Minggu, 14 Juni 2009

Bertemu Ibu

Sebelum sulur cahaya fajar mekar, Toyota Fortuner itu
sudah sampai Tugu Kartasura. Jalanan masih sepi dan
lengang. Hanya sesekali satu dua mobil dan bus Sumber
Kencono melesat memecah keheningan. Fortuner itu
mengambil jalan ke kanan, ke arah Jogja, melaju dengan
tenang. Sebelum sampai markas Kopasus belok kanan masuk
dukuh Sraten yang masuk dalam wilayah Pucangan,
Kartasura.
Rumah-rumah masih rapat menutup pintu dan
jendelanya. Hanya beberapa rumah saja yang sudah
membuka pintunya tanda sang penghuninya sudah siap
184
beraktifitas. Mereka yang telah membuka pintu di hari masih
gelap seperti itu biasanya adalah para bakul yang harus
sampai di pasar sebelum subuh tiba. Kecuali sebuah rumah
tak begitu jauh dari masjid Al Mannar. Itu adalah rumah
kelahiran Khairul Azzam. Sejak jam tiga Lia dan ibunya telah
bangun dan menyiapkan segalanya menyam but kepulangan
Azzam.
Hati Azzam bergetar. Rumahnya masih seratus meter
lagi, tapi ia seperti telah mencium bau wangi ibunya. Ibu
yang sangat dicintainya, telah sembilan tahun berpisah
lamanya.
Matanya basah. Diujung dua matanya air matanya
meleleh.
Saat cahaya fajar perlahan mulai mekar, fajar keharuan
luar biasa mekar di hati Azzam. Fortuner itu berhenti di
halaman rumahnya. Bu Nafis dan Lia sudah berdiri di
beranda. Azzam turun dengan derai air mata yang tak bisa
ditahannya.
"Bu’e...!" Ia bergegas mencium tangan ibunya lalu
memeluk ibunya penuh cinta. Tangis bahagia Azzam tak
tertahan lagi. Tangis pertemuan seorang anak dengan orang
yang telah melahirkan, merawat dan mengajarkannya
kebaikan, setelah sekian tahun lamanya ditinggal pergi.
Ibunya juga menangis bersedu-sedan. Tangis kerin
duan yang memuncak dan tertahan bertahun-tahun
lamanya. Azzam sesengukan dalam pelukan ibunya. Lia,
Husna, Eliana bahkan Pak Marjuki menitikkan air mata.
"Kau akhirnya pulang juga Nak."
“Iya Bu."
“Kau kurus Nak."
“Tidak apa-apa Bu. Alhamdulillah Azzam sehat."
“Iya Alhamdulillah." Azan subuh memecah keheningan.
185
Sesaat lamanya Azzam berpelukan dengan ibunya. Setelah
cukup lama, ia melepaskan pelukan ibunya dan memeluk Lia
dengan penuh kasih sayang. Lia tak kuasa menahan tangis.
Air mata Azzam terus mengalir.
"Kau sudah besar Dik." Ujar Azzam sambil menatap
wajah Lia yang basah dengan air mata. Lia hanya
mengangguk. Karena keharuan luar biasa Lia tidak mampu
berkata-kata. Setelah mencium ubun ubun kepala adiknya
yang dibalut jilbab biru tua Azzam melepas pelukannya.
Husna dan Eliana menyalami dan mencium tangan Bu Nafis.
Sementara Azzam dan Pak Marjuki menurunkan barang-
barang.
Mereka semua lalu masuk ke dalam rumah. Azzam
mengamat-amati keadaan rumahnya dengan hati penuh
bahagia. Tak ada yang berubah, masih seperti semula saat
sembilan tahun lalu ia tinggalkan. Hanya saja rumah itu
semakin tampak kusam dan tua.
"Inilah rumah kami Mbak Eliana. Rumah orang desa,
gubuk reot, tak seperti rumah orang kota." Kata Husna.
Ketika Husna menyebut Eliana, Bu Nafisah mendongak
kan kepala. Ia baru sadar kalau yang ada di hadapannya
adalah Eliana yang terkenal itu. Sejak jam tiga konsen
trasinya hanyalah pada Azzam saja.
"Jadi ini tho yang namanya Eliana. Masya Allah, terima
kasih ya Nak sudi mampir ke gubug reot ini." Kata Bu Nafis.
"Iya Bu, saya Eliana. Keluarga saya biasa memanggi
saya El. Mm... kebetulan dari Cairo saya bareng sama Mas
Irul. Iya di Cairo ia lebih dikenal dengan sebutan Irul atau
Khairul. Terus kemarin kok ya di Graha Bhakti Budaya
bertemu lagi. Saya sangat terhenyak ternyata salah seorang
peraih penghargaan bergengsi itu Husna, adiknya Mas Irul.
Terus saya punya agenda ke Solo. Akhirnya ya bareng
saja kan lebih enak. Oh ya kenalkan ini paman saya. Pak
186
Marjuki Abbas namanya." Jelas Eliana tenang.
Lia keluar membawa nampan berisi wedang jahe.
Husna membantu meletakkan wedang jahe itu ke meja.
Lia masuk lagi dan mengeluarkan mendoan hangat
dan tape goreng hangat.
"Wah, ini pas sekali. Yang seperti ini nih yang saya
kangeni." Ujar Pak Marjuki.
“Iya Pak monggo, silakan. Ya namanya juga kampung.
Adanya ya cuma makanan seperti ini." Sahut Bu Nafis.
"Agenda apa di Solo Mbak, kalau boleh tahu?" Tanya
Lia pada Eliana.
"Pertama ingin melihat-lihat kota Solo. Saya kan belum
pernah ke Solo. Kalau paman ini sudah hafal. Lha dulu SMA
dia di Solo. Lebih spesifik lagi saya ingin melihat tempat
untuk shuting. Kedua saya punya Bude di daerah Gemolong.
Saya ingin bersilaturrahmi ke rumah Bude.
Sebab belum sekalipun saya bersilaturrahmi ke sana.
Padahal Bude dan anak-anaknya sudah beberapa kali
ke Jakarta. Ya alhamdulillah saya juga bersilaturrahmi ke
rumahnya Mas Irul ini." Jelas Eliana.
"Oh ya Mbak. Mumpung bertemu saya mau klarifikasi
langsung saja. Saat ini penduduk di kampung ini sedang
geger Iho Mbak. Ini gara-gara wawancara Mbak dengan para
wartawan di bandara itu Iho. Wawancara itu kan diputar
berulang-ulang di hampir semua televisi swasta.
Di situ Mbak kan bilang pria paling dekat dengan Mbak
adalah Mas Khairul Azzam. Opini yang berkembang di
masyarakat adalah Mas Azzam itu pacarnya Mbak. Apa
benar itu Mbak?" Tanya Lia dengan ceplas-ceplos dan
gamblang.
Eliana tersenyum. la memandang Azzam yang duduk
agak di dekat dengan pintu.
"Tanya aja sama dia. Kalau dia ngaku pacar saya ya
187
bagaimana lagi. Kalau tidak ya bagaimana lagi." Jawab
Eliana diplomatis sambil memberi isyarat ke arah Azzam.
Azzam diam saja.
"Bagaimana Kak sesungguhnya?" Desak Lia pada
Azzam.
"Ah kayak begitu kok dibahas. Ya mudahnya begini
saja. Saat di wawancara itu nggak apa-apalah saya ini
pacarnya Eliana. Ya hitung-hitung saya sedekah menjaga
nama baik dalam tanda petik pamor Eliana. Kan di dunia
artis itu seolah-olah aib kalau tidak punya pacar. Kayaknya
kok tidak laku begitu. Jadi saya ini ya bemper lah saat itu.
Kalau di luar wawancara ya biasa saja. Tidak ada
hubungan apa-apa. Kamu apa tidak lihat tho Dik, apa sudah
gila Eliana punya pacar kayak saya. Artis-artis atau
pengusaha yang ganteng-ganteng dan kaya kan masih
banyak." Azzam menjelaskan dengan tenang.
"Ah Mas Irul, jangan segitunya merendah tho Mas.
jujur ya saat di bandara itu memang saya menjawab
pertanyaan wartawan asal saja. Habis bagaimana, kan saat
itu masih lelah. Pusing amat dengan wartawan. Tapi
sesungguhnya saya melihat ada sesuatu dalam diri Mas Irul
yang saya kagumi Mas. Jujur saya ini sedang dalam proses
mencari makna hidup. Dan saya paham hidup tidak mungkin
sendirian terus. Pendamping hidup itu penting.
