihat ke arah
pintu depan. Mereka agak kaget ketika tahu siapa yang datang.
Azzam. Setelah menjawab salam, Pak Kiai Lutfi langsung
bangkit dan menemui tamunya. Azzam mencium tangan Kiai
Lutfi dengan rasa ta’zhim. Anna melihat apa yang dilakukan
32
Surat kuasa mewakil kan
461
Azzam. Entah kenapa hati Anna berdesir-desir.
”Dari mana Zam?” Pak Kiai Lutfi membuka percakapan
sambil menyandarkan punggungnya di sofa yang terbuat dari
busa.
”Biasa Pak Kiai, dari warung bakso. Namanya juga
penjual bakso.”
”Wah besok kalau kamu punya anak bakal senang itu
anakmu. Tiap hari bisa makan bakso. Habis bakso kamu buka
saja warung pecel lele. Biar tiap hari makan Lele. Sampai
mukanya kaya Lele. He... he... he...!”
”Wah Pak Kiai ini bisa saja kalau bercanda.” Sahut Azzam
sambil tersenyum. Di dalam Bu Nyai Nur dan Anna tersenyum
mendengar cara Kiai Lutfi bercanda.
”Nduk, Abahmu itu bisa saja bercanda. Oh ya Nduk,
Ummi ke belakang dulu. Ummi lupa mengambil jemuran. Sri
belum pulang.” Kata Bu Nyai setengah berbisik.
”Biar Anna saja yang mengambilnya Mi.” Lirih Anna
“Tidak usah, biar Ummi saja. kamu teruskan saja
mengemasi barang-barangmu.”
”Bagaimana dengan kesehatanmu Zam?”
”A
lhamdulillah sudah baik semua Pak Kiai. Seperti yang
Pak Kiai
lihat, saya sudah bisa berjalan seperti semula. Tangan
yang patah sudah tersambung seperti semula. Dan tulang iga
yang patah juga sudah baik lagi. Rongent terakhir semuanya
sudah tak ada masalah menurut dokter. Hanya saja pen-nya
462
belum diambil. Mungkin ya diambil satu dua tahun lagi.”
”A
lhamdulillah kalau begitu. Aku senang mendengar nya.
Terus
ngomong-ngomong ini ada perlu apa kamu sore ini
kemari. Kok rasanya agak berbeda dengan biasanya?”
”Begini Pak Kiai, ternyata kami masih punya hutang sama
Anna. Hampir kelupaan. Mohon sampaikan maaf pada Anna.
Dulu Husna pernah pinjam uang lima juta pada Anna untuk
bayar administrasi rumah sakit. Ini saya datang untuk
membayar hutang itu.” Azzam menjelaskan maksud
kedatangannya.
Di dalam, Anna sangat berharap agar ayahnya menolak
uang itu. Agar uang itu dianggap lunas saja. Tapi Kiai Lutfi
justru menjawab,
”Ini namanya rezeki. kamu datang tepat waktu Zam.
Kebetulan Anna mau pergi jauh. Itu bisa untuk uang saku
baginya. Terima kasih Zam.”
”Pergi ke mana, kalau boleh tahu Pak Kiai?”
”Kembali ke Cairo. Dia mau menyelesaikan S2-nya.
”A
lhamdulillah, semoga segera selesai. Ummat ini
memerlukan ahli
fiqh seperti Anna. Kalau perlu dia harus
sampai doktor Pak Kiai. Saya sangat kagum padanya saat
melihatnya jadi moderator.”
”Di mana?”
”Di Auditorium Shalah Kamil. Bahasa Arab dan Inggrinya
bagus. Dia sampai jadi pembicaraan para mahasiswa di
463
kampus lho Pak Kiai. Sampai ada yang ingin menyuratinya.
Ada saja yang ingin meminangnya, dan lain sebagainya.
Namanya juga anak muda.”
”Dan kamu juga ikut membicarakannya?”
”Kalau saya ya beraninya dalam batin saja Pak Kiai. Lha
saya ini siapa, saat itu hanya dikenal mahasiswa yang tidak
lulus-lulus karena jualan bakso. Mana berani ikut ikutan
memmbicarakan dia.”
Anna jadi teringat dengan seminar sehari tentang Ulama
Permpuan
di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW,
PPMI, Wihdah dan
ICMI di Auditorium Shalah Kamil
Universitas Al Azhar. Sebuah seminar akbar yang dikuti oleh
mahasiswa Asia Tenggara yang ada di Mesir. Dan saat itu ia
didaulat untuk jadi moderatornya. Anna berkata dalam hati,
“Oh ternyata dia juga ikut seminar itu, pantas dia tahu.”
”O iya Pak Kiai, saya masih ada perlu satu lagi.” Kata
Azzam sambil memandang wajah Kiai Lutfi. Wajah itu tampak
begitu teduh dan sejuk.
”Apa itu?”
”Saya mau sedikit minta tolong pada Pak Kiai. Begini Pak
Kiai, cincin ini yang membeli dan memilih adalah almarhumah
ibu.” Kata Azzam dengan bibir bergetar. Jantungnya mulai
berdegup semakin kencang.
”Azzam sudah berikhtiar pelbagai macam jalan dan acara
untuk menemukan jari yang cocok memakai cincin ini.
Terakhir sudah terpasang cincin ini pada jari seorang gadis dari
464
Kudus. Dan tinggal menunggu hari akad nikah ternyata
musibah jadi penghalang. Cincin ini dikembalikan. Dan gadis
itu menikah dengan orang lain.”
”Pak Kiai, sore ini Azzam datang kemari juga dalam
rangka ikhtiar mencari jari siapa yang cocok dan pas menerima
cincin ini. Di sini ada ratusan santri perempuan tidak adakah
satu orang saja yang pantas dan mau memakai cincin ini?
”Pak Kiai, Azzam titipkan cincin ini pada Pak Kiai sebab
Azzam merasa berat untuk menyimpannya, begitu Pak Kiai
merasa ada yang pantas memakainya silakan Pak Kiai
pakaikan di jarinya. Azzam akan sami’na wa atha’na. Azzam
akan memejamkan mata dan ikut pada apa yang Pak Kiai
pilihkan.”
Dengan penuh pasrah Azzam menyerahkan cincin yang
dibelikan ibunya itu pada Kiai Lutfi. Tak jauh dari situ, hanya
beberapa meter saja jaraknya, di balik kaca hitam pekat tak
terlihat, seorang perempuan bermata indah mendengarkan
kalimat-kalimat Azzam dengan hati penuh harap. Penuh harap
agar cincin itu disematkan saja dijarinya. Kiai Lutfi langsung
paham apa maksud Azzam menyerahkan cincin itu padanya.
”Nak, aku mau cerita, sebuah kisah nyata, maukah kamu
mendengarkan?” Kata Kiai Lutfi.
”Ya Pak Kiai, dengan senang hati dan lapangnya dada.”
”Ada seorang gadis yang halus hatinya. Patuh dan bakti
pada kedua orang tuanya. Apapun yang diinginkan orang
tuanya pasti dikabulkannya. Gadis itu shalihah insya Allah.
Gadis itu sangat takut pada Tuhannya. Cinta pada nabinya.
Bangga dengan agama yang dipeluknya. Suatu hari gadis itu
465
dilamar pemuda yang dianggapnya akan membahagiakannya.
Ia menerima lamarannya. Kedua orang tuanya merestuinya.
Nikahlah gadis itu dengan sang pemuda. Hari berjalan. Bulan
berganti bulan. Orang tuanya beranggapan bahwa putrinya
telah menemukan kebahagiaannya. Tenyata anggapan itu
tidak sama dengan kenyataan. Enam bulan menikah pemuda
yang menikahinya tidak mampu melakukan tugasnya sebagai
suami. Gadis itu masih perawan. Masih suci. Pemuda itu lalu
menceraikannya. Sejak sekarang pertanyaanku. Maukah kamu
menikah dengan gadis itu?”
Hati Anna bergetar hebat. Air matanya meleleh. Hatinya
penuh harap semoga Azzam menerima gadis itu. Sebab gadis
yang diceritakan Abahnya pada Azzam adalah dirinya.
”Dia shalihah Pak Kiai?”
”I
nsya Allah.”.
“Jika Pak Kiai yang menjamin, maka saya mau!”
”Kau tidak ragu?”
”Saya mau tanya pada Pak Kiai apa dia menurut Pak Kiai
pantas untuk saya dan saya pantas untuknya?”
”I
nsya Allah.”
”Kalau begitu saya tidak ragu sama sekali Pak Kiai.”
”Baiklah kalau begitu shalatlah maghrib di sini. Dirimu
akan aku nikahkan dengan gadis itu bakda shalat maghrib.
Yang jadi saksi adalah masyarakat yang jamaah di sini dan
para santri. Maharnya cincin emas ini.”
466
”Masalah surat-surat resminya Pak Kiai?”
”Itu gampang. Besok langsung diurus di KUA. Ketua KUA
nya malah biasanya shalat maghrib di sini.“
”Kenapa tidak besok sekalian Pak Kiai?”
”Cincinmu ini amanah bagiku Nak, aku khawatir nyawaku
tidak sampai besok pagi sehingga aku tidak bisa menunaikan
amanahmu.”
”Kalau boleh tahu, gadis itu asal mana, dan siapa
namanya Pak Kiai?”
”Dia asli Wangen sini, dia putriku sendiri namanya Anna
Althafunnisa.”
”Anna Pak Kiai?”
”Iya. Apakah kamu keberatan aku nikahkan dengan
Anna?”
”Tidak Pak Kiai.” Jawab Azzam dengan linangan air mata.
”Tapi Pak Kiai?”
”Tapi apa?”
”Bagaimana dengan iddahnya.”
”Sudah lama terlewati masa iddahnya. Kamu tak usah
mengkhawatirkan masalah itu. Dia telah menikah tapi sampai
sekarang masih perawan. Dia janda, tapi janda kembang.
467
Janda yang mahkota kewanitaannya masih utuh. Dia sama
saja belum pernah menikah sebenarnya.”
”Maaf apa sebaiknya tidak ditanyakan dulu ke keluarga
Furqan. Siapa tahu Furqan sudah sembuh. Terus ingin rujuk
pada Anna. Dan siapa tahu sebenarnya Anna ingin rujuk pada
Furqan. Sebab Furqan itu teman baik saya, Pak Kiai. Saya
tidak ingin menikah di atas penderitaan orang lain. Apalagi
teman saya sendiri.”
”Anna sudah berkali-kali bilang tidak mungkin lagi mau
rujuk pada Furqan. Dan Anna sudah menyerahkan urusan
jodohnya pada Abahnya ini. Dia bahkan bilang seandainya
orang buta sekalipun yang aku bawakan padanya, dia akan
taat. Jadi tidak ada masalah sama sekali.”
”Apa harus habis maghrib ini Pak Kiai?”
”Apa kamu tidak siap?” Tantang Pak Kiai Lutfi.
Di balik dinding kaca hitam, Anna Althafunnisa menahan
harunya. Ia mendengar percakapan Azzam dengan Abahnya
dengan dada bergetar. Ia sangat berharap pernikahannya
dengan Azzam benar- benar terjadi setelah shalat maghrib.
”Baik, saya siap Pak Kiai!” Jawab Azzam mantap.
Anna langsung sujud syukur dengan tubuh bergetar karena
merasakan anugerah yang datang begitu tiba-tiba. la teringat
kembali pertemuannya dengan Azzam pertama kali waktu
ditolongnya dengan taksi. Ia ingat kembali saat ia menanyakan
namanya;lalu ia menunduk dan hanya memperkenalkan
namanya dengan mengatakan: Abdullah. Ia sangat berteri
kasih dan kagum pada pemuda itu ketika itu. Sampai kini
468
pemuda itu akan menikahinya. Sementara Azzam berusaha
keras untuk menahan air matanya. Ia tidak mau air matanya
meleleh di depan calon mertuanya. Ia ingat pertama kali
mendengar nama Anna dari Pak Ali, sopir KBRI. Lalu ia cari
informasi. Ternyata Anna adalah bintangnya mahasiswi
Indonesia yang ramai dibicarakan dan didambakan orang. Ia
nekat meminangnya lewat Ustadz Mujab, tapi Ustadz Mujab
memberikan jawaban yang tidak pernah dilupakannya.
Ia masih ingat betul kata-kata Ustadz Mujab:
“A
llahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh
aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak
menghendaki aku bisa membantumu kali ini. Anna
Althafunnisa masih terhitung sepupu denganku. Aku tahu persis
keaadaan dia saat ini. Sayang kamu datang tidak tepat pada
waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah
dilamar oleh temanmu sendiri.”
Allahlah yang mengatur hidup ini. Kalau memang jodohku
adalah Anna Althafunnisa seperti apapun berliku adanya maka
akan sampai pada jodohnya. Itulah yang ada di benak Azzam.
Meski ia berusaha menahan,tapi matanya tetap berkaca-kaca.
Langit cerah. Ufuk barat memerah. Angin berhembus.
Daun mangga jatuh. Senja bertasbih. Burung- burung pulang
ke sangkarnya dengan bertasbih. Para santri di masjid ada
yang menghafal Alfiyah, ada yang membaca Al Qur’an, ada
yang membaca ma’tsurat, dan ada juga yang memilih duduk
menghadap kiblat dengan bertasbih.
Azan maghrib berkumandang. Azzam menjawab panggilan
azan dengan hati bergetar. Jiwanya ia pasrahkan semuanya
kepada Allah. Sementara Anna bersiap dengan mukena
469
putihnya. Ia larut dalam zikir mengagungkan Allah. Senja itu
langit cerah. Angin mengalir dari sawah. Bintang-bintang
bertasbih. Shalat didirikan. Selesai shalat Kiai Lutfi naik
mimbar, setelah membaca hamdalah dan shalawat pengasuh
pesantren itu memberikan pengumuman singkat,
”J
amaah shalat maghr ib, santri-santriku yang aku sayangi.
Malam ini pengajian tafsir Jalalain waktunya diganti bakda Isya.
Insya Allah bakda maghr ib ini akan ada peristiwa bersejarah
yang penting. Yaitu saya akan menikahkan Anna Althafunnisa
dengan Khairul Azzam. Saya mohon kepada semua yang ada
di masjid ini untuk menjadi saksi!”
Setelah itu Pak Kiai turun dan memanggil Azzam untuk
maju ke depan. Azzam maju dengan langkah gemetaran. Lebih
dari seribu mata santri memandang ke arahnya. Pak Kiai
duduk di depan mihrab. Azzam duduk tertunduk di
hadapannya. Pak Kiai memanggil seorang santri senior
bernama Hamid, seorang pria berumur empat puluh lima
tahunan bernama Pak Fadlun. Pak Fadlun adalah kepala KUA
Kecamatan Polanharjo. Sebelum akad Pak Kiai berkata pada
Pak Fadlun,
“Tolong Pak Fadlun sampeyan jadi saksi, dan sekalian
kamu catat dan kamu buatkan surat nikahnya. Persyaratan
berkas- berkasnya menyusul ya.”
”Inggih Pak Kiai.” Jawab Pak Fadlun.
Azzam mendengar percakapan itu. Hatinya semakin
mantap. Di lantai dua, Anna menanti detik-detik
membahagiakan itu dengan tidak sabar. Ia segera ingin resmi
jadi isteri Azzam, agar status jandanya segera hilang.
470
Pak Kiai memulai prosesi akad nikah. Sebelumnya ia
membatakan khutbah nikah secara singkat. Semua dalam
bahasa Arab. Khutbah nikahnya baginda Nabi ketika
menikahkan Fatimah dengan Ali. Khutbah yang ditulis banyak
ulama dalam kitab-kitab fiqh. Lalu Kiai Lutfi berkata kepada
Azzam,
”Ya Khairul Azzam,
anikahtuka wa
tazwijatuka binti Anna
Althafunnisa bi mahri al khatam min dzahab haalan”
3 3
”Q
iiiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur
haalan”
Jawab
Azzam spontan. Di lantai dua Anna langsung
34
memeluk Umminya yang ada di samping. Ibu dan anak larut
dalam tangis bahagia.
”Ummi, Anna sudah punya suami lagi. Anna tidak janda
lagi. Dan suami Anna kali ini adalah orang yang sebenamya
selama ini Anna cintai.” Kata Anna setengah berbisik pada
ibunya.
”Iya Nduk, alhamdulillah.”
Selesai akad Pak Kiai membaca doa, yang diamini semua
santri yang memenuhi masjid itu. Setelah itu para santri
menyalami Azzam dengan senyum mengembang. Pak Kiai
hendak membawa Azzam ke rumah untuk menemi isterinya.
33
tunai.”
471
Azzam menjawab,
“Perkenankan saya i’tikaf Pak Kiai sampai Isya.”
”Jangan panggil Pak Kiai lagi. Panggillah Abah. Sekarag
kamu menantuku Zam.”
“Baik Abah.”
Pak Kiai tetap pulang, dan meminta isteri dan anak
putrinya menyiapkan sesuatu yang bisa digunakan untuk
menyambut sang menantu setelah shalat Isya’.
472

Jiwa Yang Bangkit

Azzam harus menunggu kesembuhannya di rumah. Dokter
mengatakan ia baru boleh lepas krek kira-kira jika sudah
sepuluh bulan sejak dioperasi. Azzam hanya bisa beraktivitas di
dalam rumah. Bulan pertama aktivitasnya ada di kamarnya,
ruang tamu, dapur, dan kamar mandi.
Yang paling susah saat ia akan mandi atau buang air
besar. Perban yang ada di kaki kiri dan tangan kiri tidak boleh
terkena air. Untuk buang air besar ia tidak bisa jongkok. Sangat
susah jongkok dengan kaki satu. Dan jika ia nekat jongkok
maka tulang rusuknya yang patah akan terasa sakit. Luar biasa
sakitnya.
Husna punya akal. Ia mengambil kursi kayu. Lalu minta
kepada Kang Paimo agar melubangi bagian tengahnya.
Sehingga Azzam bisa duduk ketika buang air besar. Juga bisa
446
duduk saat mandi. Husna sangat perhatian pada kakaknya.
Sebelum mandi dia begitu teliti mencari plastik dan
membungkus kaki kiri dan tangan kiri Azzam dengan plastik.
Sehingga perbannya tetap kering dan aman.
”Kakak kalau mandi sebaiknya duduk saja. Kaki kiri
diselonjorkan. Pokoknya jangan pernah sekali-kali bertumpu
dengan kaki kiri. Ingat kaki kiri Kakak patah dan belum
tersambung betul. Dan kalau mengambil air hati-hati. Tangan
kiri diangkat ke atas. Jangan sampai perban basah. Luka bekas
operasi belum kering.”
Begitu kata Husna selalu mengingatkan setiap kali Azzam
mau mandi. Husna seolah menjadi ibu Azzam, juga sekaligus
perawat Azzam yang setia, bahkan teman berbagi duka yang
tiada duanya. Jika Husna tidak ada maka Lia dengan setia
membantu kakaknya.
Memasuki bulan ketiga Azzam mulai jenuh terus di rumah
ia seperti hidup dalam rumah tahanan. Ia minta pada Husna
agar memanggil Kang Paimo. Lalu ia minta pada Husna agar
menemaninya keliling kota Solo dengan mobil yang
dikemudikan Kang Paimo. Ia tengok warung baksonya yang
sempat tutup beberapa minggu. Husnalah yang berinisiatif agar
warung baksonya tetap buka.
Selama Azzam berada di rumah, hampir setiap minggu
selalu ada tamu yang datang mengunjunginya. Baik tamu itu
para tetangga, jamaah pengajian Al Hikam, maupun teman
atau kenalan yang datang mengejutkan. Suatu hari Eliana
datang dengan memakai busana muslimah yang sangat modis.
Putri Dubes itu tampak anggun dan mempesona. Eliana kaget
melihat kondisi yang menimpa Azzam dan keluarganya.
Bintang sinetron itu menitikkan air matanya ketika Husna
447
menceritakan apa yang menimpa keluarganya.
”I
nnalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Ibu telah tiada. Padahal
aku
ingin kembali mencium tangannya. Aku bawakan
kerudung Turki untuk ibu. Oleh-oleh dari umroh dua minggu
yang lalu.” Ucap Eliana dengan muka sedih.
”Jadi syuting film di Solo Mbak?” Tanya Lia.
”Besok insya Allah mulai syuting. Saya datang lebih awal
agar bisa mampir di sini. Ada yang aku rindukan di sini.”
Jawab Eliana.
”Siapa yang dirindukan Mbak?” Tanya Lia lagi.
”Dia.” Kata Eliana sambil menunjuk Azzam.
“Entah kenapa akhir- akhir ini hati aku terasa tidak enak.
Aku heran kok terbayang dia selalu. Jawabannya baru aku
ketahui setelah sampai di sini.” Lanjutnya. Gadis lulusan
EHESS Prancis itu begitu berterus terang dengan santainya.
Azzam merasakan getaran lembut mendengar perkataan
Eliana. Azzam langsung mengingat tunangannya di Kudus
sana. Lia yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya
langsung bertanya,
”Apa Mbak mencintai kakak saya?”
Azzam dan Husna kaget mendengar kalimat yang
meluncur dari mulut Lia. Sementara Eliana kaget sesaat namun
langsung bisa menguasai dirinya. Dengan menunduk dia
berkata,
“Sejak di Alexandria dulu, ketika aku mau memberinya
448
hadiah ciuman dan dia tidak mau. Dia bersikukuh memegang
teguh prinsip-prinsip Islam yang diyakininya, aku tahu
kakakmu ini orang yang berkarakter dan berjiwa. Sejak itu aku
sudah mencintainya. Tapi aku gengsi untuk menyampaikan
padanya.”
”Kalau sekarang setelah kecelakaan ini apa Mbak masih
suka padanya?”
”Kecelakaan seperti ini biasa saja. Nanti juga sembuh
seperti sedia kala. Kecelakaan seperti ini hanyalah kecelakaan
fisik ringan tak akan mengubah orang yang hatinya ada cinta.
Jika kecelakaannya adalah kecelakaan moral seperti zina
misalnya maka itu akan menghilangkan cinta. Rasa sukaku
masih sama.”
”Sayang Mbak Eliana menyampaikan ini semua sudah
terlambat.”
”Maksud Dik Lia.”
”Dia sudah punya tunangan.”
Eliana tampak kecewa.
“Mungkin memang belum jodohnya.” Ucapnya pelan.
* * *
Suatu hari saat ia jalan-jalan lagi keliling kota Solo, ia
mampir di warung bakso cintanya di UMS. Para karyawannya
tampak lesu. Pengunjung tidak ada seorang pun. Azzam
merasa ada yang janggal. Dengan langkah tertatih-tatih pakai
krek Azzam bertanya,
449
“Ada apa sebenarnya? Kalian tampak lesu tidak
bergairah?”
”Kita difitnah Mas?”
”Difitnah apa?”
”Kita difitnah bakso kita ada formalinnya. Bahkan lebih
keji lagi kita difitnah bakso kita dibuat dari cacahan bangkai
tikus.”
Azzam kaget.
“Astaghfirullah Benarkah?”
”Iya. Sudah dua hari ini sepi. Ketika saya tanya pada
pelanggan setia kita dia berterus terang tidak mau lagi beli
bakso kita karena alasan itu.”
”Kalian tahu siapa yang memfitnah?”
”Tidak Mas. Tapi itulah yang beredar di sekitar kampus.”
”Baik. Tenang. Akan aku pikirkan jalan keluarnya. Para
mahasiswa saja mudah dihasut dan difitnah rupanya.” Kata
Azzam dengan kening berkerut. Ia harus segera menemukan
jalan terbaik untuk menepis fitnah itu. Kalau tidak usaha
andalannya akan gulung tikar.
Azzam langsung pulang ke rumah dan bermusyawarah
dengan Lia dan Husna.
”Kita lapor saja ke polisi Kak? Lapor saja sama Si Mahras
450
itu, biar diuber siapa pemfitnahnya.” Usul Lia.
Namun ia merasa bahwa usul Lia belum benar-benar
menyelesaikan masalah.
”Kita pindah usaha saja Kak. Usaha yang lain. Kan masih
banyak. Kalau dua hari sama sekali tidak ada yang datang itu
artinya sudah sangat payah. Kalau diteruskan benar-benar
akan buntung kita.” Kata Husna.
”Itu hanya akan membuat si pemfitnah senang. Memang
tujuan dia membuat fitnah ya agar kita tidak jualan bakso. Aku
tak mau mundur!” Kata Azzam. Ia terus berpikir bagaimana
caranya ia seribu langkah lebih maju dari pesaingnya. Ia yakin
yang memfitnahnya adalah salah satu dari pesaing yang tidak
ingin dia bangkit dan maju.
”Aku ketemu ide!” Teriak Azzam.
”Apa itu Kak?” Tanya Lia.
”Kita tunjukkan profesionalitas kita. Orang yang suka
memfitnah dalam bisnis biasanya adalah orang yang tidak
profesional. Orang yang cetek cara berpikirnya. Kita harus lebih
maju dan lebih canggih lagi sehingga fitnahnya hanya akan
menjadi kentut di tengah padang pasir. Alias tidak ada
pengaruhnya.
”Terus apa langkah Kakak?” Tanya Husna.
”Kita luruskan isi fitnah itu dengan argumentasi ilmiah.
Ketika kita meluruskan sekaligus kita promosi kecanggihan dan
kualitas dagangan kita.”
451
”Caranya bagaimana Kak?”
”Kita dituduh memakai formalin, terus difitnah memakai
bangkai tikus. Kita harus luruskan itu. Caranya pertama kita
berikan contoh produk kita ke Departemen Kesehatan. Minta
keterangan isi kandungan bakso kita. Sekaligus minta
keterangan dari Depkes bahwa bakso kita adalah bakso yang
menyehatkan. Kedua kita berikan contohnya juga ke MUI kita
minta sertifikat halal. Setelah kita sudah dapat sertifikat dari
Depkes dan MUI kita kopi sertifikat itu dengan minta legalisasi
dari Depkes dan MUI kita sebar ke seluruh penjuru kota Solo.
Kita juga akan pasang iklan di Solo Pos kitalah bakso sehat
yang utama dan pertama di Indonesia. Bagaimana?” Kata
Azzam menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuhnya.
”Kakak memang jagonya bisnis!” Seru Lia.
”Baik aku yang ke Depkes dan Lia yang ke MUI Solo,
okay?” sahut Husna.
”Okay.” Jawab Lia.
Sambil menunggu sertifikat jadi, sementara warung bakso
libur. Begitu sertifikat jadi Azzam langsung membuat semacam
grand
opening untuk warung baksonya dengan mengundang
para aktifis
kampus dan aktifis dakwah. Ia juga mengundang
beberapa wartawan. Seketika warung baksonya berjubel-jubel
pengunjungnya setelah itu. Keuntungannya dua kali lipat lebih
banyak. Bahkan ada seorang mahasiswa asal Semarang yang
tertarik untuk membuka cabang ’Bakso Cinta’ di Semarang.
Sejak itu Azzam merasa baksonya layak difranchisekan. Dua
cabang langsung ia buka. Di Semarang dan di Jogjakarta.
Dengan ketegaran luar biasa Azzam bangkit dari
keterpurukannya.
452
Sebenarnya berkali-kali rasa putus asa karena kecelakaan
itu hendak membelitnya, tapi ia sama sekali tidak mau rasa
putus asa sedikit pun menjamah dirinya. Berkenalan pun ia
tidak mau dengan yang namanya putus asa.
Ia teringat perkataan Vince Lombard:
“On ce y ou
On ce y ou
On ce y ou
On ce y ou le a r n to qu it , i
le a rn to qu i t, i
le a r n to qu it , i
le a rn to qu i t, it be come s a h ab it
t be come s a h abi t
t be come s a h ab it
t be come s a h abi t”
.

“S e ka li s
S ek al i s aj a ka mu be l aj ar u n tu k be r pu tu s
a j a k a mu be la ja r u n tu k be r pu tu s a s a ma ka a ka n
a s a mak a ak a n

S ek al i s
S e ka li s
a j a k a mu be la ja r u n tu k be r pu tu s
aj a ka mu be l aj ar u n tu k be r pu tu s
a s a mak a ak a n
a s a ma ka a ka n
m en j adi k eb ia s aa n !
m en j adi k eb ia s aa n !“ ..
me nj ad i k e bia s aa n !
me nj ad i k e bia s aa n !
“. .
“ ..
“. .
Azzam terus bangkit, pelan-pelan ia merasakan kembali
gairah hidup yang sesungguhnya. Setiap kali melihat Husna
dan Lia ia merasa bahwa dirinya masih diberi karunia yang
agung oleh Allah SWT. Husna dan Lia adalah dua permata
jiwanya. Ia sangat menyayangi kedua adiknya itu. Ia berpikir
bagaimana jika ia tidak punya adik mereka. Sanggupkah ia
melalui hari-hari dukanya dengan penuh ketegaran. Betapa
banyak ia temukan seorang kakak memilik adik yang sama
sekali tidak hormat pada kakaknya. Adik yang tidak mencintai
kakaknya. Ia bersyukur memiliki adik yang sedemikian ikhlas
merawatnya dan membesarkan hatinya.
Siang itu sepucuk surat datang dibawa oleh Bu Mahbub
untuknya. Ia baca pengirimnya adalah Alviana Rahmana Putri
alias Vivi. Ia buka surat itu dengan penuh penasaran. Ia
terkejut di dalamnya ada cincinnya. Cincin yang dulu
dipakaikan ibunya ke jari Vivi. Ia sudah bisa menerka apa
isinya. Tapi ia baca juga:
Yang saya hormati Mas Khairul Azzam Di Kartasura
Assalamu’alaikum wr wb ..
453
Vivi tulis surat ini, sungguh dengan hati hancur, dan
linangan air mata yang terus mengalir. Harus Vivi katakan
sungguh Vivi sangat mencintai Mas. Tapi inilah Vivi, Siti
Nurbaya di abad millenium.
Ibu Vivi punya teman Bu Nyai yang punya putra baru
pulang dari Syiria. Bu Nyai itu melamar Vivi. Dan ibu lebih
memilih putra Bu Nyai itu. Vivi sudah berusaha menjelaskan
bahwa Vivi memilih setia pada Mas Azzam. Tapi ibu malah
sakit dan meminta aku untuk memilih di antara dua hal; pilih
ibu atau pilih Azzam.
Saat kamu baca suratku ini Mas, kamu pasti paham
kenapa surat ini aku kirimkan bersama cincin ini.
Maafkan diriku, jika kamu anggap aku
mengkhianatimu. Terima kasih atas kebesaran jiwamu.
Wassalam,
Yang lemah tiada daya
Vivi ..
Ia menangis membaca surat itu. Cincin yang telah !
dipakaikan ibunya di jari Vivi tak ada gunanya. Ia merasa di
dunia ini tak ada lagi orang yang setia pada cinta. Betapa
mudah hati berubah-ubah. Ia tersedu-sedu sendirian di kamar
tamu. Pada saat itulah Husna muncul. Ia serahkan surat itu
pada Husna. Seketika Husna berkata,”Jangan cengeng Kak,
apakah kakak tidak ingat kakak katakan pada pada Vivi ketika
dia menjengukmu. Bukankah kakak mengatakan: Sejak
sekarang aku beri kebebasan kepadamu.

Kalau kamu sabar menungguku maka terima kasihku
padamu tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah
454
penantian merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah
dengan siapa yang kamu suka. Kakak harus jadi lelaki sejati
yang siap menghadapi dari setiap kata yang telah diucapkan!”
Kata-kata Husna itu langsung melecut jiwanya. Ia tidak
boleh lemah. Ia harus buktikan pada dunia bahwa ia mampu
untuk sukses dan berguna. Ia kembali mengingat perkataan
Vince Lombard:
Sekali saja kamu belajar untuk ber putus asa maka akan
menjadi kebiasaan!
”Kak, yakinlah hanya jari gadis yang berhati bersih yang
akan menerima cincin itu. Percayalah Kak!” Husna memberi
semangat.
”Ya aku percaya adikku. Hanya gadis yang berhati bersih
yang akan menerima cincin ini. Cincin yang dipilih oleh ibu
kita tercinta.”
”Oh iya Kak. Bagaimana kalau kakak coba memberikan
cincin ini pada Eliana?”
Hati Azzam bergetar mendengar usul adiknya. Eliana ya
Eliana. Terakhir bertemu, gadis lulusan Prancis itu datang
secara terang- terangan menyampaikan rasa cintanya padanya.
Apakah mungkin gadis itu adalah jodohnya? Apakah dirinya
siap memiliki isteri seorang artis yang kecantikannya dinikmati
oleh sekian juta pemirsa? Kecantikan itu jadi milik bersama
bukan dirinya saja yang memilikinya, karena memang
kecantikan itu dijual untuk disuguhkan kepada para pemirsa.
Azzam jadi berpikir ketika nama Eliana kembali disebut-sebut
adiknya.
455
Azzam terus menumbuhkan harapan sembuh dalam
hatinya. Ia begitu iri setiap kali melihat ada anak kecil bisa
berlari-lari dan melompat-lompat seenaknya. Ingin rasanya
seperti mereka berlari dan melompat seenaknya karena kedua
tulang kaki tidak ada masalah. Sementara dirinya belum
bertumpu pada kaki kirinya. Tak boleh ada beban untuk kaki
kirinya.
Setelah sepuluh bulan lamanya hidup dalam sepi. Dokter
memutuskan Azzam boleh mulai latihan pelan pelan tidak
menggunakan krek. Tapi tetap sebagian besar tumpuan tubuh
saat berjalan dengan krek. Barulah setelah satu tahun Azzam
bisa berjalan normal tanpa krek. Ia sudah kembali bisa
mengendarai mobil sendiri.
Azzam kembali aktif ke masjid. Juga aktif kembali memberi
pengajian Al Hikam di Pesantren Daarul Qur’an Wangen.
Setiap kali Azzam yang mengisi pengajian itu jamaah
membludak memenuhi masjid.
Dalam bisnis Azzam juga terus bangkit lebih baik. Bakso
cintanya kini sudah punya sepuluh cabang di luar Solo. Yaitu
di Semarang, Jogja, Salatiga, Klaten, Bandung, Jakarta,
Depok, Malang, Surabaya, dan Kudus. Ia bahkan mulai
merambah bisnis percetakan dan penerbitan. Ia mulai
penerbitannya dengan menerbitkan buku-buku yang ditulis
adiknya sendiri yaitu Ayatul Husna.
Lambat laun ia dikenal sebagai entrepreneur muda dari
Solo yang sukses sekaligus dikenal sebagai dai muda yang
mampu menyihir hadirin jika ia sudah ada di atas panggung.
Setiap minggu ia punya rubrik khusus tentang motivasi bisnis
Islami di radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia Solo.
456
Suatu sore setelah shalat ashar di atas mimbar Pesantren
Daarul Qur’an Wangen ia menjelaskan kandungan perkataan
Imam Ibnu Athaillah As Sakandari,
”Jamaah yang dimuliakan Allah, Ibnu Athaillah dalam
kitab Al
Hikamnya mengatakan,
“Memperoleh buah amal di dunia adalah kabar gembira
bagi orang yang beribadah akan bakal adanya pahala di
akhirat.” Maksudnya jika ada orang ikhlas beribadah
kepada
Allah di dunia ini, dan orang itu merasakan buahnya ibadah itu
misalnya ketenangan hati, kejernihan pikiran, keluarga yang
sakinah, anak-anak yang shaleh, kerinduan untuk semakin giat
beribadah, merasakan kelezatan ibadah dan lain sebagainya.
Itu semua menjadi kabar gembira bahwa kelak di akhirat akan
ada pahala yang lebih lezat, pahala yang lebih agung dari Allah
’Azza wa
Jalla.”
457

Dalam Duka

Husna menunggui kakaknya dengan terus berzikir kepada
Allah dan memperbanyak membaca shalawat kepada
Rasulullah. Pipi kiri kakaknya berdarah. Tangan kiri kakaknya
berdarah. Juga kaki kiri kakaknya. Ada selang kecil yang
dimasukkan ke tangan kanannya. Alat pendeteksi detak
jantung kakaknya ada di samping ranjang. Ia terus berdoa
kepada Allah agar kakaknya segera siuman. Orang yang sangat
dicintainya itu kini terkulai tak berdaya. Dengan beberapa
bagian tubuh terkoyak dan berdarah.
Pukul lima sore, ia melihat tangan kakaknya bergerak.
Lalu kedua kelopak matanya bergerak. Lalu perlahan
membuka.
”Kak Azzam.” Lirihnya dengan linangan air mata.
Azzam membuka kedua matanya.
434
“Allah.” Itulah kalimat yang keluar dari getar bibirnya. Ia
mengerjapkan matanya. Lalu melihat adiknya,
“Husna.” Husna berusaha tersenyum pada kakaknya.
“Iya Kak. Alhamdulillah kakak sudah siuman.”
”Ini rumah sakit ya?”
”Iya.”
”Mana bu’e?”
”Tenang kak. Bue baik di tempat istirahatnya.”
”Maafkan Kakak ya Dik. Kakak kecelakaan. Bue pasti
kesakitan. Maafkan.” Lirih Azzam sambil berlinang air mata.
Azzam berusaha menggerakkan badannya. Namun nyeri luar
biasa.
Seorang perawat mendekat.
“Sudah siuman?”
”A
lhamdulillah. Sudah Mbak.”
”Begini, pertolongan pertama sudah kami lakukan. Masa
kritis kakak Anda sudah lewat. Agar lebih terjaga. Sebaiknya
kakak Anda dirawat di Solo, di sana peralatan lebih lengkap.
Terutama untuk operasi tulang. Kami lihat kaki kiri kakak Anda
patah. Semakin cepat dioperasi akan semakin baik. Kami akan
memberi rujukan silakan pilih rumah sakit mana yang Mbak
pilih.” Jelas perawat itu
435
”Yarsi bisa Mbak?”
”Bisa. Kalau begitu kami akan siapkan segalanya
secepatnya.”
”Pokoknya siapkan yang terbaik untuk kakak saya.”
“Baik.”
Perawat itu pergi. Kedua mata Azzam berkaca-kaca
mendengar percakapan perawat itu dengan adiknya. Ia tahu
apa yang terjadi pada dirinya. Kakinya patah harus dioperasi.
Ia akan terkapar di rumah sakit dalam waktu yang lama. Dan ia
akan istirahat di rumah dalam waktu yang lama. Di Cairo dulu
pernah ada mahasiswa Indonesia yang dioperasi karena patah
tulang saat sepakbola. Dan untuk sembuh ia harus istirahat
yang lama.
”Jika kaki kakak patah, lalu bu’e bagaimana Dik?”
“Dia baik Kak, sedang istirahat.”
“Jelaskan pada Kakak.”
“Kakak jangan mikir bu’e dulu.”
“Terus bu’e sama siapa sekarang?”
”Sama Lia. Bue sudah dibawa pulang tadi.”
”Jadi bu’e tidak apa-apa?”
”Sekarang sudah tidak apa-apa. Bue sudah tenang.”
436
”Syukurlah.” Kata Azzam sambil memejamkan mata.
”Ambulan sudah siap. Kita bisa langsung ke Solo.”
Perawat tadi datang lagi.
”Kita langsung berangkat Mbak?”
”Iya. Tapi Mbak selesaikan dulu administrasinya di sana
ya. Kami akan membawa kakakmu ke ambulan.”
”Baik.”
Husna melangkah ke bagian administrasi. Dua perawat
pria datang dan mendorong ranjang Azzam menuju ambulan.
Ketika melangkah ke bagian administrasi Lia dan Anna datang.
”Semoga musibah ini jadi sumber pahala ya Na. Kami ikut
berduka.” Lirih Anna sambil merangkul Husna.
“Terima kasih sudah mau datang.” Jawab Husna
“Bagaimana kak Azzam Mbak?” Tanya Lia
”Ada tulang yang patah, ini mau dirujuk ke Solo yang
lebih lengkap peralatannya. Kak Azzam harus operasi tulang.”
”I
nna lillah.” Lirih Lia.
”Kasihan dia. Semoga kakakmu diberi ketabahan oleh
Allah.” Ucap Anna pelan.
”Dik kamu bawa uang? Kakak cuma ada tiga ratus ribu.
Kita harus selesaikan administrasi dulu baru berangkat.
437
”Saya cuma ada seratus ribu. Ayo coba dulu berapa
semuanya.” Kata Husna sambil melangkah ke loket.
“Yang mau dipindah ke Solo ya?” Tanya pegawai loket.
”Iya.”
”Semuanya satu juta setengah Mbak. Sudah semuanya.
Sudah termasuk biaya dua ambulan.”
”Dik Lia, gimana nih. Kita cuma ada empat ratus ribu.”
Husna agak bingung.
”ATM kakak?” Tanya Lia.
”Kosong, sudah habis untuk persiapan nikah.” Husna
panik.
”Masih kurang berapa? Pakai uangku dulu saja.” Anna
tahu kepanikan Husna dan Lia.
”Satu juta seratus Mbak.” Jawab Husna.
“Tunggu aku ambil dulu di ATM.” Anna melangkah keluar
mengambil uang di ATM. Tak lama kemudian Anna datang
dan menyerahkan uang kepada Husna.
”Kelihatannya banyak sekali. Berapa ini Mbak?” Tanya
Husna.
”Aku ambil lima juta. Pakai saja dulu. Nanti di Solo kalian
pasti perlu ini itu.”
438
”Terima kasih Mbak. Insya Allah nanti saya kembalikan
secepatnya. Sebenamya saya yakin Kak Azzam masih punya
uang.”
”Sudah biarkan Mas Azzam itu tenang dulu. Nggak usah
mikir uang dulu kasihan dia.” Kata Anna.
Setelah membereskan administrasi mereka berangkat ke
Solo. Gantian Lia yang menemani Azzam di mobil ambulan.
Dan Husna ikut mobil Anna Althafunnisa. Hari Sudah mulai
gelap ketika mereka masuk di R.S. Yarsi. Begitu sampai Husna
langsung bilang kepada pihak rumah sakit,
“Tolong berikan yang terbaik untuk kakakku. Operasi yang
terbaik. Berapa pun biayanya tidak jadi soal. Saya yang
menanggung. Ini kartu identitas saya Ayatul Husna, Psikolog
dan Dosen di UNS.”
Kata-kata Husna tegas. Ia tahu banyak rumah sakit yang
kurang memperhatikan pasien hanya gara-gara sang pasien
atau keluarga pasien dianggap tidak punya biaya.
”Baik.” Jawab pihak rumah sakit. Diam-diam Anna kagum
juga dengan ketegasan Husna. Tiba-tiba ia merasa kecil
dibandingkan gadis yang ada di hadapannya itu. Gadis yang
ditempa oleh pelbagai masalah kehidupan. Dan ketika ia
kagum pada gadis itu maka mau tak mau ia harus kagum pada
kakaknya. Kakaknyalah yang mendidik adiknya itu dari jarak
jauh.
”Tadi kami sudah berusaha mencegah bu’e. Kak Azzam
juga sebenarnya tidak mau. Tapi bu’e ngotot. Sebelum pergi
bu’e minta dibuatkan teh hangat. Bue berkata, ’Teh buatanmu
lain rasanya Na.
Enak. Ibu ingin meminumnya barangkali
439
untuk kali terakhir.’
Ternyata memang itulah terakhir kalinya
minum teh hangat buatanku.” Husna bercerita sambil
berlinang air mata pada Anna. Hal itu malah membuat mata
Anna berkaca-kaca.
”Iya tadi di rumah beliau juga minum teh buatanku.
Kelihatannya beliau ceria sekali. Abah sempat menawarkan
agar beliau saya antarkan pulang ke rumah pakai mobil. Tapi
beliau tidak mau. Beliau ngotot menerobos gerimis bersama
Mas Azzam ke rumah Kiai Kamal. Abah sangat menyesal dalam
hal ini, karena tidak memenuhi harapan ibumu.” Kata Anna
terisak. Di dalam hati Anna merasa dirinyalah pangkal musibah
ini. Abahnya menolak mengisi pengajian di acara walimah itu
karena merasa terpukul dengan kegagalan pernikahannya
dengan Furqan. Maka dialah pangkal musibah ini. Itulah
perasaan berdosa Anna yang menggelayut di pikirannya.
”Abahmu tidak salah. Memang sudah tiba ajalnya. Orang
kalau sudah tiba ajalnya ada saja sebab yang menjadi
perantaranya.” Ujar Husna pada Anna.
”Kau benar. Terus bagaimana dengan pesta
perkawinanmu nanti?”
”Itu nanti. Yang sekarang ada dalam pikiranku adalah
bagaimana agar kakakku bisa kembali seperti semula. Aku
ingin kakakku bisa berjalan seperti semula. Kaki dan tangan
kakakkulah yang turut menempa jati diri seorang Husna.
Sekarang ini yang aku pedulikan hanyalah kakakku.”
”Kau begitu sayang pada kakakmu.”
”Kalau kamu punya kakak seperti dia aku yakin kamu
pasti sayang padanya.”
440
”Semoga dia baik-baik saja.”
“Amin.” Malam itu Azzam harus masuk ruang operasi.
Setelah dirongent ia mengalami patah di betis kirinya, lengan
bawah tangan kiri, dan dua tulang rusuk dada kirinya. Ia harus
operasi tulang kaki dan tangannya. Husna dan Lia tetap di
sana sampai operasi selesai. Anna dengan setia menemani dua
gadis yang sedang dalam duka itu. Sesekali Anna keluar
membelikan makan buat mereka.
Jam dua malam operasi itu selesai. Azzam dimasukkan ke
dalam kamar kelas satu. Husna yang minta. Uang bisa dicari
belakangan yang penting nyaman. Dokter bedah yang
meyakinkan Husna, Lia dan Anna bahwa Azzam akan bisa
kembali seperti sedia kala.
”I
nsya Allah, dia akan pulih lagi. Hanya nanti tentu perlu
proses
sampai tulang-tulangnya menyatu dan kuat lagi- Kami
akan beri obat penyambung tulang terbaik.
Bersyukurlah bahwa yang patah bukan tulang
belakangnya. Dan
alhamdulillah kepalanya tidak apa-apa.
Hanya gegar ringan yang itu
biasa dalam kecelakaan ringan
sekalipun. Saya dulu pernah jatuh dari tempat tidur kepala
membentur lantai dan gegar ringan. Insya Allah nanti dia akan
sembuh seperti semula. Tenang saja.”
Dokter muda yang bernama Yusuf itu dengan sangat
ramah menjelaskan secara detil apa yang dialami Azzam.
Penjelasan itu membuat hati Husna, Lia dan Anna lega.
Mereka bertiga berjaga di rumah sakit itu sampai pagi. Setelah
operasi Azzam tertidur. Ia tidak tahu bahwa Anna juga turut
menjaganya bersama adik-adiknya.
441
Pagi harinya Pak Mahbub mengantarkan Vivi dan
keluarganya menjenguk Azzam. Saat itu Azzam sedang sedih-
sedihnya karena diberi tahu bahwa ibunya telah meninggal
dunia. Azzam sudah bisa diajak berbincang bincang siapa saja.
Begitu ia tahu Vivi dan keluarganya datang ia menyeka air
matanya dan menata jiwanya. Vivi menatap Azzam dengan
linangan air mata.
”Maafkan saya, mungkin saya harus tetap terbaring di sini.
Sehingga saya tidak mungkin ke Kudus untuk akad nikah
denganmu. Maafkan. Kita manusia hanya bisa berikhtiar tapi
Allah jugalah yang menentukan.” Ucap Azzam pada Vivi yang
di dampingi kedua orang tuanya.
”Bersabarlah. Ini musibah kita bersama. Aku akan setia
menunggumu, sampai kamu sembuh.” Vivi menenangkan
Azzam dan membesarkan jiwanya.
”Terima kasih Vivi. kamu baik sekali. kamu tahu berapa
lama lagi kira- kira akan sembuh. Temanku di Mesir dulu
menunggu sampai satu tahun baru dia bisa berjalan. Aku tak
ingin mengikatmu dengan rasa kasihanmu padaku.
Pertunangan itu belumlah akad nikah. Itu baru semacam
perjanjian. Aku tidak ingin menzalimimu. Sejak sekarang aku
beri kebebasan kepadamu. Kalau kamu sabar menunggu ku
maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kamu
ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kamu
boleh menikah dengan siapa yang kamu suka. Aku tahu
umurmu sama dengan umurku. Sebentar lagi kamu berkepala
tiga.” Kata Azzam dengan lapang dada.
Husna takjub dengan kata-kata kakaknya itu. Kakaknya
benar-benar dewasa cara berpikirnya. Dan hebatnya kakaknya
442
tidak mau dikasihani. Kakaknya masih menunjukkan
karakternya sebagai Khairul Azzam yang pantang menyerah.
Khairul Azzam yang sangat percaya dan yakin akan karunia
Allah.
“Aku akan berusaha setia.” Kata Vivi.
“Terima kasih atas kebesaran jiwamu.” Lanjut gadis yang
berprofesi sebagai dokter di Puskesmas Sayung itu. Setelah
merasa cukup Pak Mahbub dan keluarga dari Kudus minta
pamit. Sebelum meninggalkan ruangan itu Vivi masih sempat
melihatnya kembali. Dan tersenyum padanya sebelum pergi.
Azzam berusaha tersenyum. Begitu Vivi pergi Azzam menangis
tersedu- sedu. Ia teringat pesta pernikahannya yang batal. Ia
teringat gerbang pernikahan yang ada di depan mata.
”Kenapa kita harus banyak menangis hari-hari ini ya Na?”
Tanya Azzam pada adiknya.
”Mungkin Allah sedang menyiapkan cara agar kita bisa
tersenyum indah setelahnya.” Jawab Husna.
“Semoga jawabanmu itu benar.”
”I
nsya Allah kak. Janji Allah bersama kesukaran pasti ada
kemudahan.”
”Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.”
“Pasti.”
Dan Husna juga membatalkan pernikahannya. Ia
mengatakan kepada Ilyas bahwa ia akan menikah setelah
kakaknya bisa berjalan. Ia tidak akan meninggalkan kakaknya
terkapar sendirian di rumah sakit, sementara ia berbulan madu
443
dengan suaminya. Ia lalu mengatakan kepada Ilyas seperti
yang dikatakan kakaknya pada Vivi,
”Mas Ilyas tentu paham bahwa pertunangan itu belumlah
akad nikah. Itu baru semacam perjanjian. Aku tidak ingin
menzalimimu. Sejak sekarang aku berikebebasan kepadamu.
Kalau kamu sabar menungguku maka terima kasihku padamu
tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah penantian
merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah dengan siapa
yang kamu suka.”
Jawaban Ilyas hampir mirip dengan jawaban Vivi,
“Insya Allah aku akan setia padamu. Akan aku selesaikan
dulu masterku baru aku akan menikahimu.”
”Terima kasih Mas.”
Azzam dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Selama
sepuluh hari, hampir setiap hari selalu ada yang datang
menjenguk. Selain warga dukuh Sraten, karyawannya di bisnis
bakso dan foto copy, banyak juga jamaah pengajian Al Hikam
yang datang. Setiap kali ada yang datang, semangat hidup
Azzam berkobar, semangatnya untuk sembuh menyala.
Dalam sebuah perenungan akan duka yang dialaminya,
Azzam menulis puisi dalam hatinya untuk meneguhkan
jiwanya:
“dalam duka kita berguru pada hujan yang terus menyiram
arang hitam dengan kesabaran siang malam
kuncup-kuncup pun bermekaran meneguhkan harapan-
harapan “
Pada hari ke delapan dan ke sembilan Azzam dilatih
bagaimana menggunakan krek. Setelah dilihat bisa
menggunakan krek dengan baik dan pengaruh gegar
444
kepalanya hilang Azzam diperbolehkan pulang. Dokter
menyarankan untuk banyak di rumah dulu dan menasihati
untuk tidak sekali-kali berjalan atau berdiri tanpa bersandar
pada krek.
”Kau boleh lepas krek, kalau aku sudah mengatakan kamu
boleh lepas!” Demikian kata Dokter Yusuf sesaat sebelum
pulang.
Pada saat ia siap untuk keluar kamar Kiai Lutfi datang,
bersama Bu Nyai dan Anna. Kiai Lutfi minta maaf kepada
Azzam atas peristiwa pagi hari itu. Kiai Lutfi tak henti hentinya
menyesali penolakannya waktu itu.
”Kalau aku penuhi permintaan ibumu mungkin tidak
terjadi kecelakaan. Sungguh aku mohon maaf Azzam. Aku
merasa berdosa.” Kata Kiai Lutfi.
”Pak Kiai tidak salah. Ini sudah tercatat di sana.” Jawab
Azzam sambil mengacungkan tangan kanannya ke atas.
“Terus bagaimana dengan kelanjutan pernikahanmu?”
Tanya Kiai Lutfi.
”Biarlah Allah yang menentukan.” Jawab Azzam.
445

Musibah

Gerimis telah berubah menjadi hujan yang sangat deras.
Kilat mengerjap dan halilintar menyambar. Dukuh Sraten
tampak begitu fana dan kerdil dalam guyuran hujan. Seorang
gadis berjilbab putih mengangkat sedikit kain roknya dan
berjalan hati-hati dengan payung di bawah hujan. Gadis itu
baru keluar dari masjid. Ia baru saja ikut rapat remaja masjid Al
Mannar.
Akhirnya ia sampai ke rumahnya. Gadis itu adalah Lia.
”A
ssalamu’alaikum. Mbak Husna!” Panggil Lia begitu
masuk
rumahnya yang lengang.
“Mbak!”
423
”Iya, Mbak di belakang Dik!” Jawab Husna.
“Bue sama Kak Azzam mana?” Tanya Lia.
“Ibumu itu kalau punya kemauan tidak bisa dicegah. Dia
memaksa Kak Azzam ke rumahnya Kiai Lutfi.”
“Untuk apa ke sana?”
”Minta Kiai Lutfi ngisi tnau’idhah hasanah dalam acara
walimah besok.”
”O. Kan mobilnya dibawa Kang Paimo.”
“Itulah. Mbak sama Kak Azzam sudah mencegah Bue
supaya jangan berangkat pas hujan. Tapi Bue tetap ngotot.
Akhirnya Kak Azzam ya manut saja.”
”Nanti Bue sakit gara-gara kehujanan.”
“Ya semoga tidak.”
”Entah kenapa Mbak ya, hati Lia sangat tidak enak
rasanya. Lia lihat suasana pagi ini kok rasanya muram dan
suram.”
”Ya ini kan lagi mendung, lagi hujan, ya suasananya
memang suram.”
”Ini di dalam hati lho Mbak.”
”Sana kamu bantu marut kelapa, biar tidak suram. Lia
bergerak memenuhi permintaan kakaknya. Tiba-tiba pintu
depan diketuk dengan cukup keras Husna dan Lia kaget.
424
Mereka berdua berpandangan. Lalu keluar bareng. Mereka
melihat ada dua polisi yang berdiri, di depan pintu rumah
mereka. Mereka agak was-was.
”Itu polisi nyasar.” Lirih Lia.
“Hus!” Bentak Husna lirih.
”Selamat pagi Mbak?” Sapa seorang polisi berkumis tipis
“Pagi Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Jawab Husna
“Apa ini rumahnya Khairul Azzam?”
“Iya. Saya adiknya Pak. Ada apa ya?”
“Maaf Mbak jangan terkejut. Khairul Azzam dan ibunya
kecelakaan! Dan sekarang ada di Rumah Sakit PKU
Delanggu.”
”Kecelakaan Pak!?” Jerit Husna dan Lia harnpir
bersamaan. Jantung keduanya bagai mau copot. Kaki-kaki
mereka seperti tidak kuat untuk berdiri.
”Oh tidak, bu’e... bu’e! Kak Azzam!” Jerit Lia dengan
tangis meledak.
”Ya Allah, kuatkan! Ya Allah jangan kamu panggil mereka
ya Allah!” Lirih Husna dalam isak tangisnya.
”Maaf Mbak, kami tahu kalian bersedih. Keadaan sedang
kritis. Kalian harus ada yang ikut kami ke rumah sakit
sekarang!” Kata polisi itu.
425
Husna segera sadar. Dalam sedih, ia harus bergerak cepat!
”Dik, kamu beritahu Pak Mahbub dan Pak RT. Beritahu
siapa yang menurutmu diberi tahu. Aku mau ikut Pak Polisi ini
dulu!” Kata Husna sambil menyeka air matanya.
”I... iya Mbak.” Jawab Lia dengan lidah kelu.
”Sebentar Pak.” Husna masuk mencari dompetnya. Ia
masukkan dompet itu ke dalam tasnya lalu bergegas keluar
menerobos hujan ke mobil sedan polisi.
Sepanjang jalan Husna menangis. Ia memandang ke
jendela dengan basah air mata. Polisi berkumis tipis itu
memperhatikan Husna sesaat. Ia merasa iba pada Husna.
”Menurut saksi mata kakak anda sama sekali tidak salah.
Dia sudah mepet ke pinggir. Bus ugal-ugalan itu yang salah.
Bus itu juga sempat lari tapi sekarang sudah tertangkap dan
sedang kami tangani. Kita doakan semoga kakak dan ibumu
bisa di selamatkan.” Kata Polisi menenangkan Husna.
* * *
Sampai di rumah sakit Husna langsung menghambur
ruang gawat darurat.
”Suster di mana yang korban tabrakan?” Tanya Husna
dengan mata basah pada seorang perawat di depan ruang
gawat darurat.
”Pemuda sama ibunya ya?”
“Iya Sus.”
426
”Mbak siapa?”
”Saya anak ibu itu.”
”Sabar ya Mbak, tabahkan hati Mbak ya?”
”Apa maksud suster?”
”Ibu Mbak tidak bisa kami selamatkan. Beliau sudah
bertemu Allah. Kepala beliau mungkin pecah. Darahnya
mengalir banyak sekali. Sedangkan kakak Mbak masih kritis.
Masih belum sadar.”
”Ibu saya meninggal Mbak?”
”Iya, tabahkanlah hatimu Mbak!”
Tangis Husna langsung meledak.
”Bue... bu’e... oh... bu’e!”
Perawat yang ramah itu merangkul Husna. Terus berusaha
menghibur dan menenangkan Husna. Husna merasa bumi
bagaikan berputar. Rasanya ia ingin jatuh. Ia juga merasakan
seperti ada belati yang dihunjamkan ke ubun ubun kepalanya.
Dalam pelukan perawat itu Husna pingsan.
* * *
Ketika Husna sadar, ia mendapati dirinya terbaring dalam
sebuah ruangan. Lia, Bu Mahbub dan Bu RT ada di samping.
Lia menangis dalam pangkuan Bu RT. Kedua mata Bu
Mahbub juga tampak berkaca-kaca.
427
Husna mendengar azan Zuhur berkumandang di
kejauhan.
Husna ingat yang terjadi langsung menangis. Ia
memanggil-manggil ibunya dan kakaknya. Ia bangkit dari
ranjang.
”Mau ke mana Na?”
”Mau lihat bu’e.”
”Sebentar ya. Tadi Pak Mahbub mengambil inisiatif minta
kepada rumah sakit untuk sekalian memandikan dan
mengkafani. Meskipun hari hujan. Masih ada waktu untuk
mengubur jenazah ibumu. Sekarang ibumu sedang
dimandikan.” Jawab Bu Mahbub.
”Apa harus hari ini bu’e dikubur Bu?”
”Katanya menurut sunnah nabi semakin cepat semakin
baik.”
”Kasihan Kak Azzam tidak bisa lihat bu’e.”
”Dia masih belum sadar. Kalau pun sudah sadar juga dia
tidak bisa ikut mengubur ibumu.”
Husna terus meneteskan air mata. Ia ingin tabah. Tapi ia
tetap menangis. Sepertinya baru tadi ibunya minta dibuatkan
minum. Sekarang sudah pergi meninggalkannya untuk
selamanya. Ia jadi ingat dialognya dengan ibunya sebelum
ibunya berangkat. Tadi pagi sambil membawa teh hangat ia
berkata pada ibunya,
428
”Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti
di tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman.”
Ibunya lalu menjawab
“Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin
meminumnya barangkali untuk kali terakhir.”
Air mata Husna meleleh. Ternyata benar, itulah teh yang
ia buatkan untuk ibunya terakhir kalinya. Setelahnya ia tidak
bisa membuatkan lagi untuk ibunya. Ia juga teringat kata-kata
ibunya setelah minum teh buatannya,
”Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada,
jagalah kakak dan adikmu ya Na.”
Dan benar, kini ibunya telah tiada. Kakaknya masih kritis
belum sadar juga. Kata-kata ibunya seperti menyadarkannya.
Ia harus kuat. Ia harus bangkit. Ia tidak boleh lemah.
”Lia.” Ia memanggil adiknya. Lia bangun dan memeluk
kakaknya.
”Mbak bu’e sudah tidak ada. Kita tidak punya orang tua
lagi Mbak. Kak Azzam kalau mati juga bagaimana KaK.”
”Kita harus tabah adikku. Kita doakan semoga Kak Azzam
selamat. Semoga Allah tidak memanggil dua-duanya.”
”Iya Mbak.” Husna memeluk adiknya kuat-kuat. Sesedih
apapun dirinya, saat ini dialah sang kakak. Dialah yang harus
mengambil langkah dan keputusan. Ia melepas pelukan
adiknya. Lalu dengan penuh cinta menyeka air mata adiknya.
429
”Dik, kita sudah besar dan dewasa. Kita harus saling
dukung. Kita akan hadapi ini bersama. Kita akan hadapi ini
bersama.”
”Iya Mbak.” Pelan Lia di sela-sela isaknya. Husna menoleh
ke Bu Mahbub,
“Di mana Pak Mahbub Bu?”
”Di depan sedang berbincang bersama Pak RT dan Pak
War.”
Husna langsung ke depan diikuti Lia, Bu Mahbub dan Bu
RT.
”Nak Husna.” Sapa Pak Mahbub,
“Kami semua ikut berduka cita.”
”Terima kasih Pak. Menurut Pak Mahbub, enaknya
bagaimana?” Tanya Husna.
”Begitu sampai di sini tadi saya diberi tahu oleh petugas
bahwa ibumu meninggal. Bisa jadi meninggal di tempat atau di
jalan. Yang jelas sampai di UGD nyawa beliau sudah tiada
ada. Saya langsung inisiatif minta para pemuda untuk menggali
kubur. Hujan di sana sudah reda.
”Karena kepala ibumu maaf mungkin retak atau pecah
dengan darah yang begitu banyak, saya langsung minta pihak
rumah sakit menjahit lukanya terus memandikan dan
mengafaninya sekalian. Sekarang sedang dikafani. Menurut
Bapak sebaiknya hari ini juga dikebumikan. Menurut sunnah
430
kan menyegerakan penguburan sernakin cepat semakin baik.
Tapi semua keputusan ada di tangan kamu dan Lia.” Kata Pak
Mahbub dengan suara bergetar.
”Bagaimana menurutmu Dik?” Tanya Husna.
”Kalau yang terbaik hari ini juga dimakamkan, dan itu
memungkinkan itu lebih baik. Sebab setelah ini kita masih akan
menunggu Kak Azzam.” Jawab Lia.
”Kau benar Dik. Kalau begitu kita kuburkan sekarang.”
Ucap Husna.
”Kalau boleh usul lagi,” kata Pak Mahbub,
“Sebaiknya, nanti ada salah satu di antara kalian yang di
sini. Sewaktu waktu Azzam bangun, dia langsung ada yang
menghiburnya. Langsung ada yang mendengar suaranya kalau
dia pesan sesuatu.”
”Iya Pak. Biar saya di sini, dan Lia pulang bersama
jenazah ibu.”
Seorang perawat laki-laki datang,
“Pak Jenazah sudah siap di ruang sana.”
”Ayo kita ke sana.” Seru Pak Mahbub.
Semua yang ada di situ langsung bangkit menuju ruang
jenazah mengikuti perawat. Hati Husna berdebar debar.
Seperti apa wajah ibunya. Tiba-tiba ia merasa sangat rindu
pada ibunya, padahal baru tadi pagi ia membuatkan teh
hangat untuknya. Husna melangkah memasuki ruang jenazah.
431
Hanya ada satu jenazah. Tak lain dan tak bukan jenazah
ibunya.
”Posisinya sudah kami buat seperti ini. Kalau ada yang
mau shalat jenazah di sini boleh.” Kata perawat itu.
Husna melangkah mendekati jenazah ibunya. Kepala
ibunya yang mulia itu diperban. Mukanya bersih menyungging
senyum. Ada sedikit darah di keningnya, tak bisa tidak
tangisnya meledak kembali. Ia ciumi wajah ibunya dengan
keharuan luar biasa. Hidungnya ia ciumkan ke mulut ibunya.
Ia seperti mencium bau wangi teh yang tadi pagi di minum
ibunya. Ia kembali terisak.
”Sudah Nak, tabahkanlah hatimu!” Kata Pak Mahbub.
Husna bangkit gantian Lia yang menciumi wajah ibunya
dengan terisak-isak.
”Bue aku mencintaimu Bue.” Hanya itu yang dikatakan
Lia.
”Husna, Lia, shalatilah ibumu di sini. Sebentar lagi jenazah
ibumu akan dibawa ke Sraten.”
”Baik Pak.” Jawab Husna dan Lia.
Dua gadis itu lalu mengambi air wudhu dan menshalati
ibunda mereka tercinta. Setelah dishalati jenazah itu dibawa ke
mobil jenazah ke dukuh Sraten, Kartasura. Lia dan Bu Mahbub
ikut dalam mobil jenazah. Sementara Pak Mahbub, Pak RT, Bu
RT dan Pak War ikut mobil Pak War.
Sore itu dukuh Sraten hujan air mata. Kiai Lutfi yang
diberitahu Pak Mahbub langsung datang seketika didampingi
432
Bu Nyai dan Anna. Pak Kiai menangis mendengar cerita tragis
yang menimpa Azzam dan ibunya. Pak Kiai Lutfi merasa
sangat berdosa.
”Maafkan saya Nak Lia, kalau saja saya menerima
permintaan ibumu mungkin akan lain ceritanya.” Kata Pak Kiai
pada Lia.
”Kematian itu kalau sudah datang tak bisa dielakkan Pak
Kiai. Tak ada salah Pak Kiai sama sekali. Yang salah ya sopir
bus yang ugal- ugalan itu.” Lirih Lia.
Sore itu jenazah Bu Nafis, ibunda Azzam, dimakamkan di
bawah langit yang mendung diiringi ratusan orang termasuk
Kiai Lutfi. Yang membuat masyarakat takjub, meskipun
paginya hujan tetapi lubang untuk mengubur Bu Nafis tidak
keluar mata air. Hanya basah saja.
Selesai mengubur ibunya Lia diantar oleh Anna dengan
mobilnya pergi ke PKU Muhammadiyah Delanggu untuk
menemani Husna yang sendirian di sana.
433