Minggu, 14 Juni 2009

Bunga-Bunga Cinta

Bau cinta begitu dekat. Aromanya terhisap masuk sampai
ke sumsum jiwa. Efeknya luar biasa. Menyegarkan badan.
Menajamkan pikiran.
Itulah yang dirasakan oleh Azzam menjelang
pertunangannya dengan dr. Alviana Rahmana Putri yang biasa
dipanggil Vivi itu. Prosesnya tak terbayangkan akan secepat itu.
Dua hari setelah bertemu dengan Vivi, Pak Mahbub datang
menanyakan apakah dia serius untuk menikahi Vivi. Azzam
menjawab serius. Pak Mahbub memberitahu Vivi dan
keluarganya menerimanya dengan hati bahagia.
Pak Mahbub kembali mengajaknya ke Kudus untuk
meminang Vivi secara resmi. Tepat satu minggu setelah
362
pertemuan pertama, Azzam dan keluarganya kembali ke sana.
Bu Nafis membuat banyak makanan untuk diberikan kepada
keluarga Vivi. Sebagai tanda keseriusan Azzam membelikan
sebuah cincin untuk Vivi. Cincin itu ia berikan kepada ibunya
untuk dipakaikan di jari manis Vivi.
la dan rombongannya sampai di rumah Vivi hampir sama
waktunya dengan saat pertama dulu datang. Hanya lebih awal
setengah jam. Di rumah itu ternyata sudah menunggu banyak
orang. Mereka adalah keluarga terdekat Vivi dan tetangga kiri
kanan. Pak Zuhri, ayah Vivi menyambut Azzam dan
rombongannya dengan wajah berseri-seri.
Hari itu Bu Nafis tampak lebih cerah dari hari hari
sebelumnya. Bu Nafis begitu tulus bersalaman dan berpelukan
dengan Bu Fadilah, ibu Vivi.
Azzam memakai kemeja yang dibelikan ibunya di pasar
Klewer. Ia tampak gagah dan bersahaja dengan peci hitam di
kepalanya. Vivi memakai gamis cokelat susu dan jilbab putih
bersih. Dokter muda itu tampak anggun.
Acara lamaran itu jadi setengah resmi. Keluarga Vivi telah
menyusun rangkaian acara. Yaitu pembukaan kalimat dari
keluarga Azzam, kalimat dari keluarga Vivi, musyawarah atau
lain-lain. Doa dan terakhir ramah-tamah.
Acara dibuka dengan pembacaan surat Fatihah seperti
biasa. Kalimat dari keluarga Azzam diwakili oleh Pak Mahbub
yang tak lain sebenarnya adalah paman dari Vivi sendiri. Pak
Mahbub adalah adik dari ibu Vivi. Pak Mahbub
menyampaikan bahwa kedatangannya dari Kartasura untuk
melamar Vivi buat Khairul Azzam. Pak Mahbub menyampaikan
kalimatnya lugas dan sederhana saja.
363
Singkat. Langsung ke intinya. Tidak muter-muter ke mana-
mana dulu penuh basa-basi dan tambahan cerita di sana-sini.
Dari keluarga Vivi yang menjawab langsung Pak Zuhri.
Pak Zuhri menyampaikan rasa bahagianya atas
kedatangan rombongan dari Kartasura.
“Mohon maaf jika tempat dan ruangan yang disediakan
kurang berkenan.” Adapun tentang lamaran Azzam, Pak Zuhri
mengatakan,
“Saya pribadi sebagai orang tua dan wali anak saya
Alviana Rahmana Putri sama sekali tidak keberatan, saya
malah bahagia dan gembira. Apalagi Vivi memang sudah
saatnya membina keluarga.
Hanya saja saya tidak bisa memaksakan kehendak pada
anak saya.
Jawabannya langsung saja saya serahkan kepada anak
saya tentang menerima atau tidak lamaran Azzam ini..
Ibu Fadilah lalu mendesak Vivi untuk bicara. Suasana
hening sesaat karena Vivi tidak langsung bicara. Sebenarnya
Vivi sedang menikmati kebahagiaan yang membuncah dalam
dadanya. Ia sungguh merasa mendapat anugerah agung dari
Allah mau disunting dan diperistri oleh pemuda yang ia yakin
shaleh bernama Khairul Azzam. Pemuda yang ada dalam
idamannya. Ia mengidamkan punya suami seorang santri yang
baik dan paham ilmu agama. Dan Azzam adalah lulusan
pesantren tertua di dunia yaitu Al Azhar University Cairo.
364
Vivi menata degup jantungnya. Tanpa ia sadari air
matanya meleleh.
Lalu dengan suara agak terbata-bata, ia berkata singkat,
“Dengan membaca bismillahirrahtnaanirrahim dan dengan
mengharap ridha Allah lamaran itu saya terima..