Saya sedang mencari, terus terang pendamping hidup
yang bisa saya ajak hidup sampai tua. Saya, jujur, sudah
bosan bergonta-ganti pacar. Sudah saatnya saya mencari
pasangan hidup, atau belahan jiwa. Bukan pacar. Maka
dalam wawancara kemarin saya tidak menyebut pacar.
“ Eliana menjelaskan pandangannya sedikit tentang
apa yang sedang ia cari.
Iqamat dikumandangkan. Azzam mengajak Pak Marjuki
ke masjid. Husna mempersilakan Eliana mengambil air
188
wudhu. Sementara Bu Nafis masih duduk menikmati rasa
bahagianya. Ia merasakan kebahagiaan yang tidak bisa
dihargai dengan seluruh isi dunia sekalipun.
Kebahagiaan itu adalah kebahagiaan kembalinya
Azzam setelah sembilan tahun tak pernah bertemu kecuali
lewat surat, mimpi dan telepon.
* * *
Pagi seperti bergetar. Selesai shalat subuh puluhan
tetangga berdatangan. Awalnya ibu-ibu dan bapak-bapak
jamaah subuh masjid Al Mannar. Tak lama kemudian para
tetangga yang tidak shalat subuh berjamaah. Kabar Azzam
telah pulang langsung menyebar. Dan kabar Eliana yang
mengantar Azzam membuat pagi itu seperti bergetar.
Puluhan orang ingin membuktikan dengan mata dan
kepala sendiri bahwa kabar itu benar. Banyak ibu muda yang
datang bukan semata karena menjenguk Azzam yang pulang.
Tapi karena ingin bertemu dan berfoto bareng Eliana.
Sebenarnya, selesai shalat Subuh Eliana langsung ingin
jalan. Tapi Bu Nafisah menahan,
“Ibu tidak ridha kalau pergi sebelum mandi di rumah
ini dan belum sarapan di sini." Akhirnya Eliana mengalah. Ia
akhirnya terpaksa mandi dan sarapan di rumah Azzam.
Eliana ganti pakaian di kamar Husna. Kamar yang
sederhana. Tapi rapi, bersih menebar rasa cinta siapa saja
yang masuk ke dalamnya.
Meskipun sederhana tapi kamar itu membuat betah
siapa saja yang memasukinya. Demikian juga Eliana.
"Ini kamar penulis besar." Desis Eliana pada dirinya
sendiri. Ia jadi merasa malu pada Husna. Ia merasa hanya
menang popularitas dan mungkin menang cantik belaka.
Ia belum memiliki karya buah pikiran dan tangannya.
189
Sementara Husna sudah melahirkan puluhan cerpen.
Di rumah Azzam ia seperti melihat dunia dari sisi yang lain.
Ia melihat rumah Azzam adalah rumah prestasi. Dan
rumah prestasi tidak harus mewah dan megah.
Ketika para tetangga berdatangan dan kamum lelakinya
merangkul Azzam dengan penuh haru dan penuh kasih
sayang, Eliana diam-diam iri pada Azzam. Iri pada ikatan
persaudaraan yang sedemikian kuatnya di kampung itu.
Itu yang tidak ia dapati di lingkungan perumahan
mewahnya di Jakarta. Tak ada yang peduli ia mau apa, dari
mana dan sedang apa. Tak ada yang peduli ia sedih atau
bahagia.
Tapi di sini, kepulangan Azzam tidak hanya milik
keluarganya yang telah menunggu sekian tahun lamanya.
Bukan hanya kebahagiaan dan haru keluarga ibu Nafis saja,
melainkan kebahagiaan seluruh masyarakat sekitar rumah
Azzam. Azzam adalah bagian dari mereka. Cara hidup yang
penuh persaudaraan seperti itulah yang sebenarnya
didambakan Eliana.
Pagi itu, orang-orang silih berganti berdatangan ke
rumah Azzam. Tidak hanya rasa haru dan bahagia yang
mereka rasakan. Ada sedikit rasa penasaran di hati mereka.
Mereka selalu menanyakan kabar Azzam dan seseorang yang
menyertainya saat keluar dari bandara, yaitu Eliana. Jadilah
Eliana menemani Azzam menemui para tetangganya. Husna
ikut menemani. Sementara Bu Nafis dan Lia sibuk membuat
minuman dan menyiapkan sarapan. Pak Marjuki minta diri
tidur di kamar Azzam.
Semalam suntuk dia tidak tidur. la mengendarai mobil
kira-kira dua belas jam. Tiap tiga jam istirahat. Begitu terus
sampai akhirnya sampai Solo. Maka selepas dari masjid ia
langsung tidur.
"Maaf Mbak Eliana, saya pengagum Mbak lho.
190
Sinetron Dewi-dewi Cinta tak pernah saya lewatkan.
Kalau boleh tahu kapan rencana pernikahan Mbak Eliana
dengan Mas Azzam?" Seorang perempuan muda dengan
mata berbinar-binar. Perempuan itu seolah tidak percaya
kalau Eliana ada di hadapannya.
Mendengar pertanyaan itu Eliana dan Azzam ber
pandang-pandangan. Azzam mengangkat kedua bahunya
dan berekspresi yang mengisyaratkan ia tidak tahu
jawabannya, ia minta Eliana saja yang menjawab. Eliana
sendiri bingung harus bagaimana menjawabnya. Husna tahu
kebingungan dua orang itu, maka ia mencoba membantu
dengan berkata,
“Ya ini kan baru ikhtiar Mbak. Belum final. Kalau jodoh
ya pasti akan ditemukan Allah. Pokoknya jangan khawatir
nanti kalau Mas Azzam menikah Mbak kami beri tahu dan
kami undang." Eliana langsung menimpali kata-kata Husna
itu dengan mengatakan,
“Iya benar." Perempuan muda itu lalu minta foto
bareng Eliana dan Azzam. Ia juga minta tanda tangan di
buku agendanya. Lalu pergi dengan rasa puas di hati.
* * *
Jam sembilan sarapan siap. Bu Nafis dan Lia meng
hidangkan nasi rojolele yang pulen wangi. Lauknya pecel,
rempeyek, tempe goreng, lele goreng dan
cethol
goreng
15
yang renyah.
"Mbak Eliana, ini cethol asli waduk Cengklik. Sangat
gurih rasanya. Sangat pas untuk laut pecel. Coba rasakan
15
.
191
pasti nanti ketagihan." ujar Lia sambil menuang teh ke dalam
cangkir.
Eliana tersenyum. Aroma nasi rojolele itu membuat
nafsu makannya terbit. Pak Marjuki yang lebih duluan
mengambil dan menikmati nasi pecel dan cethol goreng
langsung menikmati.
"Wah kalau ini benar-benar beda. Uenak betul!" Bu
Nafis tersenyum mendengarnya. Eliana mengambil nasi,
pecel, cethol, dan tempe. Suapan pertama ia langsung
mengacungkan jempol pada Lia. Azzam paling banyak
mengambil nasi. Ia sangat rindu dengan masakan ibunya.
Rasanya ia ingin menghabiskan semua itu sendirian
saja.
Azzam makan dengan sangat lahap seperti orang
kelaparan.
"Wah yang paling menikmati kayaknya Mas Irul ini."
Ucap Eliana sambil mengunyah cethol gorengnya.
"Mm... iya, soalnya ini masakan ada bumbu cinta dan
rindunya. Jadi sangat nikmat." Jawab Azzam sambil
mencomot tempe goreng di depannya.
Di tengah-tengah asyiknya sarapan, sebuah sedan
datang dan parkir di belakang mobil Fortuner. Melihat mobil
itu Husna langsung berseru,
“Itu Anna datang!" Mendengar nama Anna, dada
Azzam sedikit bergetar.
Entah kenapa. Meskipun ia tidak yakin kalau yang
datang Anna Althafunnisa. Maka Azzam langsung bertanya
pada adiknya,
“Anna siapa?"
“Anna Althafunnisa. Dia mahasiswi Cairo. Mungkin
kakak kenal."
“Ya. Aku kenal." Sahut Azzam menahan getar di
hatinya. Tiba-tiba ia teringat lamarannya untuk Anna yang ia
192
sampaikan lewat Ustadz Mujab ditolak. Bukan ditolak oleh
Anna, tapi ditolak Ustadz Mujab karena Anna sudah dilamar
oleh Furqan, sahabatnya sendiri. Memang apa yang
dilakukan Ustadz Mujab benar. Sebab seorang muslim tidak
boleh melamar seseorang yang telah dilamar oleh
saudaranya.
