Minggu, 14 Juni 2009

Dalam Duka

Husna menunggui kakaknya dengan terus berzikir kepada
Allah dan memperbanyak membaca shalawat kepada
Rasulullah. Pipi kiri kakaknya berdarah. Tangan kiri kakaknya
berdarah. Juga kaki kiri kakaknya. Ada selang kecil yang
dimasukkan ke tangan kanannya. Alat pendeteksi detak
jantung kakaknya ada di samping ranjang. Ia terus berdoa
kepada Allah agar kakaknya segera siuman. Orang yang sangat
dicintainya itu kini terkulai tak berdaya. Dengan beberapa
bagian tubuh terkoyak dan berdarah.
Pukul lima sore, ia melihat tangan kakaknya bergerak.
Lalu kedua kelopak matanya bergerak. Lalu perlahan
membuka.
”Kak Azzam.” Lirihnya dengan linangan air mata.
Azzam membuka kedua matanya.
434
“Allah.” Itulah kalimat yang keluar dari getar bibirnya. Ia
mengerjapkan matanya. Lalu melihat adiknya,
“Husna.” Husna berusaha tersenyum pada kakaknya.
“Iya Kak. Alhamdulillah kakak sudah siuman.”
”Ini rumah sakit ya?”
”Iya.”
”Mana bu’e?”
”Tenang kak. Bue baik di tempat istirahatnya.”
”Maafkan Kakak ya Dik. Kakak kecelakaan. Bue pasti
kesakitan. Maafkan.” Lirih Azzam sambil berlinang air mata.
Azzam berusaha menggerakkan badannya. Namun nyeri luar
biasa.
Seorang perawat mendekat.
“Sudah siuman?”
”A
lhamdulillah. Sudah Mbak.”
”Begini, pertolongan pertama sudah kami lakukan. Masa
kritis kakak Anda sudah lewat. Agar lebih terjaga. Sebaiknya
kakak Anda dirawat di Solo, di sana peralatan lebih lengkap.
Terutama untuk operasi tulang. Kami lihat kaki kiri kakak Anda
patah. Semakin cepat dioperasi akan semakin baik. Kami akan
memberi rujukan silakan pilih rumah sakit mana yang Mbak
pilih.” Jelas perawat itu
435
”Yarsi bisa Mbak?”
”Bisa. Kalau begitu kami akan siapkan segalanya
secepatnya.”
”Pokoknya siapkan yang terbaik untuk kakak saya.”
“Baik.”
Perawat itu pergi. Kedua mata Azzam berkaca-kaca
mendengar percakapan perawat itu dengan adiknya. Ia tahu
apa yang terjadi pada dirinya. Kakinya patah harus dioperasi.
Ia akan terkapar di rumah sakit dalam waktu yang lama. Dan ia
akan istirahat di rumah dalam waktu yang lama. Di Cairo dulu
pernah ada mahasiswa Indonesia yang dioperasi karena patah
tulang saat sepakbola. Dan untuk sembuh ia harus istirahat
yang lama.
”Jika kaki kakak patah, lalu bu’e bagaimana Dik?”
“Dia baik Kak, sedang istirahat.”
“Jelaskan pada Kakak.”
“Kakak jangan mikir bu’e dulu.”
“Terus bu’e sama siapa sekarang?”
”Sama Lia. Bue sudah dibawa pulang tadi.”
”Jadi bu’e tidak apa-apa?”
”Sekarang sudah tidak apa-apa. Bue sudah tenang.”
436
”Syukurlah.” Kata Azzam sambil memejamkan mata.
”Ambulan sudah siap. Kita bisa langsung ke Solo.”
Perawat tadi datang lagi.
”Kita langsung berangkat Mbak?”
”Iya. Tapi Mbak selesaikan dulu administrasinya di sana
ya. Kami akan membawa kakakmu ke ambulan.”
”Baik.”
Husna melangkah ke bagian administrasi. Dua perawat
pria datang dan mendorong ranjang Azzam menuju ambulan.
Ketika melangkah ke bagian administrasi Lia dan Anna datang.
”Semoga musibah ini jadi sumber pahala ya Na. Kami ikut
berduka.” Lirih Anna sambil merangkul Husna.
“Terima kasih sudah mau datang.” Jawab Husna
“Bagaimana kak Azzam Mbak?” Tanya Lia
”Ada tulang yang patah, ini mau dirujuk ke Solo yang
lebih lengkap peralatannya. Kak Azzam harus operasi tulang.”
”I
nna lillah.” Lirih Lia.
”Kasihan dia. Semoga kakakmu diberi ketabahan oleh
Allah.” Ucap Anna pelan.
”Dik kamu bawa uang? Kakak cuma ada tiga ratus ribu.
Kita harus selesaikan administrasi dulu baru berangkat.
437
”Saya cuma ada seratus ribu. Ayo coba dulu berapa
semuanya.” Kata Husna sambil melangkah ke loket.
“Yang mau dipindah ke Solo ya?” Tanya pegawai loket.
”Iya.”
”Semuanya satu juta setengah Mbak. Sudah semuanya.
Sudah termasuk biaya dua ambulan.”
”Dik Lia, gimana nih. Kita cuma ada empat ratus ribu.”
Husna agak bingung.
”ATM kakak?” Tanya Lia.
”Kosong, sudah habis untuk persiapan nikah.” Husna
panik.
”Masih kurang berapa? Pakai uangku dulu saja.” Anna
tahu kepanikan Husna dan Lia.
”Satu juta seratus Mbak.” Jawab Husna.
“Tunggu aku ambil dulu di ATM.” Anna melangkah keluar
mengambil uang di ATM. Tak lama kemudian Anna datang
dan menyerahkan uang kepada Husna.
”Kelihatannya banyak sekali. Berapa ini Mbak?” Tanya
Husna.
”Aku ambil lima juta. Pakai saja dulu. Nanti di Solo kalian
pasti perlu ini itu.”
438
”Terima kasih Mbak. Insya Allah nanti saya kembalikan
secepatnya. Sebenamya saya yakin Kak Azzam masih punya
uang.”
”Sudah biarkan Mas Azzam itu tenang dulu. Nggak usah
mikir uang dulu kasihan dia.” Kata Anna.
Setelah membereskan administrasi mereka berangkat ke
Solo. Gantian Lia yang menemani Azzam di mobil ambulan.
Dan Husna ikut mobil Anna Althafunnisa. Hari Sudah mulai
gelap ketika mereka masuk di R.S. Yarsi. Begitu sampai Husna
langsung bilang kepada pihak rumah sakit,
“Tolong berikan yang terbaik untuk kakakku. Operasi yang
terbaik. Berapa pun biayanya tidak jadi soal. Saya yang
menanggung. Ini kartu identitas saya Ayatul Husna, Psikolog
dan Dosen di UNS.”
Kata-kata Husna tegas. Ia tahu banyak rumah sakit yang
kurang memperhatikan pasien hanya gara-gara sang pasien
atau keluarga pasien dianggap tidak punya biaya.
”Baik.” Jawab pihak rumah sakit. Diam-diam Anna kagum
juga dengan ketegasan Husna. Tiba-tiba ia merasa kecil
dibandingkan gadis yang ada di hadapannya itu. Gadis yang
ditempa oleh pelbagai masalah kehidupan. Dan ketika ia
kagum pada gadis itu maka mau tak mau ia harus kagum pada
kakaknya. Kakaknyalah yang mendidik adiknya itu dari jarak
jauh.
”Tadi kami sudah berusaha mencegah bu’e. Kak Azzam
juga sebenarnya tidak mau. Tapi bu’e ngotot. Sebelum pergi
bu’e minta dibuatkan teh hangat. Bue berkata, ’Teh buatanmu
lain rasanya Na.
Enak. Ibu ingin meminumnya barangkali
439
untuk kali terakhir.’
Ternyata memang itulah terakhir kalinya
minum teh hangat buatanku.” Husna bercerita sambil
berlinang air mata pada Anna. Hal itu malah membuat mata
Anna berkaca-kaca.
”Iya tadi di rumah beliau juga minum teh buatanku.
Kelihatannya beliau ceria sekali. Abah sempat menawarkan
agar beliau saya antarkan pulang ke rumah pakai mobil. Tapi
beliau tidak mau. Beliau ngotot menerobos gerimis bersama
Mas Azzam ke rumah Kiai Kamal. Abah sangat menyesal dalam
hal ini, karena tidak memenuhi harapan ibumu.” Kata Anna
terisak. Di dalam hati Anna merasa dirinyalah pangkal musibah
ini. Abahnya menolak mengisi pengajian di acara walimah itu
karena merasa terpukul dengan kegagalan pernikahannya
dengan Furqan. Maka dialah pangkal musibah ini. Itulah
perasaan berdosa Anna yang menggelayut di pikirannya.
”Abahmu tidak salah. Memang sudah tiba ajalnya. Orang
kalau sudah tiba ajalnya ada saja sebab yang menjadi
perantaranya.” Ujar Husna pada Anna.
”Kau benar. Terus bagaimana dengan pesta
perkawinanmu nanti?”
”Itu nanti. Yang sekarang ada dalam pikiranku adalah
bagaimana agar kakakku bisa kembali seperti semula. Aku
ingin kakakku bisa berjalan seperti semula. Kaki dan tangan
kakakkulah yang turut menempa jati diri seorang Husna.
Sekarang ini yang aku pedulikan hanyalah kakakku.”
”Kau begitu sayang pada kakakmu.”
”Kalau kamu punya kakak seperti dia aku yakin kamu
pasti sayang padanya.”
440
”Semoga dia baik-baik saja.”
“Amin.” Malam itu Azzam harus masuk ruang operasi.
Setelah dirongent ia mengalami patah di betis kirinya, lengan
bawah tangan kiri, dan dua tulang rusuk dada kirinya. Ia harus
operasi tulang kaki dan tangannya. Husna dan Lia tetap di
sana sampai operasi selesai. Anna dengan setia menemani dua
gadis yang sedang dalam duka itu. Sesekali Anna keluar
membelikan makan buat mereka.
Jam dua malam operasi itu selesai. Azzam dimasukkan ke
dalam kamar kelas satu. Husna yang minta. Uang bisa dicari
belakangan yang penting nyaman. Dokter bedah yang
meyakinkan Husna, Lia dan Anna bahwa Azzam akan bisa
kembali seperti sedia kala.
”I
nsya Allah, dia akan pulih lagi. Hanya nanti tentu perlu
proses
sampai tulang-tulangnya menyatu dan kuat lagi- Kami
akan beri obat penyambung tulang terbaik.
Bersyukurlah bahwa yang patah bukan tulang
belakangnya. Dan
alhamdulillah kepalanya tidak apa-apa.
Hanya gegar ringan yang itu
biasa dalam kecelakaan ringan
sekalipun. Saya dulu pernah jatuh dari tempat tidur kepala
membentur lantai dan gegar ringan. Insya Allah nanti dia akan
sembuh seperti semula. Tenang saja.”
Dokter muda yang bernama Yusuf itu dengan sangat
ramah menjelaskan secara detil apa yang dialami Azzam.
Penjelasan itu membuat hati Husna, Lia dan Anna lega.
Mereka bertiga berjaga di rumah sakit itu sampai pagi. Setelah
operasi Azzam tertidur. Ia tidak tahu bahwa Anna juga turut
menjaganya bersama adik-adiknya.
441
Pagi harinya Pak Mahbub mengantarkan Vivi dan
keluarganya menjenguk Azzam. Saat itu Azzam sedang sedih-
sedihnya karena diberi tahu bahwa ibunya telah meninggal
dunia. Azzam sudah bisa diajak berbincang bincang siapa saja.
Begitu ia tahu Vivi dan keluarganya datang ia menyeka air
matanya dan menata jiwanya. Vivi menatap Azzam dengan
linangan air mata.
”Maafkan saya, mungkin saya harus tetap terbaring di sini.
Sehingga saya tidak mungkin ke Kudus untuk akad nikah
denganmu. Maafkan. Kita manusia hanya bisa berikhtiar tapi
Allah jugalah yang menentukan.” Ucap Azzam pada Vivi yang
di dampingi kedua orang tuanya.
”Bersabarlah. Ini musibah kita bersama. Aku akan setia
menunggumu, sampai kamu sembuh.” Vivi menenangkan
Azzam dan membesarkan jiwanya.
”Terima kasih Vivi. kamu baik sekali. kamu tahu berapa
lama lagi kira- kira akan sembuh. Temanku di Mesir dulu
menunggu sampai satu tahun baru dia bisa berjalan. Aku tak
ingin mengikatmu dengan rasa kasihanmu padaku.
Pertunangan itu belumlah akad nikah. Itu baru semacam
perjanjian. Aku tidak ingin menzalimimu. Sejak sekarang aku
beri kebebasan kepadamu. Kalau kamu sabar menunggu ku
maka terima kasihku padamu tiada terhingga. Kalau kamu
ternyata di tengah penantian merasa tidak kuat, maka kamu
boleh menikah dengan siapa yang kamu suka. Aku tahu
umurmu sama dengan umurku. Sebentar lagi kamu berkepala
tiga.” Kata Azzam dengan lapang dada.
Husna takjub dengan kata-kata kakaknya itu. Kakaknya
benar-benar dewasa cara berpikirnya. Dan hebatnya kakaknya
442
tidak mau dikasihani. Kakaknya masih menunjukkan
karakternya sebagai Khairul Azzam yang pantang menyerah.
Khairul Azzam yang sangat percaya dan yakin akan karunia
Allah.
“Aku akan berusaha setia.” Kata Vivi.
“Terima kasih atas kebesaran jiwamu.” Lanjut gadis yang
berprofesi sebagai dokter di Puskesmas Sayung itu. Setelah
merasa cukup Pak Mahbub dan keluarga dari Kudus minta
pamit. Sebelum meninggalkan ruangan itu Vivi masih sempat
melihatnya kembali. Dan tersenyum padanya sebelum pergi.
Azzam berusaha tersenyum. Begitu Vivi pergi Azzam menangis
tersedu- sedu. Ia teringat pesta pernikahannya yang batal. Ia
teringat gerbang pernikahan yang ada di depan mata.
”Kenapa kita harus banyak menangis hari-hari ini ya Na?”
Tanya Azzam pada adiknya.
”Mungkin Allah sedang menyiapkan cara agar kita bisa
tersenyum indah setelahnya.” Jawab Husna.
“Semoga jawabanmu itu benar.”
”I
nsya Allah kak. Janji Allah bersama kesukaran pasti ada
kemudahan.”
”Allah tidak akan mengingkari janji-Nya.”
“Pasti.”
Dan Husna juga membatalkan pernikahannya. Ia
mengatakan kepada Ilyas bahwa ia akan menikah setelah
kakaknya bisa berjalan. Ia tidak akan meninggalkan kakaknya
terkapar sendirian di rumah sakit, sementara ia berbulan madu
443
dengan suaminya. Ia lalu mengatakan kepada Ilyas seperti
yang dikatakan kakaknya pada Vivi,
”Mas Ilyas tentu paham bahwa pertunangan itu belumlah
akad nikah. Itu baru semacam perjanjian. Aku tidak ingin
menzalimimu. Sejak sekarang aku berikebebasan kepadamu.
Kalau kamu sabar menungguku maka terima kasihku padamu
tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah penantian
merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah dengan siapa
yang kamu suka.”
Jawaban Ilyas hampir mirip dengan jawaban Vivi,
“Insya Allah aku akan setia padamu. Akan aku selesaikan
dulu masterku baru aku akan menikahimu.”
”Terima kasih Mas.”
Azzam dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari. Selama
sepuluh hari, hampir setiap hari selalu ada yang datang
menjenguk. Selain warga dukuh Sraten, karyawannya di bisnis
bakso dan foto copy, banyak juga jamaah pengajian Al Hikam
yang datang. Setiap kali ada yang datang, semangat hidup
Azzam berkobar, semangatnya untuk sembuh menyala.
Dalam sebuah perenungan akan duka yang dialaminya,
Azzam menulis puisi dalam hatinya untuk meneguhkan
jiwanya:
“dalam duka kita berguru pada hujan yang terus menyiram
arang hitam dengan kesabaran siang malam
kuncup-kuncup pun bermekaran meneguhkan harapan-
harapan “
Pada hari ke delapan dan ke sembilan Azzam dilatih
bagaimana menggunakan krek. Setelah dilihat bisa
menggunakan krek dengan baik dan pengaruh gegar
444
kepalanya hilang Azzam diperbolehkan pulang. Dokter
menyarankan untuk banyak di rumah dulu dan menasihati
untuk tidak sekali-kali berjalan atau berdiri tanpa bersandar
pada krek.
”Kau boleh lepas krek, kalau aku sudah mengatakan kamu
boleh lepas!” Demikian kata Dokter Yusuf sesaat sebelum
pulang.
Pada saat ia siap untuk keluar kamar Kiai Lutfi datang,
bersama Bu Nyai dan Anna. Kiai Lutfi minta maaf kepada
Azzam atas peristiwa pagi hari itu. Kiai Lutfi tak henti hentinya
menyesali penolakannya waktu itu.
”Kalau aku penuhi permintaan ibumu mungkin tidak
terjadi kecelakaan. Sungguh aku mohon maaf Azzam. Aku
merasa berdosa.” Kata Kiai Lutfi.
”Pak Kiai tidak salah. Ini sudah tercatat di sana.” Jawab
Azzam sambil mengacungkan tangan kanannya ke atas.
“Terus bagaimana dengan kelanjutan pernikahanmu?”
Tanya Kiai Lutfi.
”Biarlah Allah yang menentukan.” Jawab Azzam.
445

Tidak ada komentar:

Posting Komentar