Minggu, 14 Juni 2009

Jiwa Yang Bangkit

Azzam harus menunggu kesembuhannya di rumah. Dokter
mengatakan ia baru boleh lepas krek kira-kira jika sudah
sepuluh bulan sejak dioperasi. Azzam hanya bisa beraktivitas di
dalam rumah. Bulan pertama aktivitasnya ada di kamarnya,
ruang tamu, dapur, dan kamar mandi.
Yang paling susah saat ia akan mandi atau buang air
besar. Perban yang ada di kaki kiri dan tangan kiri tidak boleh
terkena air. Untuk buang air besar ia tidak bisa jongkok. Sangat
susah jongkok dengan kaki satu. Dan jika ia nekat jongkok
maka tulang rusuknya yang patah akan terasa sakit. Luar biasa
sakitnya.
Husna punya akal. Ia mengambil kursi kayu. Lalu minta
kepada Kang Paimo agar melubangi bagian tengahnya.
Sehingga Azzam bisa duduk ketika buang air besar. Juga bisa
446
duduk saat mandi. Husna sangat perhatian pada kakaknya.
Sebelum mandi dia begitu teliti mencari plastik dan
membungkus kaki kiri dan tangan kiri Azzam dengan plastik.
Sehingga perbannya tetap kering dan aman.
”Kakak kalau mandi sebaiknya duduk saja. Kaki kiri
diselonjorkan. Pokoknya jangan pernah sekali-kali bertumpu
dengan kaki kiri. Ingat kaki kiri Kakak patah dan belum
tersambung betul. Dan kalau mengambil air hati-hati. Tangan
kiri diangkat ke atas. Jangan sampai perban basah. Luka bekas
operasi belum kering.”
Begitu kata Husna selalu mengingatkan setiap kali Azzam
mau mandi. Husna seolah menjadi ibu Azzam, juga sekaligus
perawat Azzam yang setia, bahkan teman berbagi duka yang
tiada duanya. Jika Husna tidak ada maka Lia dengan setia
membantu kakaknya.
Memasuki bulan ketiga Azzam mulai jenuh terus di rumah
ia seperti hidup dalam rumah tahanan. Ia minta pada Husna
agar memanggil Kang Paimo. Lalu ia minta pada Husna agar
menemaninya keliling kota Solo dengan mobil yang
dikemudikan Kang Paimo. Ia tengok warung baksonya yang
sempat tutup beberapa minggu. Husnalah yang berinisiatif agar
warung baksonya tetap buka.
Selama Azzam berada di rumah, hampir setiap minggu
selalu ada tamu yang datang mengunjunginya. Baik tamu itu
para tetangga, jamaah pengajian Al Hikam, maupun teman
atau kenalan yang datang mengejutkan. Suatu hari Eliana
datang dengan memakai busana muslimah yang sangat modis.
Putri Dubes itu tampak anggun dan mempesona. Eliana kaget
melihat kondisi yang menimpa Azzam dan keluarganya.
Bintang sinetron itu menitikkan air matanya ketika Husna
447
menceritakan apa yang menimpa keluarganya.
”I
nnalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Ibu telah tiada. Padahal
aku
ingin kembali mencium tangannya. Aku bawakan
kerudung Turki untuk ibu. Oleh-oleh dari umroh dua minggu
yang lalu.” Ucap Eliana dengan muka sedih.
”Jadi syuting film di Solo Mbak?” Tanya Lia.
”Besok insya Allah mulai syuting. Saya datang lebih awal
agar bisa mampir di sini. Ada yang aku rindukan di sini.”
Jawab Eliana.
”Siapa yang dirindukan Mbak?” Tanya Lia lagi.
”Dia.” Kata Eliana sambil menunjuk Azzam.
“Entah kenapa akhir- akhir ini hati aku terasa tidak enak.
Aku heran kok terbayang dia selalu. Jawabannya baru aku
ketahui setelah sampai di sini.” Lanjutnya. Gadis lulusan
EHESS Prancis itu begitu berterus terang dengan santainya.
Azzam merasakan getaran lembut mendengar perkataan
Eliana. Azzam langsung mengingat tunangannya di Kudus
sana. Lia yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya
langsung bertanya,
”Apa Mbak mencintai kakak saya?”
Azzam dan Husna kaget mendengar kalimat yang
meluncur dari mulut Lia. Sementara Eliana kaget sesaat namun
langsung bisa menguasai dirinya. Dengan menunduk dia
berkata,
“Sejak di Alexandria dulu, ketika aku mau memberinya
448
hadiah ciuman dan dia tidak mau. Dia bersikukuh memegang
teguh prinsip-prinsip Islam yang diyakininya, aku tahu
kakakmu ini orang yang berkarakter dan berjiwa. Sejak itu aku
sudah mencintainya. Tapi aku gengsi untuk menyampaikan
padanya.”
”Kalau sekarang setelah kecelakaan ini apa Mbak masih
suka padanya?”
”Kecelakaan seperti ini biasa saja. Nanti juga sembuh
seperti sedia kala. Kecelakaan seperti ini hanyalah kecelakaan
fisik ringan tak akan mengubah orang yang hatinya ada cinta.
Jika kecelakaannya adalah kecelakaan moral seperti zina
misalnya maka itu akan menghilangkan cinta. Rasa sukaku
masih sama.”
”Sayang Mbak Eliana menyampaikan ini semua sudah
terlambat.”
”Maksud Dik Lia.”
”Dia sudah punya tunangan.”
Eliana tampak kecewa.
“Mungkin memang belum jodohnya.” Ucapnya pelan.
* * *
Suatu hari saat ia jalan-jalan lagi keliling kota Solo, ia
mampir di warung bakso cintanya di UMS. Para karyawannya
tampak lesu. Pengunjung tidak ada seorang pun. Azzam
merasa ada yang janggal. Dengan langkah tertatih-tatih pakai
krek Azzam bertanya,
449
“Ada apa sebenarnya? Kalian tampak lesu tidak
bergairah?”
”Kita difitnah Mas?”
”Difitnah apa?”
”Kita difitnah bakso kita ada formalinnya. Bahkan lebih
keji lagi kita difitnah bakso kita dibuat dari cacahan bangkai
tikus.”
Azzam kaget.
“Astaghfirullah Benarkah?”
”Iya. Sudah dua hari ini sepi. Ketika saya tanya pada
pelanggan setia kita dia berterus terang tidak mau lagi beli
bakso kita karena alasan itu.”
”Kalian tahu siapa yang memfitnah?”
”Tidak Mas. Tapi itulah yang beredar di sekitar kampus.”
”Baik. Tenang. Akan aku pikirkan jalan keluarnya. Para
mahasiswa saja mudah dihasut dan difitnah rupanya.” Kata
Azzam dengan kening berkerut. Ia harus segera menemukan
jalan terbaik untuk menepis fitnah itu. Kalau tidak usaha
andalannya akan gulung tikar.
Azzam langsung pulang ke rumah dan bermusyawarah
dengan Lia dan Husna.
”Kita lapor saja ke polisi Kak? Lapor saja sama Si Mahras
450
itu, biar diuber siapa pemfitnahnya.” Usul Lia.
Namun ia merasa bahwa usul Lia belum benar-benar
menyelesaikan masalah.
”Kita pindah usaha saja Kak. Usaha yang lain. Kan masih
banyak. Kalau dua hari sama sekali tidak ada yang datang itu
artinya sudah sangat payah. Kalau diteruskan benar-benar
akan buntung kita.” Kata Husna.
”Itu hanya akan membuat si pemfitnah senang. Memang
tujuan dia membuat fitnah ya agar kita tidak jualan bakso. Aku
tak mau mundur!” Kata Azzam. Ia terus berpikir bagaimana
caranya ia seribu langkah lebih maju dari pesaingnya. Ia yakin
yang memfitnahnya adalah salah satu dari pesaing yang tidak
ingin dia bangkit dan maju.
”Aku ketemu ide!” Teriak Azzam.
”Apa itu Kak?” Tanya Lia.
”Kita tunjukkan profesionalitas kita. Orang yang suka
memfitnah dalam bisnis biasanya adalah orang yang tidak
profesional. Orang yang cetek cara berpikirnya. Kita harus lebih
maju dan lebih canggih lagi sehingga fitnahnya hanya akan
menjadi kentut di tengah padang pasir. Alias tidak ada
pengaruhnya.
”Terus apa langkah Kakak?” Tanya Husna.
”Kita luruskan isi fitnah itu dengan argumentasi ilmiah.
Ketika kita meluruskan sekaligus kita promosi kecanggihan dan
kualitas dagangan kita.”
451
”Caranya bagaimana Kak?”
”Kita dituduh memakai formalin, terus difitnah memakai
bangkai tikus. Kita harus luruskan itu. Caranya pertama kita
berikan contoh produk kita ke Departemen Kesehatan. Minta
keterangan isi kandungan bakso kita. Sekaligus minta
keterangan dari Depkes bahwa bakso kita adalah bakso yang
menyehatkan. Kedua kita berikan contohnya juga ke MUI kita
minta sertifikat halal. Setelah kita sudah dapat sertifikat dari
Depkes dan MUI kita kopi sertifikat itu dengan minta legalisasi
dari Depkes dan MUI kita sebar ke seluruh penjuru kota Solo.
Kita juga akan pasang iklan di Solo Pos kitalah bakso sehat
yang utama dan pertama di Indonesia. Bagaimana?” Kata
Azzam menjelaskan langkah-langkah yang harus ditempuhnya.
”Kakak memang jagonya bisnis!” Seru Lia.
”Baik aku yang ke Depkes dan Lia yang ke MUI Solo,
okay?” sahut Husna.
”Okay.” Jawab Lia.
Sambil menunggu sertifikat jadi, sementara warung bakso
libur. Begitu sertifikat jadi Azzam langsung membuat semacam
grand
opening untuk warung baksonya dengan mengundang
para aktifis
kampus dan aktifis dakwah. Ia juga mengundang
beberapa wartawan. Seketika warung baksonya berjubel-jubel
pengunjungnya setelah itu. Keuntungannya dua kali lipat lebih
banyak. Bahkan ada seorang mahasiswa asal Semarang yang
tertarik untuk membuka cabang ’Bakso Cinta’ di Semarang.
Sejak itu Azzam merasa baksonya layak difranchisekan. Dua
cabang langsung ia buka. Di Semarang dan di Jogjakarta.
Dengan ketegaran luar biasa Azzam bangkit dari
keterpurukannya.
452
Sebenarnya berkali-kali rasa putus asa karena kecelakaan
itu hendak membelitnya, tapi ia sama sekali tidak mau rasa
putus asa sedikit pun menjamah dirinya. Berkenalan pun ia
tidak mau dengan yang namanya putus asa.
Ia teringat perkataan Vince Lombard:
“On ce y ou
On ce y ou
On ce y ou
On ce y ou le a r n to qu it , i
le a rn to qu i t, i
le a r n to qu it , i
le a rn to qu i t, it be come s a h ab it
t be come s a h abi t
t be come s a h ab it
t be come s a h abi t”
.

“S e ka li s
S ek al i s aj a ka mu be l aj ar u n tu k be r pu tu s
a j a k a mu be la ja r u n tu k be r pu tu s a s a ma ka a ka n
a s a mak a ak a n

S ek al i s
S e ka li s
a j a k a mu be la ja r u n tu k be r pu tu s
aj a ka mu be l aj ar u n tu k be r pu tu s
a s a mak a ak a n
a s a ma ka a ka n
m en j adi k eb ia s aa n !
m en j adi k eb ia s aa n !“ ..
me nj ad i k e bia s aa n !
me nj ad i k e bia s aa n !
“. .
“ ..
“. .
Azzam terus bangkit, pelan-pelan ia merasakan kembali
gairah hidup yang sesungguhnya. Setiap kali melihat Husna
dan Lia ia merasa bahwa dirinya masih diberi karunia yang
agung oleh Allah SWT. Husna dan Lia adalah dua permata
jiwanya. Ia sangat menyayangi kedua adiknya itu. Ia berpikir
bagaimana jika ia tidak punya adik mereka. Sanggupkah ia
melalui hari-hari dukanya dengan penuh ketegaran. Betapa
banyak ia temukan seorang kakak memilik adik yang sama
sekali tidak hormat pada kakaknya. Adik yang tidak mencintai
kakaknya. Ia bersyukur memiliki adik yang sedemikian ikhlas
merawatnya dan membesarkan hatinya.
Siang itu sepucuk surat datang dibawa oleh Bu Mahbub
untuknya. Ia baca pengirimnya adalah Alviana Rahmana Putri
alias Vivi. Ia buka surat itu dengan penuh penasaran. Ia
terkejut di dalamnya ada cincinnya. Cincin yang dulu
dipakaikan ibunya ke jari Vivi. Ia sudah bisa menerka apa
isinya. Tapi ia baca juga:
Yang saya hormati Mas Khairul Azzam Di Kartasura
Assalamu’alaikum wr wb ..
453
Vivi tulis surat ini, sungguh dengan hati hancur, dan
linangan air mata yang terus mengalir. Harus Vivi katakan
sungguh Vivi sangat mencintai Mas. Tapi inilah Vivi, Siti
Nurbaya di abad millenium.
Ibu Vivi punya teman Bu Nyai yang punya putra baru
pulang dari Syiria. Bu Nyai itu melamar Vivi. Dan ibu lebih
memilih putra Bu Nyai itu. Vivi sudah berusaha menjelaskan
bahwa Vivi memilih setia pada Mas Azzam. Tapi ibu malah
sakit dan meminta aku untuk memilih di antara dua hal; pilih
ibu atau pilih Azzam.
Saat kamu baca suratku ini Mas, kamu pasti paham
kenapa surat ini aku kirimkan bersama cincin ini.
Maafkan diriku, jika kamu anggap aku
mengkhianatimu. Terima kasih atas kebesaran jiwamu.
Wassalam,
Yang lemah tiada daya
Vivi ..
Ia menangis membaca surat itu. Cincin yang telah !
dipakaikan ibunya di jari Vivi tak ada gunanya. Ia merasa di
dunia ini tak ada lagi orang yang setia pada cinta. Betapa
mudah hati berubah-ubah. Ia tersedu-sedu sendirian di kamar
tamu. Pada saat itulah Husna muncul. Ia serahkan surat itu
pada Husna. Seketika Husna berkata,”Jangan cengeng Kak,
apakah kakak tidak ingat kakak katakan pada pada Vivi ketika
dia menjengukmu. Bukankah kakak mengatakan: Sejak
sekarang aku beri kebebasan kepadamu.

Kalau kamu sabar menungguku maka terima kasihku
padamu tiada terhingga. Kalau kamu ternyata di tengah
454
penantian merasa tidak kuat, maka kamu boleh menikah
dengan siapa yang kamu suka. Kakak harus jadi lelaki sejati
yang siap menghadapi dari setiap kata yang telah diucapkan!”
Kata-kata Husna itu langsung melecut jiwanya. Ia tidak
boleh lemah. Ia harus buktikan pada dunia bahwa ia mampu
untuk sukses dan berguna. Ia kembali mengingat perkataan
Vince Lombard:
Sekali saja kamu belajar untuk ber putus asa maka akan
menjadi kebiasaan!
”Kak, yakinlah hanya jari gadis yang berhati bersih yang
akan menerima cincin itu. Percayalah Kak!” Husna memberi
semangat.
”Ya aku percaya adikku. Hanya gadis yang berhati bersih
yang akan menerima cincin ini. Cincin yang dipilih oleh ibu
kita tercinta.”
”Oh iya Kak. Bagaimana kalau kakak coba memberikan
cincin ini pada Eliana?”
Hati Azzam bergetar mendengar usul adiknya. Eliana ya
Eliana. Terakhir bertemu, gadis lulusan Prancis itu datang
secara terang- terangan menyampaikan rasa cintanya padanya.
Apakah mungkin gadis itu adalah jodohnya? Apakah dirinya
siap memiliki isteri seorang artis yang kecantikannya dinikmati
oleh sekian juta pemirsa? Kecantikan itu jadi milik bersama
bukan dirinya saja yang memilikinya, karena memang
kecantikan itu dijual untuk disuguhkan kepada para pemirsa.
Azzam jadi berpikir ketika nama Eliana kembali disebut-sebut
adiknya.
455
Azzam terus menumbuhkan harapan sembuh dalam
hatinya. Ia begitu iri setiap kali melihat ada anak kecil bisa
berlari-lari dan melompat-lompat seenaknya. Ingin rasanya
seperti mereka berlari dan melompat seenaknya karena kedua
tulang kaki tidak ada masalah. Sementara dirinya belum
bertumpu pada kaki kirinya. Tak boleh ada beban untuk kaki
kirinya.
Setelah sepuluh bulan lamanya hidup dalam sepi. Dokter
memutuskan Azzam boleh mulai latihan pelan pelan tidak
menggunakan krek. Tapi tetap sebagian besar tumpuan tubuh
saat berjalan dengan krek. Barulah setelah satu tahun Azzam
bisa berjalan normal tanpa krek. Ia sudah kembali bisa
mengendarai mobil sendiri.
Azzam kembali aktif ke masjid. Juga aktif kembali memberi
pengajian Al Hikam di Pesantren Daarul Qur’an Wangen.
Setiap kali Azzam yang mengisi pengajian itu jamaah
membludak memenuhi masjid.
Dalam bisnis Azzam juga terus bangkit lebih baik. Bakso
cintanya kini sudah punya sepuluh cabang di luar Solo. Yaitu
di Semarang, Jogja, Salatiga, Klaten, Bandung, Jakarta,
Depok, Malang, Surabaya, dan Kudus. Ia bahkan mulai
merambah bisnis percetakan dan penerbitan. Ia mulai
penerbitannya dengan menerbitkan buku-buku yang ditulis
adiknya sendiri yaitu Ayatul Husna.
Lambat laun ia dikenal sebagai entrepreneur muda dari
Solo yang sukses sekaligus dikenal sebagai dai muda yang
mampu menyihir hadirin jika ia sudah ada di atas panggung.
Setiap minggu ia punya rubrik khusus tentang motivasi bisnis
Islami di radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia Solo.
456
Suatu sore setelah shalat ashar di atas mimbar Pesantren
Daarul Qur’an Wangen ia menjelaskan kandungan perkataan
Imam Ibnu Athaillah As Sakandari,
”Jamaah yang dimuliakan Allah, Ibnu Athaillah dalam
kitab Al
Hikamnya mengatakan,
“Memperoleh buah amal di dunia adalah kabar gembira
bagi orang yang beribadah akan bakal adanya pahala di
akhirat.” Maksudnya jika ada orang ikhlas beribadah
kepada
Allah di dunia ini, dan orang itu merasakan buahnya ibadah itu
misalnya ketenangan hati, kejernihan pikiran, keluarga yang
sakinah, anak-anak yang shaleh, kerinduan untuk semakin giat
beribadah, merasakan kelezatan ibadah dan lain sebagainya.
Itu semua menjadi kabar gembira bahwa kelak di akhirat akan
ada pahala yang lebih lezat, pahala yang lebih agung dari Allah
’Azza wa
Jalla.”
457

Tidak ada komentar:

Posting Komentar