"Wah kok kebetulan ya. Orang-orang Cairo pada
ngumpul di sini. Aku dengar Anna sudah mau menikah
dengan Furqan ya?" Kata Eliana sambil memandang Azzam.
"Aku tak tahu pasti. Coba saja nanti kita tanya." Jawab
Azzam.
Anna melangkah ke beranda. Husna berdiri menyong
songnya.
"Assalamu'alaikum
." Suara Anna menimbulkan desiran
halus dalam hati Azzam. Azzam berusaha kuat melawannya.
"Wa'alaikumussalam.
Mbak Anna, kebetulan kami
sedang sarapan ayo masuk. Kok pas banget. Ayo silakan!"
Jawab Husna ramah.
Semua kursi sudah terisi. Husna memberikan kursinya
pada Anna. Ia lalu pergi ke belakang mengambil kursi plastik
di dapur.
“Ini Eliana, putri Pak Dubes kan?" Tanya Anna pada
Eliana. Ia kaget, ada apa gerangan seorang putri Dubes
sampai ke rumah Husna.
"Iya benar. Wah surprise kita bisa bertemu di sini.
Rumah Anna dekat dari sini?"
“Mungkin sekitar empat belas kilo dari sini."
“Wah selamat ya. Di Cairo sudah beredar kabar kamu
tunangan sama Furqan. Itu benar kan ya?"
“Iya benar. Kami memang sudah tunangan. Mohon
doanya. Akad nikah insya Allah awal bulan depan." Jelas
Anna pada Eliana. Ia belum sadar kalau di sebelahnya itu
adalah Azzam atau yang ia kenal dengan nama Abdullah.
193
Karena pusat perhatiannya tertuju pada Eliana.
Sementara Azzam mendengar penjelasan itu dengan hati
yang ditabah-tabahkan.
"Wah sudah dekat ya. Tinggal dua minggu lagi dong."
Timpal Lia.
"Iya. Mohon doanya."
“Mbak Anna, ini Azzam kakakku yang aku ceritakan itu.
Bagaimana tidak kenal juga?" Husna mengenalkan
Azzam pada Anna.
Anna memandang Azzam, Azzam memandang Anna.
Saat pandangan keduanya bertemu, Anna kaget, benarkah
ini orangnya? Kakaknya Husna?
Anna berusaha menyembunyikan ke-kagetannya.
Keduanya lalu menunduk. Anna teringat dengan pemuda
bernama Abdullah yang menolongnya saat ia dan Erna
belanja kitab ke Sayyeda Zaenab. Dompet Erna kecopetan.
Ia berusaha mengejar copet sampai lupa dengan
kitabnya.
Kitabnya tertinggal di bis. Ia kehabisan uang. Lalu
seorang mahasiswa yang naik taksi menolongnya. Bahkan
meminta sopir taksi mengejar bis. Dan akhirnya ia
mendapatkan kembali kitab-kitab yang baru dibelinya. Ia
sempat menanyakan nama pemuda itu. Dan pemuda itu
menjawab namanya Abdullah. Ia tidak bisa melupakan
wajah pemuda baik itu. Wajah pemuda itu sama persis
dengan pemuda yang kini duduk tak jauh darinya.
Bukankah ini Abdullah itu? Pikirnya. la yakin, tak
mungkin salah lagi, pemuda yang duduk tak jauh darinya
adalah Abdullah yang dulu menolongnya.
Hati Anna hampir-hampir terkoyak. Seseorang yang
pernah ia harapkan, kini benar-benar ada di pelupuk kedua
matanya. Tak pernah terpikirkan sedikitpun bahwa suatu saat
ia akan bertemu dengannya. Perasaan Anna yang sudah
194
benar-benar terpendam jauh semenjak lamaran Furqan
diterima, hampir muncul kepermukaan. Hampir hampir ia
tak kuasa menahan perasaannya itu.
Namun ia segera mengukuhkan hatinya untuk
orang yang telah resmi menjadi tunangannya, yaitu Furqan.
Ia beristighfar.
Ia harus meneguhkan diri, bahwa lamaran Furqan telah
diterima, dua keluarga telah mempersiapkan segalanya, dan
akad nikah akan dilangsungkan segera.
Inilah kenyataan yang harus ia syukuri. Ia harus bisa
melawan keinginan semunya yang telah lampau. Ia juga
harus membuang jauh perasannya.Perasaan yang hanya
akan membuatnya gamang. Boleh jadi perasaan itu
sebenarnya hanyalah godaan setan kepada orang yang akan
mengikuti sunnah rasul, yaitu membangun rumah tangga
sesuai tuntunan syariat yang mulia.
Anna kembali menenangkan hatinya dan bersiap untuk
menjawab pertanyaan Husna. Namun Eliana malah
mendahulinya dengan kalimat yang bernada mencercanya,
“Ah masak Mbak Anna tidak kenal sama Mas Khairul
Azzam. Mahasiswa Indonesia di Cairo, saya yakin sebagian
besar mengenalnya. Dikenal sebagai pembuat tempe dan
bakso. Ah yang benar saja Mbak Anna!"
“Namanya penjual tempe itu tidak akan masuk dalam
kamus elit mahasiswa. Penjual tempe juga tidak perlu dikenal
sosoknya, yang penting dikenal tempenya enak." Sambung
Azzam santai sambil promosi tempenya.
“Wah, iya bener juga. Itu kalimat yang indah lho Mas.
Penjual tempe tidak perlu dikenal sosoknya yang
penting dikenal tempenya enak." Husna mengapresiasi
kalimat kakaknya.
Anna merasa tidak enak hati, seolah ia tidak mau
mengenal mahasiswa yang pangkatnya jualan tempe. Maka
195
ia pun angkat bicara,
“Maaf, bukannya saya tidak kenal. Kemarin waktu
kenalan sama Mbak Husna, yang disebut adalah Azzam.
Katanya jualan tempe. Terus saya bilang kalau Azzam
saya tidak kenal. Saya mengenal beberapa nama penjual
tempe.
Saat itu saya sebut beberapa nama yaitu Rio, Budi, dan
Muhandis atau Irul. Saya jelaskan yang paling senior adalah
Muhandis. Saya tidak tahu kalau Muhandis atau Irul itu
sebenarnya adalah Mas Azzam. Dan kalau tidak salah saya
pernah kenalan dengan Mas Azzam saat pulang dari Sayyeda
Zaenab. Saat itu temanku Erna kecopetan di bis.
Aku berusaha mengejar copetnya yang menyebabkan
kitabku ketinggalan. Mas Azzam membantu mengejarkan bus
yang membawa kitabku itu akhirnya ketemu. Dan saat itu
Mas Azzam mengaku namanya Abdullah. Coba jika saat itu
mengaku bernama Khairul Azzam."
Azzam tersenyum. Ia pun jadi ingat kejadian yang
nyaris ia lupakan. Ia memang pernah menolong Anna. Saat
itu pun ia belum tahu namanya. Anna memakai jilbab biru
seingatnya. Dan ia memang mengaku bernama Abdullah.
Sebab nama panjangnya sebenarnya ketika kecil
adalah Abdullah Khairul Azzam.
"Yang disampaikan Anna benar. Saya memang dikenal
dengan nama Muhandis atau Irul, atau Muhandis Irul.
Hanya orang-orang dekat saja yang memanggil saya
Azzam.
Hampir seluruh mahasiswa mengenal saya sebagai Irul.
Terus saya memang sering berkenalan dengan orang
memakai nama Abdullah. Itu nama depan saya.
Alhamdulillah,
yang penting bisa ketemu di sini, iya kan?
Oh ya
,
bagaimana kabar Furqan? Apa jadi lanjut S3?"
Di ujung kalimatnya Azzam memandang Anna sekilas. Anna
196
mendongakkan kepalanya.
"Alhamdulillah,
dia baik
.
Ya
insya Allah
dia mau lanjut
S3. Nanti datang ya di acara pernikahan." Jawabnya.
"Insya Allah, kalau
tidak ada halangan."

Oh ya Mbak Eliana sama Mas Azzam, kapan kalian
menikah? Aku lihat di televisi kemarin katanya kalian
pacaran!?" Anna memandang ke arah Eliana.
"Aduh kasihan Mas Irul..." Kata Eliana yang langsung
diputus Anna,
“Lho memanggilnya Irul kan bukan Azzam. Sebab
di Cairo memang dikenal dengan nama Irul. Maaf Mbak saya
potong."
“Iya jadi kasihan Mas Irul. Semua orang nanti akan
nanya dia begitu. Jujur saja sebenarnya itu murni ulah saya.
Begitu sampai di bandara saya diberondong
pertanyaan sama wartawan ya saja jawab sekenanya.
Sebenarnya jujur saja saya tidak ada apa-apa dengan Mas
Irul. Ya hanya kenal biasa. Kecuali, ya kecuali kalau Mas Irul
berani minta saya sebagai calon isterinya! He... he... he..."
Semua yang ada di ruangan itu tersenyum mendengar
perkataan Eliana. Azzam tidak mau kalah begitu saja, ia
langsung angkat suara,
“Ah Mbak Eliana bisa saja candanya. Nanti kalau saya
lamar betulan terus kayak Rorojongrang dilamar Prabu
Bondowoso, gimana? Karena saya buruk rupa tidak sesuai
dengan standar yang diinginkan lalu disyaratkan membuat
seribu candi dalam waktu semalam agar dengan sendirinya
sama saja mundur teratur. Iya tho?" Dengan nada bercanda
Eliana menjawab,
“Iya!"
Husna menimbal,
197

Hayoh kapokmu kapan
.
"
1 6
****
Matahari semakin tinggi. Sinarnya semakin panas
menyengat. Satu dua orang masih berdatangan menjenguk
Azzam yang pulang.
Tepat pukul sepuluh Eliana pamitan. Demikian juga
Anna Althafunnisa.
Sebelum Eliana dan Anna pergi, Lia minta agar foto
bersama.
Anna pergi duluan sebab mobilnya tepat di belakang
mobil Eliana. Anna melambaikan tangan dengan senyum
mengembang. Kepada Azzam ia menganggukkan kepala.
Azzam kembali merasakan desiran halus dalam hatinya.
"Mas Azzam selamat ya sudah berada di tengah-tengah
keluarga." Kata Eliana.
"Terima kasih ya atas tumpangannya." Jawab Azzam.
"Sama-sama."
“Ini langsung ke Gemolong?"
“Tidak. Kami mau check in hotel dulu."
“Rencana menginap di mana?"
“Di Novotel. Mungkin nanti sore jalan-jalan keliling
kota Solo. Besok baru ke Gemolong. Kata Pak Marjuki tidak
jauh."
“Selamat jalan ya Nak. Hati-hati. Kalau ada waktu
mampir lagi kemari." Kata Bu Nafis yang berdiri di samping
Azzam.
"Iya Bu. Terima kasih atas pecelnya. Sungguh, enak."
Jawab Eliana sambil masuk mobil. Sejurus kemudian mobil
itu telah berjalan meninggalkan halaman.
Hayoh jeramu kapan.
16
198
"Dua gadis yang sama-sama cantik." Ujar Lia lirih.
"Siapa?" Tanya Husna.
"Ya Anna sama Elianalah. Mbak kira siapa?"
“Aku sama kamu."
“Ih geernya. Memang Mbak cantik?"
“Apa Mbak tidak cantik?" Mendengar percakapan dua
adiknya itu Azzam langsung menengahi,
“Sudah ayo masuk. Kalian berdua cantik. Di mata
kakak, kalian berdua lebih cantik dari mereka berdua.
Kakak ada oleh-oleh buat kalian. Kakak belikan kalian
jilbab Turki dari sutera. Ayo kita lihat."
“Ayo." Sahut Lia dan Husna nyaris bersamaan dengan
senyum mengembang.
Mereka kembali masuk rumah. Angin bertiup dari
Timur ke Barat menggoyang daun-daun pohon mangga yang
mulai berbunga di depan rumah. Bunga matahari di dekat
jalan bergoyang-goyang indah. Bu Nafis sudah mengambil
air wudhu untuk shalat Dhuha. Tak lama kemudian
perempuan yang rambutnya sudah memerak sebagian itu
larut dalam sujud kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Bertasbih dan bertahmid atas pulangnya sang
putra kesayangan.
* * *
199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar