Minggu, 14 Juni 2009

Pagi Bertasbih Di Desa Wangen

angit dini hari selalu memikatnya. Bahkan sejak ia
masih kanak-kanak. Bintang yang berkilauan di matanya
tampak seumpama mata ribuan malaikat yang mengintip
penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun menciptakan
kedamaian di dalam hati.
Ia tak bisa melewatkan pesona ayat-ayat
kauni
yang
maha indah itu begitu saja.
Sejak kecil Abahnya sudah sering membangunkannya
jam tiga pagi. Abah menggendong dan mengajaknya
menikmati keindahan surgawi. Keindahan pesona langit,
2
bintang gemintang, dan bulan yang sedemikian fitri.
“Di atas sana ada jutaan malaikat yang sedang
bertasbih." Begitu kata Abahnya yang tak lain adalah Kiai
Lutfi sambil menggendongnya.
Ia tidak mungkin melupakannya.
“Jutaan malaikat itu mendoakan penduduk bumi yang
tidak lalai. Penduduk bumi yang mau tahajjud saat jutaan
manusia terlelap lalai." Sambung Abah sambil membawanya
ke masjid pesantren.
Abah lalu mengajaknya untuk akrab dengan dingin-nya
mata air desa Wangen. Setelah mengambil air wudhu, Abah
mengajaknya keliling pesantren, mengetok kamar demi
kamar sambil berkata,
“Shalat, shalat, shalat!"
Setelah semua kamar diketuk, sang Abah mengajaknya
kembali ke masjid untuk shalat. Beberapa orang santri ada
yang sudah shalat. Ada yang masih mendengkur berselimut
sarung.
Setelah shalat sebelas rakaat Abah mengajaknya berdoa.
“Ayo Nduk, kita berdoa biar diamini jutaan malaikat."
Dan tatkala fajar merekah kemerahan di sebelah timur,
Abah bertasbih dan mengajaknya menikmati keindahan yang
menggetarkan itu. Lalu dengan menggendongnya kembali,
Abah mengajaknya keliling pesantren untuk kedua kalinya.
Kali ini Abah membangunkan para santri dengan suara lebih
3
keras, dengan nada sedikit berbeda,
“Subuh, subuh, shalat!
“Subuh, subuh, shalat!"
Lalu azan subuh pun berkumandang.
Azan subuh selalu menggetarkan kalbunya. Alam seperti
bersahut-sahutan mengagungkan asma Allah. Fajar yang
merekah selalu mengalirkan ke dalam hatinya rasa takjub
luar biasa kepada Dzat yang menciptakannya.
Setiap kali fajar itu merekah ia rasakan nuansanya tak
pernah sama. Setiap kali merekah selalu ada semburat yang
baru. Ada keindahan baru. Keindahan yang berbeda dari
fajar hari-hari yang telah lalu. Rasanya tak ada sastrawan
yang mampu mendetilkan keindahan panorama itu dengan
bahasa pena. Tak ada pelukis yang mampu melukiskan
keindahan itu dalam kanvasnya. Tak ada! Keindahan itu bisa
dirasakan, dinikmati dan dihayati dengan sempurna oleh
syaraf-syaraf jiwa orang-orang yang tidak lalai akan
keagungan Tuhannya.
Langit dini hari selalu memikatnya. Bahkan sejak ia
masih kanak-kanak. Azan subuh selalu menggetarkan
kalbunya. Dan fajar yang merekah selalu mengalirkan
kedalam hatinya rasa takjub luar biasa kepada Dzat yang
menciptakannya.
Anna berdiri di depan jendela kamarnya yang ia buka
lebar-lebar. Ia memandangi langit. Menikmati fajar. Dan
menghayati tasbih alam desa Wangen pagi itu. Dengan
4
dibalut mukena putihnya ia menikmati keindahannya dari
jendela kamarnya. Ia hirup dalam-dalam aromanya yang
khas. Aroma yang sama dengan aroma yang ia rasakan saat
ia kecil dulu. Tidak jauh berbeda. Aroma daun padi dari
persawahan di barat desa. Goresan yang indah bernuansa
surgawi. Angin pagi yang mengalir sejuk menyapa
rerumputan yang bergoyang-goyang seolah bersembahyang.
Di kejauhan, beberapa penduduk desa sudah ada yang
bergerak. Ada rombongan ibu-ibu yang mengayun sepeda
membawa dagangan di boncengan. Mereka menuju pasar
Tegalgondo. Biasanya mereka shalat subuh di sana sebelum
menjajakan dangangan mereka.
Penduduk Pesantren Daarul Qur’an, baik yang putra
maupun yang putri sebagian besar telah bangun dan bersiap
untuk shalat subuh.
Kiai Lutfi, pengasuh utama Pesantren Daarul Qur’an
sudah shalat sunnah fajar di masjid.
Anna shalat sunnah dua rakaat lalu beranjak ke masjid.
Masjid pesantren yang terletak di tengah-tengah desa
Wangen, Polanharjo, Klaten itu kini jauh lebih megah dari
waktu ia masih kecil dulu. Dulu masjid pesantren itu
berdinding papan dan lantainya ubin kasar. Hanya muat
untuk dua ratusan orang saja. Saat itu jumlah santri baru
seratus tujuh puluh. Semuanya putra. Karena memang belum
membuka pesantren putri. Sekarang masjid itu sudah mampu
menampung seribu lima ratus orang. Dua lantai. Lantai
bawah untuk santri putra dan lantai atas untuk santri putri.
Jumlah santri sudah mencapai seribu tiga ratus. Delapan
5
ratus untuk santri putra dan lima ratus untuk santri putri.
Lantai atas masjid itu putih. Penuh oleh santriwati
berbalut mukena putih. Mereka seumpama bidadari-bidadari
yang turun ke bumi bersama para malaikat pagi.
Sebagian sedang shalat sunnah. Sebagian duduk
membaca Al Qur’an. Sebagian yang lain duduk sambil
berzikir. Anna shalat tahiyyatul masjid di tengah-tengah
mereka. Jika para bidadari memiliki ratu, maka Anna
Althafunnisalah ratunya para bidadari yang mengagungkan
asma Allah di masjid itu.
Iqamat dikumandangkan.
Semua berdiri serentak. Shaf ditata seperti barisan
pasukan yang siap berperang. Kiai Lutfi merapikan shaf
dengan sabar. Ia sangat perhatian mengatur shaf. Lalu
takbiratul ihram menggema di masjid itu. Semua jamaah
mengumandangkan takbir bersama. Mengagungkan asma
Allah. Masjid itu lalu menyatu bersama alam yang
mengagungkan asma Allah pagi itu.
Usai shalat subuh dan berzikir. Kiai Lutfi mengajak
santrinya untuk melantunkan zikir pagi. Lalu beliau
membacakan kitab
Subulus Salam
karya Imam Ash Shan'ani
yang merupakan penjelas kitab Bulughul Maram yang
disusun oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani. Subulus Salam
adalah satu dari tiga kitab yang menjadi wirid Kiai Lutfi.
Artinya kitab itu adalah salah satu kitab yang senantiasa
dibaca berulang-ulang oleh Kiai Lutfi.
Kitab kedua adalah kitab Tafsir
Jalalain
yang disusun
6
oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi dan Imam Jalaluddin Al
Mahalli.
Kitab ketiga adalah
Al Hikam
yang ditulis
Imam Ibnu
Athaillah As Sakandar i.
Subulus Salam dan Tafsir Jalalain
dibaca dan dijelaskan
kandungannya panjang lebar oleh Kiai Lutfi setiap hari.
Dan semua santri wajib mengikutinya. Subulus Salam
dibaca setelah shalat subuh dan Tafsir Jalalain setelah shalat
maghrib. Sementara kitab Al Hikam dibacakan setiap Rabu
bakda Ashar untuk masyarakat umum.
Sudah jamak di dunia pesantren bahwa seorang Kiai
biasanya memiliki kitab-kitab andalan yang sangat dia kuasai
dan ia ajarkan kepada santrinya. Kitab itu jadi wiridnya.
Sehingga ia seolah-olah hafal kitab itu. Dengan melihat kitab
yang dijadikan wirid maka para santri dan masyarakat bisa
mengetahui kepakaran seorang Kiai.
Misalnya Kiai Lutfi setiap hari mengajarkan Subulus
Salam dan Tafsir jalalain, maka beliau adalah pakar di
bidang fiqh dan hadis, juga pakar di bidang tafsir.
Penguasaan beliau dalam ketiga bidang itu sangat
mendalam. Bukan berarti Kiai Lutfi tidak menguasai ilmu
nahwu
, ilmu tata bahasa Arab. Bukan. Beliau juga
menguasai ilmu itu. Tapi kecenderungan dan kepakaran
beliau di bidang itu.
Contoh lain misalnya Kiai Rasyidi biasa mengajarkan
kitab
Qira'atur Rasyidah
di Pesantren As Salam Pabelan.
7
Itu karena beliau di kalangan ulama karesidenan
Surakarta dikenal sebagai pakar bahasa Arab. Beliau lulusan
Al Azhar yang sudah belasan tahun hidup di Mesir. Beliau
juga sangat menguasai ilmu fiqh dan disiplin ilmu lainnya.
Namun beliau memiliki kecenderungan untuk
mendalami dan mengajarkan bahasa Arab kepada para
santrinya.
Lain lagi dengan Almarhum Kiai Ali Darokah, ulama
Surakarta jebolan Mambaul Ulum yang legendaris. Beliau
juga menjadi guru para ulama di Surakarta .dan sekitarnya,
dikenal sebagai ulama yang memiliki kepakaran di bidang
ilmu fiqh dan ushul fiqh.
Sementara Kiai Salman Popongan cenderung pada ilmu
tasawuf. Maka kitab yang menjadi wiridan beliau, konon,
adalah kitab-kitab tasawuf seperti kitab
Al Hikam
-nya Imam
Ibnu Athaillah As Sakandari dan kitab Ihya'
Ulumuddin-
nya
Imam Al Ghazali.
