Minggu, 14 Juni 2009

Ciuman Terakhir

Setelah menikah dengan Anna Althafunnisa, kesibukan
Furqan adalah ikut mengajar di pesantren, mengajar di sebuah
kampus swasta di Jogjakarta, dan mengurus bisnis ayahnya di
Surakarta. Oleh sang ayah, untuk modal hidup Furqan diberi
kekuasaan penuh mengelola toko kamera yang menjual
berbagai macam jenis kamera digital di Jalan Slamet Riyadi.
Sore itu jam setengah lima Furqan pulang dari toko. Mobil
Fortunernya memasuki halaman pesantren. Furqan turun.
Seorang santri yang melihatnya datang dan mencium
tangannya. Dari ruang tamu Anna melihat kedatangan
suaminya. Begitu masuk Anna langsung melepas jaketnya dan
mengikuti sang suami naik ke lantai atas. Masuk ke dalam
kamarnya. Furqan langsung mandi. Anna sudah rapi seperti
371
biasa. Ia baru saja mengetik beberapa bagian dari tesisnya.
Selesai mandi Furqan memakai jas yang dulu dipakainya saat
pesta pernikahan. Anna memandang senang penuh harapan.
Ia berharap inilah saatnya yang sekian lama ia tunggu-tunggu
akhirnya datang.
“Malam ini kita ke hotel ya Dik?”
”Ke hotel mana?”
”Pilih mana Lor Inn apa Novotel?”
”Mm... Novotel saja.”
”Boleh.”
”Untuk apa kita ke hotel Mas? Apa tidak di rumah saja?”
”Untuk sesuatu yang tidak biasa.”
”Apa saatnya telah tiba? Hari yang kamu janjikan telah
datang.”
”Mas harap begitu Dik. Cepatlah berkemas. Nanti kalau
keburu maghrib tidak enak.”
”Baik Mas.”
Anna langsung berkemas. Ia juga menyiapkan gaun
pengantin yang dulu ia pakai. Semua perlengkapan yang ia
rasa harus ia bawa ia masukkan ke dalam kopernya. Anna
begitu semangat. Rasanya ia ingin segera sampai di Novotel.
Ia ingin membuktikan pada dunia dan pada siapa saja, bahwa
dirinya tidak kalah dengan Miatun. Ia bisa hamil dan akan
372
punya anak, insya Allah.
Sejurus kemudian mereka berdua menuruni tangga, turun
dari kamar. Di ruang tengah mereka berpamitan pada Kiai
Lutfi dan Bu Nyai Mur.
“Kami ada perlu penting di Solo Bah. Kami mau
menginap di sana.” Kata Anna pada Abahnya. Sang Abah
hanya mengangguk, lalu batuk. Bu Nyai Nur mengantar
sampai beranda. Anna dan Furqan masuk mobil.
Matahari memerah di ufuk barat. Tak lama lagi akan
masuk ke peraduannya. Burung-burung beterbangan kembali
ke sarangnya. Para petani yang sehari hari menggarap sawah
tampak berjalan di pematang untuk pulang. Furqan
mengemudikan mobilnya dengan tenang. Mobil itu melintas di
depan pasar Kartasura dan terus ke timur. Melewati kampus
UMS, lalu pasar Kleco. Terus lurus ke timur masuk jalan
Slamet Riyadi. Hari sudah menjelang petang. Lampu-lampu
jalan sudah menyala. Azan maghrib tak lama lagi akan
bergema.
”Tahu tidak Mas, kenapa jalan ini dinamakan jalan Slamet
Riyadi?”
”Tidak tahu Dik, Mas kan bukan asli orang Solo.”
”Mau tahu?”
”Mau.”
”Seingat saya ya Mas. Jalan ini dinamakan Slamet Riyadi
untuk mengenang serangan umum tahun 1949 yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Kalau tidak salah setelah
373
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda
kembali datang ke Indonesia. Datang untuk kembali menjajah
Indonesia. Dengan segala cara Belanda ingin menguasai
kembali Indonesia.
”Para pejuang kita tidak tinggal diam. Mereka berjihad
membela tanah air dan bangsa. Mereka korbankan harta,
darah dan bahkan nyawa. Terjadilah perang mempertahankan
kemerdekaan di mana- mana antara tahun 1945 sampai 1949.
Pada tahun 1948 Belanda menguasai banyak wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bulan Desamber 1948 Belanda
melancarkan agresi dan berusaha menghancurkan tempat-
tempat strategis milik pemerintah RI, tujuannya untuk
memberitahukan kepada dunia bahwa pemerintah RI telah
lumpuh, telah tiada.
”Ceritanya, Belanda minta agar para pemimpin dan
pejuang Republik ini menyerah. Tapi Jendral Soedirman
menolak menyerah. Jenderal hebat ini bergerilya di hutan
hutan dan desa-desa yang terletak di sekitar kota Yogyakarta
dan Surakarta. Untuk membantah opini yang disiarkan
Belanda ke seluruh dunia, maka Jenderal Soedirman
merancangkan
“Serangan Oemoem”. Serangan Oemoem ini merupakan
sebuah serangan besar besaran yang bertujuan untuk
menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta. Serangan di
Yogyakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto, manakala
serangan di Surakarta dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet
Riyadi.
”Dan untuk memperingati Serangan Oemoem ini, maka
jalan raya utama di kota Surakarta dinamai Jalan Slamet
Riyadi!” Jelas Anna pada suaminya panjang lebar.
374
”Kau ternyata suka sejarah ya Dik.”
”Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu
menghayati sejarahnya dan menghormati para pahlawannya.”
”Kau benar Dik.”
* * *
Mobil itu sudah mendekati Hotel Novotel. Ketika azan
mengalun merdu, Furqan dan Anna sudah keluar dari mobil.
Mereka ke resepsionis. Setelah Furqan tanda tangan seorang
pelayan hotel mengantarkan sampai kamar. Furqan memilih
kamar yang mewah di lantai enam. Begitu masuk kamar dan
meletakkan tas tangannya, Anna langsung ke jendela. Berdiri
atau duduk di samping jendela adalah kesukaan Anna sejak
kecil. Ia tak bisa membayangkan sebuah rumah tanpa jendela.
Dari jendela kamar hotel itu keindahan sebagian kota Solo
bisa dinikmati.
Furqan berdiri di samping Anna.
”Indah ya Mas.” Kata Anna sambil melihat lampu lampu
kota Solo yang tampak memancar ke kuning kuningan.
”Iya.”
”Kita shalat maghrib dulu yuk.” Pinta Anna sambil
perlahan menutup gorden.
”Ayuk.”
375
Furqan masuk kamar mandi mengambil air wudhu.
Sedangkan Anna melepas jilbab dan kaos kakinya. Furqan
keluar, gantian Anna yang masuk. Usai wudhu Anna
mengambil mukena dari kopornya. Furqan memandangi
wajah isterinya dalam-dalam. Ia selalu kagum dengan wajah
yang sangat penyabar itu. Anna tahu suaminya
memperhatikannya. Ia pun memandang lekat-lekat wajah
suaminya. Anna tersenyum. Demikian juga Furqan.
”Ayo sholat nanti kehabisan waktu kita.” Bibir Anna
bergetar, suaranya bening.
”Ayo.”
Furqan menghadap kiblat lalu mengucapkan Takbiratul
Ihram. Setelah Fatihah ia membaca surat Al Kafirun dan Al
Ikhlas. Anna makmum di belakangnya dengan wajah
menunduk khusyu’. Selesai shalat, zikir dan doa, Anna
mencium tangan suaminya.
Furqan bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Anna bangkit
lalu berjalan ke depan almari. Ia melepas gamisnya. Ia tidak
canggung sedikit pun. Furqan berdesir melihat apa yang
dilakukan isterinya. Anna lalu mengambil gaun pengantin
yang ada di dalam kopor dan mengenakannya. Tak lama
kemudian Furqan bagai menyaksikan bidadari turun dari
langit. Ia teringat malam pertamanya. Malam pertama yang
menyiksa batinnya. Yang perihnya masih terasa sampai saat
itu.
Anna mengambil parfumnya. Suasana malam pertama itu
langsung tercipta. Bau wangi yasmin menyebar pelan. Bau
nan suci merasuk ke hidung Furqan. Merasuk ke seluruh aliran
darahnya. Membuat jantungnya berdegup kencang.
376
Furqan maju dan mencium kening isterinya. Tangan lentik
Anna menggeragap hendak melepas jas yang dikenakan
Furqan. Wajah Anna membara karena gairah.
”Apakah kamu benar-benar siap, isteriku sayang?” Tanya
Furqan.
”Aku sudah menunggunya dengan dada membara selama
enam bulan suamiku sayang. Apa kamu tidak juga mengerti
dan paham?”
”Kau siap dengan segala akibatnya?”
“Kalau tidak siap kenapa aku mau jadi isterimu.”
“Tapi ada satu hal yang kamu tidak tahu. Aku tidak ingin
menyampaikan hal ini. Tapi harus aku sampaikan malam ini.
Setelah itu terserah apa keputusanmu.”
”Aku tidak tahu apa yang Mas maksud.”
“Dik aku sungguh sangat mencintaimu?”
“Sama aku juga mencintai Mas.”
“Aku sungguh tak ingin kehilanganmu.”
“Aku tahu itu.”
”Namun aku tak ingin menzalimimu. Aku tidak menyentuh
mahkota yang paling berharga milikmu karena aku tidak ingin
menzalimimu Dik. Bukan karena aku tidak mampu. Ada satu
tembok sangat kuat dan berduri yang menghalangiku dari
menyentuh mahkota paling berharga milikmu.”
377
”Aku tak paham maksudmu Mas.”
”Sesungguhnya saat akad nikah itu aku sudah tidak
perjaka Dik.”
”Apa?!” Anna kaget.
”Maafkan aku Dik, tapi sungguh bukan aku menyengaja.”
”Aku tak percaya! Mas yang ketua PPMI! Mas yang jadi
mahasiswa kebanggaan orang-orang di KBRI! Mas yang sudah
selesai S2 dan kini mau S3! Mas yang mengajar ngaji para
santri! Mas yang... hiks... hiks...” Anna tak kuasa melanjutkan
kata-katanya.
”Maafkan aku Dik, tapi tolonglah kamu dengarkan dulu
ceritaku, jangan marah dulu, jangan menangis dulu. Aku akan
bercerita dengan sejujur-jujurnya. Baru setelah itu terserah
kamu. Terserah mau kamu apakan aku.” Ucap Furqan
mengiba sambil menyeka air mata Anna.
“Tolong, Dik, dengarkan ceritaku dulu,
arjulk

31
”Baik Mas, akan aku dengar. Tapi mendengar
pengakuanmu itu hatiku sudah sakit.” Kata Anna
mengungkapkan rasa dalam hatinya.
”Maafkan aku Dik, maafkan...” Kata Furqan, ia lalu
menceritakan apa yang menimpanya sebelum ia pulang ke
Indonesia. Ia bercerita dengan sejujur-jujurnya.
Ia bercerita tentang peristiwa mengerikan yang
31
Arjulk. Aku minta padamu, aku bertiarap padamu.
378
menimpanya di Hotel Meridien. Ia yang tahu-tahu bangun
tidur dengan keadaan yang memalukan. Lalu pesan Miss
Italiana yang mengintimidasinya. Tentang foto-foto yang
memalukan. Tentang tertangkapnya Miss Italiana yang
ternyata agen Mossad penyebar virus HIV. Dan tentang
dirinya yang divonis positif mengidap HIV. Serta janji Kolonel
Fuad untuk tidak menyebar berita tentangnya, juga janjinya
pada Kolonel Fuad untuk tidak menyebarkan virus HIV yang
diidapnya pada orang lain.
Anna mendengarkan cerita itu dengan hati perih. Ia
merasa seperti ada sebuah tombak berkarat yang menancap
tepat di ulu hatinya. Tangisnya meledak. Furqan diam di
tempatnya. Ia tahu kenyataan itu akan sangat menyakitkan
Anna. Tapi jika tidak ia sampaikan ia akan terus tersiksa. Ia
merasa telah lepas dari satu beban psikologis. Selanjutnya ia
akan menyerahkan keputusan seluruhnya pada Anna.
Anna masih menangis tersedui-sedu. Furqan meremas
remas rambutnya, tak tahu ia harus berbuat apa saat itu. Tiba-
tiba merasa sangat kasihan pada isterinya yang sangat
dicintainya itu.
Anna masih menangis. Gadis itu mengusap mukanya. Lalu
memandang wajah Furqan dengan nanar dan marah,
“Kau sangat jahat! kamu begitu tega mendustaiku dan
mendustai seluruh keluargaku! Bahkan kamu mendustai
seluruh orang yang hadir saat akad pernikahan kita! Sebelum
menikah pegawai KUA itu membacakan statusmu perjaka!
Ternyata kamu dusta! Lebih jahat lagi, ternyata kamu
mengidap penyakit yang dibenci semua orang, dan kamu tega
menyembunyikannya dariku! kamu jahat!”
379
”Maafkan aku Dik, aku memang jahat!”
“Sangat sulit bagiku memaafkanmu Fur!” Anna tidak lagi
memanggil dengan panggilan Mas, tapi langsung memanggil
nama Furqan! Itu sebagai tanda dalam hati Anna sudah tidak
ada lagi penghormatan pada Furqan.
”Ya aku jahat. Tapi satu hal yang aku minta kamu
pertimbangkan, aku sangat mencintaimu, aku sangat
menghormatimu, aku tidak ingin menyakitimu. Aku jahat
mungkin, tapi nuraniku mencegahku untuk menyentuh
mahkota kewanitaanmu. Kenapa? Karena aku tahu kamu bisa
tertular virus itu. Aku tidak mau terjadi itu padamu. Kalau aku
mau aku bisa lebih jahat lagi. Malam pertama itu aku lakukan
tugasku sebagai suami. Selesai. kamu dan aku kena HIV
selesai. Ketika kamu menggugatku aku akan gantian
menggugatmu. kamu tidak mungkin tahu aku kena HIV- Tapi
aku tidak lakukan itu!”
”Terus kenapa kamu nikahi aku, hah?!”
’Karena aku mencintaimu.”
Dan cintamu itu menyakiti aku! Cintamu itu kini jadi
jahnannam bagiku! Kalau seperti ini apa yang kamu inginkan
dariku? Sekedar jadi boneka hias dalam kehidupanmu?
Sekedar jadi aroma kamarmu yang cuma kamu hisap dan
kamu cium-cium baunya? Sekedar jadi simbol kering.
Keangkuhanmu sebagai kelas konglomerat yang merasa
berhak membeli apa saja? Apa yang kamu inginkan dariku
Furqan?”
”Aku sendiri tak tahu Dik.”
”Kau tahu syariat Fur! kamu tahu kitab Allah, kamu tahu
380
tuntunan Rasulullah! Seharusnya kamu tidak menikahiku, iya
kan!? kamu tahu kalau menikahiku itu akan jadi mudharat
bagiku. Akan menyakitiku, iya kan? Dan pernikahan yang
pasti menyakiti isteri atau suami itu haram hukumnya, iya
kan!?” Anna mencecar dengan amarah. Ia berusaha menjaga
untuk tidak mengeluarkan kata-kata kotor.
”Iya. kamu benar Dik!”
”Kenapa yang haram itu kamu lakukan juga, hah?! Apa
kamu tidak takut pada Allah!?”
Furqan diam.
“Aku minta maaf, Dik. Aku terima semua keputusanmu.”
”Baik. Ceraikan aku!” Ucap Anna penuh amarah. Jika ia
punya palu dan halal membunuh lelaki di hadapannya,
rasanya ia ingin menghantamkan palu itu ke kepala Furqan
hingga hancur berkeping- keping.
Furqan diam. Hatinya bagai tertusuk pisau yang sangat
tajam. Tapi ia sudah menyiapkan saat-saat Anna akan
mengucapkan kalimat itu. Ia insyaf yang salah adalah dirinya,
bukan Anna.
”Tak ada pilihan lain Dik?”
”Tidak!”
”Kalau begitu, kapan aku harus menceraikan dirimu?”