Semua yang hadir mengucapkan alhamdulillah. Azzam
menikmati suasana yang sangat indah. Ia langsung mencium
aroma cinta.
Harumnya menyusup merasuk ke dalam jiwanya. Begitu
Vivi menyampaikan penerimaannya, Bu Fadilah menciumnya.
Bu Nafis yang ada di samping Bu Fadilah mendekati Vivi. Bu
Nafis duduk tepat di hadapan Vivi. Spontan Vivi mencium
tangan calon mertuanya. Lalu dengan disaksikan Bu Fadilah
dan yang hadir Bu Nafis memasukkan cincin emas ke jari
manis Vivi.
”Semoga barakah ya Nak.” Lirih Bu Nafis.
”Amin. Mohon doanya Bu.” Jawab Vivi sedikit serak.
Setelah itu masuk pada acara musyawarah dan acara lain-
lain. Pihak keluarga Azzam menyerahkan semuanya kepada
keluarga Vivi untuk menentukan tanggal pernikahan dan lain
sebagainya. Akhirnya kedua belah pihak sepakat bahwa akad
nikah dilangsungnya satu bulan berikutnya. Akad nikahnya di
Masjid Al Aqsha atau Masjid Menara Kudus. Akad akan
dilangsungkan pada hari Kamis jam sembilan pagi. Lalu resepsi
pernikahan dilangsungkan di rumah Vivi pada hari itu juga,
sehari penuh, setelah acara akad nikah.
365
Sedangkan acara di Kartasura hanya semacam syukuran
saja.
Mengundang tetangga satu RW, untuk mengiklankan
bahwa Azzam sudah menikah dan untuk minta doa restu.
Dalam musyawarah itu Azzam juga berterus terang bahwa ke
depan Vivi akan ia boyong ke Kartasura. Mungkin untuk
sementara setelah menikah. Satu minggu dua kali ia akan pergi
ke Sayung Demak. Ke rumah dinas yang sekarang di tempati
Vivi. Keluarga Vivi setuju. Seorang bapak berumur sekitar
empat puluh tahun yang menjadi tetangga Vivi berkata,
“Ah, jarak Kartasura-Demak kalau ditempuh dengan
mobil, apalagi disemangati dengan kerinduan dan cinta akan
terasa dekat dan ringan!.
Spontan yang hadir tertawa bahagia. Azzam dan Vivi
hanya tersenyum. Tanpa mereka sadari ada semacam magnet
yang membuat mereka berpandangan. Ces! Setetes embun
bagai menetes ke dalam hati Azzam begitu kedua matanya
bertemu dengan kedua mata Vivi. Sedangkan Vivi merasakan
tubuhnya bagai mau melayang karena bahagia. Keduanya lalu
menunduk kembali.
Azzam merasakan halusnya kasih sayang Tuhan.
Ikhtiarnya untuk menemukan jodoh ternyata dikabulkan oleh
Allah Swt. Sebelum pulang Pak Zuhri rnenyerahkan kertas kecil
kepada Azzam seraya berkata,“Hanya sekedar untuk tahu saja,
siapa tahu kelak ada gunanya untuk anak turunanmu. Ini
silsilah moyangnya Vivi. Jadi silsilahnya ini!.
Azzam membaca isi kertas itu: Alviana Rahmana Putri binti
Zuhri bin Zuhaidi bin Sukemi bin Karto bin Singodigdo bin
Raden Sastrobuwono. Azzam melipat dan memasukkan kertas
366
itu ke dalam saku bajunya. Kelak jika Vivi sudah jadi isterinya
ia akan minta agar sejarah pemilik nama-nama itu diceritakan
kepadanya. Agar kelak bisa ia gunakan jika punya anak dan
dalam sejarah itu ada yang bisa menyemangati anaknya.
Azzam merasa yakin bahwa Vivi adalah anugerah agung
dari Tuhan untuknya. Bagi orang yang beriman, setelah
keimanannya adakah ada anugerah yang lebih baik dan lebih
indah melebihi isteri yang shalihah?
Azzam teringat sabda Rasulullah Saw.,
“S
eorang mukmin tidaklah mengambil faidah yang lebih
baik setelah takwa kepada Allah dari isteri yang shalihah; yang
jika dia menyuruh isterinya maka isteri itu mentaatinya, jika
melihatnya isteri itu menyenangkannya, jika bersumpah atas
nama isterinya maka isterinya itu memenuhinya, dan jika suami
tidak di r umah maka isteri itu menjaga harta dan kehormatan
suaminya.”
3 0
Azzam berharap setelah takwa kepada Allah, Alviana
Rahmana Putri adalah anugerah Allah terbaik dari Allah yang
akan senantiasa memberinya faidah dalam menyempurnakan
ibadah kepada Allah.
Husna juga merasakan kebahagiaan yang sama. Bunga-
bunga cinta bersemi di dalam hatinya. Seakan hatinya adalah
taman bunga di musim semi. Setelah shalat istikharah dan
bermusyawarah dengan ibu, Azzam dan Lia ia mantap
menerima lamaran Muhammad Ilyas.
“Dia dulu santrinya Kiai Lutfi, terus kuliah di Madinah,
30
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits no. 1847
367
sekarang S2 di Aligarh India. Insya Allah dia shaleh. Menurut
kakak tidak ada alasan untuk menolak” Tegas Azzam. Awalnya
Husna masih agak bimbang.
Melewati tiga hari yang dijanjikan ia belum memutuskan.
Setelah pulang dari acara pertunangan kakaknya di Kudus
baru ia putuskan.
Itupun setelah ia mendengar kalimat tegas dari kakak yang
sangat dihormatinya.
Akhirnya dengan hati mantap ia putuskan menerima
lamaran Ilyas.
Keluarga Ilyas datang ke rumahnya mirip dengan ketika
keluarganya datang ke Kudus. Mereka membawa makanan.
Membawa beberapa orang. Acaranya juga hampir sama.
Hanya saja Ilyas tidak membelikan cincin untuknya tapi tiga
potong jilbab yang cantik warnanya.
Ketika bermusyawarah tentang penentuan hari pernikahan
terjadi dialog yang sedikit alot. Keluarga Ilyas ingin satu minggu
secepatnya. Sekilat-kilatnya. Ibunya tidak mau. Satu minggu
menurut ibunya itu terlalu cepat dan gila. Ibunya ingin
pernikahannya dilaksanakan paling tidak tiga bulan setelah
pernikahan Azzam. ]adi empat bulan dari hari pertunangan
kira-kira.
Ilyas merasa keberatan. Itu terlalu lama.
”Saya khawatir bisa menimbulkan fitnah di hati saya.”
Kata Ilyas.
”Masak cuma menunggu empat bulan saja kok berat. Dulu
368
ibu saja harus menunggu satu tahun.” Balas Bu Nafis. Semua
diam. Husna menutup rapat-rapat kedua bibirnya. Ia tak
angkat suara takut salah bicara. Suasana agak kaku sesaat.
Dan Azzam menggerakkan bibirnya mencairkan suasana,
“Ah gampang. Kita ambil jalan tengah saja. Bagaimana
biar keluarga kami tidak repot dan keluarga Ilyas juga tidak
terlalu lama menunggu, bagaimana jika pernikahannya
dilaksanakan di hari yang sama dengan syukuran pernikahan
saya di Kartasura ini..
”Lha ini, usul yang bagus.” Kata Pak Mukhlas ayah Ilyas
sambil tersenyum.
”Bagaimana Ilyas? Apa kira-kira menunggu satu bulan
juga keberatan?” Tanya Azzam pada Ilyas. Yang ditanya jadi
kikuk dan salah tingkah. Dan dengan suara tergagap Ilyas
menjawab,
”Sa... satu bulan? Bolehlah..
”Bue bagaimana? Kan kalau bareng syukuran
pernikahannya Azzam malah tidak terlalu repot. Meminta
tolongnya tetangga juga cuma satu kali.” Tanya Azzam pada
ibunya.
”Ibu sepakat dengan usulmu Nak.” Jawab Bu Nafis. Dan
tercapailah kesepakatan.
Sejak itu Azzam dan Husna sering keluar belanja bersama
untuk mempersiapkan hari pernikahan mereka. Azzam
memanggil seorang tukang untuk memperbaiki rumahnya.
Lantai yang masih hitam dari semen ia belikan keramik.
Karena kamarnya pas-pasan. Ia membuat kamar tambahan di
dekat dapur. Dinding bagian belakang dapur dijebol dan
369
dibuat dua kamar. Dari tembok. Di dalam kamar ia beri kamar
mandi. Kamar itulah rencananya kamar untuk Husna dan
kamar untuk dirinya. Sementara bentuk rumah tidak ia ubah
sama sekali. Biar tetap seperti aslinya. Hanya saja ia minta
dirapikan dan dicat yang rapi.
Lia membantu menyebar undangan. Terutama adalah
undangan pernikahan Husna. Kalau undangan pernikahan
Azzam tidaklah banyak karena Azzam akan akad dan walimah
di Kudus. Tak lupa Azzam meminta Lia mengantarkan
undangan ke Pesantren Wangen.
Seluruh keluarga Kiai Lutfi diundang untuk datang.
Bunga-bunga cinta bermekaran di rumah sederhana itu.
Rumah Azzam dan Husna. Bunga-bunga cinta seolah tumbuh
di halaman rumah. Tumbuh di ruang tamu.
Tumbuh di dapur. Dan tumbuh di setiap kamar.
Menunggu hari H penuh cinta Azzam dan Husna sering shalat
tahajjud bersama.
Mereka berdoa bersama memohon ridha dan barakah dari
Allah ’A
zza wa Jalla.
370

Tidak ada komentar:

Posting Komentar