Di Sukoharjo, Kiai Ahmad Husnan dikenal sebagai
ulama yang pakar dalam takhrij hadits. Maka kitab-kitab
yang beliau bahas dan beliau uraikan kepada para santrinya
di Pesantren Al Mukmin adalah kitab-kitab hadis dan ilmu
hadis seperti
Kutubus Sittah
. Beliau bahkan banyak menulis
buku dalam bidang hadis.
Di Jogjakarta, ada ulama yang dikenal sangat pakar di
bidang Ushul Fiqh dan Fiqh. Kepakarannya bahkan masyhur
sampai Asia Tenggara. Beliau adalah almarhum Kiai Haji Ali
Maksum, Pengasuh Pesantren Al Munawwir Krapyak.
8
Maka di antara kitab yang menjadi wirid beliau adalah
kitab
Asybah Wan Nadhair, Fathul Mu'in dan Fathul Wahab.
Pagi itu Kiai Lutfi membacakan dan menguraikan hadis
yang berbunyi,

Laa yadhulul jannata qattaatun!"
Semua santri, baik
putra dan putri mendengarkan dengan khidmat dan rasa
ingin tahu. Kiai Lutfi lalu menjelaskan arti dan maksud hadis
pendek itu,

Anak-anakku semuanya yang aku sayangi, Hadis
pendek ini muttafaq 'alaih, artinya diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim. Jelas shahihnya. Tidak bisa diragukan.
Arti dari hadis ini adalah,'Tidak akan masuk surga orang yang
suka memfitnah.
Imam Shan'ani menjelaskan, kat “qattat" itu dengan
huruf qaf, huruf ta' dan sesudah alif huruf ta' lagi, yang berarti
pemfitnah. Ada ulama yang berkata, ada perbedaan antara
“qattaat" dan“nammaam".
Nammaam ialah orang yang mencari berita untuk
menyampaikannya kepada orang lain (untuk menebar
fitnah).
Sedangkan“qattaat" adalah orang yang hanya
mendengar berita yang ia tidak mengetahui pasti kebenaran
berita itu, kemudian ia menceritakan apa yang ia dengar itu
(kepada orang lain untuk memfitnah).
Hakekat fitnah itu pemindahan pembicar aan orang
9
kepada orang lain untuk merusak hubungan di antara
mereka.
Anak-anakku, ingatlah baik-baik hadis ini. Hayati dan
patri dalam sanubari! Jangan sekali-kali kalian menjadi
seorang pemfitnah, baik qattaat maupun nammaam. Sebab
pemfitnah itu telah diharamkan oleh Rasulullah Saw. untuk
masuk surga. Pemfitnah termasuk seburuk-bur uk makhluk
Allah di atas muka bumi ini. Al Hafidz Al Mundziri
mengatakan, Ummat Islam sudah sepakat bahwa fitnah itu
diharamkan dan fitnah itu termasuk dosa besar!"
Lalu Kiai Lutfi terus membacakan isi kitab
Subulus
Salam
itu dan menjelaskan panjang lebar dengan penuh
rasa
kasih sayang dan cinta kepada santri-santrinya. Setelah
setengah jam membacakan Subulus Salam, Kiai Lutfi
menutup kajian pagi hari itu dengan hamdalah. Para santri
bubar kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap menyam-but
aktifitas pesantren yang lebih padat. Kiai Lutfi biasanya tetap
iktikaf di masjid sampai kira-kira jam delapan.
* * *
Anna kembali ke kamarnya. Ia mempersiapkan diri
menghadapi salah satu hari yang sangat bersejarah dalam
hidupnya. Nanti sore keluarga Furqan dari Jakarta akan
datang untuk melamarnya. Kemarin sore Furqan mengirim
sms bahwa dia dan keluarganya sudah sampai di Solo, saat
ini mereka menginap di hotel Lor Inn Solo.
Tanpa ia pinta, ingatannya kembali berputar bagaimana
ia mengiyakan lamaran Furqan. Bulan April ia meninggal-
kan Cairo. Saat itu konsentrasinya adalah penelitian di
10
Malaysia untuk tesisnya tentang
“Asuransi Syari'ah di Asia Tenggara." Ia belum memberi
jawaban atas lamaran Furqan yang diajukan lewat Ustadz
Mujab.
Ada dua minggu lamanya ia mengadakan penelitian di
perpustakaan Universiti Malaya, ISTAC, HUM dan Universiti
Kebangsaan Malaysia. Ia lebih banyak mengcopy data-data
dan rujukan-rujukan penting. Lalu ia pulang ke Indonesia.
Kerinduannya pada Abah dan Umminya, juga pada aroma
desa Wangen sudah sedemikian membuncah di dada.
Ia masih ingat betul, selama satu minggu di rumah ia
belum membicarakan perihal lamaran Furqan pada kedua
orang ruanya. Ia masih bimbang dan ragu. Dan tepat satu
minggu setelah menghirup udara Wangen, suatu pagi ia
diajak bicara serius oleh Abahnya. Saat itu ia sedang
mengerjakan tesisnya di ruang perpustakaan Abahnya.
“Nduk, aku ingin bicara sebentar denganmu bisa?" Kata
Abahnya, dengan wajah serius.

Inggih
,
bisa Abah." Jawabnya sambil menghadapkan
1
seluruh wajahnya pada sang Abah.
“Begini, Nduk, Abah rasa kamu harus segera menikah.
Kamu harus segera memutuskan siapa yang kamu pilih
untuk menjadi pendamping hidupmu. Jika Abah hitung, dua
tahun ini sudah enam kali engkau menolak lamaran.
Iya (jawa)
1
11
Dan lamaran itu datangnya tidak dari orang
sembarangan.
Abah dan Ummimu sudah tidak sanggup lagi untuk terus
menolak lamaran yang datang. Abah ingin menyampaikan
padamu, tadi malam ada seseorang yang datang lagi untuk
melamarmu. Abah kenal baik dengannya. Dan Abah percaya
padanya. Ummimu juga. Dia dulu juga santri di pesantren
ini. Tapi keputusan ada di tanganmu, Nduk. Sebab engkau
sudah besar, sudah sangat berpendidikan."
Ana sedikit terperanjat. Ia jadi penasaran siapa santri itu?
“Pernah nyantri di sini Bah?"
“Iya."
“Siapa dia Bah? Apa aku mengenalnya?"
“Mungkin saja."
“Namanya siapa Bah?"
“Muhammad Ilyas."
“Muhammad Ilyas yang mana ya Bah?"
“Yang tinggi kurus, agak hitam."
Anna mencoba mengingat beberapa santri yang ia kenal.
Ia tidak memiliki bayangan. Ia memang tidak banyak
mengenal para santri putra yang seusianya, atau sedikit di
atasnya. Sebab begitu lulus SD ia langsung dibuang ayahnya
untuk belajar di Kudus. Tiga tahun di Kudus, ia lalu
12
melanjutkan belajar di MAPK Putri Ciamis.
Saat di Madrasah Aliyah itulah ia sempat mengikuti
pertukaran pelajar ke Wales, U.K. Begitu selesai Aliyah ia
langsung terbang ke Mesir. Jadi nyaris ia tidak banyak
berinteraksi dengan santri-santri Abahnya. Baik yang putra
maupun putri.
“Wah, saya tidak mengenalnya Bah." Kata Anna pelan.
“Ilyas cuma satu tahun di sini. Di kelas 3 Aliyah saja.
Sebelumnya ia belajar di Pasuruan. Anaknya cerdas.
Hanya saja olah bahasanya kurang halus. Tapi pelan-pelan
bisa diperbaiki. Ia menyelesaikan S1 di Madinah dan
sekarang sedang menulis tesis masternya di Aligarh, India.
Saat ini ia sedang liburan. Tadi malam ia datang bersama
pamannya untuk melamarmu. Aku dan Ummimu tidak
mungkin langsung menerima atau menolaknya. Kami akan
memutuskan sesuai dengan apa yang kamu putuskan."
“Kalau Abah sendiri kelihatannya bagaimana?"
“Abah sendiri tidak ada masalah. Selama yang datang
itu orang yang shalih dan berilmu itu saja. Dan Ilyas sudah
memenuhi kriteria itu. Selanjutnya tergantung kamu. Sebab
kamu yang akan menjalani. kamulah yang menentukan siapa
pendamping hidupmu. Bukan Abah atau Ummimu." Diam-
diam dari hati yang paling dalam Anna merasa sangat
bersyukur memiliki orang tua yang sangat penyabar,
demokratis, dan sangat terbuka.
“Begini, Bah, saat ini saya juga sedang menerima
13
lamaran dari seorang yang baru saja menyelesaikan S2nya di
Cairo University." Anna membuka masalahnya.
“Coba ceritakan lebih detil!" Pinta Abahnya.
Ia lalu menceritakan tentang lamaran Furqan dengan
detil. Tentang siapa Furqan, aktivitas Furqan, prestasi-
prestasi Furqan selama di Cairo, juga latar belakang keluarga
Furqan. Ia ceritakan semua yang ia tahu tentang Furqan.
Kiai Lutfi hanya manggut-manggut saja mendengar
cerita putrinya yang sedemikian panjang lebar.
“Dia orang Jakarta asli?" Tanya Kiai Lutfi.
“Tidak tahu ayah. Tapi setahuku sejak kecil ia di Jakarta,
lalu kuliah di Cairo."
“Bisa bahasa Jawa?"
“Mungkin. Tapi ya sebatas memahami perkataan dalam
bahasa Jawa Bah."
“Furqan itu, seperti yang kamu ceritakan banyak
memiliki kelebihan. Tapi jika dia nanti misalnya tinggal di sini
tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik, itu akan jadi satu
kelemahannya."
“Sebagaimana setiap manusia memiliki kelebihan pasti
kan juga memiliki kelemahan Bah."
“Yah, terserah bagaimana keputusan kamu. Siapa yang
kamu pilih? Furqan atau Ilyas? Abah minta salah satu dari
14
mereka ada yang kamu pilih. Jangan tidak ada yang kamu
pilih. Itu saja permintaan Abah dan Ummi padamu, Nduk."
“Bah, untuk memilih salah satu di antara keduanya,
rasanya kita harus adil. Saya sudah pernah bertemu dengan
Furqan, tapi belum pernah bertemu Ilyas. Rasanya kalau
saya putuskan memilih Furqan misalnya itu tidak adil." Pak
Kiai Lutfi faham.
“Baik. Itu gampang. Kebetulan besok pagi dia mau
mengisi acara pembekalan anak-anak kelas tiga Aliyah yang
akan meninggalkan pesantren ini. kamu akan aku temukan
dengannya."
Dan benar, hari berikutnya, Ilyas datang. Pakaiannya
rapi. Ia datang dengan mengendarai Honda Supra X. Kiai
Lutfi minta kepada Ilyas supaya masuk rumah sebelum
mengisi acara. Sesaat lamanya Kiai Lutfi mengajak Ilyas
berdiskusi beberapa masalah keumatan di ruang tamu.
Anna mendengarkan diskusi dari ruang tengah. Antara
ruang tengah dan ruang tamu disekat dengan kaca riben
hitam. Anna bisa melihat Ilyas dengan jelas, dan sebaliknya
Ilyas tidak bisa melihat Anna dengan jelas. Anna sudah
merasa cukup.
Tapi tiba-tiba ayahnya bangkit masuk ruang tengah dan
memanggil namanya,
“Anna, minumannya mana?"
Terpaksa ia mengeluarkan minuman dan dua kaleng
biskuit. Ia bisa melihat Ilyas dengan lebih jelas. Ia tahu Ilyas
melirik wajahnya sekelebat. Setelah itu ia mem-bandingkan
kelebihan dan kekurangan dua pemuda yang melamarnya.
Furqan dan Ilyas. Hatinya condong pada Furqan, tapi masih
15
ada sebersit keraguan. Ia masih belum bisa memutuskan. Ia
perlu orang lain yang bisa ia ajak bicara dari hati ke hati.
Akhirnya ia memilih Nafisah, Ketua Pengurus Pesantren
Putri, yang ia rasa sudah sangat dekat dengannya sebagai
teman bermusyawarah. Ia menceritakan kebimbangannya
kepada Nafisah setelah ia mengambil janjinya agar tidak
membuka isi pembicaraan kepada siapa pun juga.
“Mbak punya foto Ustadz Furqan?" Tanya Nafisah
setelah mendengar semuanya.
“Ada." Jawab Anna seraya membuka diarynya.
“Ini fotonya." Lanjut Anna dengan menyodorkan
sekeping foto pada Nafisah.
Nafisah menerima foto itu dan mengamatinya dengan
seksama.
“Wah, tampan sekali Neng Anna. Jujur saja, kalau saya
yang disuruh memilih, saya pasti memilih Ustadz Furqan.
Sebab dia sudah selesai S2. Sementara Ustadz Ilyas
belum.
Dia mahasiswa Mesir. Sementara Ustadz Ilyas
mahasiswa India. Kalau Ustadz Furqan kan setelah menikah
bisa melanjutkan S3 di Mesir sambil menunggui Neng Anna
menyelesaikan tesis. Jadi kalian bisa hidup bersama gitu lho.
Kalau Ustadz Ilyas kan susah. Bagaimana? Satu di India,
yang satu di Mesir? Terus ini Neng, terus terang, saya pribadi
pernah diajar oleh Ustadz Ilyas. Ada yang saya kurang suka
16
pada beliau?"
“Apa itu?"
“Saya takut ghibah Neng."
“Semoga tidak termasuk ghibah sebab ini niatnya sama
sekali bukan untuk ghibah. Lha kalau saya tidak tahu hal itu
bagaimana saya bisa menimbang Nafisah?"
“Baik, ini menurut saya pribadi lho Neng. Sikapnya yang
kurang saya sukai, Ustadz Ilyas agak kurang menjaga
pandangan pada para siswi ketika mengajar."
“Kan kalau mengajar memang boleh memandang yang
diajar."
“Tapi kan bisa lebih dijaga. Saya suka model Ustadz
Ramzi yang lulusan Syiria itu, beliau sangat menjaga
pandangan. Tapi sayangnya beliau sudah punya isteri."
Setelah berbincang-bincang cukup detail dengan Nafisah, ia
agak cenderung kepada Furqan. Tapi tetap belum bisa
memilih Furqan. Entah kenapa ia merasa tidak mencintai
mantan Ketua PPMI itu. Bahkan dalam hatinya ada
semacam ketidakcocokan dengan Furqan.
Menurutnya pola hidup Furqan terlalu berbeda dengan
mahasiswa yang lain. Dari orang-orang yang ia percaya flat
yang disewa Furqan sangat mewah, punya mobil pribadi. Ke
mana-mana selalu memakai mobil pribadi. Dan tidak jarang
sering menyendiri di hotel hanya untuk menulis makalah.
Meskipun ia tidak menyalahkan, karena barangkali Furqan
punya alasan. Tapi seperti itu bukan cara hidup yang ia
17
dambakan. Menurutnya itu sudah berlebihan.
Tentang kebimbangannya ia sampaikan pada kedua
orang tuanya. Ayahnya diam, menyerahkan semuanya pada
Ummi. Umminya malah bertanya padanya,
“Jujurlah Nduk, adakah seseorang yang sebenarnya
kamu damba. Dalam bahasa anak mudanya kamu naksir
padanya?" Ia menggelengkan kepala.
“Tapi pernahkan kamu bertemu dengan seorang
pemuda yang sangat berkesan di hatimu?" Lanjut Sang
Ummi.
Ia diam.
“Cobalah ingat-ingat!"
“Ya ada Mi."
“Siapa dia?"
“Aku tak kenal dia Mi. Aku hanya kenal namanya."
“Namanya siapa?"
“Abdullah."
“Abdullah siapa?"
“Tak tahu Mi."
“Bagaimana kamu ini. Masak cuma kenal nama
18
depannya saja kamu sudah terkesan dengan pemuda itu.
Dia sekarang di mana?"
“Mungkin masih di Cairo Mi."
“Bisa kamu lacak?"
“Tidak Mi."
“Kau sungguh aneh Nduk. Terkesan kok pada orang
tidak jelas."
“Kalau Ummi jadi Anna pasti juga akan terkesan." Anna
lalu menceritakan perjalanannya dengan teman-temannya ke
Sayyeda Zaenab, Cairo. Saat itu ia belanja kitab. Uangnya ia
habiskan untuk beli kitab. Ia ingat kitab yang ia beli adalah
Lathaiful Ma'arif
-nya Ibnu Rajab Al Hanbali,
Fatawa
Mu'ashirah-
nya Yusuf Al Qaradhawi,
Dhawabithul
Mashlahah
-nya Al Buthi,
Al Qawaid Al Fiqhiyyah
-nya Ali An
Nadawi,
Ushulud Dakwah
-nya Doktor Abdul Karim Zaidan,
Kitabul Kharraj
-nya Imam Abu Yusuf,
Al Qamus
-nya
Fairuzabadi dan
Syarhul Maqashid
-nya Taftazani.
Ia pulang bersama Erna. Dompet Erna dicopet. Ia teriak.
Pencopet lari. Ia bergegas turun sambil mengejar minta
tolong pada orang-orang kalau kecopetan.
Pencopetnya hilang tak terkejar. Ia dan Erna tak ada
uang untuk pulang. Sama sekali. Di saat ia bingung ada
seorang pemuda naik taksi yang menolongnya memberi
tumpangan di belakang. Ia teringat kitab-kitabnya yang
tertinggal di bis. Pemuda itu minta sang sopir mengejar bis.
19
Akhirnya terkejar di Halte jalur ke Hay El Sabe dekat
Muraqib Nasr City.
Ia mendapatkan kembali kitabnya. Pemuda yang
menolongnya sangat santun. Dan sangat menjaga
pandangan. Ia sangat terkesan pada pemuda itu. Ia merasa
sangat ditolong saat itu. Entah kenapa ia sulit melupakan itu.
Sulit melupakan pemuda yang selalu menunduk itu. Dan saat
itu, ketika ditanya namanya cuma menjawab:
“Abdullah."
“Anna sangat terkesan padanya, Mi."
“Yang seperti itu yang kamu damba kira-kira?"
“Mungkin. Tapi jujur Anna suka pada pemuda itu."
“Tapi siapa dia dan di mana dia kamu tidak tahu kan?"
“Iya."
“Itu namanya tidak jelas. Kalau menurut Ummi pilihlah
yang jelas." Tegas Umminya.
“Benar kata Ummimu Nduk." Abahnya menguatkan.
Namun ia belum bisa memutuskan. Dalam hati kecil ia
mengatakan jika pemuda yang menolongnya, yang baik
hatinya, dan sangat menjaga pandangan bernama Abdullah
itu datang melamarnya, maka ia akan langsung mengatakan:
“Iya!"
20
“Aduhai jikalau saja saat ini kamu ada di sini Abdullah.
Jikalau saja kamu menyampaikan lamaranmu kepadaku.
Jikalau saja kamu utarakan ingin membangun rumah
tangga denganku. Aku pasti akan memilihmu, dari pada Ilyas
atau Furqan.
Tapi, ah... di mana keberadaanmu di saat aku harus
memilih? Di mana...? Ah,..ya Rabbi ampuni hamba-Mu yang
lemah iman ini." Desis hatinya bimbang.
Saat ia bimbang dan ragu sms dari isteri Ustadz Mujab
terus datang berulang-ulang. Terakhir sms itu mengatakan,
“Kami sudah tidak enak sama
Kami sudah tidak enak sama
Kami sudah tidak enak sama
Kami sudah tidak enak sama
Furqan.
Furqan.
Furqan.
Furqan. Cepatlah kamu putuskan.
Cepatlah kamu putuskan.
Cepatlah kamu putuskan.
Cepatlah kamu putuskan.
Kalau mau ya bilang mau. Kala
Kalau mau ya bilang mau. Kalau tidak
u tidak
Kalau mau ya bilang mau. Kala
Kalau mau ya bilang mau. Kala
u tidak
u tidak
ya tidak. Supaya semua jadi enak.
ya tidak. Supaya sem ua jadi enak.
ya tidak. Supaya semua jadi enak.
ya tidak. Supaya sem ua jadi enak.
Terima kasih !"
Terima kasih!"
Terima kasih !"
Terima kasih!"
Ana masih bimbang. Dalam hati kecilnya ada Abdullah.
Ia sendiri tidak tahu kenapa di sana ada Abdullah. Ia ingin
mengenyahkan Abdullah itu tapi tak juga mau enyah. Ia tahu
tak boleh ada siapapun di dalam hatinya kecuali orang yang
halal baginya. Tapi kenapa muncul juga Abdullah. Seringkali
ia rasakan munculnya itu pelan dan halus sekali. Ia kembali
membaca sms itu.
Gamang. Tapi harus ia putuskan. Ingin rasanya ia
putuskan untuk tidak menerima dua-duanya. Tapi ia juga
gamang. Sudah berapa kali ia mengabaikan lamaran yang
datang? Ia baca lagi sms dari Cairo itu. Ia rasakan bagai
21
sesuatu yang menterorkan.
Akhirnya dalam kegamangannya, karena teror sms itu ia
memutuskan untuk menerima Furqan. Meskipun keputusan
itu belum benar-benar bulat di hatinya. Masih ada sebersit
keraguan yang bercokol di sana. Dan ia tidak tahu
bagaimana caranya menghilangkan keraguan itu. Ia
mencoba menghilangkannya dengan shalat istikharah selama
tiga hari berturut-turut. Akhirnya walaupun sebersit keraguan
itu masih bercokol, ia tetap memutuskan memilih Furqan bila
dibandingkan dengan Ilyas. Ia berusaha mantap meskipun
masih ada kegamangan yang menggelayut dalam batinnya.
Ia menyampaikan keputusannya pada Abah dan
Umminya. Mereka berdua menyambut dengan wajah berseri-
seri dan gembira. Lalu ia mengirim sms kepada Mbak Zulfa di
Cairo, isteri Ustadz Mujab. Isi smsnya itu adalah
pemberitahuan bahwa ia menerima lamaran Furqan dan
mohon disampaikan kepada Furqan secepatnya.
* * *
Anna tersadar dari lamunannya. Waktu terus berjalan.
Hari ini adalah hari yang akan menjadi bagian dari
sejarah hidupnya. Ia masih belum yakin bahwa ia siap
menjadi isteri Furqan. Ia tidak tahu kenapa sebersit rasa ragu
masih juga menyusup halus di dalam hatinya. Apakah
sebenarnya ia belum siap menikah? Ataukah ia masih kurang
mengenal Furqan sehingga hatinya belum benar-benar bisa
bulat seratus persen? Ataukah sebenarnya masih ada yang
mengganjal dalam hati Abah atau Umminya? Tapi setiap kali
ia bertanya pada mereka berdua, mereka menjawab telah
mantap. Abahnya malah dengan entengnya ber-komentar,
22
“Bisa jadi keraguan itu datangnya dari setan yang tidak
menginginkan kebaikan pada ummat manusia." Anna berdiri.
Melangkah ke arah cermin dan memandang wajahnya
sendiri. Ia lalu berseru pada wajah yang ada di cermin,
“Anna, kamu harus mantap! kamu tidak mungkin
mundur hanya karena keraguan yang tidak jelas dari mana
datangnya. Kalau kamu mencari manusia yang sempurna,
kamu tidak akan mendapatkannya di atas muka bumi ini!
Semua ummat manusia memiliki aib, kekurangan, salah dan
dosa-dosa! Tak ada yang sempurna. Anna, kamu harus yakin
keputusanmu adalah benar!"
“Neng Anna! Neng Anna!" Itu suara Sri,
khadimah
yang
2
sangat disayang Umminya.
“Iya Ti, ada apa?"
“Dicari Mbak Nafisah. Katanya ada keperluan penting.
Dia menunggu di ruang tamu."
“Ya, suruh menunggu sebentar." Anna melepas
mukenanya. Ia merapikan rambut dan jubah panjang yang
dipakainya. Ia mengambil jilbab dari almarinya.
Mengenakannya. Bercermin sekilas lalu turun menemui
Nafisah.
23
“Maaf Neng mengganggu." Sapa Nafisah.
“Tidak kok. Ada apa ya Fis? Katanya penting?"
“Iya Neng. Kami mau minta bantuan Neng Anna
sedikit."
“Banyak juga tidak apa-apa kok selama aku mampu.
Apa itu?"
“Begini Neng. Anak kelas tiga Aliyah putra dan putri
punya kan acara besar..."
“Bedah buku kumpulan cerpen itu?" Potong Anna.
“Iya benar. Cuma kami ada sedikit masalah Neng."
“Masalah apa?"
“Rencananya yang menjadi pembandingnya kan Bu Nila
Kumalasari, M.Ed. Dosen Fakultas Tarbiah STAIN, tapi
mendadak beliau ada halangan. Ayah beliau di Semarang
sakit keras, dan sedang dirawat di RS. Roemani Semarang.
Beliau harus ke Semarang menunggui ayah beliau. Jadi
beliau tidak bisa."
"Sudah cari pengganti beliau?"
“Sudah, tapi nama-nama yang kami hubungi tidak bisa
Neng."
“Guru bahasa Indonesia kalian saja yang jadi
24
pembanding."
“Beliau juga tidak bisa. Sebab beliau sudah ijin untuk
menghadiri pernikahan adiknya di Jogja."
“Ya sudah, tanpa pembanding saja. Biarkan pengarang
kumpulan cerpen itu jadi pembicara tunggal saja."
“Justru pengarangnya minta ada pembanding. Kami
tidak mau mengecewakan beliau. Kami sudah janji akan
menyandingkan dengan pembanding yang tepat. Dan
rasanya lebih seru kalau ada pembanding."
“Terus apa yang bisa aku bantu? Aku tidak punya link
orang-orang yang berkecimpung di bidang sastra."
“Begini Neng, karena waktu sudah mepet. Kami dari
panitia dengan sangat memohon Neng Anna bersedia
menjadi pembicara pembanding."
“Aku?"
“Iya Neng."
“Wah tidak bisa! Tidak bisa!"
“Kami mohon Neng!"
“Tidak bisa, Fis! Itu bukan bidangku."
“Iya kami tahu. Maka nanti Neng Anna tidak usah bicara
tentang sastra dan tetek bengeknya. Kami tidak minta Neng
Anna bicara tentang itu?"
25
“Terus aku bicara tentang apa?"
“Neng kan sarjana Syariah dari Al Azhar. Kami minta
Neng Anna menyoroti isi dan pesan yang terkandung dalam
kumpulan cerpen itu sudah sesuai dengan syariah belum.
Sesuai dengan ajaran Islam yang mulia tidak. Itu saja. Tolong
ya Neng. Kalau Neng Anna tidak mau kami harus bagaimana
lagi. Waktunya tinggal besok Neng." Nafisah membujuk
dengan nada mengiba.
Anna Althafunnisa diam sesaat. Keningnya berkerut.
la mengambil nafas agak panjang lalu mendesah.
Bibirnya yang indah itu bergetar lirih,
“Baiklah."
“Terima kasih Neng."
“Tapi aku minta segera kamu bawakan kemari buku
kumpulan cerpen itu ya. Biar segera kubaca."
“Jangan khawatir Neng. Ini sudah aku bawakan." Jawab
Nafisah dengan wajah berbinar-binar bahagia. la
mengeluarkan buku ukuran sedang dari dalam lipatan kitab
Fathul Qarib. Rupanya buku kumpulan cerpen itu ia selipkan
di dalam kitab kuning yang memang lebih lebar.
Nafisah mengulurkan buku itu pada Anna. Anna
menerima dan memeriksa sampul buku itu dengan seksama.
Judul kumpulan cerpen itu adalah Menari Bersama Ombak.
26
Ditulis oleh Ayatul Husna. Diterbitkan oleh penerbit
terkenal di Jakarta. Ia buka halaman demi halaman.
“Wah baru empat bulan sudah cetakan ke-5, berarti ini
buku best seller ya Fis."
“Iya Neng. Saya membaca di koran penulisnya akan
menerima penghargaan dari Diknas Pusat bulan Agustus
nanti. Sebab buku ini terpilih sebagai buku kumpulan cerpen
remaja terbaik nasional."
“Wah jadi semangat nih. Jadi ingin bertemu penulisnya
nih."
“Ya, begitu Neng. Kami jadi tambah semangat."
“O ya Fis, aku ada satu permintaan lagi."
“Apa itu Neng?"
“Aku minta agar identitasku sebagai lulusan Al Azhar
tidak disebut-sebut. Aku minta agar namaku yang digunakan
dalam seminar besok nama penaku yaitu Bintun Nahl. Sebut
saja guru bahasa Arab, pernah nyantri di Kudus dan Ciamis.
Itu saja."
“Baik Neng, insya Allah kami penuhi." Anna menatap
kedua mata Nafisah memancarkan sinar kebahagiaan. Dan
di luar, sinar surya sudah memancar menyinari alam,
menebar kehangatan. Sinar itu menyapa dengan ramah
daun-daun padi yang masih hijau, yang menghampar bagai
permadani nan luas.
27
Burung-burung pipit beterbangan ke sana ke mari
dengan riang. Alam semakin hangat. Semakin benderang.
Sinar matahari pagi itu terus bergerak menerobos
menyingkir-kan kegelapan.
Sinar matahari pagi itu juga menerobos sela-sela jendela
kamar Furqan di Hotel Lor Inn Solo. Furqan yang menyibak
perlahan tirai jendela kamarnya dengan wajah pucat dan
muram. Cerahnya pagi hari itu ternyata tak juga sanggup
mencerahkan batin, jiwa dan perasaannya. Ada beban yang
ia rasa sangat berat yang menekan jiwanya.
Itulah yang membuat dia muram di hari yang
seharusnya ia ceria.
Furqan memandang ke arah matahari. Ia berkata lirih
pada matahari,
“Apalah arti sinarmu, bagi orang yang semangat
hidupnya sudah redup dan nyaris mati!?"
Furqan menyibak jendela lebih lapang, berharap dadanya
bisa terasa lebih lapang. Wajah Anna Althafunnisa
berkelebat-kelebat dalam pikiran.
28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar