Minggu, 14 Juni 2009

Kecerdasan Eliana

Dukuh Sraten Kartasura gempar! Husna dan Azzam
masuk televisi! Hampir seluruh penduduk Sraten
menyaksikannya. Husna tampak sesaat di berita infotainment
seputar selebritis. Yaitu saat Eliana diwawancarai di Bandara.
Penduduk dukuh Sraten seolah tidak percaya bahwa Azzam
dekat dengan bintang film terkenal Eliana Pramesti Alam.
Mereka terhenyak ketika Eliana mengaku bahwa pria paling
dekat dengannya adalah Azzam. Ditambah dengan opini
narasi berita yang menggiring pembaca bahwa Azzam adalah
pacar Eliana.
Tayangan kedua adalah acara di Graha Bhakti Budaya
TIM yang disiarkan secara live se-Indonesia. Meskipun
banyak bintang dan artis, namun bintang sesungguhnya
adalah Ayatul Husna. Kata sambutannya dan puisinya yang
165
ditujukan untuk sang kakak membuat Husna menjadi latunya
para artis dan bintang malam itu. Usai acara Husna dan
Azzam diwawancarai. Lalu tampak Eliana mengucap-kan
selamat pada Husna. Keduanya berpelukan akrab. Hal itu
semakin mengukuhkan, bahwa Eliana seolah sudah sangat
kenal dengan keluarga Azzam. Bahkan sudah sangat akrab
dengan adiknya.
Pagi harinya beberapa Koran ibu kota dan daerah
mengulas berita itu. Profil Husna dimuat di sebuah Koran
yang bernuansa islami di ibu kota. Foto Azzam tampak
berdua dengan Eliana muncul di beberapa koran.
Tak terkecuali Ibu Nafis, Ibu kandung Azzam juga
menyaksikan itu semua dari televisi bersama Lia.
Perempuan setengah baya itu matanya berkaca-kaca.
Haru dan bahagia. Dua anaknya sudah masuk televisi. la
sempat waswas Azzam diberitakan sebagai pacar Eliana. Tapi
ia sangat yakin dengan kualitas akhlak putranya itu. Ia jadi
bangga. Ia akan merestui jika putranya itu misalnya menikah
dengan Eliana. Ibu mana yang tidak suka putranya menikah
dengan gadis yang sedemikian cantiknya. Gadis yang
menjadi pujaan pemuda se-Indonesia. Begitulah cara berpikir
Bu Nafis. Sederhana saja.
* * *
Matahari menuju tengah petala langit.
Lia sudah pulang dari mengajar. Ia pulang jam setengah
sebelas. Ia ijin pada kepala sekolah unruk pulang lebih awal
hari itu. Sampai di rumah ia langsung menyalakan televisi.
166
Dan kembali ia menyaksikan wawancara Eliana saat tiba
di Bandara. Dalam dua hari ini, entah sudah berapa kali
wawancara itu ditayangkan di televisi. Tapi anehnya ia tidak
bosan-bosan juga menontonnya. Entah kenapa, meskipun ia
tidak suka dengan perempuan yang tidak memakai jilbab,
tapi ia merasa bangga kakaknya dekat dengan Eliana.
Lia memperhatikan serius wawancara itu,

Siapa pria paling dekat dengan Eliana saat ini?"
Seorang wartawan bertanya.
"Em... siapa ya. Yang paling dekat saat ini seorang mahasiswa
di Cairo namanya Khairul Azzam!" Jawab Eliana.
Lalu kelihatan wajah Azzam yang kaget.
“Orang itu sekarang ada di mana?" Kejar wartawan itu.
“Ini di samping saya." Jawab Eliana santai.
Seketika moncong kamera dan belasan alat perekam
mengarah ke Azzam. Berondongan pertanyaan mengarah ke
Azzam,
“Sejak kapan Anda kena! Eliana?"
“Aduh ini apa-apaan!" Seru Azzam panik.
“Santai saja Mas. Kita kooperatif saja jadi enak. Sejak
kapan Anda kenal Eliana?"
“Aduh, gimana ini. Mbak Eliana, bicara dong. Wah kok
167
jadi rumit begini sih!" Kata Azzam pada Eliana.
“Dia tidak biasa menghadapi wartawan. Kami kenal
sejak satu tahun yang lalu." Sahut Eliana dengan tenang.
“Benar Anda dekat dengan Eliana?" seorang wartawan
mencercar.
“Kebetulan tadi kami satu pesawat dan tempat duduknya
berdekatan. Saya di F, dia di E. Jadi kami memang dekat."
Jawab Azzam.
“Apa profesi Mas saat ini?"
“Jualan bakso."
“Ah, jangan bergurau Mas."
“Sungguh. Tanya saja pada Eliana!" Wartawan itu
langsung bertanya pada Eliana,
“Benarkah dia berjualan bakso?"
“Ya benar. Para diplomat adalah para pelanggannya."
Jawab Eliana.
Klik. Selesai.
Layar kaca menampilkan berita selebritis lain. Lia langsung
mematikan televisinya itu.
"Berita wawancara itu lagi ya?" Tanya Bu Nafis pada
putrinya sambil membawa sepiring
mendoan
1 4
14
168
"Iya. Kak Azzam jadi terkenal sekarang Bu. Eh Bu’e...
Bu’e... apa benar ya, Kak Azzam itu pacarnya Eliana?
Kok bisa ya? Aku kok belum ketemu nalarnya?" Cerocos Lia.
“Bu’e kok tidak yakin. Besok saja kita tanyakan langsung
pada kakakmu. Mereka katanya akan sampai di Kartasura
jam enam pagi besok." Jawab Bu Nafis.
Sepiring mendoan goreng itu masih mengepulkan asap.
Bu Nafis baru saja mengangkatnya dari dapur.
Aromanya merasuk hidung Lia yang sedang lapar. Air
liurnya seperti mau keluar. Wajah Bu Nafis tampak cerah.
Ia meletakkan mendoan itu di meja tepat di hadapan
Lia.
Karena memang itulah satu-satunya meja di ruang tamu.
Meja serbaguna.
Lia tersenyum pada ibunya. Lesung pipinya membuat-
nya lebih mempesona. Mendoan goreng yang masih panas
atau hangat memang kesukaannya sejak kecil. Seminggu
paling tidak tiga kali ia membuat mendoan. Ibunya juga suka
mendoan seperti dirinya. Dalam anggapannya, di dunia ini
tak ada makanan ringan yang lebih nikmat dari mendoan.
“Bu’e, Bu’e... ingat nggak makanan apa yang paling
169
disukai Kak Azzam?" Tanya Lia sambil mencomot mendoan
satu
“Ingat."
“Apa coba?"
“Mendoan."
“Salah!"
“Masak salah?"
“Iya salah. Kak Azzam memang suka mendoan, tapi ada
yang lebih ia sukai."
"Apa itu?"
“Bakwan."
“O ya benar Bakwan, sama seperti ayahmu dulu. Suka
sekali mereka sama Bakwan."
“Bu’e kalau Kak Azzam benar dekat sama Eliana. Terus
nanti mau menikahi Eliana, Bu’e setuju tidak?"
“Kalau Eliana itu muslimah. Mau mengaji. Mau menutup
aurat dengan baik dan taat pada suami ya ibu setuju saja.
Siapa tho yang tidak ingin punya menantu cantik dan kaya
seperti Eliana?"
“Kalau Eliana tidak mau menutup aurat dengan baik.
Terus kalau main film cium-ciuman sama lawan
170
mainnya, bagaimana Bu?"
“Wah kalau seperti itu ya lebih baik menikah dengan
gadis tetangga yang baik dan shalehah. Apa gunanya punya
menantu yang suka ciuman sama lelaki lain. Ih, itu tidak bisa
menjaga kehormatan namanya."
“Tapi artis sekarang rata-rata begitu Bu."
“Semoga Eliana tidak seperti itu."
* * *
Sementara itu, di sebuah kamar hotel Sofyan Azzam
mengingat puisi yang dibaca adiknya untuknya. Puisi yang
begitu tulus. Husna sekarang bukanlah Husna si anak nakal
yang dulu memukul pelipisnya sampai berdarah. Bukanlah
Husna yang sering membuat onar dan membuat jengkel
banyak orang. Husna sekarang adalah penulis cerpen yang
baik, psikolog dan dosen di UNS yang dicintai teman-teman
dan anak didiknya.
Manusia bisa berubah. Demikian juga Husna. la telah
berubah setelah melewati proses yang sangat panjang.
Seorang nabi sekalipun menjadi matang sehingga
mampu memikul risalah setelah melalui proses panjang.
Setelah melalui tempaan-tempaan. Sebelum menjadi nabi,
seorang Yusuf harus dibuang di dalam sumur. Lalu dijual
sebagai budak. Diuji fitnah Zulaikha. Dipenjara. Barulah
dimuliakan oleh Allah.
Sebelum menjadi manusia yang dijamin masuk surga,
Umar bin Khattab pernah jahiliyyah. Pernah melakukan
171
perbuatan keji, membunuh anak perempuannya yang baru
lahir dengan menanamnya hidup-hidup. Ia juga memusuhi
dakwah Nabi. Bahkan berniat membunuh Nabi! Namun
Umar terus berproses dengan mengikuti nuraninya yang fitri.
Umar terus berusaha lebih baik dari hari ke hari dengan
mengikuti petunjuk nabi.
Ia teringat satu baik puisi adiknya yang sangat
menyentuhnya itu.
Kau mencintaiku
Seper ti matahari Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa..
Ingin rasanya membalas puisi adiknya itu. Tapi ia
bukanlah seorang penyair yang pandai memintal kata-kata
indah penuh makna. Ia ingin mengatakan kepada adiknya
bahwa ia memang benar-benar mencintainya dengan
sepenuh jiwa. Adik-adik dan ibunya adalah segalanya
baginya. Dengan bahasa seadanya, akhirnya ia goreskan
pena untuk menulis puisi pendek yang akan ia sampaikan
pada Husna. Ia menulis beberapa kalimat saja,
“aku mencintaimu seperti bumi mencintai mataharinya..

Selesai menulis puisi itu, Azzam jadi teringat janjinya
pada Hafez. Ia telah menyanggupi untuk memberi tahu
Fadhil tentang keinginan Hafez mengkhitbah Cut Mala.
Kesanggupannya adalah amanah. Amanah yang sangat
172

penting sebab berkaitan dengan cinta anak manusia.
Alangkah bahagianya jika seseorang bisa menikah
dengan orang yang dicintainya. Dan alangkah bahagianya
jika setelah menikah itu cintanya terus berkembang dari masa
ke masa.
Azzam memutuskan untuk menulis surat kepada Fadhil
saat itu juga. Mumpung ada waktu dan semuanya tersedia.
Setiap hotel biasanya menyediakan surat dan amplop surat
di tiap-tiap kamarnya. Azzam menulis surat
173

di atas kertas berkop Hotel Sofyan. Dengan penuh khidmat
Azzam menulis dengan penanya, la melipat surat itu hati-hati
dan memasukkan amplop yang juga berkop Hotel Sofyan. la
berniat mengirim surat itu siang itu juga. la akan bertanya
pada resepsionis apakah hotel juga bisa membantu
pengiriman surat sebagaimana lazimnya hotel berstandar
Internasional.
Telepon di kamarnya berdering. la yakin itu Husna,
adiknya. la angkat.
“Hallo?"
“Ya hallo. Ini siapa?"
174
“Ini Eliana, Mas."
“Oh Mbak Eliana. Ada apa Mbak?"
“Bisa ngobrol sebentar."
“Mbak ada di mana?"
“Saya ada di lobby hotel. Bareng paman saya. Mas ada
waktu untuk turun?"
"Ada. Tunggu sebentar ya?"
“Baik." Hatinya bertanya-tanya ada urusan apa siang-
siang Eliana datang menemuinya. Tadi malam selesai acara
di TIM Eliana sempat mengajak makan malam bersama. la
dan Husna menolak tidak bisa. Sebab selain sudah cukup
malam, Husna ingin makan malam di hotel berdua saja
dengan dirinya. Husna ingin memuaskan diri ngobrol
dengannya. Maka selesai semuanya ia dan Husna kembali ke
hotel. Sementara Rina dan Luna pulang ke rumah mereka
dengan taksi. Husna mengajak mereka tidur di kamarnya
beramai-ramai. Tapi mereka menolak. Mereka merasa harus
pulang malam itu juga.
Azzam menghubungi kamar Husna. Langsung diangkat.
“Kakak ya?"
“Iya Dik."
“Ada apa Kak?"
“Di bawah ada Eliana. Kita turun yuk nemui dia."
175
“Ayuk." Sejurus kemudian mereka berdua turun
bersama.
Eliana menyambut dengan senyum menawan di
bibirnya.
Siang itu putri Dubes Indonesia di Mesir itu memakai
kaos panjang merah jambu yang dipadu dengan celana jeans
merah tua. Rambutnya dia kucir kuda. Apa saja yang dipakai
Eliana dan apa saja gaya rambutnya selalu saja
menjadikannya tampak jelita.
“Sudah lama?" Sapa Azzam.
“Ah tidak. Baru sampai terus telpon Mas Irul melalui
resepsionis. Oh ya kenalkan ini pamanku. Namanya Pak
Marjuki. Lengkapnya Marjuki Abbas. Di Indonesia beliaulah
yang selalu mengawalku." Eliana mengenalkan pamannya.
Lelaki setengah baya itu mengulurkan tangannya pada
Azzam sambil tersenyum ramah.
"Saya Azzam, Pak. Dan ini adik saya Husna."
“Ya. Saya sudah tahu sejak kemarin ketemu di
bandara." Kata Paman Eliana.
“Mbak Eliana tidak ada kegiatan siang ini, kok sempat-
sempatnya datang ke sini?" Tanya Husna.
“Siang ini kebetulan kosong. Baru jam tiga nanti ada
acara ketemu sutradara." Jawab Eliana.
“Katanya Mbak mau syuting di Solo ya?"
176
“Iya. Eh, kapan rencana kalian pulang?"
“Nanti sore."
“Mau naik apa?"
“Awalnya sih mau naik bis. Tapi setelah dipikir-pikir
kayaknya lebih nyaman naik kereta. Karena Gambir kan
dekat dari sini. Jadi rencana naik kereta dari Gambir ke
Balapan Solo. Dari Balapan baru naik taksi ke Kartasura."
Husna menjelaskan.
“Bagaimana kalau aku ikut?"
“Mbak Eliana ikut?"
“Iya. Aku ingin melihat-lihat kota Solo dan setting yang
akan digunakan untuk syuting. Sekalian aku mau
bersilaturrahmi menemui Bude di Gemolong."
“Mbak Eliana punya Bude di Gemolong?"
“Iya. Sudah dua puluh tahun beliau di sana. Dia guru
SMP.
Bagaimana, aku boleh ikut?"
“Boleh saja. Iya Kak?" Ucap Husna sambil menengok
wajah kakaknya.
“Iya boleh saja. Kenapa tidak." Jawab Azzam sambil
mengangkat alisnya.
177
“Tapi jangan naik kereta ya. Aku sering mabuk kalau
naik kereta." Pinta Eliana.
“Lha terus naik apa? Kalau pesawat maaf kami tidak
bisa." Azzam berterus terang.
"Naik mobil pribadiku saja ya. Kita pakai mobil ke Solo. Biar
aku nanti juga mudah kalau mau jalan-jalan di Solo.
Bagaimana?"
“Boleh." Sahut Azzam.
“Kalau begitu kalian tunggu saja di sini sampai aku
datang. Aku ketemu sutradara cuma setengah jam. Setelah
itu aku jemput kalian. Terus kita ke rumahku sebentar.
Baru kita jalan." Terang Eliana bersemangat.
“Sebentar El, kalau menurutku tidak begitu." Pak
Marjuki mengajukan pendapat. Azzam jadi tahu kalau Eliana
juga bisa dipanggil
“El".
“Nanti kalian akan terjebak macet. Sebaiknya begini.
Itu sutradara kita samperin sekarang saja. Terus kamu
pulang ke rumah berkemas. Terus ke sini lagi. Dan kira-kira
jam tiga kita sudah meluncur meninggalkan kota Jakarta ke
Solo. Jadi kita berangkat lebih siang supaya tidak terjebak
macet." Lanjut Pak Marjuki memberi usul yang menurutnya
lebih baik.
“Ya benar Paman. Tapi bagaimana kalian? Siap
178
berangkat jam tiga?" Tanya Eliana memandang Azzam dan
Husna.
“Siap saja." Jawab Azzam singkat.
“Baiklah kalau begitu aku pergi dulu nemui sutradara.
Jam tiga aku kemari. Kuharap kalian sudah siap."

Insya Allah."
Sahut Husna.
* * *
Sore itu tepat jam tiga Eliana menjemput dengan Toyota
Fortunernya. Eliana hanya ditemani sang paman.
Azzam dan Husna telah siap di lobby hotel. Barang-
barang dinaikkan. Azzam duduk di depan menemani Pak
Marjuki. Husna dan Eliana di belakangnya. Doa safar
dipanjatkan, mereka berempat memulai perjalanan panjang.
"Kenapa tidak pakai Camry Pak?" Tanya Azzam sambil
memandang ke depan. Sesekali ia melihat kiri dan kanan.
Fortuner itu meluncur di tol dengan kecepatan di atas
seratus kilometer perjam.
“Kebetulan itu Camry sudah saatnya diservis dan belum
diservis. Kalau tadi nyervis dulu ya tidak cukup waktunya.
Dan saya lebih mantap pakai Fortuner kalau keluar kota."
Jelas Pak Marjuki.
“O iya Pak, kira-kira kita sampai di Solo pukul berapa
ya. Biar Husna sms adiknya?"
179

Insya Allah,
sekitar pukul empat pagi
."
Sementara
belakang Husna nampak asyik berdiskusi dengan Eliana.
Putri Dubes Mesir itu ternyata tahu banyak tentang teori
psikologi. Husna sangat menikmati berdiskusi dengan
mahasiswi jebolan EHESS Prancis itu.
Di mata Husna Eliana sangat berbeda dengan artis pada
umumnya. Eliana benar-benar memiliki kelas tersendiri.
Cerdas dan berwawasan luas.
“Menurut Mbak Eliana, kenapa ada negara lebih maju
dari negara lain. Dan ada negara yang ketinggalan dari
negara lain." Tanya Husna.
“Sejarah mencatat bahwa prestasi-prestasi besar
dilahirkan oleh mereka yang hampir tidak punya waktu untuk
istirahat. Mereka yang bekerja keras dengan pikiran cerdas.
Kenapa ada negara lebih maju dari negara lain, dan ada
negara yang ketinggalan dari negara lain? Jawabannya
menurutku sederhana saja. Suatu negara lebih maju dari
negara lain karena negara itu lebih hebat kerja kerasnya dari
negara lain. Dan jika ada suatu negara ketinggalan jauh di
belakang negara lain, itu karena negara itu sangat parah
malasnya.
“Benyamin Franklin mengatakan bahwa malas adalah
pangkal kemiskinan. Sedangkan Leonardo Da Vinci
mengisyaratkan bahwa malas adalah pangkal kebodohan.
Da Vinci pernah mengatakan,
'Sama seperti besi yang bisa
berkarat karena jarang digunakan, maka berdiam diri bisa
merusak kesehatan.'
180

Jika bangsa kita masih dikategorikan bangsa yang
ketinggalan dari bangsa lain menurutku ya karena mayoritas
penduduk kita adalah para pemalas. Lihatlah para pelajar
yang malas-malasan. Pegawai negeri yang banyak bermalas-
malasan. Aku pernah menjenguk seorang kerabat yang sakit
di sebuah rumah sakit umum di kota S. Pelayanannya sangat
buruk. Para perawat acuh tak acuh. Ketika pasien mengerang
kesakitan, para perawat itu malah asyik nonton televisi. Jika
kita bandingkan dengan Jepang misalnya sangat jauh. Di
Jepang, tidak ada kursi di ruang perawat, apalagi televisi.
Dan perawat di sana itu malu kalau terlihat menganggur
tidak melakukan apa-apa.
“Kau tahu apa yang terjadi akibat malasnya perawat itu?
Pasien lebih lambat sembuhnya. Padahal tidak sedikit pasien
yang sangat diperlukan tenaga dan pikirannya untuk
membangun negara. Misalnya kerabatku itu, dia seorang
dosen di sebuah perguruan tinggi di sana. Di kota S.
Seharusnya mungkin dia cuma dirawat di rumah sakit selama
tiga hari. Gara-gara perawatnya yang malas dan acuh tak
acuh dia harus dirawat selama lima hari. Jadi ada dua hari
yang hilang sia-sia.
“Hari adalah kumpulan waktu. Dan waktu adalah modal
paling berharga yang dimiliki oleh ummat manusia.
Dua hari yang sia-sia itu jika diproduktifkan akan sangat
besar andilnya dalam memajukan bangsa. Kita jangan
melihat waktu sia-sia dari satu orang saja. Kita bayangkan
jika yang mengalami nasib seperti kerabatku itu jumlahnya
dua juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia. Jadi
dua kali dua juta. Berarti empat juta hari yang terbuang sia-
181
sia karena malas.
“Coba renungkan empat juta hari ini kalau dimanfaat-
kan secara optimal akan menghasilkan apa? Oh, jadi tak
terbayang betapa ruginya kita karena malas. Bukan saja kita
rugi karena malasnya diri kita, tapi kita juga sering dirugikan
karena kemalasan orang lain. Ini baru kita lihat yang terjadi
di rumah sakit. Belum di pasar. Belum di jalan raya. Belum di
lembaga pendidikan. Belum di instansi-instansi pemerintahan
dan Iain-lain." Eliana menjawab panjang lebar. Husna
terperangah dibuatnya. Husna diam sesaat lalu kembali
bertanya,
“Aku punya tetangga yang menurutku sangat giat dan
rajin. Jam tiga sudah bangun untuk menyiapkan
dagangannya sampai subuh tiba. Setelah subuh dia langsung
menata dagangannya di pinggir jalan. la jualan nasi sambel
tumpang. Pukul sembilan ia selesai jualan. Lalu pulang dan
menyiapkan dagangannya yang lain. Yaitu ayam goreng.
Pukul dua siang dagangannya itu baru siap.
Ia istirahat kita-kita satu jam. Lalu jam tiga sudah mulai
membuka warungnya sampai jam sepuluh malam. Begitu
setiap hari. Tapi kenapa dia kok tetap miskin dan banyak
hutang. Ini cara menganalisanya bagaimana Mbak?"
“Menurutku begini," Jawab Eliana,
“Rajin dan giat saja tidak cukup. Ada yang lebih penting
sebelum rajin dan giat, yaitu alasan kenapa harus rajin dan
giat. Ada giat yang lebih banyak menimbulkan letih saja
namun ada giat yang melahirkan hasil luar biasa. Banyak
orang tidak dapat membedakan antara sibuk dan produktif.
182
Mereka yang hanya sibuk tapi tidak produktif dalam bahasa
Caroline Donnelly adalah ibarat kincir angin berwujud
manusia.
Bekerja keras tapi sedikit hasilnya." Mobil itu terus
melaju kencang meninggalkan kota Jakarta. Terbersit dalam
benak Husna jika gadis yang ada di sampingnya itu berjilbab
dan pikiran cerdasnya digunakan untuk membela agama
Allah alangkah dahsyatnya. Ia berdoa kepada Allah semoga
suatu saat nanti hal itu benar-benar terjadi.
* * *
183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar