Minggu, 14 Juni 2009

Bakso Cinta

Sudah dua bulan Azzam di rumah. Azzam sudah benar-
benar menyatu dengan masyarakat. Ia sudah aktif di masjid.
Sejak ia diminta menjadi badal Pak Kiai Lutfi mengisi pengajian
Al Hikam, Pak Mahbub dan warga masyarakat dukuh Sraten
sangat percaya padanya. Ia diminta untuk mengisi jadwal
khutbah Pak Masykur yang belum ada gantinya.
Hanya saja, di mata warga masyarakat Azzam dianggap
masih menganggur. Ia sebenarnya sudah mulai usaha membuka
warung bakso di samping kampus UMS dekat Fakultas Farmasi.
Tapi itu oleh masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang tidak
bergengsi.
Ibu-ibu jika berkumpul di warung Bu War tanpa sadar sering
membicarakan Azzam.
291
”Sayang ya sembilan tahun di Mesir masih menganggur.
Aku kira begitu pulang dari luar negeri langsung ditarik jadi
dosen di IAIN atau STAIN. E... malah jualan bakso. Kalau hanya
jualan bakso ngapain jauh-jauh kuliah ke Mesir. Itu Si Tuminah
tidak lulus SD juga jualan bakso!”
Kata Bu Sarjo yang terkenal suka menilai orang.
”Iya kasihan Azzam ya. Aku malah mengira dia pulang dari
Cairo langsung diambil menantu Pak Kiai. E... sampai sekarang
juga belum laku. Aku kira langsung memimpin pesantren.” Sahut
Bu Agus.
”Itu kemarin aku sangat kaget, ketika diberitakan pacaran
sama Eliana. Kukira dia sudah jadi konglomerat di Mesir.
Ternyata beli motor saja tidak bisa. Mana mungkin bintang film
seperti Eliana mau.” Kata Bu Marto
”Ya masih untung masih bisa mengajar majelis taklim di
masjid, hitung-hitung buat kegiatan dia.” Sahut Bu Hariman
Angin itu ternyata bisa menyampaikan perkatan perkataan
kamum ibu itu ke telinga Bu Nafis sekeluarga. Bu Nafis paling
sedih dan resah.
Husna juga, ia tidak rela kakaknya yang menjadi
pahlawannya dijadikan gunjingan. Pengangguran memang
sangat tidak nyaman.
Akhirnya Bu Nafis tidak bisa menahan keresahannya. Suatu
pagi ia berkata pada Azzam,
”Nak, terserah bagaimana caranya agar kamu tidak tampak
menganggur. Kalau pagi pergilah, berangkatlah kerja bersama
orang-
292
orang yang berangkat kerja. Dan kalau sore atau malam
pulanglah ke rumah. Supaya kamu tidak jadi bahan ocehan. Ibu
juga malu kamu lulusan luar negeri cuma jualan bakso!”
Bu Nafis menyampaikan hal itu dengan mata berkaca kaca.
Husna yang mendengarnya juga trenyuh hatinya.
”Bu’e, perkataan orang lain jangan terlalu dimasukkan ke
dalam hati.
Yang penting ibu percayalah pada Azzam. Azzam bisa
mandiri.
Azzam bisa makan dengan kedua tangan dan kaki Azzam
sendiri.
Ibu kan juga tahu di Cairo dulu Azzam juga jualan bakso.”
”Terserah kamu Nak. Tapi pikirkanlah bagaimana caranya
supaya kamu aman dari gunjingan masyarakat.”
”Masyarakat kita memang paling hobi menggunjing kok Bu.
Tapi baiklah Azzam akan ikuti permintaan ibu. Pagi berangkat
kerja, sore pulang kerja.”
* * *
Azzam terus memutar otaknya. Ia harus segera menemukan
cara untuk mendapatkan cashflow dengan cepat. Ia melihat
usaha warung baksonya biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang ia
rugi sebab keuntungannya perhari hanya sepuluh ribu rupiah. Ini
tidak sebanding dengan kerja kerasnya.
Ia memang masih sendiri belum dibantu siapa-siapa. Demi
memenuhi harapan ibunya ia menyewa satu kamar kos di dekat
293
pasar Kleco. Jam delapan pagi ia sudah sampai di kamar
kosnya. Ia lalu belanja. Setelah itu meracik bahan bahan
baksonya. Jam dua semuanya sudah siap. Tepat jam setengah
tiga ia buka warung. Ia buka sampai jam sembilan malam.
Demikian rutinitasnya setiap hari. Kepada para tetangga
ibunya bilang Azzam sudah punya kantor di Solo. Pagi kerja di
kantornya dan sorenya ia jualan bakso. Ya jika kantor maknanya
adalah tempat kerja maka kamar kos yang ia gunakan untuk
membuat pentol bakso adalah kantor. Kantor hanyalah istilah
mentereng untuk menyebut tempat kerja. Di mana di tempat itu
ada arsip dan berkas. Di kos Azzam juga ada arsip dan berkas.
Yaitu catatan dan bon belanjanya.
Azzam terus memutar otaknya bagaimana caranya
usahanya sukses.
Jika ia tetap menjual produk yang sama dengan yang lain,
maka di pasar ia telah kalah. Ia harus punya produk yang
inovatif, yang berbeda dengan yang lain. Sama-sama baksonya
tapi harus ada sisi unik yang membedakan baksonya dengan
bakso yang lain.
Ia ingin agar pembeli baksonya mendapat sesuatu selain
rasa nikmat di lidah, kenyang dan gizi. Ia terus berpikir. Sampai
akhirnya ia menangkap sebuah ide yang menurutnya brilian. Ia
akan membuat bakso cinta.
Ya, ia akan membuat bakso cinta.
Dalam benaknya ia akan membuat cetakan khusus untuk
baksonya.
Bentuk baksonya tidak bulat tapi berbentuk cinta, love atau
294
hati.
Terus ia akan mengubah suasana warungnya. Meskipun
warung tenda, suasananya harus ceria dan romantis. Lalu ia
akan menyiapkan instrumen musik khusus yang mengiringi
pelanggannya makan.
”Yup! Ini baru ide!”
Teriaknya dalam hati.
Azzam lagi bekerja keras mencari cetakan dari besi
berbentuk hati. Ia tidak menemukan di toko-toko penjual barang
pecah belah. Ia akhirnya pesan cetakan yang ia inginkan ke
Batur, Klaten yang dikenal sebagai pusat besi, baja dan
alumunium. Cetakan itu akhirnya jadi juga.
Azzam mencoba membuat bakso cinta dengan cetakannya.
Pertama kurang menarik. Lalu ia buat lagi dan hasilnya sangat
mempesona. Ia lalu menyiapkan suasana warungnya. Gerobak
baksonya ia cat pink semuanya. Tendanya juga ia cat pink. Meja
dan kursinya juga pink. Ia cari mangkok khusus berwarna merah
hati jadi pas dengan meja pink.
Ia juga mengubah jam buka warungnya. Sebelumnya dari
jam setengah tiga sore sampai jam sembilan kini dari jam
sepuluh pagi sampai jam enam sore. Sebelum membuka warung
baksonya, ia promosi dengan membuat brosur dan
menyebarkannya di hampir seluruh Solo. Di hari pembukaan
perdana ia minta adiknya Lia dan Husna ikut membantu. Sekali
itu saja.
Sambutan dari pelanggan luar biasa. Di hari pembukaan,
hanya dalam waktu empat jam baksonya telah habis. Husna dan
Lia sangat bahagia dibuatnya. Azzam sangat yakin baksonya
295
akan laris.
Akhirnya Azzam memutuskan untuk cari seorang karyawan
yang akan membantunya menyuguhkan bakso dan minuman ke
langganan.
Adapun yang meracik bakso tetap ia sendiri. Azzam
mengajak Si Kasmun yang hanya lulus SMA dan sekarang jadi
pengangguran.
Pagi hari sebelum Azzam berangkat ke Kleco, Husna berkata
pada Azzam,
”Kak sebaiknya bakso cinta kakak dipatenkan. Agar nanti
tidak ada yang meniru. Jika ada yang meniru tanpa ijin kakak
punya kekuatan hukum yang kuat untuk menuntutnya. Husna
yakin bakso kakak nanti akan mendapatkan hati
pengunjungnya.”
”Cara mematenkan bagaimana?”
”Kita datang ke kantor yang mengurusi hak paten.
Nanti mereka yang akan mengurusi hak paten kita sampai
ke menteri kehakiman.” Jelas Husna.
”Baik kita patenkan secepatnya.”
Hari berikutnya warung bakso cintanya terus penuh
pengunjung. Jam tiga sore sudah kehabisan. Bakso dengan
bentuk hati memang belum ada di Surakarta. Dan yang datang
kebanyakan anak-anak muda. Mereka memang mencari sesuatu
yang beda.
Belum genap satu bulan ia sudah merasa bahwa tenda
296
warung bakso cinta harus ditambah besarnya. Ia menyewa tanah
di samping bakso cintanya, agar tendanya bisa dilebarkan.
Pengunjungnya agar tidak kecewa karena tidak dapat tempat
duduk. Setelah sukses di kampus UMS, maka Azzam melebarkan
sayap membuka cabang pertama di dekat UNS. Ia melihat Si
Kasmun bisa dipercaya untuk memegang yang di UMS, maka ia
sendiri yang memegang cabang UNS. Ia mengangkat dua
karyawan baru. Satu untuk menemaninya dan yang satu untuk
menemani Si Kasmun.
Cabang baru di UNS mendapat sambutan hangat dari
kalangan mahasiswa. Seorang mahasiswa usul pada Azzam agar
warung bakso cinta menjadi semacam warung apresiasi seperti
warung apresiasi di Jakarta. Di situ dibuatkan satu tempat bagi
mahasiswa atau seniman atau siapa saja yang akan
menampilkan karya seninya. Usul itu direspon baik oleh Azzam.
Azzam lalu meminta mahasiswa itu untuk merancang tempat
yang digunakan untuk apresiasi seni yang diusulkannya. Setelah
Azzam melihat dengan dibangunnya tempat itu akan semakin
memperkokoh ikon bakso cintanya, maka tempat apresiasi
segera diadakan.
Dan hasilnya sangat di luar dugaan. Warung bakso cinta
jadi tempat mangkal para mahasiswa, seniman dan masyarakat
luas. Untuk menjaga citra warung baksonya, ia meminta naskah
atau teks yang akan ditampilkan. Jika misalkan ada musisi yang
menampilkan jenis musik yang isinya bertentangan dengan
moral dan dakwah tidak segan segan ia untuk melarangnya.
Atau memberikan alternatif lagu lain yang isinya baik.
* * *
Tak terasa sudah tiga bulan Azzam membuka warung bakso
297
cintanya. Omsetnya perbulan bisa mencapai dua puluh juta. Kini
ia bisa membeli mobil sederhana tapi layak pakai. Ke mana-
mana ia memakai mobil itu. Untuk bakso ia bertahan untuk dua
warung dulu.
Otaknya terus berputar, ia mencari peluang bisnis yang lain.
Ia membaca nasihat seorang pengusaha sukses di sebuah
buku panduan bisnis agar tidak meletakkan semua telur dalam
satu keranjang. Sebab jika suatu ketika keranjang itu jatuh maka
telur akan pecah semua. Dan akibatnya akan sangat fatal. Maka
yang baik dalam bisnis adalah meletakkan banyak telur di
keranjang yang berbeda. Agar jika ada satu keranjang yang jatuh
masih ada telur lain yang selamat. Dan telur yang selamat itu
masih akan bisa menetas menjadi ayam dan bisa mendatangkan
telur baru. Azzam melirik bisnis foto kopi. Ia tahu memang
banyak pesaing. Tapi bisnis foto kopi di pinggir kampus hampir
bisa dikatakan tak bisa mati. Caranya sederhana saja, ia melihat
warung baksonya di UMS dan UNS selalu penuh pengunjung. Ia
menyewa tempat tak jauh dari warung bakso cinta yang ia
gunakan mendirikan pusat foto copy. Ia membeli dua mesin foto
copi bekas. Pusat foto copynya ia namakan
”Foto Copy Cinta”. Brosur dan promosi ia gencarkan lewat
warung bakso.
Hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Bisnis foto copynya
berjalan bagus. Meskipun tidak secepat Bakso Cinta.
* * *
Suatu malam, sepulang dari warung bakso, Lia berkata,
298
”Kak ada tamu.” Saat itu ia sudah rebah di kamarnya
karena letih. Ia bangkit menuju ruang tamu. Ternyata Furqan. Ia
bahagia sekali teman lamanya datang. Sudah lama memang ia
tidak ke pesantren Wangen.
Terakhir ke pesantren itu ya tepat saat acara pernikahan
Anna dengan Furqan dilangsungkan. Ia fokus dengan bisnisnya.
Untuk pengabdian ke masyarakat sementara ia mencukupkan
diri dengan mengisi pengajian di masjid kampung sendiri.
”Ada tamu istimewa rupanya. Pak Kiai Furqan. Sendirian?”
”Iya sendirian. Jangan memanggil Pak Kiai tho Zam. Aku
malu.”
”Lha kamu kan sudah jadi Kiai sekarang. Kan pengasuh
pesantren.”
”Jika aku Kiai, maka sesungguhnya kamu kan Kiaiku. Dulu
awal-awal di Mesir kamu yang sering aku jadikan tempat
bertanya. kamu yang sering menjelaskan isi diktat kuliah tho
sehingga aku lulus.”
”Sudah. Ini ada apa tho kok tiba-tiba datang membuat
kaget saya.”
”Saya datang atas nama pesantren Zam. Ini Pak Kiai Lutfi,
mertuaku, sering sakit akhir-akhir ini. Beliau memang agaknya
harus banyak istirahat. Lha untuk pengajian Al Hikam, banyak
masyarakat yang meminta engkau yang mengisi. Terus terang
sekarang Pak Kiai Lutfi hanya mengajar Subulus Salam saja. Lha
aku sendiri diminta mengganti Tafsir Jalalain. Untuk Al Hikam,
minta engkau. Terus terang ibu mertuaku juga cocok yang
mengisi engkau. Sebab Al
Hikam kan untuk masyarakat umum.
299
kamu lebih bisa berbahasa Jawa
yang baik daripada aku.”
”Aduh gimana ya? Terus terang aku sibuk Fur. Sungguh.
Gimana ya, waktuku sudah penuh Fur.” Jawab Azzam. Tiba-tiba
ada suara yang menyahut dari arah dalam.
”Tidak! kamu harus menyeimbangkan duniamu dengan
akhiratmu Zam! kamu harus punya waktu untuk mengamalkan
ilmumu dan menegakkan ajaran agamamu. Ya bisnis, ya juga
mengajarkan ilmu! Kalau kamu hanya memusatkan perhatianmu
pada bisnismu, Bu’e tidak ridha!”
Azzam kaget mendengar kalimat dari ibunya. Ia tahu apa
yang dikehendaki ibunya. Sebelum Azzam berkata, Furqan
duluan angkat suara,
”Iya apa yang dikatakan ibu benar Zam. Toh itu cuma satu
pekan satu kali saja.”
”Baiklah kalau begitu. Salamku buat Pak Kiai Lutfi dan Bu
Nyai.”
”Terima kasih Zam. Pekan depan langsung mulai ya Zam.”
”I
nsya Allah. Oh ya ngomong-ngomong sudah ada tanda-
tanda mau
dapat momongan belum?” Tanya Azzam sambil
tersenyum.
Furqan tergagap mendengar pertanyaan itu. Entah sudah
berapa kali ia mendengar pertanyaan itu dan banyak orang.
Keluarga besar Anna setiap kali bertemu dengannya juga
menyinggung hal itu. Ibunya sendiri dari Jakarta sering
menelpon dan menanyakan hal itu. Dan ia harus menjawab
dengan hati getir,
”Belum.”
300

Tidak ada komentar:

Posting Komentar