”Sekarang juga!”
381
”Sekarang?”
”Iya!”
”Akan aku ceraikan kamu Dik, meskipun dengan hati
sakit, tapi dengan dua syarat.”
”Aku tak mau ada syarat!”
”Kalau begitu urusannya akan jadi panjang, aku akan
benar-benar berubah jadi penjahat sekalian!”
”Maksudmu apa Fur?”
“Kau tak sedikitpun berempati padaku. Aku ini sudah
hancur sejak sebelum pulang ke tanah air. Menikah denganmu
adalah sedikit untuk mengobati sakitku. Aku seperti mayat
yang berjalan. Cahaya hidupku seperti telah padam. kamu
tahu, aku tak punsa tempat untuk berbagi nestapa. Ayah ibuku
saja tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa putranya.
Dalam rasa sedihku yang hampir bercampur putus asa aku
masih menggunakan nuraniku. Yaitu dengan tetap menjaga
kesucianmu. Aku tak ingin menularkan virus itu padamu.
”Kau sedikitpun tak mau berempati padaku. Baiklah, aku
cuma mensyaratkan dua syarat yang tidak berat padamu kalau
kamu ingin agar aku menceraikanmu. Yaitu pertama ijinkan
aku mencium keningmu sekali lagi. Ciuman perpisahan, sebab
ketika kata-kata cerai telah aku ucapkan maka aku tidak halal
lagi menciummu. Yang kedua, tolong rahasiakan apa yang
menimpaku. Demi menjaga kehormatan keluargaku dan juga
kehormatan keluargamu.
“Kalau kamu obral cerita ini, dan kamu tidak punya bukti,
382
maka perang akan berkobar amtara keluargaku dan
keluargamu.
Kita semua akam sama-sama binasa. Meskipun aku tidak
menginginkannya, pasti orang-orang yang menyayangiku tidak
akan pernah terima dengan ceritamu. Katakan saja pada
keluargamu, nanti kalau kita cerai, cerai kita karena sudah
tidak mungkin cocok lagi.
”Itulah syarat yang aku minta padamu. Kalau kamu tidak
juga mau maka mungkin tak ada pilihan lagi bagiku kecuali
jadi penjahat sekalian. Toh kamu sudah bilang aku jahat.
Malam ini juga dengan gaun pengantin yang kamu kenakan
akan aku renggut kehormatanmu di kamar ini. Setelah itu
terserah apa maumu. Seandainya kamu berteriak, aku santai
saja, kita kan masih suami isteri. Aku berhak melakukan itu
padamu. Meskipun kamu menolaknya.
”Kalau kamu mengadu pada ayahmu misalnya kamu
merasa diperkosa, paling mereka tertawa. Toh kamu sudah
sering memperlihatkan di hadapan mereka pura-pura mandi
sebelum Subuh. Kenapa kali ini merasa diperkosa. Toh kita
tadi berangkat dengan menampakkan kemesraan di hadapan
mereka. Hanya itu pilihan untukmu Dik.”
Furqan berkata kepada Anna dengan hati bergetar. Ia
tidak ingin mengatakan hal itu. Tapi entah kenapa melihat
amarah Anna, amarahnya ikut menyala. Mendengar
perkataan Furqan, Anna jadi berpikir bagaimana secepatnya
menyelamatkan jiwanya. Ia tak mau diperkosa sama Furqan.
Ia tak bisa membayangkan dirinya terkena virus HIV. Akhirnya
dengan suara lunak, Anna menjawab,
”Baik, aku terima syaratmu. Tapi aku pegang janjimu,
383
kamu ceraikan aku setelah kamu mencium keningku.”
”Aku akan pegang janjiku. Allah jadi saksi kita berdua.
Aku juga pegang janjiku untuk merahasiakan yang terjadi di
antara kita. Demi menjaga kehormatan keluarga kita masing-
masing.”
”Baik Fur.”
”Aku tahu, setelah ini kamu pasti takut dan tidak mungkin
tidur lagi sekamar denganku. Jangan takut. Aku akan
pesankan kamar untukmu. kamu yang pegang kunci. Besok
pagi kamu bisa pulang pakai taksi. kamu bisa memberikan
alasan yang tepat pada keluargamu.” Kata Furqan.
”Terima kasih Fur. Tapi biar aku cari hotel lain sendiri”
”Terserah kamu, kemasilah barang-barangmu!”
Anna lalu mengemasi semua barangnya. Ia mengambil
gamisnya lalu masuk ke kamar mandi. Tidak seperti awal
masuk hotel tadi tidak peduli ganti pakaian di hadapan
Furqan, kali ini ia merasa Furqan adalah orang lain. Ia
melepas gaun pengantinnya di kamar mandi dan
menggantinya dengan gamis. Ia memakai jilbabnya kembali,
juga kaos kaki. Lalu ia keluar dan memasukkan gaun
pengantinnya ke koper.
”Sudah semua?” Tanya Furqan.
”Tak ada yang ketinggalan?”
”Tidak.”
384
”Kemarilah isteriku!” Kata Furqan.
Anna maju dan duduk di samping Furqan yang sejak tadi
duduk di tepi ranjang. Dengan penuh cinta Furqan mencium
kening Anna. Sebuah ciuman perpisahan.
”Maafkan aku Anna, aku telah menyakiti hatimu dan
nyaris menghancurkan hidupmu.” Lirih Furqan dengan suara
terisak-isak.
”Aku percaya pada ceritamu Fur. kamu adalah korban tak
bersalah. Tapi aku tak bisa hidup denganmu lagi.”
“Aku tahu.”
”Aku sudah penuhi syaratmu, sekarang aku tagih janjimu!”
Ucap Anna tegas.
”Aku nikahi kamu dengan baik-baik, maka aku cerai kamu
dengan baik- baik. Mulai saat ini aku cerai kamu Anna’ kamu
bukan lagi isteriku, dan aku bersumpah tak akan lagi kembali
kepadamu!”
”Terima kasih Fur. Aku harus pergi!”
Dengan linangan air mata Anna keluar dari kamar itu. Ia
tak tahu akan ke mana. Yang ia inginkan adalah segera keluar
dari hotel itu secepatnya. Ingin rasanya ia lari sejauh jauhnya
lalu menangis sejadi-jadinya.
Begitu Anna pergi, Furqan menangisi nestapanya. Orang
yang paling dicintainya itu sudah sangat jauh darinya. Ia
merasa hanya mukjizat yang akan mempertemukan dirinya
dengan Anna kembali. Jika ia dibenci oleh Anna, maka Anna
385
tidaklah bersalah. Dirinyalah yang salah. Apa dosa Anna
sampai harus ikut terkena getah nestapa yang menderanya.
Dirinyalah yang zalim dan aniaya. Dialah yang selama ini buta
kehilangan kesadarannya.
Anna memejamkan mata. Bulir-bulir bening keluar dari
kelopak matanya. Ia mengadu kepada Yang Maha pengasih
dan Penyayang,
Ya Allah hilangkanlah segala sebab yang menjadikan kami
berkeluh
kesah takut, cemas, sedih, dan marah. Amin
Keluar dari Novotel, Anna langsung menghubungi taksi
langganan Abahnya. Lima belas menit kemudian, taksi itu
datang menjemputnya.
”Kemana Neng? Mau pulang?” Tanya sopir taksi yang
sudah tua itu.
”Anu Pak. Antar saya ke Hotel Quality!”
”Baik Neng.”
Taksi berjalan ke arah Monumen Pers. Lalu belok kiri.
Langit tertutup awan tipis. Rembulan muncul tenggelam. Anna
Althafunnisa masih juga belum percaya apa yang dialaminya.
Ia telah menjadi janda. Ia cemas dan gelisah. Ia takut
menghadapi status barunya yaitu seorang janda. Anna
menerawang ke depan dengan pandangan kosong, ia belum
menemukan kalimat apa yang akan disampaikannya kepada
Abah dan Umminya. Ia meraba dalam hati, apakah ini tafsir
keraguan tipis yang selalu menderanya saat akan mengiyakan
lamaran Furqan dulu? Kenapa dulu ia tergesa-gesa menjawab
’iya’.
386

Tidak ada komentar:

Posting Komentar