Minggu, 14 Juni 2009

Dewi Cinta

berangkat dari terminal Tirtonadi naik bus Cepat Jaya.
Meskipun ia seorang cerpenis yang kumpulan cerpennya
lerpilih sebagai kumpulan cerpen terbaik se-Indonesia,
namun ia masih juga bertanya-tanya seperti apakah Jakarta?
Apakah seperti yang ia imajinasikan ketika melihatnya di
televisi. Ini memang untuk pertama kalinya ia pergi ke
Jakarta. Waktu Azzam berangkat ke Mesir dulu ia hanya
mengantar sampai ke stasiun Balapan. Selanjutnya
ayahnyalah yang mengantarkan kakaknya ke Gambir,
Jakarta. Dari Gambir, menurut cerita ayahnya, baru naik bus
ke bandara. Ayahnya cerita dari stasiun Gambir tampak
Monas di depan mata.
Ia sebenarnya ingin naik kereta. Seperti cerita ayahnya.
123
Agar bisa melihat Monas segera. Namun jika naik kereta
ia berangkat sendirian. Tak punya teman. Jika naik bus
kebetulan ada seorang teman kuliahnya di UNS dulu yang
pulang ke Jakarta. Rumahnya tak jauh dari terminal Lebak
Bulus. Temannya itu bernama Rina. Ketika ia ketemu Rina
dan menceritakan akan pergi ke Jakarta untuk menerima
penghargaan dari Diknas, Rina berkata padanya,
“Na, naik bus saja bareng aku. Nanti ke rumahku dulu.
Baru nanti kamu aku antar ke Cikini." Ia tak bisa
menolak ajakan Rina. Baginya pergi ke Jakarta bersama Rina
lebih aman dan nyaman. Rina lebih hafal medan
dibandingkan dirinya. Rina juga seorang teman yang enak
diajak bicara.
Ini kali pertama ia pergi ke Jakarta, dan ini adalah detik-
detik yang ia nikmati dengan sangat bahagia. Selain ia akan
menerima penghargaan langsung dari menteri, ia juga akan
menjemput kakaknya tercinta di bandara.
Inilah kuasa Allah. Kakaknya akan sampai di bandara
satu hari sebelum acaranya menerima penghargaan di
Taman Ismail Marzuki, atau juga masyhur disebut TIM.
Rina juga akan menemaninya menjemput kakaknya
tercinta.
Tepat pukul empat. Bus eksekutif yang ia tumpangi
berangkat. Ia melambaikan tangan pada Lia. Lia sebenar-nya
ingin ikut, tapi siapa yang akan menemani ibunya.
124
Jika Lia dan ibunya ikut ia rasa sangat besar biayanya.
Dan akan lebih repot nanti di Jakarta. Dari jendela bus ia
memandangi Lia yang tersenyum kepadanya. Ia membalas
dengan senyum serupa.
Bis melaju ke arah barat. Terus maju meninggalkan kota
Solo. Terus melaju beriringan dengan puluhan kendaraan
yang melaju ke arah yang sama. bus itu melewati Boyolali,
Ampel, Salatiga, Bawen, Ungaran dan Semarang. Kira-kira
jam sembilan malam bus itu berhenti di sebuah rumah
makan yang cukup besar di Weleri, Kendal.
Para penumpang turun untuk rehat sebentar. Untuk
buang air, shalat dan makan. Husna dan Rina turun.
Mereka berdua shalat dulu baru makan.
“Pilih apa ya Rin enaknya?" Tanya Husna agak bingung
menentukan menu makanannya.
“Pilih apa saja. Tapi kamu jangan kaget ya, kalau agak
mahal. Namanya juga di jalan." Jawab Rina.
“Kamu pilih apa Rin?"
“Kalau aku suka yang panas. Aku pilih soto ayam saja."
“Aku sama aja." Saat membayar harga makanannya
Husna berseloroh lirih,
“Mahalnya." Sang kasir rumah makan itu mendengar
seloroh Husna. Tapi diam saja. Wajahnya dingin. Ia seperti
menyatu dengan mesin penghitung uang di hadapannya.
Mungkin ia sudah sangat terbiasa mendengar perkataan itu.
125
Dan ia sudah menyiapkan mental untuk menghadapinya.
“Kan sudah kubilang jangan kaget kalau harganya
mahal." Kata Rina sambil memasukkan kecap ke dalam
mangkok sotonya.
“Harga semangkok soto di sini bisa untuk membayar tiga
mangkok soto di Kartasura Rin."
“Ah ini belum seberapa Na. Tahun lalu aku pergi ke
Hongkong. Di sana ada restoran Indonesia. Tahu nggak
kamu harga semangkok soto di sana bisa untuk membayar
enam mangkok soto di Kartasura. Udahlah, kita nikmati.
Makan kalau sambil mengingat kalau harganya mahal
malah tidak nikmat."
“Benar kamu Rin." Keduanya lalu makan dengan
lahapnya. Deraan lapar membuat soto ayam itu terasa
nikmat rasanya. Selesai makan mereka langsung naik bis,
karena kondektur bus sudah memanggil-manggil para
penumpangnya.
Bis melanjutkan perjalanan. Kira-kira sepuluh menit
kemudian Husna diserang rasa kantuk habis-habisan. la
memang kurang tidur dan kelelahan. Kemarin malam ia
menjadi panitia kegiatan MABIT aktivis dakwah masjid At
Takwa yang terletak di samping stasiun radio tempatnya
bekerja. Ia nyaris tidak tidur semalam penuh. Paginya sampai
siang ia harus mengajar di UNS. Lalu siaran.
Menyiapkan bekal ke Jakarta. Dan selepas ashar ia harus
126
berangkat ke terminal.
Husna tidur dengan nyenyak. Rina yang duduk di
sampingnya agak kecewa. Sebenarnya ia ingin berbicara
banyak dengan temannya itu, ia ingin bercerita kesana
kemari dan berdiskusi apa saja. Tapi Husna malah tidur
mendahuluinya. Penumpang bus hampir semuanya pulas
dengan rnimpinya. Akhirnya Rina tidur juga.
Ketika bus sampai tol Cikampek Rina sempat terbangun.
Ia melongok ke jendela sebentar, memastikan sudah sampai
di mana. Tapi itu hanya beberapa saat saja.
Ia lalu tidur kembali menyusul Husna.
Pukul lima pagi bus Cepat Jaya itu memasuki terminal
Lebak Bulus. Hari masih gelap dan sisa-sisa fajar masih
tampak di langit. Begitu bus berhenti puluhan penumpang
turun teratur. Rina menunggu sampai seluruh penumpang
turun baru membangunkan Husna yang masih pulas di
kursinya.
“Na bangun! Sudah sampai!" Husna mengucek kedua
matanya.
“Sudah sampai Jakarta?"
“Iya. Kita sudah di Lebak Bulus. Ayo kita turun!" Husna
bangkit mengikuti Rina. Ia menenteng barang bawaannya.
Begitu ia turun belasan tukang ojek menyerbu,
“Mbak ojek Mbak! Ciputat Mbak!"
127
“Ke Bintaro Mbak? Diantar pakai ojek yuk!"
"Ke Cirendeu Mbak? Pakai ojek murah. Ayo!" Rina menepis
tawaran itu. Husna diam saja dan terus mengikuti langkah
Rina.
“Na kita ke mushala dulu ya? Kita shalat subuh gantian.
Kalau tak dijaga barang-barang kita bisa hilang."
“Ya. Mana mushallanya?"
“Itu, tak jauh dari pintu keluar." Dua gadis itu bergegas
ke mushalla. Husna melihat jam tangannya. Sudah jam lima
seperempat. la memper-cepat langkahnya. Begitu sampai di
mushalla ia berkata pada Rina.
“Rin, yang shalat aku dulu ya?"
“Iya. Tapi cepat ya. Waktunya mepet." Husna dengan
cepat mengambil air wudhu lalu shalat.
Setelah itu gantian Rina. Pagi telah menunjukkan
kesibukannya ketika mereka berdua keluar dari terminal.
“Wah, sepagi gini kendaraan sudah memenuhi jalan
Rin."
“Inilah Jakarta Na. Jika ingin sampai di tempat kerja
tepat pada waktunya. Jam empat harus bangun. Mandi dan
siap-siap. Begitu rampung shalat subuh langsung berangkat.
Terlambat setengah jam saja bangun maka alamat sampai di
tempat kerja akan kesiangan. Aku dulu waktu SMA seperti itu
Na harianku. Aku harus bangun jam empat jika tidak ingin
128
terlambat sekolah. Jakarta ini kota paling macet sedunia!"
Cerocos Rina menerangkan.
“Kita ada yang jemput Rin?"
“Seharusnya Papa yang jemput. Seharusnya beliau
sudah menunggu di mushalla. Tapi kok tidak ada. Coba aku
kontak ke rumah." Rina lalu memanggil dengan hp-nya.
Sesaat terjadi pembicaraan antara Rina dengan ayahnya.
Selesai menelpon Rina berkata pada Husna,
"Aduh afwan ya Na. Ternyata mobil ayah lagi ngadat.
Maklum mobil tua. Jadi tidak ada yang menjemput. Kita
naik angkot ya? Nggak apa-apa kan Na?"
“Ah tidak apa-apa. Kebetulan nih, aku bisa tahu rasanya
naik angkot di Jakarta. Malah bisa jadi sumber inspirasi kalau
nanti nulis cerpen."
“Ah dasar penulis! Apa aja jadi sumber inspirasi."
* * *
Rumah Rina tidak besar juga tidak kecil. Berdiri di atas tanah
seluar seratus sepuluh meter persegi. Terletak di tengah-
tengah perumahan yang rapat di daerah Ciputat Indah.
Rumah itu tampak baru direnovasi. Tampilannya terlihat
modern dan minimalis.
“Baru lima bulan yang lalu selesai direnovasi. Memang
sudah seharusnya direnovasi. Sudah terlalu tua. Sudah
banyak titik-titik bocor kalau hujan. Untuk merenovasi ini
ayah harus merelakan hampir seluruh tabungannya habis.
Maklum pegawai negeri." Jelas Rina begitu masuk rumah.
129
Mereka berdua disambut oleh ibu Rina yang sangat ramah.

Sugeng rawuh Mbak."
Sapa ibu Rina dengan bahasa
Jawa halus.
“Lha Ibu asli Jawa?" Tanya Husna setengah heran.

Inggih, kulo saking Sragen."
1 0

Sudah berapa lama ibu tinggal di Jakarta?"
“Sejak Rina berusia satu tahun. Jadi sudah berapa tahun
ya Rin?" Akhirnya ibu Rina menjawab dengan bahasa
Indonesia.
“Ya berarti sudah dua puluh empat tahun Ma." Sahut
Rina.
"Ya, sudah dua puluh empat tahun."
“Bu, Husna biar mandi ya?" Kata Rina pada ibunya.
“Ya. Masukkan dulu semua barangnya ke kamarmu.
Setelah mandi sarapan!" Rina lalu mengajak Husna ke
kamarnya.
Husna masuk kamar sahabatnya itu dan mengitarkan
pandangannya ke seantero kamar yang luasnya tiga kali tiga.
Kamar tidur Rina jauh lebih baik dibandingkan kamarnya
10
130
yang hanya berdinding papan di Sraten. Kamar Rina
berlantai keramik cokelat muda. Dindingnya biru laut. Langit-
langit kamarnya putih bersih. Kamar yang cukup mewah di
mata Husna. Sementara kamarnya berlantai semen.
Warnanya hitam. Dindingnya putih kusam. Dan langit-
langitnya adalah anyaman bambu yang kusam dan di sana
sini sudah bolong-bolong..
Husna membuka tasnya mengambil handuk dan
peralatan mandinya. Rina menunjukkan kamar mandi.
Sebuah kamar mandi yang dalam pandangan Husna
juga cukup mewah. Setengah dindingnya berkeramik hijau
tua.
Ada shower dan wastafel di dalamnya.
Pagi itu, setelah mandi, Husna sarapan dengan nasi
rawon. Husna makan dengan lahap dan bersemangat.
“Wah rawonnya mantap Bu." Kata Husna memuji.
“Yang masak itu Si Luna, adiknya Rina." Jawab ibu Rina
ringan.
“Mana dia Bu?"
“Sudah berangkat kerja."
“Di mana dia kerja?"
“Di sebuah penerbit buku di Ciganjur."
131
“Berarti dia penulis Bu?"
“Tidak. Dia akuntan."
“O. Anak ibu semua berapa?"
"Semua empat. Rina nomor dua. Nomor satu Adam.
Dia masih kuliah di Bandung. Lalu Rina. Lalu Luna. Dan
terakhir Rendra."
“Rendra?"
“Iya."
“Kenapa dinamakan Rendra Bu. Suka ya sama Rendra,
penyair terkenal itu."
“Iya. Terutama ayahnya. Ayahnya sangat suka sajak-
sajak yang ditulis W.S. Rendra."
“Renda sekarang kelas berapa Bu."
“Baru kelas empat SD."
“Juga sudah berangkat sekolah."
“Iya bareng sama ayahnya. Kalau Dik Husna berapa
bersaudara?"
“Saya empat bersaudara juga Bu. Saya juga anak nomor
dua. Sama dengan Rina. Kakak saya juga masih kuliah. Dia
kuliah di Cairo. Terus saya. Adik saya Lia dan yang ragil
Sarah masih di pesantren."
132
“Kakakmu kuliah di Cairo?"
“Iya."
“Laki-laki atau perempuan?"
“Laki-laki."
“Sudah menikah?"
“Belum."
“Sudah punya calon?"
“Belum. Kenapa ibu menanyakan itu?"
“Ya namanya juga ikhtiar. kamu tahu kan Dik. Saya
punya dua anak gadis yang belum nikah. Rina dan Luna.
Siapa tahu bisa berjodoh dengan kakakmu." Ibunya
Rina berterus terang tanpa basa-basi lagi.
Rina merah padam mendengarnya.
"Ah Mama ini. Apa saya pantas untuk kakaknya Husna?
Kakaknya seorang penulis cerpen terbaik di Indonesia. Saya
ini gadis bodoh dan tidak cantik lagi. Apa saya pantas?"
Sahut Rina merendah.
“Rin, kalau memang berjodoh maka kita tidak bisa
mengatakan pantas atau tidak pantas. Seorang muslimah
yang baik selalu pantas untuk seorang muslim yang baik."
Kata Husna
133
“Benar, Dik Rina. Seperti saya inilah contohnya.
Saya ini kan dulu datang ke Jakarta awalnya bekerja
sebagai pembantu rumah tangga. Lalu pindah kerja sebagai
pelayan Warteg. Di antara pelanggan warteg itu seorang
pemuda tampan yang bekerja di Diknas.
Mungkin orang berkata saya tidak pantas berjodoh
dengan pemuda itu. Tapi ternyata Allah memper-temukan
kami dalam ikatan suci. Pemuda itu ya ayahnya Rina itu."
Terang Ibu Rina.
“Cerita yang menarik untuk dijadikan cerpen Bu."
“Boleh." Sahut Ibu Rina.
“Jangan lupa nanti royaltinya ya." Canda Rina sambil
tersenyum.
“Jadi kamu tidak keberatan misalnya kakak kamu dapat
Rina atau Luna?" Tanya Ibu Rina.
Husna tersenyum pada Rina. Rina merah padam.
“Sama sekali tidak Bu. Selama kakak saya suka saya
juga suka. Kebetulan besok pagi kakak saya datang dari
Cairo. Dan saya akan menjemputnya di bandara. Rina
katanya mau ikut."
“Kalau perlu kami sekeluarga ikut menjemput." Ibu Rina
semangat.
134
“Janganlah Ma. Biar saya saja yang menemani Husna."
Sergah Rina.
“Ya terserah mana baiknya." Jawab Ibu.
"Ikut semua sekeluarga juga tidak apa-apa. Malah ramai."
Husna berempati pada Ibunya Rina. la merasa jika mereka
sekeluarga ikut sama sekali tidak merugikannya atau
merugikan kakaknya. la yakin kakaknya malah akan merasa
bahagia.
* * *
Selesai makan Rina mengajak Husna jalan-jalan ke Mall
Bintaro. Lalu melihat kampus UIN. Jam dua siang mereka
kembali ke rumah Rina dan tidur siang. Jam empat sore
Husna bangun. Mandi. Shalat ashar lalu membaca buku
yang sempat ia beli di samping kampus UIN. la membeli
sebuah buku tua berjudul Capita Selecta, yang ditulis oleh M.
Natsir saat masih muda. Ia baca halaman perhalaman.
Ia begitu menikmati sajian pemikiran di dalamnya.
Di tengah asyiknya membaca, ia mendengar seseorang
mengetuk pintu kamar. Ia buka. Seorang gadis muda
berjilbab cokelat muda.
“Luna ya?" Tebak Husna.
“Iya Mbak. Saya sering dengar nama Mbak dari cerita
Mbak Rina. Saya juga sudah baca buku-buku Mbak.
Salut!"
“Kerja di penerbit apa Dik?"
135
“Itu Mbak di Penerbit Ciganjur Mediatama."
“Katanya besok mau ke bandara ya Mbak?"
“Iya. Mau ikut?"
“Wah maaf saya tidak bisa Mbak. Besok saya ada rapat
penting."
“Santai saja, nggak ikut nggak apa-apa."
“Mbak aku punya tulisan. Ceritanya aku sedang latihan
membuat cerpen. Tapi masih jelek rasanya. Bisa tidak Mbak
membacanya lalu aku diberi masukan-masukan begitu. Aku
ingin juga bisa menulis karya seperti Mbak."
“Oh boleh. Bawa saja kemari!"
"Terima kasih ya Mbak. Tulisannya masih di kompu-ter.
Besok saya print dulu. Nanti saya kasih Mbak dalam bentuk
print out saja."
“Oh ya itu lebih baik."
“Mbak, maaf mbak, boleh aku tanya sedikit."
“Boleh."
“Tapi ini agak bersifat pribadi banget."
“Tidak apa-apa."
“Begini Mbak, aku punya kakak lelaki. Namanya Adam.
136
Mungkin Mbak Rina sudah cerita. Tapi yang ini dia pasti
tidak cerita. Kakakku sekarang dosen di Bandung.
Sekarang mengajar sambil melanjutkan S2-nya. Dia itu
belum menikah. Beberapa waktu yang lalu dia lihat
albumnya Mbak Rina. Saat itu Mbak Rina di Solo jadi ia
tidak tahu. Lha dalam albumnya Mbak Rina itu ada foto
Mbak Rina sama Mbak Husna. Kelihatannya Bang Adam itu
tertarik sama Mbak Husna. Kira-kira bagaimana Mbak?" Jelas
Luna panjang lebar.
Husna diam. Ia heran. Ini satu keluarga bicaranya
ceplas-ceplos terus terang begitu. Tak ada basa-basinya.
Iya ibunya, iya anaknya sama saja. Ibunya
menginginkan kakaknya. Malah anaknya yang ini
menginginkan dirinya.

Allahu a'lam Dik. Jika jodoh tak ada yang bisa
menolak.
Jika tidak jodoh tak ada yang bisa mem-pertemukan."
“Iya benar Mbak. Tapi boleh dong kakakku masuk
dalam kriteria Mbak?" tanya Rina sambil senyum.
Husna pun menjawab dengan senyuman, tanpa sepatah
kata.
“Oh ya Mbak. Ngomong-ngomong sering mengikuti
sinetron Dewi-dewi Cinta?" tanya Rina melanjutkan
pembicaraan.
“Yang mana ya Dik?"
"Itu Iho yang tayang seminggu sekali tiap malam minggu,
137
pukul delapan malam. Sinetron yang di-bintangi Eliana
Pramesti Alam, artis cantik jebolan Prancis itu lho."
“O itu, sinetron tentang perjuangan guru muda c antik
anak konglomerat di pedalaman Kalimantan Tengah?"
“Iya Mbak. Wuih itu sinetron bagus lho Mbak. Teman-
teman kerjaku seringnya ya diskusi sinetron itu. Tapi apa ada
ya Mbak, anak seorang konglomerat seperti yang diperankan
Eliana itu yang memilih mengabdi jadi guru di pedalaman?"
“Ya kita berdoa saja semoga ada agar jadi teladan bagi
generasi muda."
“Nanti malam nonton sinetron itu ya Mbak? Setelah itu
kita diskusi."
“Boleh." Dan benar. Jam delapan malam sampai jam
sembilan Husna nonton sinetron Dewi-dewi Cinta. la
menyaksikan sang guru cantik bernama Hilma harus
menempuh jarak belasan kilometer dengan menggunakan
sampan demi mengajar anak-anak didiknya di pedalaman.
Dalam sinetron yang ia saksikan ia melihat guru itu nyaris
tenggelam ketika sampannya terbalik akibat hujan yang
disertai badai yang kencang. Guru itu berjuang keras untuk
tetap hidup dengan sekuat tenaga berenang. Husna kagum
dengan akting Eliana yang begitu menjiwai perannya. Ia juga
senang dengan isi ceritanya yang tidak kacangan.
“Aku baca di sebuah tabloit mingguan, saat ini Eliana
sedang membintangi sebuah film remaja yang disutradarai
oleh sutradara nomor satu di negeri ini. Katanya sih di antara
tempat yang digunakan syuting itu Kota Barat Solo.
138
Mbak Husna tahu Kota Barat Solo?" Tanya Luna.
“Tahu. Hanya belasan kilo saja dari rumah Mbak."
"Kalau begitu Mbak bisa lihat syutingnya dong.
Katanya sih seperti yang kubaca di tabloit itu syutingnya
di Solo tiga bulan lagi. Ih senang bisa bertemu sama Eliana.
Bahagianya kalau aku bisa bertemu terus foto bareng
dia."
“Kalau begitu main saja ke rumah Mbak Husna. Nanti
Mbak antar ke Kota Barat biar ketemu sama bintang pujaan
hatimu itu."
“Ih dia itu bukan pujaan hatiku saja lho Mbak. Dia itu
pujaan hati jutaan umat manusia di Indonesia."
“Benarkah?"
“Iya."
* * *
Malam itu Husna tidur di kamar Rina. Ia sendirian.
Rina tidur bersama Luna. Rendra punya kamar sendiri.
Belum genap satu hari di rumah itu, ia telah akrab
dengan semuanya. Rendra berbicara dengannya seolah
kakak kandungnya sendiri. Rendra bercerita tentang Guru
Matematikanya yang galak. Ia jadi tidak suka dengan
139
matematika karena gurunya galak dan mem-bosankan.
“Dulu saat diajar Bu Farida, Rendra suka Matematika.
Sebab Bu Farida itu menyenangkan. Nilai Matematika
Rendra selalu sembilan dan sepuluh. Tapi sekarang setelah
Bu Farida pergi, Rendra tidak suka sama Matematika.
Gurunya galak dan membosankan. Dulu Matematika itu
mudah, sekarang rasanya susah." Adu Rendra pada Husna
yang baru dikenalnya. Husna hanya bisa menjawab dengan
senyum. Ia tak tahu harus memberi solusi apa pada anak
empat SD itu.
Semua orang di keluarga Rina ini terbuka dan familiar.
Ia merasa tidak menjadi orang asing di situ. Orang yang
paling banyak cerita tentu saja Bu Harti, ibundanya Rina.
Selepas shalat Isya Bu Harti ke kamarnya dan bercerita
ngalor-ngidul, kesana kemari tentang masa mudanya. Juga
tentang keinginannya memiliki menantu yang tahu agama.
“Benar ya Dik Husna, tolonglah kenalkan Rina pada
kakakmu. Semoga dia tertarik. Rina wajahnya memang
biasa-biasa saja. Kecantikannya pas-pasan. Tapi ibu jamin
dia bisa menjadi isteri yang baik. Kelebihan Rina adalah sifat
qana'ahnya. Sifat nrimonya. Kekurangan dia sih banyak. Di
antaranya kalau dia marah lama redanya. Tapi ia
sesungguhnya orang yang tidak mudah marah. Kalau
misalnya setelah melihat Rina kakakmu tidak suka ya tidak
apa-apa. Tapi cobalah juga kamu ketemukan dengan Si
Luna.
140
Dia lebih cantik dari kakaknya. Cuma agak manja. Dan
jika sudah melihat mereka berdua kakakmu tidak suka dua-
duanya ya berarti bukan jodohnya. Iya tho." Pinta Bu Harti
dengan penuh harap pada Husna.
“Tapi kakak saya itu hanya penjual tempe lho Bu.
Selama di Cairo profesinya jualan tempe. Apa mau ibu
punya menantu penjual tempe." Terang Husna.
“Ya nggak apa-apa jualan tempe. Itu namanya ulet. Ibu
malah suka pada tipe lelaki seperti itu. Lelaki yang ulet." Bu
Harti berkata mantap.
Husna tersenyum mengingat perbincangan itu. Ia
tersenyum membayangkan jika kakaknya misalnya punya
isteri Rina atau Luna. Ia akan punya keluarga di Jakarta. Ia
kenal baik dengan Rina. Memang Rina tidak cantik.
Kulitnya kuning langsat. Badannya cukup besar. Tapi
mukanya tidak bisa dikatakan cantik. Mukanya bulat.
Hidungnya agak besar. Juga tidak bisa orang
mengatakan Rina itu jelek. Benar kata Bu Harti,
“Rina wajahnya memang biasa-biasa saja.
Kecantikannya pas-pasan." Namun ia tahu Rina itu baik dan
cekatan.
Sedangkan Luna, ia tidak tahu banyak. Luna lebih
cantik dari Rina. Tapi ya tidak cantik sekali. Hanya sudah
masuk standar untuk dikatakan cantik. Ia lihat cara
berpakaiannya sangat teliti dan rapi. Memang, dari bahasa
141
dan gerak tubuhnya agak sedikit manja. Tapi ia bisa hidup
mandin. Usai shalat maghrib ia lihat Luna membaca Al
Qur’an dengan suara pelan di ruang tamu. Menurutnya itu
sudah bisa jadi tanda bahwa Luna cinta pada Al Qur’an.
Satu kelebihan Luna yang ia tahu, yaitu Luna pandai
memasak. Untuk makan malam Luna membuat spagheti
yang sangat enak rasanya. Kakaknya, Azzam, akan cepat
gemuk memiliki isteri seperti Luna.
Dari Bu Harti, ia tahu satu kekurangan Luna. Yaitu ia
baru saja putus dengan pacarnya yang keempat. Artinya
Luna sudah empat kali ganti pacar. Ini yang ia kurang suka
pada Luna. Untuk masalah ini ia yakin Luna bisa disadarkan.
Husna tersenyum bahagia. Besok ia akan ke bandara
menjemput kakaknya. Ia akan bertemu dengan orang yang
sangat dicintainya. Bertemu dengan pahlawan yang
dirindukannya. Seperti apa wajah kakaknya setelah sembilan
tahun tidak pernah bersua? Apakah ia semakin putih?
Ataukah malah jadi bertambah hitam? Apakah kakaknya itu
kurus, ataukah malah gemuk.
Husna semakin tak sabar menanti pagi tiba. Hatinya
seolah telah hadir di bandara menanti kedatangan kakaknya.
Ia berpikir apa kira-kira yang akan ia ucapkan ketika pertama
kali bertemu dengan kakaknya? Husna terus berpikir dan
pelan-pelan tanpa ia rasakan akhirnya ia terlelap dalam
mimpinya. Mimpi bertemu kakaknya, Khairul Azzam tercinta.
Sementara nan jauh di Sraten, Kartasura sana, Lia dan
ibunya juga merasakan hal yang sama. Yaitu perasaan
bahagia dan ingin segera bertemu dengan Azzam mereka
tercinta.
142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar