Minggu, 14 Juni 2009

Belajar Dari Jalan

Azzam tidak perlu waktu lama untuk menyatu dengan
masyarakat. Tujuh hari di rumah ia telah kembali akrab
dengan hampir semua orang di kampungnya. Ia menyatu
dengan mereka. Tak ada jarak antara dirinya dan mereka Ia
tidak pernah merasa berbeda dengan mereka. Tidak
sedikitpun terbersit dalam hatinya bahwa ia adalah seorang
mahasiswa dari Mesir yang lebih baik dari mereka. Azzam
merasa ia sama dengan mereka. Profesinya tidaklah berbeda
dengan orang-orang di sekelilingnya.
Hikmah yang ia dapat dari bertahun-tahun jualan
tempe dan bakso adalah bahwa ia merasa hanyalah seorang
penjual tempe yang tidak boleh merasa lebih atau lebih baik
dari orang lain. Kang Jarwo yang jualan ketoprak keliling.
Kang Birin yang buka salon pangkas rambut di pojok pasar
Kartasuro. Pak Huri yang buka bengkel motor di depan
200
STAIN. Semua ia anggap sama bahkan lebih baik dari
dirinya. Mereka ia anggap lebiKmemiliki pengalaman hidup.
Juga Kang Paimo yang waktu kecil dulu sering bermain
gobak sodor dengannya kini menjadi sopir truk.
la merasa dirinya dengan Kang Paimo sama saja. Kang
Paimo sering ke luar kota. Paling sering ke Jakarta. Ia pernah
jadi sopir truk ikan di Demak. Majikannya seorang juragan
ikan.
Pernah suatu malam, sambil minum kopi panas di
gardu ronda Azzam mendengarkan cerita Kang Paimo. Ada
empat orang yang ronda malam itu Kang Paim Kang Qadir,
Si Badrun dan Azzam. Kang Paimo bercerita dengan penuh
semangat. Sementara Azzam, Kang Qadir, dan Si Badrun
diam mendengarkan dengan seksama.
"Zam, kamu tahu nggak sopir yang benar-benar sopir
adalah sopir truk ikan. Kalau orang belum pernah jadi sopir
truk ikan belum menjadi sopir sejati. Orang yang pernah jadi
sopir truk ikan berarti ia pernah jadi raja jalanan.
Bayangkan Zam, dulu tiga tahun jadi sopir truk ikan.
Tiga kali aku kecelakaan, tapi alhamdulillah selalu selamat."
“Apa hebatnya sopir truk ikan Kang?" Tanya Azzam.
Kang Paimo menjawab,
“Hebatnya, sopir truk ikan itu harus selalu cepat dan
ngebut sepanjang jalan. Harus selalu mendahului dan
menyalip mobil lain. Jalan raya ibarat medan lomba balapan.
Dan sopir truk ikan harus menang. Sebab mengejar waktu.
Bayangkan saya dulu jadi sopir truk ikan milik juragan ikan di
Demak. Saya berangkat dari Demak habis shalat maghrib
dan harus sampai Pasar Minggu Jakarta pukul tiga pagi.
Tidak boleh terlambat. Kalau lerlambat ikannya bisa layu,
tidak segar lagi, dan para pembeli sudah pada pergi.
Sepanjang jalan itu saya ngebut.
Selalu tancap gas. Belok sekalipun saya tetap tancap
201
gas.
Dan itu memerlukan nyali yang besar. Saya harus jadi
raja yakin akan jaya usahanya. Ia yakin dengan inovasi ia
akan mampu meraih pelanggan sebanyak-banyaknya.
Namun setelah ia pikir dengan seksama lebih baik
memulai usaha itu setelah ia benar-benar cukup menguasai
medan. Ia harus lebih matang melakukan penelitian.
Dengan penelitian yang mendalam ia akan mampu
melihat peluang-peluang bisnis yang lain.
* * *
Hari menjelang petang. Azzam baru pulang dari
Pabelan. Ia baru saja mengakses internet untuk membuka
emailnya. Persis seperti yang ia perkirakan. Dua hari lagi
kontainer Pak Amrun Zeinu datang. Sebelum pulang ke
Indonesia, ia telah membuat kesepakatan bisnis bahwa ia
akan menjadi penanggung jawab pendistribusian buku buku
mahasiswa Indonesia yang dikirim lewat Pak Amrun.
Ia bertanggung jawab untuk wilayah Jawa Tengah,
Jogja dan Jawa Timur.
Dari email yang ia baca, ia harus mengirim buku ke tiga
puluh satu alamat. Sore itu setelah mandi ia langsung ke
masjid. Habis shalat ia langsung ke rumah Kang Paimo.
la mengajak Kang Paimo ke Jakarta untuk mengambil
dua ratus sepuluh kardus berisi buku dan kitab, dua hari lagi.
Lalu mengantarkannya ke tigapuluh satu alamat. Kang
Paimo sangat bahagia mendapat tawaran Azzam. Apalagi
Azzam membayarnya dengan profesional.
Dan benar. Dua hari berikutnya Azzam bersiap untuk
pergi ke Jakarta. Kepada ibu dan adik-adiknya Azzam pamit
untuk empat hari lamanya. Kang Paimo datang menjemput
Azzam dengan ditemani Si Kamdun. Si Kamdun adalah
202
teman kerja Kang Paimo yang paling giat dan andal. Si
Kamdun juga bisa mengendarai truk, sehingga apabila Kang
Paimo capek Si Kamdun bisa menggantikannya.
Mereka bertiga berangkat selepas shalat Ashar. Kang
Paimo mengemudikan truknya sambil memberi pengara han
kepada Azzam cara mengendarai mobil yang baik.
Azzam yang sudah beberapa kali berlatih semakin
paham.
"Yang penting praktik bukan teori Zam. Nanti suatu
ketika ada kesempatan kamu harus praktik langsung." Kata
Kang Paimo.
Azzam menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Kang Paimo mengendarai truk itu dengan kecepatan
sedang. Karena jalan dari Solo ke Jakarta cukup padat.
Banyak sekali bus yang beriringan menuju Jakarta.
Ketika truk sampai di Batang, Kang Paimo minta Si Kamdun
gantian yang duduk di kursi sopir. Truk melaju delapan puluh
kilometer perjam. Sampai di Indramayu istirahat di sebuah
warung kopi setengah jam. Lalu berjalan lagi.
Gantian Kang Paimo yang mengemudi. Kali ini Kang
Paimo mengemudi dengan kecepatan tinggi seperti orang
kesetanan.
"Kang tidak usah ngebut! Ini bukan truk ikan!" Protes
Azzam
“Oke Zam. Sorry." Sahut Kang Paimo sambil
mengurangi gasnya.
Truk itu sampai di rumah Pak Amrun pukul enam pagi.
Dua ratus sepuluh kardus ukuran kecil dan besar dinaikkan.
Sebelum menata ratusan kardus buku itu Kang Paimo minta
daftar alamat yang akan dikirim. la berkata kepada Azzam
“Mana Zam alamat-alamatnya?" Azzam lalu
menyerahkan daftar alamat yang dituju.
Kang Paimo memperhatikan dengan serius. Setelah
203
sesaat lamanya menganalisa, Kang Paimo berkata,
“Setelah kulihat maka kita akan mengambil rute seperti
ini: Tegal, Purwokerto, Cilacap, Jogja, Klaten, Sragen, Ngawi,
Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus,
Kendal, baru pulang ke Kartasura.
Bagaimana Zam?"
“Aku ikut saja, Kang Paimo kan lebih paham."
“Kalau begitu cara menyusunnya alamat paling akhir
kita masukkan dulu. Sehingga letaknya paling dalam sana.
Begitu seterusnya. Dan alamat yang rencananya paling
awal kita datangi kita letakkan di depan. Sehingga kita enak
nanti ketika menurunkan."
“Wah benar itu Kang. Cerdas juga sampeyan."
“Lho Paimo itu sejak dulu cerdas Zam. Hanya karena
nasib saja putus sekolah. Kalau Paimo ini dibiayai sampai
lulus kuliah mungkin sudah jadi dosen sekarang. Bukan sopir
truk."
