Minggu, 14 Juni 2009

Pagi Yang Menegangkan

Zumrah belum menemui ibunya. Ia tidur di rumah Husna.
Ia bersikukuh tidak bertemu ibunya. Berulang-ulang Bu Nafis,
Husna dan Lia membujuknya. Tetap saja ia kukuh dengan
sikapnya. Selepas shalat subuh Zumrah bersiap untuk pergi. Ia
merasa harus pergi sebelum hari terang.
”Terus kamu mau kemana Zum? Tanya Husna
”Aku tak tahu Na.” Jawab Zumrah
”Apa kamu tak kasihan sama janinmu. Perutmu sudah
besar. Dia butuh ketentraman. Dia butuh rasa aman. Dia
butuh kesehatannya terjamin sementara kamu terus
276
menggelandang begitu, terus juga masih menemui germomu
itu alangkah malangnya janin dalam kandunganmu.”
”Aku juga berpikir begitu Na. Tapi apa boleh buat.”
”Terserah kamu Zum. Aku ingin membantu tapi kamu
sendiri yang tidak mau.”
”Terima kasih atas segalanya Na. Semoga aku tidak lagi
menyusahkanmu.” Mereka berdua berbincang di ruang tamu.
Azzam masih di masjid.
Bu Nafis keluar membawa minuman dan mendoan
goreng.
”Aduh, kok repot-repot Bu. Saya sudah mau pergi.” Kata
Zumrah.
”Minum teh hangat dulu dan cicipi dulu mendoannya
baru kamu boleh pergi.” Sahut Bu Nafis.
”Na, apa tidak ada kos-kosan yang murah. Yang kira kira
aman untuk Zumrah, sehingga ia bisa tenang sampai
melahirkan?” Tanya Bu Nafis pada Husna.
”Oh ya benar. kamu mau kalau kos di Nilasari. Aku ada
teman di sana.
Satu bulan lalu bilang cari teman. Kamar dia besar. Harga
kamar itu sebulannya seratus tujuh puluh. Kalau mau kamu
cuma bayar tujuh puluh ribu saja.” Terang Husna.
”Mau. Tapi aku dapat uang dari mana ya?” Lirih Zumrah
277
merana.
”Kalau kamu mau, tiga bulan pertama biar aku yang
bayar. Setelah itu kamu bayar sendiri, bagaimana?”
”Terima kasih Na. kamu baik sekali.”Masih mau pergi
sekarang?”Iya tetap pergi sekarang. Nanti siang aku ke
radiomu saja,”
”Terserah kamu.” Zumrah mengambil gelas yang ada di
hadapannya dan menyeruput isinya. Setelah itu ia bangkit dan
minta diri.
Zumrah mencium tangan Bu Nafisah, bersalaman dengan
Lia dan memeluk Husna. Zumrah membuka pintu, tiba tiba...
”Mau ke mana lagi, pelacur!”
Seorang berjaket hitam membentak keras sambil
menodongkan pistolnya tepat di jidat Zumrah. Bu Nafis
gemetar ketakutan. Husna dan Lia merinding. Sementara
Zumrah saking takutnya tanpa ia sadari mengeluarkan air
kencing. Pria berjaket hitam itu baginya bagaikan malaikat
pencabut nyawa yang siap mencabut nyawanya.
Gigi pria itu bergemeretak menahan amarah. Matanya
merah marah.
”Am... ampun paman! Ampuni Zum, pa... paman!”
Zum terbata-bata serak.
”Tak ada ampun untuk pelacur murtad yang membunuh
ayahnya sendiri! Pagi ini tamat riwayatmu!”
278
”Mahrus, dia tidak murtad. Dia masih Islam. Tadi subuh
dia shalat di rumah ini!”
Husna yang dulu pernah nakal terbit kembali
keberaniannya.
”Diam kamu Husna! Jangan ikut campur kamu! Ini
urusanku dengan pelacur tengik ini!”
”Tidak ikut campur bagaimana? Dia tamuku! Dan kamu
seperti perampok yang masuk rumah tanpa
kulon nuwun
23
dulu!”
”Baik, maafkan kelancanganku. Biar aku tembak pelacur
ini di jalan saja. Biar dia tidak jadi hantu di rumah ini. Biar dia
jadi hantu yang mengelayap ke mana-mana! Ayo jalan!”
Mahrus menggertak Zumrah.
”Tidak, jangan!”
Zumrah berontak.
Buk!
”Ah!”
Mahrus memukul pelipis Zumrah dengan gagang pistol.
Zumrah mengaduh. Pelipis Zumrah berdarah. Husna mau
bergerak menolong Zumrah tapi dicegah Bu Nafis. Bu Nafis
tahu kenekatan Mahrus sejak kecil. Ia tidak ingin Husna celaka
dengan konyol.
”Mahrus anakku!”
23
Minta ijin.
279
Ucap Bu Nafis dengan lembut.
”Iya Bu Nafis.” Jawab Mahrus sambil menengok ke wajah
Bu Nafis.
”Apa tidak bisa dirembug dengan baik-baik tho. Dia itu
keponakanmu sendiri. Seharusnya kamu sayang padanya.”
”Apa ibu kira aku tak sayang padanya. Sejak kecil aku
sayang padanya Bu. Dulu waktu SD kalau dia diganggu orang
akulah orang pertama yang membelanya. Tapi dia tidak tahu
diri. Semua orang di keluarga menyayanginya. Tapi dia
membalas kasih sayang itu dengan kebencian. Ayah dan
ibunya sendiri mau dia buat mati berdiri! Ayahnya sudah mati
dibunuhnya! Dan dia akan membunuh ibunya! Sebelum itu
terjadi dia harus dihentikan! Dia ini penjahat yang harus
dihentikan, penyakit yang harus dienyahkan! Ibu diam saja ya,
ibu tak tahu apa-apa!”
Jawab Mahrus dengan marah. Anggota serse itu kalau
marah hilang sopan santunnya, tak pandang dengan siapa ia
bicara.
Dada Husna panas mendengar Mahrus berbicara dengan
suara keras dan membentak-bentak ibunya.
”Hai Bung, bisa nggak sopan sedikit sama orang tua!”
Lia mendahului Husna membentak Mahrus. Husna heran
sendiri, adiknya yang biasanya halus ternyata bisa garang
juga.
”Kau juga diam anak kemarin sore! Aku dor mulutmu
nanti!”
280
Sengit Mahrus sambil memandang ke arah Lia. Melihat
mata yang merah dan wajah yang sangar itu Lia jadi
mengkeret.
”Ayo keluar!”
Bentak Mahrus sambil menyeret Zumrah.
”Ampun paman!”
”Tak ada ampun untukmu!”
”Beri Zumrah kesempatan untuk berbuat baik paman.”
”Kesempatan itu sudah kamu sia-siakan!”
”Beri kesempatan sekali saja Paman!”
”Bangsat sepertimu sudah saatnya dienyahkan!”
”Auh! Sakit paman!”
”Diam!”
Dengan segenap kekuatan Mahrus menyeret Zumrah ke
halaman.
Mahrus terus menyeret sampai akhirnya ke jalan. Sampai
di jalan Zumrah berontak dengan sengit. Sekali lagi Mahrus
memukulkan gagang pistolnya ke kepala Zumrah. Zumrah
langsung terjengkang kesakitan. Mahrus sudah bersiap
menembak kepala Zumrah. Niatnya sudah bulat bahwa
keponakannya harus dihabisi. Ia tinggal merekayasa laporan
281
kejahatannya saja. Sebuah kejahatan yang layak untuk
dienyahkan dari muka bumi.
Husna, Lia dan Bu Nafis gemetar di beranda rumah.
Beberapa orang berdatangan mendengar ada keributan. Tapi
Mahrus langsung mengultimatum agar semuanya diam di
tempat masing-masing.
Sebelum pistol itu memuntahkan peluru sekonyong-
konyong Azzam datang. Azzam sudah tahu duduk
persoalannya dari cerita Husna. Ia juga tahu seperti apa
bencinya sama Zumrah. Dengan suara tenang Azzam
menyapa,
”Hai sobat lama apa kabar?” Mahrus mengendurkan
tangannya dan menurunkan pistolnya yang siap dia letuskan.
Ia memandang ke asal suara. Ia lihat yang datang adalah
Azzam.
”Hei kamu Zam, sudah pulang rupanya.”
”Iya. kamu ngapain bawa pistol segala, Rus? Nakut
nakutin anak kecil saja!”
”Ini Zam aku mau mengenyahkan si Pelacur Murtad ini.
Aku sudah bersumpah di hadapan mayat Kang Masykur, ayah
Pelacur ini, aku akan memburu Pelacur durhaka ini dan
menghabisinya.”
”Iya tapi apa kamu tidak malu menumpahkan darah di
hadapan sahabat lamamu. kamu masih punya hutang yang
belum kamu lunasi padaku lho.”
282
”Apa itu Zam, kok aku lupa?”
”Ingat waktu kelas 6 SD dulu, uang SPP-mu kamu
gunakan untuk mentraktir Si Murni yang sekarang jadi
isterimu. Dan untuk menutupi SPP-mu kamu pinjam
tabunganku. Kalau tidak aku pinjami kamu mungkin tidak
akan lulus SD, karena kamu bisa dikeluarkan.
Kau nunggak saat itu tiga bulan. Kalau kamu tidak lulus
SD mana mungkin kamu bisa jadi polisi yang gagah bawa
pistol seperti sekarang. kamu hutang padaku Rus!”
”Kenapa kamu ungkit-ungkit masa laluku Zam, aku jadi
malu didengar orang-orang!”
”Hei, apa aku bohong sobat?”
”Tidak. Tapi tak usah lah kamu bawa-bawa masa lalu.”
”Kau sendiri kenapa kamu bawa-bawa masa lalu orang
lain?”
”Siapa?”
”Itu keponakanmu sendiri.”
”Zumrah maksudmu?”
”Iya.”
”Dia pezina dan murtad Zam.”
”Dia tidak murtad Rus. Tidak. Dia masih shalat.
283
Sedangkan kekhilafannya itu masa lalunya. Dia sedang
mencari jalan kembali yang benar kenapa kamu halang
halangi?”
”Aku telah bersumpah di depan jenazah almarhum Kang
Masykur Zam?”
”Sumpah yang salah itu tak boleh dilaksanakan!”
”Terus aku harus bagaimana Zam?”
”Kau berhutang padaku. Kalau tidak aku hutangi kamu
mungkin tak akan lulus SD. Mungkin kamu tidak akan jadi
polisi. Turunkan pistolmu. Ayo masuklah ke rumahku. Jadilah
tamuku. Kita cari jalan terbaik untuk semuanya. Dan akan aku
anggap lunas hutangmu.
Kalau tidak maka hutangmu padaku, tak akan aku
anggap lunas kecuali setelah kamu tinggalkan jabatan
kepolisianmu!”
Azzam tahu watak Mahrus. Pria itu hanya bisa dijinakkan
dengan kalimat yang menundukkan keangkuhannya. Dan ia
tahu pria itu tak akan sudi terus berhutang pada orang lain.
Termasuk pada dirinya.
”Baiklah! Aku akan masuk bertamu ke rumahmu, dan kita
bicara di sana!”
Azzam langsung minta Husna untuk membawa Zumrah
yang berdarah. Azzam juga minta kepada Lia untuk membuat
minuman.
284
Orang-orang bernafas lega. Pagi itu benar-benar pagi
yang menegangkan. Pak Mahbub dan Pak RT tergopoh-gopoh
terlambat datang.
”Untung ada Azzam Pak RT, kalau tidak, otak Zumrah
mungkin sudah keluar dari tengkorak kepalanya dan
berhamburan.” Kata Kang Paimo dengan menggigilkan
badan.
”Mana Mahrus?” Tanya Pak RT.
”Sedang bicara sama Azzam. Sebaiknya tidak usah
diganggu Pak RT. Biar Azzam saja yang rembugan dengan
serse edan itu.” Sahut Pak Jalil yang memang kurang suka
dengan Mahrus yang menurutnya terlalu sombong karena tak
mau mendengarkan omongan orang.
”Kau sudah mendengar cerita tentang Zumrah dari Husna
kan?” Tanya Azzam pada Mahrus.
”Iya tapi aku tidak percaya.” Jawab Mahrus.
”Kalau aku yang bilang, apa kamu percaya?”
”Sejak dulu kamu tidak bohong padaku.”
”Berarti kamu percaya?”
”Ya.”
”Baiklah aku akan cerita padamu tentang keponakanmu.
Dan aku sangat yakin cerita ini adalah benar dan tidak
285
bohong. Jadi kamu harus percaya.”
”Baik akan aku dengarkan.” Azzam lalu menceritakan
kepada Mahrus apa yang sebenarnya terjadi pada Zumrah.
Cerita yang sama dengan yang disampaikan Zumrah kepada
Husna di Pesantren Wangen. Mahrus mendengarkan dengan
seksama.
”Jadi begitu ceritanya. Dia tidak murtad?”
”Benar.”
”Awalnya dia diperkosa?”
”Benar. Sebagai paman seharusnya kamu melindungi dia.
Sekarang dia ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin benar-
benar taubat. Tapi ia terus diuber-uber sama germonya. kamu
harus bantu dia. kamu harus cari itu para hidung belang yang
menistakan dia. Yang harus kamu dor itu ya hidung belang-
hidung belang itu Rus. Bukan dia!”
”Kau benar Zam. Kalau kamu tidak datang mungkin
peluruku ini salah memecahkan kepala orang.”
”Ada beberapa hal yang harus kamu perbaiki pada
sikapmu Rus. Jika kamu perbaiki maka kamu akan menjadi
pria jantan sejati dan kamu akan dicintai banyak orang.”
”Apa itu Zam?”
”Pertama, cobalah kamu latihan senyum. kamu ini susah
sekali senyum.
286
Ketemu teman lama saja tidak senyum.”
”Ah kamu ini ada-ada saja Zam. Hah... hah... hah...
ha...!”
Mahrus malah terbahak-bahak tidak hanya senyum.
”Lha begitu Rus. Biar dunia ini cerah. Banyak senyum itu
bikin awet muda katanya.”
”Masak tho Zam?”
”Iya.”
”Terus apa lagi Zam?”
”Kau harus memperhalus kata-katamu. kamu sering
berkata kotor.
Hilangkanlah kebiasaan burukmu itu. Masak ponakanmu
sendiri kamu kata-katai seperti itu!”
”Nanti aku minta maaf sama dia. Masih ada lagi Zam?”
”Masih. kamu lebih sopanlah sama orang lain.
Dengarkanlah orang lain. Aku sering dapat cerita saat ronda
kamu ini paling susah mendengarkan orang. Ingat Rus, Tuhan
menciptakan telinga dua sementara mulut cuma satu. Artinya
kita diminta untuk lebih banyak mendengar daripada bicara
apalagi membentak-bentak orang!”
”Akan aku usahakan Zam. Mana tadi Si Zumrah Zam?”
”Mau kamu apakan lagi?”
287
”Aku mau minta maaf padanya. Juga sekalian aku mau
minta data para hidung belang itu. Aku ingin menggulungnya
secepatnya.” Azzam lalu memanggil adiknya,
”Husna, bawa Zumrah kemari!”
Zumrah datang dengan kening dan pelipis diperban
putih.
”Kemarilah Nduk!”
Kata Mahrus, kali ini dengan mata berlinang air mata.
Zumrah melihat perubahan wajah Mahrus. Wajah yang sudah
bersahabat. Wajah yang berkaca-kaca.
Zumrah maju mencium tangan pamannya.
”Maafkan Paman ya Nduk?”
”Iya paman. Juga maafkan kesalahan Zumrah.
Sampaikan pada ibu Zumrah belum bisa pulang. Nanti kalau
Zumrah sudah lebih baik
insya Allah Zumrah pulang.”
”Seperti itukah perjalanan nasibmu Nduk? Terperangkap
dalam jerat lumpur hitam?”
”Iya Paman. Tolong bantu Zumrah paman.”
”Tolong berikan semua data para penjahat yang telah
menistakanmu itu!”
”Baik paman.” Zumrah lalu menyebut nama-nama orang
yang sering memaksanya juga menyebut nama-nama germo
di Jogja dan Solo. Ia juga menyebut nama-nama lelaki hidung
288
belang yang sering memangsa gadis-gadis muda tidak hanya
dirinya. Zumrah menjelaskan dengan detil alamat rumahnya
dan tempat yang biasa digunakan mangkal mereka.
”Kau mau tinggal di mana Nduk kalau tidak pulang?”
”Aku mau indekos di Nilasari Paman. Husna akan
membantuku.”
”Jika perlu bantuan paman jangan sungkan hubungi
paman di kantor paman.”
”Iya paman.”
”Hati-hati ya Zum. Paman pergi dulu.” Mahrus lalu minta
diri pada Azzam dan keluarganya. Pada Bu Nafis, Husna dan
Lia lelaki tinggi besar dan kekar itu mohon maaf atas segala
khilafnya. Bu Nafis, Husna dan Lia bersyukur kepada Allah
dan memaafkan dengan lapang dada. Zumrah menatap
pamannya yang melangkah keluar rumah dengan mata
berkaca-kaca.
Meskipun pamannya itu nyaris membunuhnya, tapi ia
merasakan betapa besar sesungguhnya rasa sayang adik
bungsu ayahnya itu padanya. Benar, waktu kecil dulu
pamannya itulah yang selalu menjadi pelindungnya. Jika ada
anak yang nakal jahil padanya, pamannyalah yang akan
menindaknya. Pamannya bahkan rela berkelahi mati matian
demi menjaga agar kulitnya tidak disentuh oleh anak-anak
yang jahil. Pamannya itu seumur dengan Azzam, kakak
Husna. Dan ia sendiri seumuran Husna. Jadi pamannya itu
kira-kira lebih tua tiga atau empat tahun di atasnya.
289
Zumrah sedikit merasa lega, masalahnya dengan
pamannya telah selesai. Ia merasa mulai ada setitik cahaya. Ia
mulai merasa kembali mendapatkan secuil kasih sayang. Ia
berharap pamannya bisa menindak nama-nama orang jahat
yang menistakannya. Harapannya ia bisa hidup dengan
tenang. Kembali ke jalan yang lurus.
Membesarkan anaknya. Dan jika sudah rasa ia layak
menemui ibunya ia akan menemui ibu yang selama ini
disakitinya.
290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar