Minggu, 14 Juni 2009

Musibah

Gerimis telah berubah menjadi hujan yang sangat deras.
Kilat mengerjap dan halilintar menyambar. Dukuh Sraten
tampak begitu fana dan kerdil dalam guyuran hujan. Seorang
gadis berjilbab putih mengangkat sedikit kain roknya dan
berjalan hati-hati dengan payung di bawah hujan. Gadis itu
baru keluar dari masjid. Ia baru saja ikut rapat remaja masjid Al
Mannar.
Akhirnya ia sampai ke rumahnya. Gadis itu adalah Lia.
”A
ssalamu’alaikum. Mbak Husna!” Panggil Lia begitu
masuk
rumahnya yang lengang.
“Mbak!”
423
”Iya, Mbak di belakang Dik!” Jawab Husna.
“Bue sama Kak Azzam mana?” Tanya Lia.
“Ibumu itu kalau punya kemauan tidak bisa dicegah. Dia
memaksa Kak Azzam ke rumahnya Kiai Lutfi.”
“Untuk apa ke sana?”
”Minta Kiai Lutfi ngisi tnau’idhah hasanah dalam acara
walimah besok.”
”O. Kan mobilnya dibawa Kang Paimo.”
“Itulah. Mbak sama Kak Azzam sudah mencegah Bue
supaya jangan berangkat pas hujan. Tapi Bue tetap ngotot.
Akhirnya Kak Azzam ya manut saja.”
”Nanti Bue sakit gara-gara kehujanan.”
“Ya semoga tidak.”
”Entah kenapa Mbak ya, hati Lia sangat tidak enak
rasanya. Lia lihat suasana pagi ini kok rasanya muram dan
suram.”
”Ya ini kan lagi mendung, lagi hujan, ya suasananya
memang suram.”
”Ini di dalam hati lho Mbak.”
”Sana kamu bantu marut kelapa, biar tidak suram. Lia
bergerak memenuhi permintaan kakaknya. Tiba-tiba pintu
depan diketuk dengan cukup keras Husna dan Lia kaget.
424
Mereka berdua berpandangan. Lalu keluar bareng. Mereka
melihat ada dua polisi yang berdiri, di depan pintu rumah
mereka. Mereka agak was-was.
”Itu polisi nyasar.” Lirih Lia.
“Hus!” Bentak Husna lirih.
”Selamat pagi Mbak?” Sapa seorang polisi berkumis tipis
“Pagi Pak. Ada yang bisa kami bantu?” Jawab Husna
“Apa ini rumahnya Khairul Azzam?”
“Iya. Saya adiknya Pak. Ada apa ya?”
“Maaf Mbak jangan terkejut. Khairul Azzam dan ibunya
kecelakaan! Dan sekarang ada di Rumah Sakit PKU
Delanggu.”
”Kecelakaan Pak!?” Jerit Husna dan Lia harnpir
bersamaan. Jantung keduanya bagai mau copot. Kaki-kaki
mereka seperti tidak kuat untuk berdiri.
”Oh tidak, bu’e... bu’e! Kak Azzam!” Jerit Lia dengan
tangis meledak.
”Ya Allah, kuatkan! Ya Allah jangan kamu panggil mereka
ya Allah!” Lirih Husna dalam isak tangisnya.
”Maaf Mbak, kami tahu kalian bersedih. Keadaan sedang
kritis. Kalian harus ada yang ikut kami ke rumah sakit
sekarang!” Kata polisi itu.
425
Husna segera sadar. Dalam sedih, ia harus bergerak cepat!
”Dik, kamu beritahu Pak Mahbub dan Pak RT. Beritahu
siapa yang menurutmu diberi tahu. Aku mau ikut Pak Polisi ini
dulu!” Kata Husna sambil menyeka air matanya.
”I... iya Mbak.” Jawab Lia dengan lidah kelu.
”Sebentar Pak.” Husna masuk mencari dompetnya. Ia
masukkan dompet itu ke dalam tasnya lalu bergegas keluar
menerobos hujan ke mobil sedan polisi.
Sepanjang jalan Husna menangis. Ia memandang ke
jendela dengan basah air mata. Polisi berkumis tipis itu
memperhatikan Husna sesaat. Ia merasa iba pada Husna.
”Menurut saksi mata kakak anda sama sekali tidak salah.
Dia sudah mepet ke pinggir. Bus ugal-ugalan itu yang salah.
Bus itu juga sempat lari tapi sekarang sudah tertangkap dan
sedang kami tangani. Kita doakan semoga kakak dan ibumu
bisa di selamatkan.” Kata Polisi menenangkan Husna.
* * *
Sampai di rumah sakit Husna langsung menghambur
ruang gawat darurat.
”Suster di mana yang korban tabrakan?” Tanya Husna
dengan mata basah pada seorang perawat di depan ruang
gawat darurat.
”Pemuda sama ibunya ya?”
“Iya Sus.”
426
”Mbak siapa?”
”Saya anak ibu itu.”
”Sabar ya Mbak, tabahkan hati Mbak ya?”
”Apa maksud suster?”
”Ibu Mbak tidak bisa kami selamatkan. Beliau sudah
bertemu Allah. Kepala beliau mungkin pecah. Darahnya
mengalir banyak sekali. Sedangkan kakak Mbak masih kritis.
Masih belum sadar.”
”Ibu saya meninggal Mbak?”
”Iya, tabahkanlah hatimu Mbak!”
Tangis Husna langsung meledak.
”Bue... bu’e... oh... bu’e!”
Perawat yang ramah itu merangkul Husna. Terus berusaha
menghibur dan menenangkan Husna. Husna merasa bumi
bagaikan berputar. Rasanya ia ingin jatuh. Ia juga merasakan
seperti ada belati yang dihunjamkan ke ubun ubun kepalanya.
Dalam pelukan perawat itu Husna pingsan.
* * *
Ketika Husna sadar, ia mendapati dirinya terbaring dalam
sebuah ruangan. Lia, Bu Mahbub dan Bu RT ada di samping.
Lia menangis dalam pangkuan Bu RT. Kedua mata Bu
Mahbub juga tampak berkaca-kaca.
427
Husna mendengar azan Zuhur berkumandang di
kejauhan.
Husna ingat yang terjadi langsung menangis. Ia
memanggil-manggil ibunya dan kakaknya. Ia bangkit dari
ranjang.
”Mau ke mana Na?”
”Mau lihat bu’e.”
”Sebentar ya. Tadi Pak Mahbub mengambil inisiatif minta
kepada rumah sakit untuk sekalian memandikan dan
mengkafani. Meskipun hari hujan. Masih ada waktu untuk
mengubur jenazah ibumu. Sekarang ibumu sedang
dimandikan.” Jawab Bu Mahbub.
”Apa harus hari ini bu’e dikubur Bu?”
”Katanya menurut sunnah nabi semakin cepat semakin
baik.”
”Kasihan Kak Azzam tidak bisa lihat bu’e.”
”Dia masih belum sadar. Kalau pun sudah sadar juga dia
tidak bisa ikut mengubur ibumu.”
Husna terus meneteskan air mata. Ia ingin tabah. Tapi ia
tetap menangis. Sepertinya baru tadi ibunya minta dibuatkan
minum. Sekarang sudah pergi meninggalkannya untuk
selamanya. Ia jadi ingat dialognya dengan ibunya sebelum
ibunya berangkat. Tadi pagi sambil membawa teh hangat ia
berkata pada ibunya,
428
”Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti
di tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman.”
Ibunya lalu menjawab
“Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin
meminumnya barangkali untuk kali terakhir.”
Air mata Husna meleleh. Ternyata benar, itulah teh yang
ia buatkan untuk ibunya terakhir kalinya. Setelahnya ia tidak
bisa membuatkan lagi untuk ibunya. Ia juga teringat kata-kata
ibunya setelah minum teh buatannya,
”Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada,
jagalah kakak dan adikmu ya Na.”
Dan benar, kini ibunya telah tiada. Kakaknya masih kritis
belum sadar juga. Kata-kata ibunya seperti menyadarkannya.
Ia harus kuat. Ia harus bangkit. Ia tidak boleh lemah.
”Lia.” Ia memanggil adiknya. Lia bangun dan memeluk
kakaknya.
”Mbak bu’e sudah tidak ada. Kita tidak punya orang tua
lagi Mbak. Kak Azzam kalau mati juga bagaimana KaK.”
”Kita harus tabah adikku. Kita doakan semoga Kak Azzam
selamat. Semoga Allah tidak memanggil dua-duanya.”
”Iya Mbak.” Husna memeluk adiknya kuat-kuat. Sesedih
apapun dirinya, saat ini dialah sang kakak. Dialah yang harus
mengambil langkah dan keputusan. Ia melepas pelukan
adiknya. Lalu dengan penuh cinta menyeka air mata adiknya.
429
”Dik, kita sudah besar dan dewasa. Kita harus saling
dukung. Kita akan hadapi ini bersama. Kita akan hadapi ini
bersama.”
”Iya Mbak.” Pelan Lia di sela-sela isaknya. Husna menoleh
ke Bu Mahbub,
“Di mana Pak Mahbub Bu?”
”Di depan sedang berbincang bersama Pak RT dan Pak
War.”
Husna langsung ke depan diikuti Lia, Bu Mahbub dan Bu
RT.
”Nak Husna.” Sapa Pak Mahbub,
“Kami semua ikut berduka cita.”
”Terima kasih Pak. Menurut Pak Mahbub, enaknya
bagaimana?” Tanya Husna.
”Begitu sampai di sini tadi saya diberi tahu oleh petugas
bahwa ibumu meninggal. Bisa jadi meninggal di tempat atau di
jalan. Yang jelas sampai di UGD nyawa beliau sudah tiada
ada. Saya langsung inisiatif minta para pemuda untuk menggali
kubur. Hujan di sana sudah reda.
”Karena kepala ibumu maaf mungkin retak atau pecah
dengan darah yang begitu banyak, saya langsung minta pihak
rumah sakit menjahit lukanya terus memandikan dan
mengafaninya sekalian. Sekarang sedang dikafani. Menurut
Bapak sebaiknya hari ini juga dikebumikan. Menurut sunnah
430
kan menyegerakan penguburan sernakin cepat semakin baik.
Tapi semua keputusan ada di tangan kamu dan Lia.” Kata Pak
Mahbub dengan suara bergetar.
”Bagaimana menurutmu Dik?” Tanya Husna.
”Kalau yang terbaik hari ini juga dimakamkan, dan itu
memungkinkan itu lebih baik. Sebab setelah ini kita masih akan
menunggu Kak Azzam.” Jawab Lia.
”Kau benar Dik. Kalau begitu kita kuburkan sekarang.”
Ucap Husna.
”Kalau boleh usul lagi,” kata Pak Mahbub,
“Sebaiknya, nanti ada salah satu di antara kalian yang di
sini. Sewaktu waktu Azzam bangun, dia langsung ada yang
menghiburnya. Langsung ada yang mendengar suaranya kalau
dia pesan sesuatu.”
”Iya Pak. Biar saya di sini, dan Lia pulang bersama
jenazah ibu.”
Seorang perawat laki-laki datang,
“Pak Jenazah sudah siap di ruang sana.”
”Ayo kita ke sana.” Seru Pak Mahbub.
Semua yang ada di situ langsung bangkit menuju ruang
jenazah mengikuti perawat. Hati Husna berdebar debar.
Seperti apa wajah ibunya. Tiba-tiba ia merasa sangat rindu
pada ibunya, padahal baru tadi pagi ia membuatkan teh
hangat untuknya. Husna melangkah memasuki ruang jenazah.
431
Hanya ada satu jenazah. Tak lain dan tak bukan jenazah
ibunya.
”Posisinya sudah kami buat seperti ini. Kalau ada yang
mau shalat jenazah di sini boleh.” Kata perawat itu.
Husna melangkah mendekati jenazah ibunya. Kepala
ibunya yang mulia itu diperban. Mukanya bersih menyungging
senyum. Ada sedikit darah di keningnya, tak bisa tidak
tangisnya meledak kembali. Ia ciumi wajah ibunya dengan
keharuan luar biasa. Hidungnya ia ciumkan ke mulut ibunya.
Ia seperti mencium bau wangi teh yang tadi pagi di minum
ibunya. Ia kembali terisak.
”Sudah Nak, tabahkanlah hatimu!” Kata Pak Mahbub.
Husna bangkit gantian Lia yang menciumi wajah ibunya
dengan terisak-isak.
”Bue aku mencintaimu Bue.” Hanya itu yang dikatakan
Lia.
”Husna, Lia, shalatilah ibumu di sini. Sebentar lagi jenazah
ibumu akan dibawa ke Sraten.”
”Baik Pak.” Jawab Husna dan Lia.
Dua gadis itu lalu mengambi air wudhu dan menshalati
ibunda mereka tercinta. Setelah dishalati jenazah itu dibawa ke
mobil jenazah ke dukuh Sraten, Kartasura. Lia dan Bu Mahbub
ikut dalam mobil jenazah. Sementara Pak Mahbub, Pak RT, Bu
RT dan Pak War ikut mobil Pak War.
Sore itu dukuh Sraten hujan air mata. Kiai Lutfi yang
diberitahu Pak Mahbub langsung datang seketika didampingi
432
Bu Nyai dan Anna. Pak Kiai menangis mendengar cerita tragis
yang menimpa Azzam dan ibunya. Pak Kiai Lutfi merasa
sangat berdosa.
”Maafkan saya Nak Lia, kalau saja saya menerima
permintaan ibumu mungkin akan lain ceritanya.” Kata Pak Kiai
pada Lia.
”Kematian itu kalau sudah datang tak bisa dielakkan Pak
Kiai. Tak ada salah Pak Kiai sama sekali. Yang salah ya sopir
bus yang ugal- ugalan itu.” Lirih Lia.
Sore itu jenazah Bu Nafis, ibunda Azzam, dimakamkan di
bawah langit yang mendung diiringi ratusan orang termasuk
Kiai Lutfi. Yang membuat masyarakat takjub, meskipun
paginya hujan tetapi lubang untuk mengubur Bu Nafis tidak
keluar mata air. Hanya basah saja.
Selesai mengubur ibunya Lia diantar oleh Anna dengan
mobilnya pergi ke PKU Muhammadiyah Delanggu untuk
menemani Husna yang sendirian di sana.
433

Tidak ada komentar:

Posting Komentar