“Memang sudah diatur oleh Allah Kang. Kalau
sampeyan jadi dosen lha siapa yang akan aku ajak jalan
jalan
mengantar buku-buku ini? Kang selama kita bersyukur apa
pun pekerjaan kita insya Allah diridhai Allah. Dengan ridha
Allah jadi barakah. Yang mahal itu barakahnya itu lho Kang."
“Pukul tujuh truk itu kembali berjalan. Kang Paimo
membawa truknya ke tempat seorang teman akrabnya di
Bekasi Barat. Mereka sampai di sana pukul sembilan.
"Kita mandi, makan dan istirahat di sini. Siang ini harus
tidur. Nanti sore baru kita lanjutkan. Azzam jadi tambah
mengerti dunia para sopir. Siang itu Azzam tidur pulas. Jam
dua siang ia bangun. la shalat dengan menjamak dan
mengqashar. Lalu tidur lagi. Jam setengah empat bangun
mandi dan memulai perjalanan panjang.
Tengah malam mereka sampai di Tegal. Saat melewati
kantor polisi Kang Paimo turun dan menanyakan dua buah
204
alamat yang ada dalam daftar itu. Seorang polisi yang
sedang berjuang melawan kantuk menjelaskan rute menuju
dua alamat itu dengan menguap berkali-kali.
Pukul setengah satu mereka tiba di alamat pertama.
Terpaksa membangunkan pemilik alamat yang sedang
tidur. Tapi begitu yang punya rumah bangun dan
mengetahui yang datang adalah mahasiswa dari Cairo yang
mengantar buku-buku anaknya yang masih di Mesir mereka
senang. Mereka terus banyak bertanya tentang Mesir.
Tentang keadaan anaknya kira-kiranya. Azzam menjelaskan
dengan penuh kesabaran. la membayangkan seperti itulah
kira-kiranya ibunya dulu bertanya kepada teman-temannya
yang ia titipi sesuatu untuk disampaikan pada ibunya.
Pukul setengah dua sampai di alamat kedua. Lalu
tancap gas ke Purwokerto dan Cilacap. Mereka sampai di
Cilacap saat subuh tiba. Mereka shalat subuh dahulu sebelum
menurunkan barang di alamat yang dituju. Kang Paimo
sudah tidak kuat maka digantikan oleh Si Kamdun.
Langsung tancap gas ke Jogjakarta. Baru sampai
Kebumen, Kang Paimo minta berhenti istirahat.
"Kita berhenti dulu Zam, istirahat. Di depan ada rumah
makan besar yang ada mushallanya. Kita bisa tidur di
mushalla itu beberapa jam saja." Azzam mengiyakan usul
Kang Paimo. Lebih baik istirahat dulu agar tubuh kembali fit
dan segar, daripada memaksakan diri yang bisa berakibat
fatal. Mereka istirahat cuma dua jam. Kang Paimo dan Si
Kamdun bisa tidur begitu nyenyak dan tenang. Mereka
bangun, makan, dan melanjutkan perjalanan.
Pukul tiga sore mereka sampai di Jogja. Ada tiga
alamat yang harus mereka datangi. Yaitu di Kotagede,
Krapyak, dan Kalasan. Mereka langsung menuju Klaten.
"Coba kamu tengok Zam. Klaten berapa tempat?" Ujar
Kang Paimo sambil memindah gigi truk agar melaju lebih
205
cepat.
"Cuma satu Kang."
“Di mana?"
“Pesantren Daarul Qur’an, Polanharjo."
“Oh aku tahu. Itu pesantrennya Kiai Lutfi. Aku dulu
sering diajak Pak Mahbub mengaji pada Kiai Lutfi kalau hari
Rabu."
“Mengaji apa Kang?"
“Kitab Al Hikam."
“Sekarang masih sering ke sana Kang?"
“Jarang. Aku sering luar kota sih Zam."
“Ya kalau pas di rumah mbok ya disempatkan ngaji
Kang."
“Insya Allah, masak ngejar dunia terus ya Zam."
“Oh ya Zam. Aku dengar putrinya Kiai Lutfi kan kuliah
di Cairo juga tho. kamu kenal?"
“Kenal Kang."
“Kalau belum punya calon, kamu lamar saja Zam.
Orang orang bilang, putrinya Pak Kiai Lutfi itu cantik lho
Zam."
“Aku tahu itu Kang. Tapi dia sudah tunangan. Minggu
depan dia nikah."
“Wah berarti bukan rizkimu Zam."
“Kang Sampeyan tahu tidak jumlah anak Kiai Lutfi.
Semuanya berapa?"
“Setahuku cuma dua. Yang pertama laki-laki dan
sekarang diambil menantu oleh Kiai Hamzah Magelang. Dan
tinggal di Magelang. Yang kedua ya yang kuliah di Cairo itu."
Pukul setengah delapan malam, truk itu sampai di Pasar
Tegalgondo. Kang Paimo belok kiri ke arah Janti.
Kang Paimo lalu tancap gas. Jalan sepi. Di depan
tampak sebuah mobil sedan. Azzam kenal dengan mobil itu.
"Pelan Kang. Kalau tidak salah itu mobilnya Anna, putri
206
Kiai Lutfi." Kata Azzam.
Kang Paimo agak teliti melihat ke depan. Truk itu
berjalan hanya sepuluh meter di belakang sedan. Sangat jelas
sekali sedan itu Toyota Vios.
“Yang mengendarai kelihatannya perempuan berjilbab
Zam."
“Aku yakin itu Anna, Kang." Sedan itu sampai di
pertigaan Polanharjo ambil kiri.
Truk terus mengikuti. Sedan Vios itu terus berjalan
sampai di pertigaan lagi, ambil kiri. Dan truk itu juga
mengikuti.
Masuk di perkampungan desa Wangen. Hati Azzam
entah kenapa berdesir, jantungnya berdegup lebih kencang.
Sedan itu masuk gerbang pesantren. Truk juga masuk.
Truk parkir tak jauh dari sedan.
Pengemudi sedan keluar. Perempuan tinggi semampai
berjilbab biru muda. Azzam terperanjat. la seperti melihat
gadis yang ia tolong di Cairo. Perempuan itu menoleh ke
arah truk. Dalam terang cahaya lampu truk tampak benar
pesona kecantikannya. Perempuan itu memang Anna
Althafunnisa. Azzam turun, lalu dengan hati bergetar
melangkah ke arah Anna. Putri Kiai Lutfi itu terhenyak
melihat siapa yang datang.
"Assalamu'alaikum,
maaf saya mau mengantar buku
buku dari Cairo yang dikirim lewat kontainer Pak Amrun."
Kata Azzam pada Anna.
"Wa... wa... wa'alaikum salam.
Oh ya Mas Azzam
.
Turunkan saja di rumah."
Anna agak gugup dan tidak percaya kalau yang
mengantar buku-bukunya adalah Azzam.
Anna bergegas masuk rumah. Ia membuka pintu ruang
tamu selebar-lebarnya. Anna lalu bergegas ke masjid
memberi tahu ayahnya yang saat itu sedang membacakan
207
kitab Fathul Wahhab pada para pengurus dan santri senior.
Azzam membantu Kang Paimo dan Si Kamdun
menurunkan kardus-kardus berisi buku dan meletakkan nya
di ruang tamu kediaman Kiai Lutfi. Anna dan Kiai Lutfi
sampai di samping truk. Mereka berdua melihat kesibukan
tiga orang itu. Anna mengamati Azzam dengan seksama. Ada
rasa kagum bercampur heran masuk dalam hatinya. Kagum
ada pemuda yang ulet dan pekerja keras seperti Azzam.
Pemuda yang tidak malu untuk meng angkat kardus-kardus
seperti itu demi ibu dan adik adiknya. Dan heran, Azzam
sama sekali tidak canggung menyatu bersama dengan kedua
orang temannya, yang ia pastikan adalah seorang sopir dan
kernetnya.
Begitu melihat Pak Kiai Lutfi, Azzam menurunkan
kardusnya lalu beranjak menjabat dan mencium tangan
ayahanda Anna itu. Apa yang dilakukan Azzam diikuti dua
temannya.
"Azzam ya?" Sapa Pak Kiai.
"Inggih Pak Kiai."

Aku sudah tahu banyak tentangmu. Ayo kita masuk
dulu. Kita duduk dan ngobrol-ngobrol dulu."
“Maaf Pak Kiai, ini biar kami selesaikan dulu."
“Oh ya. Saya tunggu di ruang tamu sana ya?"
“Baik Pak Kiai." Kiai Lutfi dan Anna masuk rumah. Pak
Kiai meng hitung jumlah kardus yang telah dimasukkan ke
ruang tamu. Sementara Anna ke dapur membuat minuman
dan mencari makanan yang bisa dikeluarkan. Tak lama
kemudian seluruh kardus milik Anna selesai diturunkan.
Keringat Azzam berkucuran, demikian juga dua
temannya.
Mereka duduk-duduk di beranda.
"Ayo Zam, masuk! Ajak teman-temanmu itu masuk!"
Perintah Pak Kiai.
208
"Kami masih keringatan Pak Kiai." Jawab Azzam pelan.
"Tidak apa-apa ayo, jangan duduk di situ. Ini sudah
ada tempat duduk. Nanti AC-nya aku hidupkan biar sejuk."
Desak Pak Kiai.
"Baik Pak Kiai." Azzam dan kedua temannya masuk.
Azzam membuka topinya. Rambut dan wajahnya tampak
sedikit kusut dan awut-awutan.
"Sudah dari mana saja Zam?" Tanya Pak Kiai.
Azzam lalu menceritakan perjalanannya. Sejak
berangkat sampai ke Jakarta. Lalu ke Tegal, Purwokerta,
Cilacap dan Jogja. Pak Kiai Lutfi mengangguk-anggukkan
kepala.
"Terus setelah dari sini mau ke mana lagi Zam?"
“Wah masih banyak lagi Pak Kiai. Perjalanannya masih
panjang. Yang kami tempuh baru sepertiga perjalanan. Ada
tiga puluh satu alamat. Kami baru mengantarkan di sebelas
alamat termasuk sini. Jadi masih ada dua puluh alamat lagi."
“Yang sudah mana saja?" Tanya Pak Kiai lagi.
"Tegal dua. Purwokerto tiga. Cilacap dua. Jogja tiga.
Dan Klaten, sini, satu." Jawab Azzam
“Dan yang belum tersebar di Sragen, Ngawi, Madiun,
Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang, Kudus, dan Kendal
Pak Kiai." Lanjut Azzam menjelaskan rute yang akan
ditempuhnya sekalian.
"Wah kamu hampir keliling seluruh Jawa Zam."
“Begitulah Pak Kiai, demi mengais rizki Allah."
“Semoga Allah memberkahi." Anna keluar membawa
nampan berisi empat gelas minuman segar berwarna kuning.
Gadis itu meletakkan gelas ke meja satu per satu
dengan hati-hati. Azzam menunduk, tapi kedua matanya
tidak bisa untuk tidak memperhatikan jari-jari Anna
mengambil dan meletakkan gelas. Jari-jari itu putih bersih
dan lancip. Jari-jari yang indah. Azzam beristighfar dalam
209
hati, ia merasa telah melakukan dosa dengan menikmati
keindahan jari-jari lentik itu. Anna kembali masuk ke
belakang.
"Silakan diminum Nak Azzam. Kalau tidak salah ini
sirup Markisa asli Brastagi Medan. Kemarin yang membawa
kakaknya Anna yang di Magelang. Dia kan pergi ke Medan
mengunjungi adik isterinya yang kuliah di USU. Pulang bawa
sirup Markisa ini. Segar lho. Ayo!" Azzam, Kang Paimo, dan
Si Kamdun mengambil gelas yang ada di hadapannya dan
meminumnya. Minuman itu dingin. Mereka yang kehausan
dan kegerahan sangat merasakan kenikmatannya.
"Oh ya ngomong-ngomong kalian sudah makan
belum?" Tanya Pak Kiai Lutfi.
"Mm... mm..." Azzam merasa kikuk mau menjawab.
"Aku tahu kalian belum makan. Paling terakhir kalian
makan tadi siang. Kalau tidak di Jogja mungkin di Kebumen."
Azzam diam. Pak Kiai Lutfi bisa menebak ke kikukannya.
"Nduk, Anna! Siapkan makan yang enak!" Seru Kiai
Lutfi sambil menoleh ke belakang.
"Inggih Bah." Jawab Anna pelan, tapi jelas sampai ke
ruang depan.
"Aduh tidak usah repot-repot Pak Kiai." Ucap Azzam
basa-basi.
"Tidak. Kalian tidak boleh keluar dari rumah ini kecuali
sesudah makan. Biar Anna yang menyiapkan. Aku juga ingin
tahu seperti apa masakan putriku. Biasanya kan ada
khadimah dan Umminya,
jadi dia santai, tidak perlu masak.
Katanya sih kalau di Cairo masak sendiri. Aku ingin
tahu seperti apa yang akan ia hidangkan. Ini kebetulan dua
khadimah yang biasanya membantu sedang tidak ada. Yang
satu sedang pulang dan yang satunya ikut sama Umminya
Anna ke Magelang, ke rumah kakaknya." Kiai Lutfi
menjelaskan dengan santai ceplas-ceplos pada ketiga
210
tamunya. Suara Kiai Lutfi itu agak keras, sehingga terdengar
sampai ke belakang. Anna mendengarnya dengan perasaan
malu dan tertantang. Malu seolah-olah selama ini ia hanya
anak Ummi, tidak berbuat apa-apa.
Semua telah disediakan. Meskipun kenyataannya
begitu.
Tapi hal itu, entah kenapa membuat dirinya malu.
Sebab di sana ada Azzam. Dan ia tertantang, ia akan
membukti kan pada ayahnya bahwa ia adalah putri ayahnya
yang bisa memasak enak.
"Abah belum tahu kalau aku bisa masak na si goreng ala
Pattani Thailand!" Desis Anna dalam hati sambil
tersenyum.
Ia belajar membuat nasi goreng yang unik itu dari
Jamilah, gadis asli Pattani saat masih di Alexandria. Tadi sore
ia melihat di nasi rice cooker masih penuh dan kulkas ada
bahan yang lengkap untuk masak nasi goreng ala Pattani. Ia
memang sudah merencanakan membuat nasi goreng untuk
dirinya sendiri malam ini.
Lima belas menit kemudian Anna keluar dengan
membawa hasil masakannya. Anna mengeluarkan tiga piring
yang isinya tampak sebagai telur dadar berbentuk segi
empat. Kiai Lutfi mengenyitkan keningnya.
"Silakan Mas Azzam!" Anna mempersilakan.
"Apa ini Nduk, cuma telur dadar begini?" Ucap Kiai
Lutfi. Anna hanya tersenyum dan kembali masuk. Ia tidak
menjawab pertanyaan Abahnya.
"Setahu saya ini namanya nasi goreng Pattaya. Nasi
goreng khas muslim daerah Pattani di Thailand." Justru
Azzam yang menerangkan. Azzam mengambil piring itu dan
menyendok dadar telur persegi empat. Ternyata di dalamnya
ada nasi goreng yang ada cacahan daging ayamnya. Pak Kiai
Lutfi jadi takjub.
211
"Nasinya dibungkus telur ya. Kok bisa ya?" Heran Kiai
Lutfi.
Azzam menyantap dengan lahap. Ia harus mengakui
masakan Anna lezat. Ia jadi iri pada Furqan, ia merasa
Furqan benar-benar pria paling beruntung di dunia. Anna
tidak hanya cerdas, dan berprestasi secara akademik. Gadis
itu ternyata juga jago masak.
Kang Paimo dan Si Kamdun juga makan dengan lahap.
"Wah, luar biasa. Ini enak betul. Gurih! Dan unik Pak
Kiai!" Komentar Kang Paimo sambil mengacungkan
jempolnya pada Kiai Lutfi. Kiai Lutfi menelan ludahnya.
la sangat penasaran pada masakan putrinya itu.
Kenapa cuma tiga piring? la malu mau minta pada putrinya.
Sementara Anna tersenyum di belakang, mendengar
perkataan-perkataan yang memujinya di depan. la sengaja
membiarkan Abahnya melihat tamunya makan. la sedikit
ingin 'mencandai' ayahnya. Ketika ia yakin ayahnya berada
di puncak penasaran dan nafsu makannya, ia keluarkan
bagian untuk Abahnya.
"Lha yang ini untuk Abah! Ini namanya nasi goreng
Pattaya Bah!" Kata Anna pelan sambil tersenyum. Abahnya
tersenyum lalu mencicipi nasi goreng bikinan putrinya. Ia
masih penasaran, bagaimana meletakkan nasi dalam balutan
telur dadar ini. Ini memang baru kali pertama ia menemukan
penyajian masakan seperti itu.
"Ini cara memasukkan nasinya bagaimana ya Zam?"
Tanya Kiai Lutfi.
Azzam tersenyum. Azzam mau menjawab, tapi sebelum
ia menjawab dari dalam suara Anna terdengar menyahut,
“Nanti Anna ajarin cara membuatnya Bah!" Kiai Lutfi
tersenyum. Malam itu putrinya membuat kejutan untuknya.
Selesai makan Azzam dan kedua temannya ber
pamitan pada Kiai Lutfi. Azzam dan dua temannya turun ke
212
halaman. Kiai Lutfi mengikuti di belakang. Malam terang.
Bulan perak sebesar semangka seperti bertengger di langit, di
kelilingi bintang-bintang. Azzam melangkah tenang.
"Nak Azzam." Kiai Lutfi memanggil. Azzam
menghentikan langkah. Anna memperhatikan dari beranda
dengan seksama.
"Iya Pak Kiai."
“Kalau ada waktu senggang sering mampir ke sini ya?
Itu anak-anak santri perlu mendengar banyak hal dari orang
yang punya pengalaman lebih sepertimu."
“Aduh saya ini juga masih bodoh Pak Kiai. Mohon doa
restunya."
“Benar ya sering datang?"

Insya Allah."

Oh ya satu lagi. Rabu depan kamu sudah selesai kan
mengantarkan buku-bukumu itu?"

Insya Allah."

Datang ke sini ya. Pengajian Al Hikam. Untuk umum.
Biar kamu srawung dengan banyak orang. Biar nanti
dengan silaturrahmi tambah jaringan dan koneksi. Di antara
yang ngaji itu banyak juga lho pebisnis-pebisnis muda Solo
dan Klaten."
“Iya Insya Allah."
“Terakhir."
“Jangan lupa hari Jumat datang. Itu hari pernikahan
Anna."

Insya Allah."

Ingat semua insya Allah yang kamu ucapkan itu aku
tagih lho."
“Doanya bisa memenuhi Pak Kiai." Cahaya bulan
menerangi halaman. Rumput-rumput Jepang di sela-sela
paving tampak hijau keperakan. Angin malam mengalir
pelan. Azzam naik truk dengan me ngucap salam.
213
* * *
Truk yang dinaiki Azzam menderu dan hilang dari
pandangan. Kiai Lutfi mengambil nafas panjang. Kiai Lutfi
naik ke beranda. Anna masih berdiri di sana. Lalu sambil
berjalan masuk rumah ia berkata pada putrinya,
“Abah suka dan kagum pada pemuda itu. Sayang baru
tahu dan bertemu sekarang." Ada rasa dingin masuk dalam
relung-relung hati Anna.
"Jujur, pemuda seperti Azzam itu kalau boleh Abah
berterus terang adalah pemuda yang jadi idaman Abah.
Sayang baru bertemu sekarang. Jika Abah masih
punya anak putri pasti akan Abah pinta Azzam jadi menantu.
Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Abah tahu
tentang perjuangannya membesarkan adik-adiknya. Dia
sungguh pemuda luar biasa!" Ada gemuruh cemburu luar
biasa dalam hati Anna.
Lalu perasaan sedih perlahan menyusup ke dalam
hatinya.
Mata Anna basah mendengar perkataan Abahnya.
Ingin rasanya ia katakan pada Abahnya, bahwa Azzam itulah
ternyata pemuda yang dulu menolongnya. Pemuda yang
menundukkan pandangannya dan mengatakan namanya
Abdullah. Azzam itulah juga pemuda yang dulu sangat
mengesan di hatinya. Bukan hanya dulu, bahkan sampai
sekarang. Tapi takdir telah memilihkannya jalan. Furqanlah
jalannya.
Anna masuk kamarnya. Dan di kamarya ia menangis.
Kata-kata Abahnya terus terngiang-ngiang dalam
hatinya,
“Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah
pinta Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan
214
kesempatan."
* * *
Di jalan Kang Paimo dan Si Kamdun tiada henti
hentinya memuji Anna Althafunnisa. Mereka juga tiada henti-
hentinya memuji keramahan Pak Kiai Lutfi.
"Aku tidak mengira Pak Kiai ternyata ramah sekali dan
bisa sangat cair dengan tamunya. Selama ini kalau aku ikut
pengajian Al Hikam beliau kan tampak berwibawa sekali."
Kata Kang Paimo.
"Tapi kukira ini semua karena berkahnya Azzam.
Kalau tidak bareng Azzam mungkin lain ceritanya.
Karena bareng Azzam kita dapat mencicipi masakan putrinya
Pak Kiai segala. Tidak sembarang orang lho bisa
mendapatkan kemuliaan seperti ini. Memang berkumpul
dengan orang baik seperti Azzam ini banyak berkahnya.
Sering-seringlah kamu ajak kami ya Zam kalau ada acara apa
saja, atau kalau jalan ke mana begitu. Biar kami kecipratan
berkahnya." Sahut Si Kamdun.
"Ah kamu ini ada-ada saja Dun. Ini semua karena
berkah silaturrahmi. Begitu saja." Azzam meluruskan.
Truk itu melaju kencang ke Solo. Ketika masuk
perbatasan Kartasura Kang Paimo bertanya,
“Mau pulang dulu tidak Zam?" Azzam menggelengkan
kepala.
"Kenapa?"
“Nanti malah tidak selesai-selesai. Kalau saya pulang
dulu pasti saya akan ditahan ibu dan adik-adik saya. Baru
boleh berangkat lagi besok pagi. Itu pun pasti agak siang jika
sudah sarapan. Sudah lurus saja. Jika belum saatnya pulang
ya tidak usah pulang!" Tegas Azzam.
"Wah kamu bakat jadi pemimpin besar Zam. kamu
215
punya disiplin yang bisa diandalkan!" Sahut Kang Paimo.
Truk itu terus melaju melewati Solo, lalu ke Sragen.
Sampai di Sragen pukul sebelas malam. Kemudian
melanjutkan perjalanan dan mengantarkan buku-buku itu ke
Ngawi, Madiun, Jombang, Surabaya, Tuban, Rembang,
Kudus, dan Kendal.
Azzam dan kedua temannya pulang kembali ke
rumahnya di Sraten, Kartasura, dua hari setelahnya. Azzam
memasuki rumahnya dini hari jam empat. la disambut ibu
dan kedua adiknya dengan penuh cinta dan kerinduan.
Husna langsung menyiapkan air hangat untuk mandi
kakaknya. Melalui perjalanan mengantar buku-buku itu
Azzam banyak belajar dan mengambil pelajaran.
Azzam juga sudah benar-benar bisa mengendarai truk
itu karena mengantarkan buku-buku. Dalam perjalanan dari
Sragen dan Ngawi Kang Paimo kelelahan, dan Si Kamdun
tak kuasa menahan kantuk. Kang Paimo memaksa Azzam
untuk mengemudikan. Pertama ia mengemudikan dengan
pelan. Lama-lama tambah kecepatan. Dan akhirnya bisa
mengemudikan truk itu dengan baik dari Sragen bahkan
sampai Madiun. Ia jadi banyak belajar dari jalan.
* * *
216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar