Minggu, 14 Juni 2009

Barakah Cincin Ibu

”Bagaimana Kak? Mau mencoba memberikan cincin itu
pada Eliana? Kalau kakak malu, biar Husna yang bilang sama
dia.”
”Na, hatiku masih bimbang.”
”I
nsya Allah dia bisa jadi isteri yang baik. Aku sudah baca
di koran
dia sudah berniat tidak akan melepas jilbabnya setelah
umrah.”
”Dunia yang kuimpikan rasanya berbeda dengan dunia
yang diimpikannya. Aku juga belum menerima kecantikan
isteriku setiap hari dinikmati jutaan orang. Di antara jutaan
orang itu mungkin ada yang membayangkan yang bukan-
bukan ketika melihat wajah isteriku di layar kaca. Entah kenapa
aku belum bisa. Mungkin aku ini kolot dan koneservatif. Ya
458
inilah aku. Jelas Azzam pada Husna.
”Husna paham yang Kak Azzam inginkan. Bagaimana
kalau Kak Azzam coba cari di pesantren. Kan ada ribuan
santriwati di Solo dan sekitarnya ini. Kakak minta tolong aja
sama pengasuhnya. Minta satu saja santriwatinya. Masak sih
tidak juga ada satu orang pun yang mau.”
“Mungkin ini juga ikhtiar yang harus kakak tempuh.”
“Ya coba saja Kak. Kata orang Arab yang sering Husna
dengar dari para ustadz man jadda wajada. Siapa yang
sungguh-sungguh akan mendapatkan apa yang
diinginkannya.”
”Benar Dik. Tapi enaknya ke pesantren mana ya?”
“Menurut Husna ya dimulai yang paling dekat dan paling
dikenal. Tak ada salahnya dicoba dulu Pesantren Wangen.”
”Masak muternya ke Pesantren Wangen lagi?”
”Kenapa memangnya?”
”Malu sama Kiai Lutfi.”
”Malu kalau dikira mau melamar anaknya yang janda? Ya
kakak jelaskan saja minta santriwatinya. Kakak jelaskan apa
adanya. Minta santriwati yang cocok untuk kakak. Pak Kiai
pasti akan bijak dan legowo. Banyak juga kok kak santriwati di
Wangen yang tak kalah dengan Vivi.” Husna mencoba
menyemangati kakaknya.
”Oh ya kak hampir lupa. Husna pernah hutang sama
459
Anna lima juta untuk biaya administrasi rumah sakit. Mumpung
ingat. Kakak bayarkan ya. Kalau bisa hari ini biar tidak lupa
lagi. Tidak enak rasanya. Sudah hampir satu tahun lho kak.
Jangan-jangan Anna sebenarnya perlu dengan uang itu tapi
malu menagihnya.”
“Baik nanti sore insya Allah kakak akan ke sana.”
* * *
Sore itu Kiai Lutfi dan Bu Nyai Nur membantu putrinya
Mengemasi dan merapikan barang-barang yang akan dibawa
terbang ke Cairo. Sudah satu tahun lebih Anna di Indonesia.
Tesis yang ditulisnya sudah dua pertiga. Tinggal sepertiga lagi
hendak dirampungkan di Mesir.
”Jangan lama-lama di sana ya Nduk?” Tanya Pak Kiai
Lutfi.
”I
nsya Allah Bah. Anna akan ber usaha secepatnya. Yang
sering jadi
kendala itu justru administrasi di Fakultas yang
sering berbelit dan molor Bah. Sering juga yang jadi kendala
adalah promotor yang sering terbang ke luar negeri. Sebab-
sebab itu yang seringkali membuat tesis jadi tidak selesai-
selesai. Ya doakan saja Bah.”
”Tak pernah putus Abah dan Ummimu berdoa untukmu
anakku. Oh jadinya naik apa ke Caironya?”
”Kata teman yang mengurus di Jakarta naik Etihad Bah.
Katanya itu sekarang yang paling murah.”
Mereka bertiga ada di ruang tengah. Ruang itu dengan
ruang tamu disekat dengan kaca riben hitam tebal. Sehingga
dari ruang tengah bisa melihat ruang tamu dan tidak
460
sebaliknya. Hanya bertiga mereka menata pakaian, oleh-oleh,
dan buku-buku yang akan dibawa Anna ke Cairo.
”Kalau di Cairo kamu rasa ada yang cocok untuk jadi
suami ya tidak apa-apa kamu nikah di sana Nduk. kamu kan
sudah janda, sudah lebih bebas menentukan pilihanmu. Nanti
Abah bisa kirim surat
taukil
ke KBRI untuk menikahkan
32
kamu.” Seloroh Pak Kiai Lutfi.
”Anna agak trauma dengan pilihan Anna Bah. Anna
sudah berjanji pada diri Anna sekarang Anna serahkan pada
Abah dan Ummi siapa yang akan mendampingi hidup Anna.
Sekarang Anna sudah tidak sedikitpun mempertimbangkan
fisik lagi. Ibaratnya kalau ada orang buta jadi pilihan Abah,
Anna akan terima dengan kelapangan hati.”Jawab Anna.
”Masak Ummi sama Abah mau memilihkan yang begitu
untukmu.” Tukas Bu Nyai Nur.
”Itu ibarat saja Mi. Tapi seandainya benar juga tidak ada
masalah. Orang buta, apalagi butanya sejak kecil malah tidak
banyak maksiat. Di Mesir banyak guru besar yang buta. Tapi
keilmuan dan ketakwaannya luar biasa.”
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-
tiba...”Assalamu ’a
laikum”.
Pak Kiai Lutfi, Bu Nyai dan Anna spontan melihat ke arah
pintu depan. Mereka agak kaget ketika tahu siapa yang datang.
Azzam. Setelah menjawab salam, Pak Kiai Lutfi langsung
bangkit dan menemui tamunya. Azzam mencium tangan Kiai
Lutfi dengan rasa ta’zhim. Anna melihat apa yang dilakukan
32
Surat kuasa mewakil kan
461
Azzam. Entah kenapa hati Anna berdesir-desir.
”Dari mana Zam?” Pak Kiai Lutfi membuka percakapan
sambil menyandarkan punggungnya di sofa yang terbuat dari
busa.
”Biasa Pak Kiai, dari warung bakso. Namanya juga
penjual bakso.”
”Wah besok kalau kamu punya anak bakal senang itu
anakmu. Tiap hari bisa makan bakso. Habis bakso kamu buka
saja warung pecel lele. Biar tiap hari makan Lele. Sampai
mukanya kaya Lele. He... he... he...!”
”Wah Pak Kiai ini bisa saja kalau bercanda.” Sahut Azzam
sambil tersenyum. Di dalam Bu Nyai Nur dan Anna tersenyum
mendengar cara Kiai Lutfi bercanda.
”Nduk, Abahmu itu bisa saja bercanda. Oh ya Nduk,
Ummi ke belakang dulu. Ummi lupa mengambil jemuran. Sri
belum pulang.” Kata Bu Nyai setengah berbisik.
”Biar Anna saja yang mengambilnya Mi.” Lirih Anna
“Tidak usah, biar Ummi saja. kamu teruskan saja
mengemasi barang-barangmu.”
”Bagaimana dengan kesehatanmu Zam?”
”A
lhamdulillah sudah baik semua Pak Kiai. Seperti yang
Pak Kiai
lihat, saya sudah bisa berjalan seperti semula. Tangan
yang patah sudah tersambung seperti semula. Dan tulang iga
yang patah juga sudah baik lagi. Rongent terakhir semuanya
sudah tak ada masalah menurut dokter. Hanya saja pen-nya
462
belum diambil. Mungkin ya diambil satu dua tahun lagi.”
”A
lhamdulillah kalau begitu. Aku senang mendengar nya.
Terus
ngomong-ngomong ini ada perlu apa kamu sore ini
kemari. Kok rasanya agak berbeda dengan biasanya?”
”Begini Pak Kiai, ternyata kami masih punya hutang sama
Anna. Hampir kelupaan. Mohon sampaikan maaf pada Anna.
Dulu Husna pernah pinjam uang lima juta pada Anna untuk
bayar administrasi rumah sakit. Ini saya datang untuk
membayar hutang itu.” Azzam menjelaskan maksud
kedatangannya.
Di dalam, Anna sangat berharap agar ayahnya menolak
uang itu. Agar uang itu dianggap lunas saja. Tapi Kiai Lutfi
justru menjawab,
”Ini namanya rezeki. kamu datang tepat waktu Zam.
Kebetulan Anna mau pergi jauh. Itu bisa untuk uang saku
baginya. Terima kasih Zam.”
”Pergi ke mana, kalau boleh tahu Pak Kiai?”
”Kembali ke Cairo. Dia mau menyelesaikan S2-nya.
”A
lhamdulillah, semoga segera selesai. Ummat ini
memerlukan ahli
fiqh seperti Anna. Kalau perlu dia harus
sampai doktor Pak Kiai. Saya sangat kagum padanya saat
melihatnya jadi moderator.”
”Di mana?”
”Di Auditorium Shalah Kamil. Bahasa Arab dan Inggrinya
bagus. Dia sampai jadi pembicaraan para mahasiswa di
463
kampus lho Pak Kiai. Sampai ada yang ingin menyuratinya.
Ada saja yang ingin meminangnya, dan lain sebagainya.
Namanya juga anak muda.”
”Dan kamu juga ikut membicarakannya?”
”Kalau saya ya beraninya dalam batin saja Pak Kiai. Lha
saya ini siapa, saat itu hanya dikenal mahasiswa yang tidak
lulus-lulus karena jualan bakso. Mana berani ikut ikutan
memmbicarakan dia.”
Anna jadi teringat dengan seminar sehari tentang Ulama
Permpuan
di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW,
PPMI, Wihdah dan
ICMI di Auditorium Shalah Kamil
Universitas Al Azhar. Sebuah seminar akbar yang dikuti oleh
mahasiswa Asia Tenggara yang ada di Mesir. Dan saat itu ia
didaulat untuk jadi moderatornya. Anna berkata dalam hati,
“Oh ternyata dia juga ikut seminar itu, pantas dia tahu.”
”O iya Pak Kiai, saya masih ada perlu satu lagi.” Kata
Azzam sambil memandang wajah Kiai Lutfi. Wajah itu tampak
begitu teduh dan sejuk.
”Apa itu?”
”Saya mau sedikit minta tolong pada Pak Kiai. Begini Pak
Kiai, cincin ini yang membeli dan memilih adalah almarhumah
ibu.” Kata Azzam dengan bibir bergetar. Jantungnya mulai
berdegup semakin kencang.
”Azzam sudah berikhtiar pelbagai macam jalan dan acara
untuk menemukan jari yang cocok memakai cincin ini.
Terakhir sudah terpasang cincin ini pada jari seorang gadis dari
464
Kudus. Dan tinggal menunggu hari akad nikah ternyata
musibah jadi penghalang. Cincin ini dikembalikan. Dan gadis
itu menikah dengan orang lain.”
”Pak Kiai, sore ini Azzam datang kemari juga dalam
rangka ikhtiar mencari jari siapa yang cocok dan pas menerima
cincin ini. Di sini ada ratusan santri perempuan tidak adakah
satu orang saja yang pantas dan mau memakai cincin ini?
”Pak Kiai, Azzam titipkan cincin ini pada Pak Kiai sebab
Azzam merasa berat untuk menyimpannya, begitu Pak Kiai
merasa ada yang pantas memakainya silakan Pak Kiai
pakaikan di jarinya. Azzam akan sami’na wa atha’na. Azzam
akan memejamkan mata dan ikut pada apa yang Pak Kiai
pilihkan.”
Dengan penuh pasrah Azzam menyerahkan cincin yang
dibelikan ibunya itu pada Kiai Lutfi. Tak jauh dari situ, hanya
beberapa meter saja jaraknya, di balik kaca hitam pekat tak
terlihat, seorang perempuan bermata indah mendengarkan
kalimat-kalimat Azzam dengan hati penuh harap. Penuh harap
agar cincin itu disematkan saja dijarinya. Kiai Lutfi langsung
paham apa maksud Azzam menyerahkan cincin itu padanya.
”Nak, aku mau cerita, sebuah kisah nyata, maukah kamu
mendengarkan?” Kata Kiai Lutfi.
”Ya Pak Kiai, dengan senang hati dan lapangnya dada.”
”Ada seorang gadis yang halus hatinya. Patuh dan bakti
pada kedua orang tuanya. Apapun yang diinginkan orang
tuanya pasti dikabulkannya. Gadis itu shalihah insya Allah.
Gadis itu sangat takut pada Tuhannya. Cinta pada nabinya.
Bangga dengan agama yang dipeluknya. Suatu hari gadis itu
465
dilamar pemuda yang dianggapnya akan membahagiakannya.
Ia menerima lamarannya. Kedua orang tuanya merestuinya.
Nikahlah gadis itu dengan sang pemuda. Hari berjalan. Bulan
berganti bulan. Orang tuanya beranggapan bahwa putrinya
telah menemukan kebahagiaannya. Tenyata anggapan itu
tidak sama dengan kenyataan. Enam bulan menikah pemuda
yang menikahinya tidak mampu melakukan tugasnya sebagai
suami. Gadis itu masih perawan. Masih suci. Pemuda itu lalu
menceraikannya. Sejak sekarang pertanyaanku. Maukah kamu
menikah dengan gadis itu?”
Hati Anna bergetar hebat. Air matanya meleleh. Hatinya
penuh harap semoga Azzam menerima gadis itu. Sebab gadis
yang diceritakan Abahnya pada Azzam adalah dirinya.
”Dia shalihah Pak Kiai?”
”I
nsya Allah.”.
“Jika Pak Kiai yang menjamin, maka saya mau!”
”Kau tidak ragu?”
”Saya mau tanya pada Pak Kiai apa dia menurut Pak Kiai
pantas untuk saya dan saya pantas untuknya?”
”I
nsya Allah.”
”Kalau begitu saya tidak ragu sama sekali Pak Kiai.”
”Baiklah kalau begitu shalatlah maghrib di sini. Dirimu
akan aku nikahkan dengan gadis itu bakda shalat maghrib.
Yang jadi saksi adalah masyarakat yang jamaah di sini dan
para santri. Maharnya cincin emas ini.”
466
”Masalah surat-surat resminya Pak Kiai?”
”Itu gampang. Besok langsung diurus di KUA. Ketua KUA
nya malah biasanya shalat maghrib di sini.“
”Kenapa tidak besok sekalian Pak Kiai?”
”Cincinmu ini amanah bagiku Nak, aku khawatir nyawaku
tidak sampai besok pagi sehingga aku tidak bisa menunaikan
amanahmu.”
”Kalau boleh tahu, gadis itu asal mana, dan siapa
namanya Pak Kiai?”
”Dia asli Wangen sini, dia putriku sendiri namanya Anna
Althafunnisa.”
”Anna Pak Kiai?”
”Iya. Apakah kamu keberatan aku nikahkan dengan
Anna?”
”Tidak Pak Kiai.” Jawab Azzam dengan linangan air mata.
”Tapi Pak Kiai?”
”Tapi apa?”
”Bagaimana dengan iddahnya.”
”Sudah lama terlewati masa iddahnya. Kamu tak usah
mengkhawatirkan masalah itu. Dia telah menikah tapi sampai
sekarang masih perawan. Dia janda, tapi janda kembang.
467
Janda yang mahkota kewanitaannya masih utuh. Dia sama
saja belum pernah menikah sebenarnya.”
”Maaf apa sebaiknya tidak ditanyakan dulu ke keluarga
Furqan. Siapa tahu Furqan sudah sembuh. Terus ingin rujuk
pada Anna. Dan siapa tahu sebenarnya Anna ingin rujuk pada
Furqan. Sebab Furqan itu teman baik saya, Pak Kiai. Saya
tidak ingin menikah di atas penderitaan orang lain. Apalagi
teman saya sendiri.”
”Anna sudah berkali-kali bilang tidak mungkin lagi mau
rujuk pada Furqan. Dan Anna sudah menyerahkan urusan
jodohnya pada Abahnya ini. Dia bahkan bilang seandainya
orang buta sekalipun yang aku bawakan padanya, dia akan
taat. Jadi tidak ada masalah sama sekali.”
”Apa harus habis maghrib ini Pak Kiai?”
”Apa kamu tidak siap?” Tantang Pak Kiai Lutfi.
Di balik dinding kaca hitam, Anna Althafunnisa menahan
harunya. Ia mendengar percakapan Azzam dengan Abahnya
dengan dada bergetar. Ia sangat berharap pernikahannya
dengan Azzam benar- benar terjadi setelah shalat maghrib.
”Baik, saya siap Pak Kiai!” Jawab Azzam mantap.
Anna langsung sujud syukur dengan tubuh bergetar karena
merasakan anugerah yang datang begitu tiba-tiba. la teringat
kembali pertemuannya dengan Azzam pertama kali waktu
ditolongnya dengan taksi. Ia ingat kembali saat ia menanyakan
namanya;lalu ia menunduk dan hanya memperkenalkan
namanya dengan mengatakan: Abdullah. Ia sangat berteri
kasih dan kagum pada pemuda itu ketika itu. Sampai kini
468
pemuda itu akan menikahinya. Sementara Azzam berusaha
keras untuk menahan air matanya. Ia tidak mau air matanya
meleleh di depan calon mertuanya. Ia ingat pertama kali
mendengar nama Anna dari Pak Ali, sopir KBRI. Lalu ia cari
informasi. Ternyata Anna adalah bintangnya mahasiswi
Indonesia yang ramai dibicarakan dan didambakan orang. Ia
nekat meminangnya lewat Ustadz Mujab, tapi Ustadz Mujab
memberikan jawaban yang tidak pernah dilupakannya.
Ia masih ingat betul kata-kata Ustadz Mujab:
“A
llahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh
aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak
menghendaki aku bisa membantumu kali ini. Anna
Althafunnisa masih terhitung sepupu denganku. Aku tahu persis
keaadaan dia saat ini. Sayang kamu datang tidak tepat pada
waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah
dilamar oleh temanmu sendiri.”
Allahlah yang mengatur hidup ini. Kalau memang jodohku
adalah Anna Althafunnisa seperti apapun berliku adanya maka
akan sampai pada jodohnya. Itulah yang ada di benak Azzam.
Meski ia berusaha menahan,tapi matanya tetap berkaca-kaca.
Langit cerah. Ufuk barat memerah. Angin berhembus.
Daun mangga jatuh. Senja bertasbih. Burung- burung pulang
ke sangkarnya dengan bertasbih. Para santri di masjid ada
yang menghafal Alfiyah, ada yang membaca Al Qur’an, ada
yang membaca ma’tsurat, dan ada juga yang memilih duduk
menghadap kiblat dengan bertasbih.
Azan maghrib berkumandang. Azzam menjawab panggilan
azan dengan hati bergetar. Jiwanya ia pasrahkan semuanya
kepada Allah. Sementara Anna bersiap dengan mukena
469
putihnya. Ia larut dalam zikir mengagungkan Allah. Senja itu
langit cerah. Angin mengalir dari sawah. Bintang-bintang
bertasbih. Shalat didirikan. Selesai shalat Kiai Lutfi naik
mimbar, setelah membaca hamdalah dan shalawat pengasuh
pesantren itu memberikan pengumuman singkat,
”J
amaah shalat maghr ib, santri-santriku yang aku sayangi.
Malam ini pengajian tafsir Jalalain waktunya diganti bakda Isya.
Insya Allah bakda maghr ib ini akan ada peristiwa bersejarah
yang penting. Yaitu saya akan menikahkan Anna Althafunnisa
dengan Khairul Azzam. Saya mohon kepada semua yang ada
di masjid ini untuk menjadi saksi!”
Setelah itu Pak Kiai turun dan memanggil Azzam untuk
maju ke depan. Azzam maju dengan langkah gemetaran. Lebih
dari seribu mata santri memandang ke arahnya. Pak Kiai
duduk di depan mihrab. Azzam duduk tertunduk di
hadapannya. Pak Kiai memanggil seorang santri senior
bernama Hamid, seorang pria berumur empat puluh lima
tahunan bernama Pak Fadlun. Pak Fadlun adalah kepala KUA
Kecamatan Polanharjo. Sebelum akad Pak Kiai berkata pada
Pak Fadlun,
“Tolong Pak Fadlun sampeyan jadi saksi, dan sekalian
kamu catat dan kamu buatkan surat nikahnya. Persyaratan
berkas- berkasnya menyusul ya.”
”Inggih Pak Kiai.” Jawab Pak Fadlun.
Azzam mendengar percakapan itu. Hatinya semakin
mantap. Di lantai dua, Anna menanti detik-detik
membahagiakan itu dengan tidak sabar. Ia segera ingin resmi
jadi isteri Azzam, agar status jandanya segera hilang.
470
Pak Kiai memulai prosesi akad nikah. Sebelumnya ia
membatakan khutbah nikah secara singkat. Semua dalam
bahasa Arab. Khutbah nikahnya baginda Nabi ketika
menikahkan Fatimah dengan Ali. Khutbah yang ditulis banyak
ulama dalam kitab-kitab fiqh. Lalu Kiai Lutfi berkata kepada
Azzam,
”Ya Khairul Azzam,
anikahtuka wa
tazwijatuka binti Anna
Althafunnisa bi mahri al khatam min dzahab haalan”
3 3
”Q
iiiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur
haalan”
Jawab
Azzam spontan. Di lantai dua Anna langsung
34
memeluk Umminya yang ada di samping. Ibu dan anak larut
dalam tangis bahagia.
”Ummi, Anna sudah punya suami lagi. Anna tidak janda
lagi. Dan suami Anna kali ini adalah orang yang sebenamya
selama ini Anna cintai.” Kata Anna setengah berbisik pada
ibunya.
”Iya Nduk, alhamdulillah.”
Selesai akad Pak Kiai membaca doa, yang diamini semua
santri yang memenuhi masjid itu. Setelah itu para santri
menyalami Azzam dengan senyum mengembang. Pak Kiai
hendak membawa Azzam ke rumah untuk menemi isterinya.
33
tunai.”
471
Azzam menjawab,
“Perkenankan saya i’tikaf Pak Kiai sampai Isya.”
”Jangan panggil Pak Kiai lagi. Panggillah Abah. Sekarag
kamu menantuku Zam.”
“Baik Abah.”
Pak Kiai tetap pulang, dan meminta isteri dan anak
putrinya menyiapkan sesuatu yang bisa digunakan untuk
menyambut sang menantu setelah shalat Isya’.
472

Tidak ada komentar:

Posting Komentar