Minggu, 14 Juni 2009

Definisi Cinta

dikubur. Warga dusun Sraten larut dalam duka. Pak Masykur
dikenal sebagai seorang takmir masjid yang ikhlas dan penuh
pengorbanan. la dikenal sebagai bakul buah yang kaya dan
dermawan.
Bukan hanya kematian Pak Masykur yang begitu tiba-
tiba yang membuat warga duka. Namun juga peristiwa yang
menjadi sebab kematian Pak Masykur yang membuat hati
mereka terluka. Zumrah, putri Pak Masykur memang benar-
benar hamil. Hamil tanpa memiliki suami yang sah. Itulah
kemungkinan besar yang membuat Pak Masykur begitu
terpukul sampai kena serangan jantung. Ditambah, bahwa
Zumrah yang hamil itu memang telah pindah agama. Demi
mengikuti kemauan sang pacar yang dicintainya.
58
Bisa dibilang Zumrah adalah kembang dukuh Sraten.
Untuk gadis seumurnya dialah yang paling jelita.
Keindahan paras mukanya sering jadi obrolan para pemuda
saat ronda. la adalah teman Husna sejak kecil. Saat di SD
bahkan sering satu bangku dengan Husna.
Sampai lulus SD mereka berdua masih sering mengaji Al
Qur’an bersama di Masjid Al Mannar. Hanya saja, sejak SMP
mereka berpisah karena sekolah mereka sudah berbeda.
Husna sekolah di SMPN Kartasura, sementara Zumrah
sekolah di Ungaran. Zumrah ikut Budenya, sebab saat itu
ibunya sangat kerepotan mengurus ketiga adiknya yang
masih kecil-kecil. Saat itu Si Bungsu Zahrah belum berumur
satu tahun. Saat itu kondisi ekonomi orang tua Zumrah
sedang sulit-sulitnya. Sementara budenya hanya punya satu
anak saja.
Sejak itulah Husna tidak lagi banyak bertemu dengan
gadis yang saat ini banyak dibicarakan telah pindah agama.
Hanya sesekali ia bertemu dengan Zumrah. Biasanya
ketemu ketika Zumrah pulang karena liburan. Zumrah sendiri
pernah cerita, suasana di rumah Budenya itu memang sangat
longgar dan bebas. Budenya tidak ketat dalam mengawal
pergaulan anaknya, apalagi kepona-kannya. Ia pernah dapat
cerita, juga dari Zumrah sendiri, bahwa anak Budenya
pernah ditangkap polisi dalam kamar sebuah hotel Melati di
kawasan Kopeng karena perbuatan asusila dan
mengkonsumsi obat terlarang.
59
Sebenarnya Zumrah tidak betah tinggal di rumah
Budenya itu. Beberapa kali ia ingin pulang. Tapi ibunya
melarang. Ibunya minta agar Zumrah bertahan di rumah
Budenya sampai lulus SMA. Saat Zumrah lulus SMA dan
mulai kuliah perekonomian Pak Masykur mulai membaik.
Pak Masykur ingin Zumrah di Sraten saja sambil kuliah
di Solo. Namun Zumrah memilih kuliah di Jogja. Saat itu
Zumrah sudah bukan lagi Zumrah yang dikenal Husna ketika
masih SD. Setiap pekan Zumrah pulang ke Sraten.
Dan setiap pulang Zumrah hampir selalu membawa
teman pria yang berbeda. Hal itu menjadi gunjingan warga.
Namun Zumrah seolah tutup telinga. Berkali-kali
ayahnya mengingatkan dan menasehati, tapi Zumrah tak
pernah ambil peduli.
Sampai suatu sore warga digegerkan oleh perang mulut
yang terjadi antara Zumrah dan ayahnya. Ayahnya marah
besar karena Zumrah pulang ditemani oleh lelaki yang beda
agama. Lelaki itu terang-terangan memakai simbol
agamanya di hadapan ayahnya, Pak Masykur, yang tak lain
adalah takmir masjid Al Mannar. Pak Masykur mengusir
lelaki itu. Dan Zumrah membela pacarnya mati-matian.
Terjadilah adu mulut yang sengit antara Zumrah dan
ayahnya yang didengar oleh sebagian besar warga.
Sejak itu hubungan Zumrah dengan keluarganya,
khususnya ayahnya benar-benar buruk. Zumrah jarang
pulang. Dan ayahnya sering marah jika Zumrah pulang.
Di mata sang ayah, ada saja kesalahan yang dilakukan
60
Zumrah. Sementara sang anak, Zumrah seolah tiada pernah
berhenti menteror ayahnya dengan hal-hal yang
menyesakkan dada. Puncaknya adalah terjadinya peristiwa
yang membuat luka dan duka banyak orang itu. Sembilan
puluh persen warga dukuh Sraten melihat Zumrahlah
penjahat yang membunuh ayahnya.
“Kalau aku punya anak seperti dia pasti sudah
kusembelih!" Kata Bu War, pemilik warung kelontong di desa
itu dengan geram.
