Minggu, 14 Juni 2009

Pernikahan

Dini hari, kira-kira jam dua, tepat di hari Anna akan
melangsungkan akad nikah, Kiai Lutfi bermimpi. Sebuah
mimpi yang menakjubkan.
Dalam mimpinya itu ia melihat gugusan bintang. Lalu
ada bintang paling terang turun dan bersinar di atas mimbar
masjid pesantren.
Kiai Lutfi melihat beberapa tunas pohon kelapa yang
menakjubkan yang tumbuh tepat di halaman pesantren.
Lebih menakjubkan lagi dalam mimpinya itu ketika ia ke
kamar putrinya ia melihat sorban putih wangi ada di sana.
Entah kenapa sepertinya ia yakin sorban putih itu adalah
milik Kiai Sulaiman Jaiz, yang tak lain sebenarnya adalah
pendiri pesantren Wangen.
231
Kiai Lutfi terbangun dengan rasa takjub masih
menyelimutinya. Ia bangunkan Bu Nyai Nur, isterinya.
Ibunda Anna Althafunnisa itu membalikkan badan dengan
sedikit menggerutu,
“Ada apa Bah.
“Tidak tahu apa, aku masih sangat ngantuk. Tadi aku
tidur jam satu.”
Abah mau besok aku pucat di hari yang paling
bersejarah bagi Anna!??”
“Ummi, tolong sebentar saja. Aku bermimpi sangat
menakjubkan! Mimpi baik yang luar biasa indahnya.” Bisik
Kiai Lutfi tepat di depan telinga isterinya. Bu Nyai Nur
langsung membuka matanya dan bangkit perlahan. Ia
dibangunkan oleh rasa penasaran.
”Mimpi apa Bah?”
“Ini mimpi yang paling indah yang pernah aku lihat Mi.
Aku bermimpi melihat gugusan bintang. Terus ada bintang
yang sangat terang cahaya. Paling terang di antara lainnya.
Bintang itu turun dan bersinar di atas mimbar masjid
pesantren kita. Tidak hanya itu, aku juga melihat beberapa
tunas pohon kelapa yang menakjubkan yang tumbuh tepat di
halaman pesantren. Dan lagi aku menemukan sorban Kiai
Sulaiman Jaiz yang sangat wangi di kamar Anna. Apa ya Mi
takwilnya?”
“Pasti baik Bah.” Jawab Bu Nyai Nur mantap.
232
“Ya tapi kira-kira apa ya?”
“Menurutku itu petunjuk baik Bah. Petunjuk penting di
hari pernikahan Anna. Bintang itu menurutku adalah Furqan.
Karena ia nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah
bintang di mimbar itu.
Lalu tunas-tunas pohon kelapa itu adalah anak-anak
hasil pernikahan mereka. Dan sorban itu, bisa jadi
menunjukkan kepada kita Furqan mungkin ada pertalian
darah dengan Kiai Sulaiman Jaiz. Tapi ya
Allahu a’lam Bah.
Namanya juga takwil
. Yang penting kita
takwilkan yang baik-
baik saja.”
“Kurasa takwilmu sangat masuk akal Mi. Wah ini sangat
membahagiakan. Anna harus diberi tahu biar dia semakin
bahagia.”
“Kita bangunkan dia sekarang?”
“Tidak usah. Nanti selepas shalat subuh kita beri tahu
dia.”
Dan benar, selesai shalat subuh Kiai Lutfi dan Bu Nyai
Nur memberitahukan mimpi itu kepada Anna. Bu Nyai Nur
berkata,
“Aku yakin kamu akan bahagia Nduk.”
“Amin.” Sahut Anna dengan hati berbunga-bunga. Ia
semakin mantap menghadapi detik-detik bersejarah yang
tinggal beberapa jam saja akan dilaluinya.
Hari itu Pesantren Daarul Qur’an Wangen lain dari
233
biasanya. Gerbang pesanten dihiasi janur melengkung. Di
sepanjang jalan dari pertigaan Polanharjo sampai pesantren
dipasang umbul-umbul berwarna warni.
Para santri libur, namun tetap berpakaian rapi. Sebagian
besar dari mereka membantu menyiapkan acara bersejarah
bagi keluarga besar pesantren itu. Yaitu hari akad nikah dan
walimah Anna Althafunnisa.
Panggung pengantin disiapkan di halaman rumah
menghadap masjid.
Panggung itu terasa mewah. Mahligainya bernuansa
Islam Andalusia. Sementara tempat untuk tamu undangan
juga terasa mewah. Halaman rumah Kiai yang sekaligus
halaman masjid itu bagai di sulap dijadikan tempat seperti
dalam dongeng seribu satu malam. Yang menggarap
dekorasinya adalah para profesional yang didatangkan dari
Jakarta.
Sejak jam enam pagi Anna sudah bersiap-siap. Jam
tepat pukul setengah tujuh ia sudah siap dengan gaun
pengantin yang dipesan oleh Ibu Maylaf, ibunya Furqan
pada desainer terkenal. Anna tampak begitu segar dan
bernas. Pesona jelitanya bagai putri dalam dongeng.
Tepat pukul tujuh Furqan dan rombongan datang.
Mereka disambut dengan lantunan Thala’al Badru dan irama
rebana yang begitu padu.
Furqan tampak gagah lalu ia masuk masjid.
Pagi itu ribuan orang akan menyaksikan akad nikah
234
yang sudah lama terdengar gaungnya. Para santri dan
masyarakat sekitar memenuhi masjid. Tetamu undangan
yang berbondong-bondong datang pelan pelan memenuhi
kursi yang disediakan.
Di antara tamu yang hadir adalah Azzam sekeluarga. Ia
menyewa mobil yang ia kendarai sendiri untuk datang.
Ibunya sangat takjub dengan pesta yang sedemikian
megahnya.
”Namanya juga yang punya gawe orang besar Bu. Ya
wajar.” Kata Azzam pada ibunya. Ibunya hanya manggut
manggut sambil terus melihat ke panggung pengantin yang
belum pernah ia lihat sebelumnya. Sementara Husna
meletakkan kado pada tempatnya.
Azzam dan keluarganya memilih tempat yang agak di
belakang.
Seorang lelaki setengah baya memakai batik cokelat
keemasan dengan peci tinggi datang. Serta merta Pak Kiai
Lutfi yang melihatnya mempersilakan lelaki itu ke kursi paling
depan.
”Itu yang datang adalah Bapak Bupati!” Bisik Husna
pada kakaknya.
”Berarti banyak orang penting yang datang?” Gumam
Azzam.
”Tentu Kak. Termasuk kakak kan orang penting. Kakak
kan artis, teman dekatnya Eliana.”
235
“Sst! Jangan bahas Eliana lagi ya. Bosan aku
mendengarnya.”
“Iya ya Kak. Husna tak akan bahas lagi.”
Tamu-tamu terus berdatangan. Azzam melihat arlojinya.
Jam delapan kurang lima menit. Ada seorang anak muda
tinggi kurus, kulitnya agak hitam, berkoko dan berkopiah
putih datang dan memilih duduk di samping Azzam.
”Kosong?” Tanya pemuda itu.
”Iya. Silakan duduk!” Jawab Azzam.
”Dari mana Mas? Dari Jakarta?”
“Tidak. Dari dekat sini saja. Saya dari Sraten,
Kartasura.”
“Teman pengantin putra atau teman pengantin
perempuan?”
“Teman keduanya. Kebetulan adik saya ini akrab
dengan pengantin perempuannya.”
“Memang adik Mas kuliah di Mesir juga?”
“Tidak. Di UNS. Katanya kenal saat bedah buku di sini.
Dia jadi pembicaranya dan Anna jadi pembandingnya.”
“Sebentar, apa berarti adik Mas ini Ayatul Husna yang
cerpenis itu?”
236
“Iya. Benar.”
Husna yang di sampingnya diam mendengarkan.
Manusia memang bermacam-macam, pikirnya. Ada juga
yang seperti pemuda ini. Baru duduk langsung
memberondong dengan banyak pertanyaan.
”Di samping Mas ini ya orangnya?”
“Benar.”
“Sampaikan padanya saya selalu membaca cerpen
cerpennya.”
“Sampaikan sendiri saja langsung. Mumpung orangnya
ada di sini.”
“Saya malu Mas.”
“O ya gantian, kalau Masnya dari mana?” Azzam
gantian bertanya.
”Saya juga dari Klaten, tepatnya daerah Pedan.”
“Kerja di mana Mas?”
“Kerja tetap belum punya. Ini kan saya liburan. Ikut
bantu mengajar di pesantren Pak Kiai Lutfi ini. Saya masih
kuliah Mas.”
“Kuliah di mana kalau boleh tahu? S1 apa S2?”
“Saya sedang mengambil master di Aligarh India. Dulu
237
S1 di Madinah.”
“M
asya Allah.
Oh ya kok belum tahu nama Mas.”

Nama saya Muhammad Ilyas.”
“Saya Khairul Azzam. Oh lagi, kalau boleh tahu, di India
ada nggak ya kuliah S2 yang langsung menulis tesis begitu?”
“Saya persisnya kurang tahu. Setahu saya ya pasti ada
kelasnya. Tapi kalau S2 langsung by research, artinya
langsung nulis tesis, di Malaysia ada.”
“Malaysia?”
“Iya. Mas S1 di mana?”
“Di Al Azhar.”
“ Wah, orang Mesir rupanya.
“Minat S2?”
”Kalau S2 langsung nulis tesis, saya ada minat. Tapi
kalau S2 masih harus masuk kelas seperti biasa, mending
saya bisnis saja. Saya sudah malas ujian.” Kata Azzam
dengan intonasi sedikit dikuatkan.
Husna tersenyum mendengar perkataan kakaknya itu. Ia
tahu jiwa kakaknya. Kakaknya masih ingin melanjutkan
kuliah lagi. Itu pasti.
”Ya di Malaysia. Kalau mau saya ada teman yang
sekarang kuliah di sana.”
238
“Boleh.”
“Ini kalau mau dicatat nomor hp saya. Nomor hp Mas?”
“Oya, ini nomor hp saya, via adik saya Husna.”
“Wah nomor cantik ya.”
“A
lhamdulillah.”
Para tamu terus berdatangan. Dari pengeras suara
diumumkan bahwa acara akad nikah sebentar lagi akan
dilangsungkan. Tepat jam delapan akad nikah
dilangsungkan. Furqan menjawab
qabiltu
dengan lancar
2 1
tanpa keraguan. Anna yang menyaksikan dan mendengar
dari lantai dua masjid meneteskan air mata. Statusnya kini
telah berubah. Ia telah resmi menjadi isteri Furqan Andi
Hasan, MA. Ia berikrar dalam hati akan mencintai suaminya
sedalam dalamnya. Dan akan membaktikan hidupnya untuk
suaminya seikhlas-ikhlasnya.
Furqan juga menangis. Ia menangis bahagia sekaligus
menangis sedih. Bahagia karena ia telah resmi menjadi
suami Anna Althafunnisa. Bahagia karena ia telah
menyunting gadis yang diidam-idamkannya.
Dan bahagia karena ia telah membahagiakan ayah dan
ibunya.
Namun di saat yang sama ia juga sangat sedih. Sedih
karena ia merasa telah membohongi semua. Ia merasa telah
21
Qabiltu: Aku terima
239
mengkhianati dirinya sendiri. Dan ia telah mengkhianati
Anna dan keluarganya.
Tidak hanya mereka saja. Namun juga seluruh keluarga
besar pesantren Wangen semuanya.
Tak jauh dari situ. Meskipun Azzam tersenyum, ada rasa
kecewa yang halus menyusup dalam hatinya. Yang berhasil
menikahi gadis shalehah itu bukan dirinya, tapi temannya.
Akad nikah yang baru dilangsungkan benar benar menjadi
benteng yang menghalanginya untuk memiliki gadis itu
selamanya. Anna bukan rezekinya. Ia harus mencari yang
lain. Meskipun dulu ia pernah menasihati Fadhil ternyata
untuk sama sekali tidak kecewa luar biasa susahnya. Tapi
Azzam berusaha untuk menepis kekecawaan itu.
Azzam menghibur dirinya, dalam hati ia merasa
pernikahan Anna dengan Furqan kini membuat dirinya
benar-benar merdeka. Dirinya merdeka dari harapan
menyunting Anna, meskipun harapan itu tipis.
Harapan yang selama ini masih sesekali datang begitu
saja ke dalam hatinya tanpa ia pinta. Sekarang harapan itu
telah sirna. Dan ia bisa lebih berkonsentrasi untuk meraih
cita-citanya yang pernah ia sampaikan sambil bercanda pada
Eliana, yaitu: jadi orang paling kaya se-pulau Jawa. Azzam
tersenyum.
Ada yang lebih dalam rasa kecewanya melebihi Azzam,
yaitu Muhammad Ilyas. Yang duduk tepat di samping Azzam.
Ilyas yang lamarannya ditolak oleh Anna. Namun hari itu
juga, meskipun kecewa, Ilyas merasa sudah merasa
menemukan pengganti Anna.
240
Pengganti Anna yang ia yakin secara kualitas tak akan
kalah jauh dari Anna. Dalam hati ia sangat bersyukur hadir di
acara pernikahan itu, sebab ia telah berkenalan dengan
kakaknya Ayatul Husna.
Sebenarnya sebelum nekat melamar Anna ia sudah
terpesona dengan cerpen-cerpen yang ditulis Ayatul Husna.
Dan dalam hati ia juga tertarik dengan penulisnya. Ia
berharap bahwa gadis itu belum ada yang melamarnya.
Selesai akad nikah, pesta walimah langsung digelar.
Acara digelar mengikut adat Surakarta. Ada upacara kecil
serah terima pengantin.
Yang lazimnya adalah pengantin putri diserahkan
kepada keluarga pengantin putra. Tapi dalam upacara kali ini
dibalik. Yaitu keluarga pengantin putra menyerahkan sang
pengantin putra kepada pengantin putri. Lalu dari pengantin
putri menerima pengantin putra.
Untuk berbicara mewakili keluarga pengantin putra,
keluarga Pak Andi Hasan menunjuk KH. Abdul Hadi seorang
ulama besar dari Sukoharjo untuk mewakili. Dan dari pihak
keluarga KH. Lutfi meminta KH. Salman Al Farisi dari Batur
Klaten untuk mewakili.
Upacara berlangsung begitu khidmat. Ratusan ulama
dan tokoh penting sekabupaten Klaten dan sekitarnya datang
memenuhi undangan. Bahkan ada tiga wartawan yang
datang.
Setelah acara serah terima pengantin. Pengantin putra
241
dan pengantin putri disandingkan. Sebenarnya Anna tidak
mau disandingkan seperti itu. Ia tidak mau jadi tontonan.
Furqan juga berpendapat yang sama.
Tapi Bu Maylaf dan Bu Nyai Nur bersikukuh harus ada
panggung untuk pengantin, harus ada pelaminan dan harus
dirias dan disandingkan. Anna dan Furqan tidak bisa
berkutik.
Hal lagi yang Anna tidak sepakat, dalam pesta walimah
itu tempat duduk tamu undangan antara pria dan wanita
tidak semuanya dipisahkan. Hanya kursi-kursi bagian depan
saja yang tampak jelas lelaki dan perempuan terpisah.
Sementara yang agak belakang sudah campur tidak karuan.
Selama duduk di pelaminan Anna terus menunduk ke
bawah. Ia berbuat demikian karena rasa malunya pada
banyak orang.
Di tengah-tengah acara ada taushiyah yang
disampaikan oleh KH. A. Mujiburrahim Noor dari Semarang.
Kiai muda yang sangat digandrungi kawula muda di Jawa
Tengah ini menyampaikan taushiyahnya dengan penuh
humor-humor segar. Di tengah-tengah tausiyahnya itu Kiai
muda itu mengatakan,
“Kalau boleh saya ingin menyampaikan satu hikmah
yang disampaikan oleh Agatha Christie, seorang penulis
novel terkenal, pernah mengatakan, ’Suami paling baik bagi
seorang perempuan adalah seorang arkeolog. Makin tua sang
perempuan itu, makin cinta dan tergila-gila suaminya itu
padanya.’ Saya sarankan kepada Mas Furqan untuk berjiwa
seorang arkeolog pada Mbak Anna. Jadi semakin lama umur
242
perkawinan akan semakin bahagia. Kenapa? Karena Mas
Furqan memandang isterinya semakin bernilai, semakin
mahal. Kan menurut arkeolog semakin berumur dan semakin
tua barang itu akan semakin antik dan mahal.
Demikian juga Mbak Anna saya sarankan untuk berjiwa
arkeolog wanita, jadi semakin tua sang suami akan semakin
tergila gila dan semakin mencintainya!”
Para hadirin yang hadir bertepuk tangan dan
tersenyum bahagia mendengarnya. Nasihat itu sejatinya oleh
Kiai Mujib tidak hanya disampaikan kepada pengantin
berdua. Tapi juga disampaikan untuk seluruh hadirin, agar
semakin mencintai pasangan hidupnya.
Acara ditutup dengan doa. Yang dipimpin langsung oleh
ayah Anna Althafunnisa, yaitu KH. Lutfi Hakim. Saat doa
dibacakan jiwa Anna bergetar. Furqan menangis kepada
Allah agar dibukakan jalan bahagianya. Tak jauh dari situ
Azzam berdoa semoga Allah menemukan pasangan hidup
yang terbaik untuknya.
Setelah doa ditutup, hidangan penutup dikeluarkan.
Barulah setelah itu para hadirin mohon diri pulang. Azzam
sekeluarga menemui Kiai Lutfi dan Bu Nyai. Kiai Lutfi
berkata kepada Azzam,
“Aku doakan kamu mendapatkan pasangan yang terbaik
menurut Allah Nak.” Azzam mengamini pelan. Setelah itu
Azzam menemui Furqan.
Kedua sahabat lama itu berangkulan erat, Azzam
mengucapkan,
243
“B
aarakallahu laka wa baaraka ’alaika wajama’a
bainakuma fi khair.”
Furqan mengamini. Lalu Azzam
menelungkupkan kedua tangannya di depan dada di
hadapan Anna. Spontan Anna melakukan hal yang sama.
”Terima kasih sudah datang. Juga terima kasih dulu
pernah menolong.” Lirih Anna.
”Tak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban.”
Jawab Azzam sambil tersenyum.
Ketika Azzam turun dari panggung, Anna sempat
mengikutinya dengan ekor matanya sesaat. Ia teringat kata
kata Abahnya saat Azzam mengantarkan buku,
“Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah
pinta Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan
kesempatan.”
Dalam hati Anna mengatakan,
“Kaulah sejatinya dambaan Abahku dan juga dambaan
diriku.” Anna langsung beristighfar. Ia merasa melakukan
kesalahan besar. Sambil menyalami tetamu putri yang minta
diri ia terus beristighfar. Ia mencoba menghapus bayangan
Azzam dengan mimpi Abahnya semalam. Juga takwil mimpi
Umminya. Bahwa bintang itu menurut Umminya adalah
Furqan.
Karena ia nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah
bintang di mimbar itu. Dan tunas-tunas pohon kelapa dalam
mimpinya Abahnya itu adalah anak anak hasil
pernikahannya dengan Furqan.
244
Hari akad nikah itu hari Jumat. Karena waktunya akan
diputus shalat Jumat, maka acaranya benar-benar diringkas
dan dipercepat.
Pulang dari acara pernikahan Anna, Azzam mengajak
Husna, Lia dan ibunya keliling kota Solo. Azzam menyewa
mobilnya satu hari penuh. Ia merasa harus menggunakannya
dengan sebaik-baiknya.
Selain untuk jalan jalan ia bertujuan untuk semakin
memperbanyak jam terbang mengemudi, meskipun dengan
mobil sewaan.
Sejak kepulangan Azzam, Bu Nafis tampak lebih segar
dan kesehatannya semakin membaik. Batuknya jauh
berkurang. Melihat anaknya bisa mengemudikan mobil Bu
Nafis merasa bahagia sekali.
Bu Nafis berkata,
“Aku doakan kamu bisa beli mobil Nak. Terus nanti
kalau punya isteri bisa kamu ajak ke mana-mana dengan
mobilmu.” Azzam, Husna dan Lia langsung menyahut,
“Amin.”
“Ngomong-ngomong kakak sudah punya calon belum?”
Tanya Husna.
”Katanya calonnya Eliana.” Sahut Lia.
”Kalau Eliana jangan dibahas, dia itu cuma main-main.
245
Kalau ngikutin dia bisa sakit jantung kita!” Tukas Husna.
”Iya Nak, kamu sudah ada pandangan?” Tanya Bu
Nafis.
”Belum, Bu. Jujur saja ya. Selama ini perempuan yang
aku kenal cuma tiga. Bu’e, Husna dan Lia. Belakangan kenal
Eliana dan Anna.
Itu saja.” Jawab Azzam.
”Kalau Sarah adik kita?” Sahut Lia.
”Ya kenal. Tapi kakak belum pernah ketemu dia kan.
Waktu kakak berangkat dulu kan Sarah masih di
kandungan.”
“Kakak sudah ingin nikah?” Ujar Husna
“Lha tentu lah Na. Kakak ini sudah tua. Itu tetangga kita
Si Pendi sudah punya anak tiga. Si Pendi itu kan teman SD
kakak dulu.”
“Husna punya teman Kak, mau coba Husna temukan
dia?”
“Boleh saja.”
“Kak Azzam sebenarnya sudah ketemu sama dia.”
“Siapa?”
“Itu Si Rina Jakarta.”
“Itu yang ikut jemput di bandara?”
“Ya. Dia itu baik akhlaknya. Husna jaminannya.”
“Boleh.”
246
“Wah kalau dia akan sangat cepat prosesnya Kak. Besok
pagi menikah juga bisa. Sebab dia sudah bilang ke saya suka
sama kakak.
Dan kedua orang tuanya juga mengharapkan menantu
lulusan Cairo.
Kalau begitu besok saya hubungi Rina.” Husna
bersemangat.
Tapi Bu Nafis tiba-tiba menyela,
“Bu’e tidak setuju!”
Husna menoleh ibunya dengan pandangan heran.
”Kenapa Bu? Rina itu berjilbab dan baik. Dia teman baik
Husna.” Pelan Husna.
”Ibu tidak setuju punya menantu Rina!” Tegas Bu Nafis.
”Iya tapi kenapa?”
“Entah ibu tidak tahu. Yang jelas ibu tidak cocok! Rina
sudah pernah ke rumah kan? Ibu tidak cocok!” Kata Bu Nafis
sengit.
”Tenang Bu. Kita nanti akan cari yang ibu cocok.” Kata
Azzam meredakan. Azzam tahu persis watak ibunya sekali
bilang tidak cocok maka akan sangat sulit dilunakkan
hatinya. Bagi Azzam, ibunya tidak cocok dengan Rina ia tak
kehilangan apa-apa. Nanti Rina pasti akan ketemu jodohnya.
Hanya saja saat ibunya tidak cocok dengan Rina berarti ia
harus ikhtiar untuk mencari jodoh yang benar benar cocok
baginya dan bagi ibunya. Sebab ia ingin menikahi
perempuan yang benar-benar diridhai ibunya.
247
Azzam membawa mobilnya ke Masjid Agung. Ia sudah
rindu dengan masjid legendaris di Kota Solo itu. Masjid yang
banyak memberikan kenangan indah padanya. Di antaranya
dulu waktu masih SD ia pernah menjuarai Lomba Tartil Al
Qur’an tingkat anak-anak seKaresidenan Surakarta yang
diadakan oleh MUI Surakarta. Di Masjid Agung itulah ia
lomba dan di masjid itulah ia menerima pialanya. Dan itu
adalah piala pertama yang ia terima dalam hidupnya.
Dengan susah payah akhirnya Azzam bisa memarkir
mobilnya di halaman masjid. Karena jam terbangnya belum
banyak, ia sampai keringatan saat memarkir mobilnya.
Baginya yang belum mahir benar, memarkir mobil adalah
kesulitan terbesarnya. Apalagi tempatnya begitu padat. Ia
harus ekstra hati-hati.
Azan pertama dikumandangkan. Ia memandang masjid
kenangan.
Masih sama dengan sembilan tahun silam. Sementara ia
ke masjid untuk shalat Jumat, Ibu dan dua adiknya
melangkah ke Pasar Klewer.
Ia sempat berpesan pada Husna,
“Lihat-lihat saja dulu, jangan mengadakan transaksi jual
beli dulu ya. Nanti kita belanja setelah kakak selesai shalat
Jumat. Okay Dik?”
Husna mengangguk paham.
248

Tidak ada komentar:

Posting Komentar