Pukul sebelas siang para pelayat sudah sampai di
rumahnya masing-masing. Matahari di atas dusun Sraten
panas memanggang. Udara dusun Sraten telah jauh
berubah. Telah berubah tiga kali lipat panasnya dari dua
puluh tahun yang lalu. Saat itu Husna sendirian di rumah.
Lia sedang mengajar di Kadipiro. Sementara ibunya
masih takziah di rumah Bu Masykur belum juga pulang.
Husna sedang merapikan jilbabnya bersiap ke radio ketika
hand phone
bututnya berdering. Ada panggilan dari nomor
yang tidak dikenalnya. la angkat,
"Assalamu'alaikum.. Ya hallo, siapa ini?"

Husna, ini aku?" Suara di seberang agak serak-serak
basah.
“Aku siapa?" Tanya Husna.
“Aku! Zumrah!"
“Zumrah!?" Husna kaget.
61
“Ya benar."
“Kau di mana Zum?"
“Nanti kuberi tahu. kamu bisa menemuiku Na? Aku
butuh bantuanmu Na! Aku dalam masalah serius!"
“Bantuan apa?"
“Bisakah kamu menemuiku, nanti aku ceritakan
semuanya."
“Kau di mana sekarang Zum? Hati-hati ya, aku dengar
pamanmu yang polisi itu mencarimu. Katanya mau
membunuhmu."
“Aku sudah tahu. Karena itu aku sembunyi. Aku butuh
pertolonganmu. Tolonglah Na. kamulah satu-satunya orang
yang bisa aku ajak bicara."
“Akan aku usahakan."
“Bisa sekarang juga Na?"
“Maaf Zum, kalau sekarang tidak bisa. Sebab aku
sedang bersiap ke radio. Aku ada siaran siang ini. Habis
siaran aku langsung ke Pesantren Daarul Qur’an Wangen
Polanharjo, aku ada diskusi sastra dengan para santri di sana.
Bagaimana kalau kita ketemu di pesantren saja."
“Di pesantren?"
“Iya. Kenapa?"
62
“Tapi aku tak pernah ke pesantren Na. Aku..."
“Jangan takut. Biasa saja. Orang-orang pesantren
menyenangkan kok. Selepas shalat ashar kutunggu kamu di
Wangen ya? Rutenya dari Solo ke arah Klaten, sampai
di Pasar Tegalgondo belok kanan. Terus sampai Polanharjo.
Terus tanya saja mana pesantren. Gitu saja ya. Aku
tergesa-gesa nih."
“Ya baik Na. Terima kasih ya. Sampai ketemu nanti."

Insya Allah."

Eh sebentar Na."
“Ada apa lagi?"
“Kau sampai di pesantren kira-kira pukul berapa?"

Insya Allah tepat jam satu. Acaraku setengah dua."

Terus aku harus pakai kerudung?"
“Terserah kamu. Pakai kerudung lebih baik."
“Terima kasih Na."
“Sama-sama."
Husna menutup hand phonenya. Lalu beranjak ke almari
pakaiannya. Mengambil gamis panjangnya yang masih
terlipat rapi dan selembar jilbab. Ia bungkus koran lalu ia
63
masukkan ke dalam tas plastiknya. Ia lalu berangkat ke radio
JPMI Solo.
* * *
Selesai siaran di radio JPMI yang terletak tak jauh dari
GOR Manahan, Husna langsung memacu sepeda motor-nya
ke barat. Ia melaju menuju desa Wangen. Ia harus
menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilometer. Ia
melaju melewati tugu Kartasura. Lalu belok kiri ke arah
Klaten. Melewati markas Kopasus Kandang Menjangan.
Ia mengencangkan laju kendaraan. Setengah jam
kemudian ia sudah sampai di pasar Tegalgondo. Ia belok
kanan. Lalu melaju dalam kecepatan pelan. Empat puluh
kilometer perjam ke arah barat. Ke arah Janti.
Di sepanjang jalan yang ia lewati berjajar pepohonan,
sebagian di antaranya pohon-pohon besar seperti pohon
Asam, Randu, Akasia dan Waru. Sesekali ada juga pohon
Gayam. Juga pohon Mangga. Di samping kiri jalan ada
sungai kecil yang airnya jernih mengalir sepanjang tahun.
Di kanan kiri jalan sejauh mata memandang adalah
persawahan yang hijau. Sesekali terlewati juga beberapa
rumah penduduk.
Angin mengalir sepoi-sepoi. Udara di sepanjang jalan itu
jauh lebih nyaman dibandingkan dengan udara Solo dan
Kartasura. Sampai di Polanharjo Husna berhadapan dengan
pertigaan. Ada papan petunjuk yang menjelaskan letak
pemancingan Janti. Di situ memang banyak berdiri rumah-
rumah pemancingan yang sekaligus rumah makan.
64
Biasanya di dalamnya ada juga kolam renang. Orang-
orang Solo dan Klaten sering menjadikan tempat-tempat itu
sebagai tempat pilihan untuk rekreasi keluarga dan makan-
makan.
Husna belok kiri. Terus melaju. Tak lama kemudian ia
sampai di Desa Wangen. Ada papan petunjuk yang
mengarahkannya ke arah pesantren. Kira-kira seratus meter
sebelum gerbang pesantren ia melintasi seorang perempuan
bercelana jeans biru kaos putih ketat.
Rambutnya tergerai ke kiri dan ke kanan ditiup angin. Ia
lihat mukanya. Perempuan itu juga melihat ke arahnya.
“Zumrah!" Teriaknya.
“Husna!" Perempuan itu juga berteriak memanggil
namanya.
Husna menghentikan sepeda motornya dan melepas
helmnya. Ia gantungkan helmnya di cantolan depan.
“Ayo naik Zum!" Zumrah naik di boncengan. Husna
kembali men-jalankan motornya.
“Kok jalan kaki Zum?"
“Tadi aku naik ojek. Aku ke Janti dulu tadi. Makan
siang. Terus aku jalan. kamu nggak malu memboncengkan
aku dengan pakaianku seperti ini?"
"Ah kalau aku sih tidak malu. Semestinya kan kamu yang
malu Zum. Bukan aku. Masak pakai pakaian ketat begitu,
65
pusermu kelihatan lagi. Apa nggak risih Zum." Jawab Husna
santai.
“Benar kamu tidak malu membongcengkan aku Na?"
“Kenapa malu? Apa dosaku boncengkan kamu? Justru
aku yang akan balik bertanya, apa kamu tidak malu. Nanti
ada ribuan santri lho Zum. Pasti kamu akan jadi pusat
perhatian kayak artis. Kalau aku kan santai saja lha wong
pakaianku sama dengan mereka."
“Ah cuek aja!"
“Ya terserah kamu Zum. Jangan salahkan aku juga
misalnya kamu nanti tidak boleh masuk karena ada
peraturan pesantren yang mengharuskan tamu harus
berpakaian sopan."
“Wah kalau begitu pesantren memaksakan kehendak ya
Na. Tidak demokratis."
“Ya tidaklah Zum. Pesantren sama sekali tidak
memaksakan kehendak. Lha mereka tidak pernah
memberlakukan peraturan kecuali hanya dalam lingkungan
pesantren saja. Itu kan sama seperti kamu punya rumah.
Rumah kamu full karpet. Kamu punya peraturan yang
masuk rumahmu harus copot sepatu. Apalagi jika sepatunya
kotor belepotan lumpur lagi, pasti kamu melarang keras
sepatu itu menginjak-injak karpet rumahmu yang bersih kan?
Kamu akan marah besar jika ada tamu yang nekad tetap
memakai alas kaki kotor belepotan lumpur masuk rumahmu,
apalagi misalnya sampai nekad masuk kamarmu, terus tidur
66
di tempat tidurmu dengan tidak mencopot alas kakinya yang
belepotan lumpur. Iya tho? Apa kalau kamu marah pada
orang seperti itu lantas kamu tidak demokratis?"
“Ya itu wajar Na. Sudah jamak. Sepatu belepotan
lumpur tidak boleh menginjak karpet, kan mengotori. Ih itu
jorok namanya Na!"
"Ya sama saja tho Zum. Bagi kalangan pesantren,
mengumbar aurat itu mungkin lebih jorok dari sepatu kotor
yang belepotan lumpur. Hanya bedanya lumpur itu joroknya
tampak zahir, sedangkan mengumbar aurat termasuk
pusarmu itu joroknya kasat mata. Joroknya lebih gawat
sebab bisa meracuni jiwa."
“Aduh Na, aku turun di sini saja! Sejak dulu aku tidak
akan pernah menang debat sama kamu! Aku jadi tidak enak
kalau masuk pesantren dengan pakaian seperti ini." Husna
mengurangi kecepatan sepeda motornya.
“Kamu mau menunggu aku di sini? Acaraku sampai jam
empat lho. Sekarang baru jam satu!"
“Bisa nggak Na kita bicara sebentar di sini."
“Satu menit bisa Zum."
“Ya jangan satu menit lah Na. Sepuluh menit saja."
“Maaf Zum tidak bisa. Bukan apa-apa. Bukan aku tidak
menghormatimu. Tapi aku belum shalat dhuhur.
Dan acaraku tepat setengah dua. Sekarang pembukaan
acara mungkin sudah dimulai. Lagian janji kita kan habis
67
ashar di pesantren. Dan kamu sepakat."
“Terus aku harus gimana Na? Aku tidak enak pakai
pakaian seperti ini ke pesantren. Biasanya aku sih cuek saja.
Tapi entah kenapa aku malu."
“Ya terserah kamu."
“Kok kamu cuek begitu sih Na sama aku?"
“Kamu sendiri yang cuek sama diri kamu. Aku mau
kamu ajak ketemu masak dibilang cuek. Kalau aku cuek pasti
aku menolak kamu ajak bicara. Aku masih Husna yang dulu.
Husna temanmu satu bangku di SD yang dulu."
“Na kalau begitu biar aku turun di sini. Aku akan balik
saja. Aku akan cari ojek ke pasar Tegalgondo. Aku akan cari
pakaian yang lebih sopan."
“Benar kamu mau cari pakaian yang lebih sopan?"
"Iya Na."
“Gampang. Kalau gitu kamu akan aku ampirkan dulu ke
tempat teman SMA-ku. Semoga dia di rumah, sekalian aku
numpang shalat dhuhur. Eh kamu sudah shalat Zum?" Husna
mencoba meraba. Benarkah yang diomongkan orang-orang
bahwa Zumrah sudah pindah agama.
“Anu Na. Em... em... Aku lagi berhalangan." Jawab
Zumrah gugup.
Jawaban yang cerdas! Desis Husna dalam hati. Ya 'aku
lagi berhalangan' maknanya bisa berhalangan karena sedang
68
datang bulan. Bisa juga berhalangan karena sudah pindah
keyakinan. Keyakinan barunya itulah yang membuatnya
berhalangan dari shalat.
“O begitu, ya sudah. Kita mampir dulu ke rumah teman
SMA-ku ya."
“Boleh Na."
“Baiklah kalau begitu." Husna tidak jadi mengambil jalan
yang lurus ke pesantren. la memutar kendaraannya lalu belok
kiri ke arah rumah penduduk. Beberapa jurus kemudian
Husna dan Zumrah sudah sampai di depan rumah tua.
Dinding-nya separo bagian bawah tembok batu bata dilabur
kapur putih dan separo bagian atas papan kayu yang sudah
keropos di sana-sini. Seorang ibu setengah baya keluar.
Begitu melihat Husna langsung tersenyum.
“Oh Nak Husna. Monggo-monggo masuk Nak. Ada
acara di pesantren ya?" Sapa ibu itu.
“Iya Bu. Kok ibu tahu?" Husna balik tanya
“Diberi tahu Siti."
“Siti ada Bu?"
“Ada di belakang sedang dandan. Dia katanya juga lihat
acaramu di pesantren."
“Kalau begitu nanti bareng saja."
"Lha ini siapa?" Tanya ibu itu sambil memandangi Zumrah.
69
“Ini Zumrah Bu, teman Husna." Husna mengenalkan,
“O ya Bu saya mau numpang shalat."
“Masuk saja Na. Wudhunya di belakang. Shalatnya di
kamar Siti saja. Sebelah kiri dapur." Husna mengambil tas
plastik ia cantolkan di bawah stang motornya. Ia lalu masuk
sambil menggandeng tangan Zumrah. Husna langsung
membawa Zumrah ke kamar Siti. Siti kaget campur bahagia
atas kedatangan Husna.
“Kau shalat di sini saja Na. Aku ke rumah sebelah ya
ada perlu sedikit nanti takut lupa." Kata Siti meninggalkan
Husna dan Zumrah.
“Zum, ini mungkin bisa kamu pakai. Semoga pas."
Husna mengulurkan tas plastiknya begitu Siti sudah hilang di
balik pintu.
“Terima kasih Na."
“Aku tidak maksa lho. Nanti kamu anggap memaksa-kan
kehendak. Tidak kamu pakai juga tidak apa-apa kok."
Zumrah hanya tersenyum. Husna mengambil air wudhu.
Lalu kembali ke kamar itu dan shalat. Selesai shalat Husna
tersenyum melihat Zumrah sudah berganti pakaian.
“Menurutku kamu malah lebih cantik pakai jilbab Zum."
“Ah masak Na. Memuji-muji biar aku pakai jilbab ya.
Sor ry Na!"
70

Kamu itu Zum, kalau dipuji disalahkan arti. Tapi kalau
tidak dipuji nanti dianggap cuek. Ya terserah kamu lah. Gitu
aja kok repot. Ayo kita berangkat, jam setengah dua kurang
lima nih! Cepat sedikit, nanti terlambat!" Mereka berdua
bergegas keluar kamar. Di ruang tamu Siti telah menunggu.
Mereka bertiga pergi membelah perkampungan menuju
pesantren. Siti mengendarai
Jupiter Z-
nya yang masih baru.
Jilbab putihnya berkibaran diterpa angin yang mengalir dari
utara ke selatan.
* * *
Pesantren Daarul Qur’an terletak di jantung desa
Wangen. Karena terletak di desa Wangen seringkali
pesantren ini disebut juga Pesantren Wangen. Wangen
sendiri dalam bahasa Jawa bermakna harum. Pesantren itu
berdiri tak jauh dari masjid tua yang di zaman perang
kemerdekaan dikenal sebagai markas pasukan Hizbullah.
Masjid itu di zamannya sangat dikenal oleh hampir
seluruh pejuang kemerdekaan di daerah Karesidenan
Surakarta.
Masjid itu sampai sekarang masih dipertahankan
keasliannya. Kini masjid itu terjepit di sela-sela rumah
penduduk yang rapat. Memang di desa Wangen, penduduk
membangun rumahnya saling merapat. Desa Wangen sendiri
dikelilingi oleh sawah yang hijau. Dulu desa itu dikenal
sebagai desa terpencil di tengah sawah.
Letaknya cukup jauh dari kota Solo maupun dari Klaten.
71
Jalan utama menuju Wangen dulunya adalah jalan dari
pasar Tegalgondo yang sekarang sudah beraspal.
Dari desa Wangen, panorama Gunung Merapi sangat
jelas dan memukau. Gunung yang kawahnya tiada henti
mengepulkan asap itu seperti terasa berat. Menurut cerita
orang-orang tua yang dulu pernah ikut berperang, jika
Hizbullah terdesak maka mereka akan mundur ke arah hutan
yang berada di kaki gunung Merapi. Mungkin karena itulah
maka dipilih sebagai markas Hizbullah. Tak jauh dari masjid
itu, tepatnya di sebelah selatan masjid itu berdiri Pesantren
Daarul Qur’an.
Pesantren itu telah ada sebelum Republik Indonesia
merdeka. Menurut orang-orang tua desa Wangen, pesantren
itu didirikan oleh Kiai Sulaiman Jaiz pada tahun 1925. Kiai
Sulaiman dikenal sebagai Kiai pengelana. Kiai pengembara
yang sering berpindah tempat. Setiap kali
diam di sebuah daerah pasti membuka pesantren.
Sebelum mendirikan pesantren, Kiai Sulaiman Jaiz telah
mendirikan pesantren di Susukan Salatiga. Pesantren itu ia
serahkan pada muridnya lalu pindah ke desa Wangen dan
mendirikan pesantren yang kini dikenal sebagai Pesantren
Daarul Qur’an Wangen.
Pesantren itu mulanya dibangun di sebelah selatan
pemukiman penduduk. Awalnya para santri masih
menggunakan. masjid tua itu sebagai tempat belajar
mengajar. Namun Kiai Sulaiman merasa pesantrennya harus
memiliki kedaulatan penuh berkegiatan selama dua puluh
empat jam akhirnya didirikanlah masjid pesantren.
72
Dengan tujuan agar kalau kegiatan malam tidak meng-
ganggu penduduk. Sebab masjid tua itu terletak di tengah-
tengah pemukiman penduduk.
Setelah lima tahun berjalan, pesantren itu mulai dikenal
orang dan santrinya sudah berjumlah puluhan orang. Karena
dinilai cukup bisa mandiri, Kiai Sulaiman menyerahkan
pesantren itu pada seorang muridnya yang paling ia anggap
mumpuni. Namanya Mas Sahrun. Ia asli putra desa Wangen.
Anak carik desa Wangen, lahir di Wangen, sejak kecil hingga
dewasa tinggal di Wangen.
Begitu diamanati memegang pesantren, Mas Sahrun
menikah dengan putri lurah Wangen yang terkenal kaya.
Namanya Lurah Pujo. Putri lurah Pujo itu namanya
Dewi Sukesih.
Menurut cerita yang masih diingat masyarakat desa
Wangen, Dewi Sukesih terkenal paras rupanya yang
menawan siapa saja yang melihatnya. Banyak pemuda anak
para pejabat mulai dari Lurah, Camat, Bupati dan Wedana
yang datang untuk menyuntingnya. Tapi tidak ada satupun
yang diterima. Lurah Pujo sampai bingung kenapa putrinya
itu menolak semua lamaran yang datang.
Setelah didesak, akhirnya sang putri mengaku terus
terang bahwa dia hanya mencintai seorang pemuda yang
namanya Mas Sahrun bin Carik Jaelan. Dan ternyata Dewi
Sukesih itu mencintai Mas Sahrun karena suaranya yang
indah jika mengumandangkan azan. Dari pernikahan Mas
Sahrun dengan Dewi Sukesih lahirlah Lutfi Hakim, yang kini
dikenal sebagai ulama paling di segani di Klaten. Beliau
73
adalah ayah dari Anna Althafunnisa, Pengasuh Pesantren
Daarul Qur’an yang alim berwibawa.
Adapun ihwal Kiai Sulaiman Jaiz setelah itu tidak
terlacak riwayatnya. Ada banyak cerita beredar tapi tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada yang
mengatakan Kiai Sulaiman telah pergi jauh di ujung timur
pulau Jawa. Tepatnya di sebuah desa pinggir pantai
Banyuwangi. Ada yang cerita Kiai Sulaiman pergi ke daerah
Mranggen Demak. Di sana Kiai Sulaiman bersama dengan
seorang Kiai bernama Ibrahim Brumbung mengangkat
senjata melawan penjajah dan akhirnya mati syahid. Cerita
tentang Kiai Sulaiman jadi simpang siur tidak jelas.
Sejak meninggalkan Wangen, Kiai Sulaiman tidak
pernah sekalipun datang lagi ke Wangen. Tak terlacak
jejaknya. Namun yang selalu diingat oleh orang-orang Kiai
Sulaiman telah meninggalkan warisan yang sangat berharga
bagi penduduk desa Wangen dan sekitarnya.
Dalam buku sejarah Pesantren Wangen tertulis dengan
tinta emas bahwa Kiai Sulaiman Jaiz adalah sang pendiri
pesantren dan guru ilmu
alat
pertama di desa Wangen.
6
Keadaan pesantren Wangen sekarang sangat jauh
berbeda dengan saat didirikan Kiai Sulaiman. Jika dulu
santrinya hanya puluhan sekarang sudah ribuan. Jika dulu
74
ilmu yang diajarkan masih terbatas membaca Al Qur’an,
Fashalatan, dan ilmu alat, sekarang hampir semua cabang
keilmuan Islam diajarkan. Ditambah wawasan sains modern.
Pengetahuan sastra budaya juga tidak di-tinggalkan.
Dan siang itu Pesantren Wangen menggelar acara besar
yang berbeda dari hari-hari biasa. Acara siang itu adalah
bedah buku kumpulan cerpen remaja terbaik nasional
berjudul Menari Bersama Ombak karya penulis muda
berbakat dari Kartasura.
Aula utama pesantren penuh sesak oleh ribuan
santriwan dan santriwati. Acara sudah dimulai. Lantunan
ayat-ayat suci Al Qur’an menyusup ke dalam relung-relung
hati. Pada saat sambutan dari pengasuh pesantren usai,
puluhan santriwati berebutan mencium tangan Husna,
Zumrah dan Siti. Panitia dengan sigap menga-mankan
mereka bertiga dan langsung membawa ke kursi di jajaran
paling depan. Husna didudukkan tepat di samping Anna
Althafunnisa. Saat kenalan Anna meng-gunakan nama
penanya Bintun Nahl. Husna lalu memanggilnya dengan
Mbak Bintun. Anna tersenyum senang mendengarnya.
Akhirnya tibalah acara inti yaitu acara bedah Menari
Bersama Ombak. Ketika nama Ayatul Husna dipanggil
tepuk
tangan bergemuruh di aula itu. Husna maju ke kursi
pembicara diiring Anna Althafunnisa. Sedangkan
moderatornya adalah Nafisah, santriwati yang dikenal paling
jago olah kata.
“Ini adalah hari yang sangat istimewa bagi kita. Kita
memiliki kesempatan untuk berdialog dan bertukar pikiran
75
dengan seorang yang kita kagumi karya-karyanya.
Kita bisa sedemikian dekat dengan penulis muda paling
berbakat yang dimiliki Indonesia saat ini. Dia adalah Ayatul
Husna yang telah menulis puluhan cerpen dan telah
menerbitkan belasan kumpulan cerpen. Kumpulan cerpen
paling fenomenal hasil karyanya yang mengguncang jagat
sastra tanah air adalah Menari Bersama Ombak. Baiklah saya
tidak memperpanjang kata, kita akan dengarkan bersama
sedikit cerita dari Mbak Husna bagaimana mulanya dia
berkenalan dengan dunia tulis menulis. Apa yang men-
dorongya menulis karya. Serta apa inspirasinya menulis
cerpen Menari Bersama Ombak." Nafisah membuka bedah
buku itu dengan pengantar yang cukup memukau hadirin.
Aula senyap sesaat. Semua mata tertuju pada Husna yang
tampak begitu bersahaja.
Meskipun wajahnya tampak biasa saja dibandingkan
dengan Anna Althafunnisa yang duduk di sampingnya.
Namun wajah Husna tetap memancarkan aura yang
menyejukkan mata.
Sebelum memulai bicara Husna tersenyum pada ribuan
santriwan dan santriwati yang ada di hadapannya.
la memulai dengan memuji Allah dan membaca
shalawat kepada Rasulullah Saw. Lalu ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang menyelenggarakan acara luar
biasa itu.
Juga kepada seluruh pembaca yang mengapresiasi
76
karya-karyanya.
“Jujur saya mengenal dunia tulis menulis secara serius
sejak kelas dua SMA. Ceritanya saya memiliki seorang kakak
yang kuliah di luar negeri. Tepatnya di Universitas Al Azhar
Mesir. Hampir tiap bulan kakak saya menulis surat untuk
saya dan adik-adik saya. Saat itu saya yang paling tua jadi
saya yang berkewajiban membalas surat-surat kakak saya.
“Ternyata, tidak terasa itu jadi latihan yang sangat efektif
bagi saya. Sebab seringkali saya harus menulis surat sampai
belasan halaman saat menjawab surat kakak saya.
“Suatu hari kakak saya menulis surat kepada saya. Dia
bercerita bahwa dia sangat tersentuh membaca surat yang
terakhir saya tulis untuknya. Ada satu perkataan kakak saya
yang sampai sekarang masih saya ingat betul dan masih
membekas dalam hati saya. Kakak saya menulis begini,
'Suratmu, Adikku, seolah menjadi oase bagiku. Di tengah
gersang dan panasnya padang sahara kerinduan
kepada kalian, suratmu adalah pelepas dahaga sekaligus
penyejuk jiwa. Bahasamu bukanlah bahasa anak SMA. Tapi
bahasamu adalah bahasa jiwa para sastrawan dan pujangga
yang orisinil lahir dari malakatun nafsi, bakat jiwa. Cobalah
adikku kamu gunakan bakatmu itu untuk menulis karya
sastra. Semisal puisi, cerpen atau novel. Tulislah dengan
serius. Niatkan demi mensyukuri karunia pemberian Allah.
Dan niatkan untuk sedikit-sedikit mencari nafkah demi
membahagiakan ibu kita tercinta. Aku sangat yakin jika kamu
serius kamu akan jadi penulis yang cemerlang!'
“Kalimat dari kakak tercinta itulah yang sangat
77
memotivasi saya untuk kemudian belajar teknik menulis
secara serius. Lalu saya mulai menulis. Setelah perjuangan
berdarah-darah setengah tahun lamanya. Cerpen pertama
saya berjudul
“Surat Cinta untuk Kakak" dimuat di majalah remaja
Karima. Lalu saya terus menulis dan menulis. Dan akhirnya
saya benar-benar dikenal sebagai penulis.
“Kenapa kalimat kakak itu begitu memotivasi? Ada satu
cerita yang mungkin ada baiknya saya sampaikan.
Semoga jika ada hikmah di dalamnya bisa menjadi
lentera bagi kita semua.
“Kakak saya itu pergi ke Mesir saat saya masih kelas tiga
SMP. Saat kakak berangkat kami tiga bersaudara. Ibu saya
sedang mengandung. Ayah saya hanyalah seorang guru MI
swasta yang nyambi jualan soto di samping pasar Kartasura.
Ibu saya sering sakit-sakitan. Ayahlah tulang punggung dan
pelindung keluarga. Meskipun pas-pasan kami bisa hidup
dengan layak. Alhamdulillah kakak ke Mesir karena
mendapatkan beasiswa.
“Setahun setelah kakak di Cairo, ayah meninggal dunia
karena kecelakaan. Dunia seperti gelap bagi saya.
Ibu nyaris tidak berdaya, sering sakit, dan baru
melahirkan adik kami paling bungsu. Di saat seperti itulah
kakak saya di Cairo mengambil perannya sebagai tulang
punggung
sekaligus pengayom keluarga dari jauh. Kakak saya bekerja
78
mati-matian di Cairo. Dia berjualan tempe di sana demi
menghidupi kami di Indonesia. Demi agar saya dan adik-adik
saya tidak putus sekolah. Kami hidup mengandalkan kiriman
uang tiap bulan dari Cairo. Saya bisa selesai kuliah juga
mengandalkan kiriman kakak saya dari Cairo.
“Ketika kakak menuliskan suratnya di atas, hati saya
terlecut. Saya harus bisa menulis untuk membantu kakak.
Membantu ibu. Semampunya. Akhirnya dari menulis
saya bisa dapat honor dan sedikit-sedikit bisa membantu
keluarga, meskipun tetap saja mengandalkan kiriman dari
kakak di Cairo.
“Karena didorong untuk survive, untuk bisa sedikit
bernafas dalam himpitan ekonomi, maka saya berjuang keras
dengan menulis. Alhamdulillah, Allah meridhai ikhtiar saya.
Saat ini saya bisa bernafas lebih lega di antaranya karena
menulis.
“Adapun inspirasi cerpen 'Menari Bersama Ombak'
adalah ketegaran dan kesabaran kakak saya. Saya tahu
kakak saya siang malam bekerja membuat dan menjual
tempe juga menjual bakso di Cairo. Sampai dia mengor-
bankan kuliahnya. Tapi saya justru menemukan sosok yang
saya kagumi, sosok yang seolah terus menari indah bersama
ombak kehidupan yang terus datang silih berganti.
Terkadang ombak itu datang menggunung sede-ras tsunami.
Namun kakak mampu mengatasinya dengan tariannya yang
indah. Ini yang bisa saya sampaikan." Begitu Husna selesai
bicara tepuk tangan ribuan santri bergemuruh beberapa saat
lamanya. Anna yang duduk di sampingnya takjub dengan
uraian Husna. Takjub dengan cara penyampaian dan isinya.
79
Dan diam-diam takjub dengan kakak Husna yang menjadi
matahari bagi adik-adiknya. Diam-diam ia penasaran siapa
kakak Husna itu? Apakah ia mengenalnya? Selama di Mesir
ia belum pernah dengar ada seorang yang bekerja membuat
tempe untuk menghidupi adik-adiknya di Indonesia.
Setahunya ada mahasiswa jualan tempe untuk menambah
uang saku dan belanja hariannya. Ingin rasanya Anna
memperkenalkan kepada Husna siapa dirinya. Tapi ia saat
itu ia urungkan niatnya, ia sudah terlanjur memakai nama
penanya, Bintun Nahl.
Ketika Anna masih hanyut dengan rasa penasarannya
pada tokoh kakak yang telah mampu mendidik seorang adik
menjadi sekualitas Ayatul Husna, sang moderator
mempersilakannya untuk angkat bicara.
Anna pun berbicara dengan bahasa lugas, tulus dan
bersahaja,
“Terus terang saya bukan pakar sastra, bukan kritikus
sastra, bukan pula orang yang bergelut dengan dunia sastra.
Saya hanya orang awam, yang bolehlah disebut pecinta
sastra.
Dalam pandangan saya yang awam sastra, cerpen-
cerpen Mbak Husna ini bisa digolongkan sastra berten-dens.
Sastra yang mengajak pembacanya untuk sadar sebagai
manusia. Cerpen Menari Bersama Ombak mengajak kita
bersabar atas musibah yang menimpa dan bersyukur atas
apa saja yang diberikan oleh Allah kepada kita.
Saya awam sastra tapi cerita Mbak Ayatul Husna tadi
80
tentang bagaimana ia berjuang untuk survive dengan menulis
bagi saya adalah juga sebuah karya sastra. Bahkan karya
sastra yang dahsyat sebab itu adalah pengalaman nyata.
Bahkan sosok Ayatul Husna itu sendiri adalah karya
sastra.
Senyumnya, sorot matanya, keteduhan wajahnya, gerak
tangannya dan tutur katanya. Semuanya adalah sastra!"
Spontan hadirin tersenyum dan bertepuk tangan dengan
gemuruh. Husna tersipu-sipu mendengar perkataan Anna.
Husna merasakan bahwa yang duduk di sampingnya bukan
orang yang awam sastra tapi orang yang sepertinya sangat
mengerti sastra.
Setelah itu acara disambung dengan dialog interaktif.
Puluhan santri mengacungkan tangan. Dua santri putra
dan dua santri putri terpilih untuk bicara dan bertanya.
Satu persatu keempat santri menyampaikan isi hatinya.
Ada yang menyampaikan kesannya saat membaca
cerpen
Menari Bersama Ombak
. Ada yang bertanya
bagaimana
caranya mencari ide menulis? Ada juga yang
bertanya tips menulis yang baik. Dan penanya terakhir,
seorang santriwati berjilbab merah marun berkata,
“Salah satu cerpen dalam buku ini berjudul Ketika
Naya
Jatuh Cinta. Per tanyaan saya, orang kok begitu sering
berbicara tentang cinta. Pertanyaan saya apa sih sebenarnya
cinta menurut Mbak Husna dan menurut Mbak Bintun? Dan
pertanyaan saya kalau boleh jujur pernahkan Mbak berdua
81
jatuh cinta? Dan maaf kalau ini terlalu vulgar, bolehkah kami
tahu jatuh cinta sama siapa?" Husna menjawab semua
pertanyaan dengan baik dan runtut. Untuk pertanyaan
terakhir Husna menjawab,

Menurutku, cinta adalah kekuatan yang mampu
mengubah duri jadi mawar, mengubah cuka jadi anggur,
mengubah malang jadi untung, mengubah sedih jadi riang,
mengubah setan jadi nabi, mengubah iblis jadi malaikat,
mengubah sakit jadi sehat, mengubah kikir jadi dermawan
mengubah kandang jadi taman mengubah penjara jadi istana
mengubah amarah jadi ramah mengubah musibah jadi
muhibah itulah cinta!
7
Mendengar puisi itu, sepontan para santri mengu-
mandangkan takbir dan bertepuk tangan penuh rasa takjub.
Puisi itu begitu indah menyihir perasaan mereka.
Sang moderator lalu beralih ke Anna Althafunnisa.
“Kalau menurut Mbak Bintun Nahl, cinta itu apa?"
Tanya moderator.
“Emm... apa ya?" Jawab Anna sambil berpikir. la diam
sesaat. Para santriwati diam. Mereka sangat penasaran apa
yang akan dikatakan putri Kiai mereka tentang cinta.

Mmm... cinta! Menurutku, Sekalipun cinta telah kuuraikan
dan kujelaskan panjang lebar.
Namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada kete ranga nku
sendiri.
Diadaptasi dengan banyak perubahan dari puisi Rumi dalam Masnawinya.
7
82
Meskipun lidahku telah mampu menguraikan dengan terang.
Namun ta npa lidah, cinta ternyata lebih tera ng Sementara pena
begitu tergesa-gesa menuliskannya.
Kata-kata pecah be rkeping-keping begitu sampai kepa da cinta
Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tak berdaya Ba gaikan
keledai terbaring dalam lumpur Cinta sendirilah yang menerangkan
cinta Dan percintaan!"
8
Jawaban Anna terasa lebih dahsyat. Dan aula pesantren
itu kembali larut dalam gemuruh tepuk tangan sebagai tanda
rasa takjub, dan bahagia bercampur cinta. Acara siang itu
benar-benar terasa hidup. Para santri mendapat pencerahan
yang berbeda dari biasanya.
Sementara Zumrah yang duduk di bangku depan
deretan hadirin, tak bisa menahan air matanya. la kagum
sekaligus iri pada Husna, Bintun Nahl yang tak lain adalah
Anna Althafunnisa dan pada seluruh santri putri yang
sedemikian bergairah merajut masa depan. Mereka dalam
pandangannya ibarat mata air jernih yang menyejukkan dan
belum tercampur kotoran. Sementara ia rasa dirinya ibarat
comberan yang menjijikkan. Ia bertanya dalam hati
mungkinkah ia kembali bening seperti mereka?
8
83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar