Minggu, 14 Juni 2009

Pertemuan Di Kota Santri

Jam enam pagi, Azzam mau ke Pasar Kartasura untuk membeli
beberapa bahan penting untuk adonan baksonya. Sekarang
bakso cintanya diproduksi di rumah. Ia mempekerjakan dua
karyawan. Jadi tidak lagi di buat di kamar kos yang ada di
Kleco. Azzam bahkan tidak perlu lagi membuat ’kantor’ di
sana. Semua orang kini sudah tahu Azzam memiliki bisnis yang
baik. Tak ada lagi suara suara sumbang tentang dirinya.
Apalagi ketika banyak orang tahu dia kini menggantikan Kiai
Lutfi mengajikan kitab Al Hikam. Sama sekali tidak ada yang
meremehkan. Azzam sudah masuk ke mobilnya ketika pemuda
itu datang. Azzam seperti pemah kenal wajahnya. Ia mencoba
mengingat-ingat. Akhirnya ketemu juga. Ya, namanya
Muhammad Ilyas. Azzam turun dari mobil dan menyambut
tamunya.
338
”A
hlan wa sahlan ya akhi, kaif hall”
Sambut Azzam
2 5
dengan
bahasa Arab Fusha
”A
lhamdulillah hi khair akhi, wa anta kaif?”
Jawab Hyas
2 6
dengan
bahasa Arab juga.
”A
lhamdulillah kama tara, Ana bi khair.”
2 7
Lalu keduanya berbicara dengan bahasa Indonesia.
”Mari Ustadz Ilyas, silakan masuk..
”Kelihatannya mau pergi. Kedatangan saya mengganggu
ya?.
”Ah tidak. Kedatangan seorang ustadz seperti
antum
ini
2 8
selalu membawa kebaikan insya Allah..
Ketika mereka masuk, Husna hendak mengeluarkan
sepeda motornya. Husna tetap mengeluarkan sepeda
motornya. Azzam dan Ilyas duduk di ruang tamu. Azzam
meminta Husna membuatkan minuman untuk mereka berdua.
”Pagi sekali antum datang. Berangkat dari Pedan jam
berapa?.
”Selepas shalat subuh langsung kemari.”
25
Selamat datang saudaraku, bagaimana kabarmu?
26
Alhamdulillah baik saudaraku, dan kamu bagaimana?
27
Alhamdulillah s eperti y ang kamu lihat, saya baik.
28
Kamu
339
“Kok tahu alamat rumah ini..
”Dari para santriwati yang dulu pernah ke sini saat
mengundang Husna untuk bedah buku.”
“Iya, iya..
”Wah bisnis baksonya sukses ya.”
“Alhamdulillah. Doanya..
”Semoga barakah seperti Imam Abu Hanifah. Bisnisman
juga ulama.” Kata Ilyas.
“Amin..
Husna dan Lia di dapur bersama ibunya. Percakapan
Azzam dan Ilyas terdengar jelas oleh mereka.
”Ini ngomong-ngomong belum berangkat lagi ke India?”
“A
lhamdulillah,
saya kan tinggal nulis tesis saja. Kebetulan
tema yang saya tulis ke Indonesia an. Jadi bahannya malah
ada di Indonesia. Ya sekalian saja saya nulis tesis di Indonesia.
Pembimbing setuju. Dan saya bisa mengirim file tiap
babnya via email..
”Wah enak itu, akhi..
”I
nsya
Allah berangkat ke India nanti saja jika tesis sudah
selesai..
340
”O begitu. Terus ini kok
njanur gunung
ada apa ya?
2 9
Ilyas menata duduknya. Ia tampak agak kikuk. Saat itu Husna
keluar membawa minuman. Adik Azzam itu meletakkan dua
gelas teh panas di meja tamu, tepat di depan Ilyas. Saat Husna
meletakkan gelas di hadapan Ilyas, hati Ilyas bergetar hebat.
”Silakan diminum akhi.” Ucap Azzam.
”Iya,” Tukas Ilyas,
“Mm... begini Akh Azzam, kedatangan saya pagi ini
pertama silaturrahmi. Yang kedua saya ingin menyampaikan
sesuatu kepada Akh Azzam. Sebelumnya saya mohon maaf
kalau nanti saya dianggap lancang atau kurang sopan santun.
Tapi insya Allah yang saya sampaikan tidak ada celanya
menurut syariat Islam..
Ilyas berhenti sesaat.
Azzam mendengarkan. Di belakang Husna dan Lia yang
sedang menggoreng bakwan juga dengar meskipun pelan. Ilyas
mengambil nafas. Ia mengatur detak jantungnya yang mulai
kencang.
”Mm, apa itu Akh Ilyas?” Tanya Azzam, karena Ilyas agak
lama berhenti bicara.
”Setahu saya, Antum adalah wali dari adik-adik antum,
karena ayah dan kakek antum sudah tidak ada..
”Benar.” Jawab Azzam yang sudah mulai tahu ke arah
29
Semacam idiom bahasa Jawa, artinya tidak seperti biasa
341
mana Ilyas akan bicara. Sebab sudah menggunakan kata wali,
yang berarti adalah wali nikah.
”Saya datang, dengan niat semata-mata karena ibadah
kepada Allah, saya datang untuk mengkhitbah adik akhi yang
bernama Ayatul Husna! Mohon maaf jika ini dianggap kurang
sopan santun.
Insya Allah
jika positif nanti kedua orang saya
akan saya ajak kemari..
Azzam memejamkan mata. Ia tidak tahu perasaan apa
yang ada dalam hatinya. Yang jelas hati kecilnya ia sangat
bahagia. Sebab yang melamar adiknya adalah seorang yang
oleh banyak orang diakui keshalehannya, juga orang yang
pendidikannya baik, S1 di Madinah dan S2 nya di Aligarh
Muslim University, India. Tapi bagaimana perasaan Husna. Ia
tidak mau memaksakan apa pun kepada adiknya.
Adiknya itu sudah dewasa, sudah bisa berpikir cerdas.
Sementara Husna yang sedang menggoreng Bakwan di
belakang bagai disengat kalajengking karena kaget mendengar
dirinya dilamar
Muhammad Ilyas. Lia juga kaget. Dua orang kakak beradik itu
saling berpandangan. Bu Nafis sedang memetik daun salam di
belakang rumah.
“Wow, selamat ya Mbak, dilamar seorang Ustadz.
Mantap!” Lia tersenyum pada kakaknya, menggoda sambil
mengacungkan jempolnya.
”Sst! Jangan menggoda ya. Kujitak nanti kepalamu!”
“Ayo kak Azzam langsung terima saja kak Azzam! Kak
342
Husna sedang melayang-layang bahagia!” Kata Lia setengah
berbisik menggoda Husna. Husna menjitak kepala adiknya
dengan gemas dan sayang.
”Sst! Jangan ribut tho! Dengarkan apa yang akan
dikatakan Kak Azzam.” Kata Husna pelan pada Lia. Lia diam.
”Akh
, ini sungguh suatu kehormatan bagi saya pribadi.
Dan bagi
keluarga kami. Benar saya walinya tapi saya tentu
tidak bisa memutuskan kecuali setelah mendengar pendapat
Husna. Begini saja
akhi,
tiga hari lagi datanglah kemari. Insya
Allah sudah ada jawaban.
Jawabannya iya atau tidak itu tergantung Husna. Dan
semoga apapun jawabannya nanti baik bagi kita semua. Ayo
silakan diminum!.
Di belakang Husna mengatakan pada Lia,
“Lha seperti itu jawaban kakak yang bijak..
”Awas Mbak bakwanmu gosong!” Kata Lia menahan
jeritan.
”Wah iya, inna lillahi.
”Makanya Mbak jangan mikirin ustadz itu..
”Ih kamu ini menggoda kakaknya terus..
”Lha mau menggoda siapa kalau tidak menggoda
kakaknya. Lha adanya cuma kakaknya..
”A
lhamdulillah,
bakwannya sudah selesai digoreng. Ini
343
yang gosong
dipisahkan saja! Oh ya Dik, tolong bakwannya
dikeluarkan!.
”Tidak ah! Mbak saja ah, kan Mbak yang dilamar.
Sekalian melihat bagaimana muka orang yang melamar Mbak!.
”Mbak malu Dik! Ayolah!.
”Tak mau, sorry ya Mbak!
“Dik!.
”Sorry!.
”Dik, awas kamu!.
”Sorry silakan dikeluarkan, Lia mau ke belakang lihat Bue
ke mana tho kok tidak datang-datang.” Kata Lia sambil ngacir
ke belakang.
”Awas!.
Terpaksa Husna yang harus mengeluarkan. Ia keluar
membawa bakwan dengan jantung berdegup kencang. Tapi ia
dengan cepat bisa menguasai dirinya. Husna berjalan tenang
memasuki ruang tamu. Ia memegang nampan yang berisi
sepiring bakwan yang masih panas.
Dari jarak lima meter, ia mencoba melihat orang yang
melamarnya.
Ia memandang wajah Ilyas, saat itu Ilyas sedang
menundukkan pandangannya. Husna meletakkan bakwan di
hadapan Azzam.
344
”Dik Husna, ini Ustadz Muhammad Ilyas. Dia ini ternyata
pembaca cerpen-cerpenmu Dik.” Kata Azzam memperkenalkan
tamunya. Mau tidak mau Husna harus berdiri sesaat.
”Iya benar. Saya kagum sama tulisan-tulisan Mbak
Husna.” Sahut Ilyas memandang ke wajah Husna. Saat itu
Husna memandang ke arah Ilyas.
”Oh ya. Terima kasih atas apresiasinya. Silakan dicicipi
bakwannya.” Ujar Husna lalu melangkah ke dalam. Sampai di
dapur, Si Lia kembali usil.
“Wah ustadz itu keren juga Mbak ya berani vulgar begitu?”
“Vulgar bagaimana?.
”Lha tadi aku dengar dia mengatakan pada kakak, ’Saya
kagum sama Mbak Husna!’.
”Telingamu itu perlu dicukil upilnya. Dia bilang, ’Saya
kagum sama karya-karya Mbak Husna!’ Ada kata-kata, ’karya-
karya’. Ngawur kamu!”
“Masak begitu Mbak?”
“Iya!.
”Lia tidak percaya, kita tanya langsung sama orang itu.
Benar tidak kata Lia. Orang itu kagum sama Mbak Husna, baru
kagum sama karya-karya Mbak Husna! Kalau tidak Percaya
ayo kita keluar tanya langsung ke dia!”
“Tanya dengkulmu itu!” Kata Husna sewot.
345
Lia lalu cekikian dengan ditahan-tahan. Ia bahagia bisa
mengerjai kakaknya.
”Bue mana?”
“Nggak tahu tidak ada di belakang. Mungkin ke warung
Bu War..
Di ruang tamu Ilyas minta diri pada Azzam. Sekali lagi
Azzam menjanjikan jawabannya tiga hari lagi.
* * *
Begitu suara sepeda motor Ilyas menghilang, Azzam langsung
menemui Husna di dapur. Bu Nafis tepat baru masuk dari
pintu belakang.
”Kayaknya ada tamu ya? Siapa tadi?” Tanya Bu Nafis.
“Bue sih, tadi itu tamu penting. Bue malah pergi, Lia cari-
cari di belakang tidak ada. Katanya mau metik daun salam
saja, malah ke mana-mana.” Seloroh Lia pada ibunya.
“Bue minta maaf, tadi Bue ke tempat Bu War. Di sana
malah ketemu Bu Mahbub. Katanya Bu Mahbub punya
keponakan di Kudus. Keponakannya itu baru saja tamat dari
Fakultas Kedokteran UNDIP. Sekarang tugas di Puskesmas
Sayung Demak.
Katanya orangnya cantik. Bu Mahbub menawarkan kalau
mau Bue sama Azzam mau dikenalkan. Siapa tahu cocok
untuk Azzam.
346
Begitu.” Jelas Bu Nafis dengan mata berbinar-binar
bahagia.
”Wah hari ini rumah ini kok seperti kejatuhan dua durian
runtuh dari langit. Kenapa tidak sekalian tiga saja. Hari ini
Mbak Husna dilamar seorang Ustadz lulusan luar negeri. Terus
Kak Azzam dapat tawaran dokter. Lha Mbok saya sekalian saja
dilamar siapa gitu.” Sahut Lia.
”Benar Zam? Kata Lia, Husna dilamar seorang Ustadz?
Tadi itu Ustadz tho?” Tanya Bu Nafis.
”Iya benar Bu..
”Terus jawabannya apa? Langsung diterima?.
”Ya tidak lah Bu. Kita kan punya seorang Ibu. Husna juga
bukan benda mati tapi dia manusia. Kan juga harus tahu
pendapatnya Husna bagaimana. Ya pada intinya terserah
Husna dan ibu. Azzam tinggal nanti menyampaikan saja. Tiga
hari lagi dia akan datang,.
”Bagaimana Nduk Husna. kamu sudah kenal dan tahu
orangnya?”
“Sudah.”
“Sudah ada jawaban untuk memutuskan?.
”Belum. Biarlah Husna istikharah dulu. Nanti Husna
jawab setelah istikharah..
”Ya memang harus begitu. Kata ayahmu dulu, pokoknya
sebelum memutuskan apa saja istikharahlah dulu..
347
”Kalau Kak Azzam bagaimana?” Cecar Lia,
“Tertarik tidak untuk melihat keponakan Bu Mahbub yang
dokter itu?.
”Boleh juga. Selama shalihah, insya Allah, kakak tertarik..
”Kalau begitu, kapan kita ke Sayung atau ke Kudus?”
Tanya Lia.
”Nanti Bue rembug sama Bu Mahbub enaknya kapan.
Nanti sekalian menjenguk Si Sarah. Kasihan dia sudah hampir
setengah tahun anak itu tidak dijenguk..
”Husna sudah ngebel ke Kudus, Sarah sehat-sehat kok Bu.
Ya Bue memang hampir setengah tahun tidak menengok. Tapi
Husna sama Lia kan tiap bulan gantian nengok ke sana.” Kata
Husna menenangkan ibunya yang selalu sedih setiap kali
teringat Si Kecil Sarah.
“Semakin cepat semakin baik. Kak Azzam juga belum
berternu Sarah sejak pulang. Kalau misalnya nanti sama- sama
iyanya dan sama lancarnya menikah bareng juga ndak apa-
apa. Malah efisien di biaya, waktu dan tenaga..
“Memberitahu keponakan yang di Kudus itu juga
disampaikan apa adanya, Azzam itu pekerjaannya ya jualan
bakso.” Bu Nafis merendah.
”Bu Nafis, justru saya lebih bangga pada anak muda yang
mau berwirausaha seperti Azzam. Tidak menggantungkan
hidup pada negara. Sekarang Azzam lumayan sukses bisa beli
mobil sendiri.” Tukas Pak Mahbub.
348
”Walah cuma mobil bekas Pak.” Sahut Bu Nafis.
”Itu menurutku lebih baik daripada dapat Fortuner baru
tapi dari uang orang tua. Siapa saja kalau cuma menerima
pemberian bisa.
Tapi kalau usaha sendiri tidak semua bisa. Dan ini Bu, jika
seluruh generasi muda bangsa ini punya mental dan pola pikir
seperti Azzam, insya Allah bangsa ini akan maju. Tak ada
pengangguran.
Kenapa? Karena setiap orang akan menciptakan lapangan
kerja bagi dirinya dan bahkan bagi orang lain. Kalau boleh
tanya sekarang berapa karyawan Azzam Bu?.
”Tujuh orang. Karyawan bakso cinta lima dan karyawan
foto copy dua..
”Lihat dengan wirausaha Azzam sudah membuka
lapangan kerja buat tujuh orang. Kalau ia jadi pegawai negeri,
itu tak akan terjadi..
”A
lhamdulillah
Pak, berkah doa Pak Mahbub usaha
Azzam semakin baik dari hari ke hari..
”A
lhamdulillah,
tapi tolong sampaikan pada Azzam agar
bersiap
-
siap menghadapi cuaca buruk. Cuaca tidak selamanya
baik dan tenang. Ada kalanya langit yang cerah tiba-tiba
berawan lalu mendung, bahkan bisa juga berbadai. Demikian
juga dalam bisnis..
”Baik Pak terima kasih atas waktunya. Kami pamit ya..
349
”Iya Bu. Hari Ahad ya, Insya Allah?” Kata Bu Mahbub
“Iya insya Allah. Oh ya kita berangkat dari sini jam
berapa?.
”Pagi-pagi sekali saja jam setengah tujuh, biar lebih enak
jalannya..
”Sepakat.” Kata Bu Nafis
***
Ahad pagi Azzam dan keluarganya disertai Pak Mahbub dan
isterinya berangkat ke Kudus. Mereka berangkat dari Kartasura
pukul tujuh pagi. Molor setengah jam dari yang direncanakan.
Yang mengendarai mobil Azzam. Pak Mahbub duduk di
samping Azzam.
Bu Nafis dan Bu Mahbub duduk di bangku tengah. Dan di
bangku belakang adalah Husna dan Lia.
Malam sebelum berangkat Bu Nafis membuat kue donat
cukup banyak. Tujuannya selain untuk oleh-oleh buat Si
Sarah, juga buat keluarga Vivi. Selain kue donat Bu Nafis dan
Lia juga membuat
Arem-arem dan Lontong Opor untuk bekal
di jalan.
Langit Kartasura terang benderang saat mereka berangkat.
Tak ada awan maupun mendung. Medekati Boyolali mendung
seolah mengintai mereka. Dan sampai di Ampel hujan deras
mengiringi mereka. Sampai Salatiga hujan mulai reda tinggal
gerimisnya saja.
Sampai di Bawen hanya mendung yang menemani.
350
Semakin lama panas menyengat.
Pukul sepuluh mereka sampai di Demak. Sisa sisa hujan
tampak di sepanjang jalan. Air sungai di kiri jalan berwarna
cokelat pekat.
Airnya penuh hampir meluap ke jalan. Mobil melaju di
belakang bus Nusantara. Azzzm mengemudi dengan tenang.
Jam terbangnya membuatnya memiliki insting yang bagus di
jalan. Begitu ia menemukan ruang dan kesempatan, maka bus
didepannya pun ia salip dengan penuh kemenangan.
Rombongan itu memasuki gerbang kota Kudus pukul
sebelas kurang lima belas menit. Azzam kurang begitu tahu
jalannya. Pak Mahbub menunjukkan ke kiri atau ke kanan.
”Setelah melewati Matahari di depan itu kiri Zam.” Kata
Pak Mahbub memantau.
Azzam mengikuti petunjuk Pak Mahbub.
”Depan itu kanan! Itulah jalan Kiai Telingsing. Lurus saja
terus hingga akhirnya kita sampai di Masjid Menara Kudus
yang terkenal.” Pandu Pak Mahbub.
Azzam melewati jalan Kiai Telingsing dan mengikuti
panduan yang diberikan oleh Pak Mahbub. Tak lama
kemudian sampailah mereka di depan Masjid Al Aqsha nama
lain dari masjid Menara Kudus.
Azzam parkir tak jauh dari masjid. Aura Kudus sebagai
kota santri sangat terasa. Di jalan dan di gang banyak santri
putra berpeci yang hilir mudik, dan banyak santri putri berjalan
dengan jilbabnya yang bersih menawan.
351
”Rumah Vivi tak jauh dari Menara. Kita jalan saja dari sini.
Sebab rumahnya melewati gang yang berkelok-kelok.
Rumahnya ada di Langgardalem.” Jelas Bu Mahbub.
Azzam membawa kardus berisi donat yang telah disiapkan
ibunya. Ia berjalan di samping Pak Mahbub. Mereka berjalan
terus ke utara.
Melewati toko buku Mubarakatun Thayyibah. Lalu ada
gang kecil mereka masuk ke kanan. Gang itu berkelok-kelok. Di
sebuah rumah khas Kudus dengan ukirannya yang khas
mereka berhenti. Pak Mahbub melepas sepatunya dan naik.
Rumah itu pintunya terbuka namun lengang. Pak Mahbub
mengucapkan salam. Tak lama kemudian seorang gadis
berjilbab merah marun keluar. Gadis itu langsung tersenyum
begitu tahu siapa yang datang.
”S
ubhanallah, Pak Lik sama Bu Lik tho, ayo monggo
monggo”
Seru
gadis itu.
”Vi, bapak ibumu ada di rumah?” Tanya Pak Mahbub.
”Saya sendirian ini Pak Lik. Bapak sama ibu baru lima
belas menit yang lalu keluar. Katanya ada kumpulan pengajian
jamaah haji di Jamiatul Hujjaj Kudus, JHK itu lho Lik. Monggo
Pak Lik, monggo semuanya, masuk!.
Pak Mahbub dan Bu Mahbub mendahului masuk. Barulah
Bu Nafis dan Husna. Ketika naik Azzam menyerahkan
kardusnya pada Lia.
”Vivi kenalkan ini keluarga Bu Nafis. Mereka tetangga Pak
Lik di Kartasura. Ini Bu Nafis, itu Husna, itu Lia, dan ini Mas
352
Azzam.
Kebetulan mereka mau menjenguk Si Sarah, putri bungsu
Bu Nafis di Pesantren Krandon situ. Lha kok kebetulan. Ya
akhirnya kami bareng..
”O begitu. Mbak Husna ini masih kuliah?” Tanya Vivi
menghadapkan wajahnya ke Husna. Kata-katanya terdengar
renyah.
Wajahnya menyiratkan orangnya periang.
”A
lhamdulillah,
sudah selesai Mbak
..
”Sudah kerja?.
”A
lhamdulillah.”

Di mana?.
”Di radio JPMI Solo..
”Sebentar saya kenal dengan seseorang di Solo, lewat
karya- karyanya. Apa Mbak kenal ya, namanya Ayatul
Husna?” Tanya Vivi.
Husna tersenyum. Bu Mahbub langsung menepuk paha
Vivi seraya berkata,
“Vivi ini gimana lha ini orangnya. Inilah Ayatul Husna!.
”Benarkah?.
”Ya benarlah!.
353
’Ini Ayatul Husna yang menulis ’Menari Bersama Ombak’
itu?” Tanya Vivi dengan mata mau membesar memandang
Husna.
”Iya benar Mbak Vivi, saya Ayatul Husna.” Lirih Husna.
”Laa ilaaha illallah, subhanallah.
Mimpi apa saya sampai
ketemu
orang yang saya kagumi?” Lia berkomentar,
“Benar kata orang-orang, dunia memang sempit!.
”Mbak Husna sebentar ya saya mau ambil buku minta
tanda tangan!” Vivi bangkit dan masuk ke sebuah kamar. Lalu
keluar lagi membawa sebuah buku. Judulnya ’Menari Bersama
Ombak’.
”Ini Mbak minta tanda tangannya.” Husna mengambil
buku itu dan menandatanganinya.
“Mau tanda tangan ibu saya tidak?” Tanya Husna.
“Mau, satu keluarga semuanya deh ikut tanda tangan.”
Kata Vivi.
”Tapi kalau yang itu mahal lho.” Sahut Husna sambil
menunjuk ke arah Azzam.
”Kenapa memangnya?” Tanya Vivi.
“Dia tanda tangannya berbau Mesir. Karena dia lulusan
Mesir. Jadi mahal.” Jawab Husna.
“O begitu..
354
”Nama lengkap Mbak Vivi siapa?” Tanya Husna.
“Alviana Rahmana Putri Zuhri. Biasa dipanggil Vivi. Ada
juga dulu teman memanggil Alvi. Zuhri nama ayah saya. Dan
nama ibu saya Fadilah.”
“Mbak Vivi masih kuliah?”
“Sudah selesai.”
“Sudah kerja?.
”Sudah..
”Di mana?.
”Di Puskesmas Sayung Demak..
”Sudah menikah?.
”Belum..
”Kenapa?.
”Belum laku. Belum ada yang mau melamar.” Jawab Vivi
dengan nada bercanda.
“Kalau dilamar mau?”
“Asal orangnya ganteng ya saya mau.” Jawab Vivi santai.
”Kalau Mas saya itu masuk kriteria tidak?.
355
”Wah jawabannya perlu istikharah tiga hari dulu.” Tak ada
rasa canggung dari nada bicara Vivi.
”Tunggu sebentar ya saya membuat minum dulu ya.” Ujar
Vivi seraya beranjak ke belakang.
”Tak usah repot-repot Nduk.” Kata Pak Mahbub.
“Alah cuma air kok Pak Lik..
Vivi masuk ke belakang diikuti oleh Bu Mahbub. Di
belakang Bu Mahbub berbicara berdua dengan Vivi.
Menjelaskan maksud kedatangannya. Vivi terperanjat kaget
namun segera menguasai diri.
”Untuk sekilas Vivi cocok Bu Lik. Tergantung dianya mau
apa tidak.
Kalau bapak sama ibu gampang. Sudah menyerahkan
masalah ini sepenuhnya padaku..
Bu Mahbub tersenyum mendengarnya. Vivi jadi agak
salah tingkah karena penjelasan Bu Liknya. Dalam hati Vivi
berkata,
“Bodoh sekali kalau ada gadis menolak pemuda seperti
dia. Tampak berkarakter dan lulusan Mesir lagi. Terus kakak
dari penulis muda terkenal lagi. Kalau memang dia rezekiku ya
tidak akan ke mana- mana..
Azzam memperhatikan gerak-gerik Vivi dengan baik.
Orang seperti Vivi yang renyah dan banyak humor serta
mudah bergaul dengan orang ia rasa akan awet muda.
356
Orang yang ramah dan akrab pasti akan mudah dicintai,
mudah bergaul dengan orang. Ia rasa dokter seperti itu, yang
ramah dan akrab pasti akan disenangi banyak orang.
Cukup lama mereka disana tapi bapak dan ibu Vivi belum juga
pulang.
Pak Mahbub memimpin rombongan minta diri. Ketika
berdiri dari jongkok karena memakai sepatu, Azzam mencuri
pandang kepada wajah Vivi. Pada saat yang sama Vivi sedang
mengamati Azzam.
Mata dua orang itu bertemu. Azzam bergetar. Demikian
juga Vivi.
Dari rumah Vivi mereka kembali ke Masjid Menara Kudus.
Mereka shalat Zuhur sambil melepas lelah. Azzam melihat
belasan santri yang menggelosot dan tiduran di serambi masjid
sambil komat-kamit menghafal Al Qur’an. Nuansa Qur’annya
benar-benar terasa.
Setelah shalat dan cukup istirahat rombongan naik mobil
dan bergerak menuju Krandon. Tempat di mana Si Kecil Sarah
menuntut ilmu. Begitu sampai di pesantren, seorang pengurus
berjilbab biru muda menyambut dan memasukkan rombongan
itu ke ruang khusus tamu. Husna meminta pada pengurus yang
bertugas itu supaya dihadirkan adiknya yang bernama Sarah.
Tak lama kemudian seorang anak kecil berumur kira kira
sembilan tahun dituntun oleh sang pengurus. Begitu melihat
anak kecil itu Bu Nafis langsung menghambur memeluknya
dengan mata berkaca- kaca,
“Sarah!” ’
357
“Bue!.
”Kau baik-baik saja Nak?”
“Iya. Bue kok tidak pernah menengok Sarah?.
Bu Nafis menangis.
”Lha ini Bue nengok Sarah..
”Kalau Mbak Husna sama Mbak Lia nengok kenapa Bue
tidak ikut?”
“Kan Mbak sudah bilang ke Sarah. Bue harus sering
istirahat, kalau tidak sakit. Kartasura Kudus kan jauh Sarah.”
Husna yang sudah ada di samping Sarah menjelaskan.
”Ayo Bue kenalkan dengan orang yang selalu kamu
kangenin.” Kata Bu Nafis pelan sambil menuntun Sarah ke
arah Azzam.
”Itu siapa? Kenal tidak?” Tanya Bu Nafis sambil menunjuk
Azzam.
Azzam bangkit sambil tersenyum pada Sarah. Ia
memandang adik bungsunya dengan pandangan sayang.
”Itu Kak Azzam kan Bu?.
”Iya. Kok kamu tahu?.
”Kan mirip yang difoto yang dikirim dari Mesir itu..
”Iya. Sana cium tangan Kak Azzam..
Sarah melangkah ke arah Azzam. Gadis kecil itu mencium
tangan kakaknya. Azzam tak bisa menahan diri untuk tidak
memeluk dan mengangkat gadis kecil itu lalu menciuminya
358
dengan linangan air mata. Dulu saat ia ke Mesir gadis kecil itu
masih dalam kandungan ibunya. Dan kini gadis itu sudah
sekitar sembilan tahun umurnya. Ia teringat anak-anak kecil di
Mesir yang sehari-hari menghafal Al Qur’an.
”Sarah sudah hafal berapa juz?.
”A
lhamdulillah
lima juz Kak..
”Juz mana saja itu?.
”Juz 26, 27, 28, 29, dan 30..
”Sarah suka di pesantren?.
”Iya suka. Di sini teman Sarah banyak. Ada Inung, Dita,
Nia, Putri, Wiwik, Anis, Bila, Lola, Ipah, Siwi, Imah dan banyak
lagi. Mereka semua baik-baik. Tapi ada juga satu orang yang
nakal dan suka mengganggu Sarah dan teman-teman.
Namanya Iken. Wah dia nuakal sekali.
Sarah malah cerita tentang teman-temannya pada Azzam.
Azzam sendiri sebenarnya tidak tega melihat anak sekecil itu
harus dikarantina di pesantren Al Qur’an untuk anak-anak.
Tapi demi menunaikan wasiat dan amanat dari almarhum
ayahnya hal itu terpaksa tetap dilakukan.
”Makanan apa yang ingin Sarah makan saat ini?” Tanya
Azzam pada adik bungsunya itu.
”Bakso buatan Kak Azzam. Kan kata Mbak Husna dan
Mbak Lia, Kak Azzam pinter buat bakso.” Jawab Sarah polos
yang membuat semua yang ada di ruang tamu pesantren itu
tersenyum dibuatnya.
359
”Wah sayang Kak Azzam tidak bawa. Tapi di rumah setiap
hari Kak Azzam buat bakso..
”Benarkah?.
”Iya benar..
”Berarti nanti kalau liburan Sarah bisa makan bakso setiap
hari?.
”Iya..
”Wah asyik. Sarah boleh tidak kalau misalnya ajak teman-
teman Sarah yang baik-baik seperti Inung, Dita dan Nia ke
rumah untuk makan bakso buatan Kak Azzam?.
”Boleh. Semua teman Sarah boleh datang dan makan
bakso sekenyang-kenyangnya..
”Wah asyik..
”Eh Kak tahu nggak?.
”Apa?.
”Itu Mbak Izzah yang pakai jilbab biru itu. Yang tadi
ngantar Sarah kemari orangnya baik sekali. Pokoknya baik
sekali. Malam-malam kalau Sarah masuk angin, Mbak Izzah itu
yang selalu mijetin Sarah dan membuatkan Sarah teh panas
yang enak sekali. Sarah berharap dia juga jadi kakak Sarah.
Boleh nggak Kak Mbak Izzah itu misalnya tinggal di rumah
kita?.
Kata-kata Sarah membuat Azzam dan yang hadir di situ
360
haru namun juga kaget. Kaget dengan permintaannya,
“Lho kan Mbak itu sudah punya rumah sendiri, masak
tinggal sama kita?.
Kata Mbak Jannah, itu Mbak yang lain lagi, Mbak Izzah
tidak punya rumah. Rumahnya ya pesantren ini, dulu
rumahnya di panti asuhan.
Katanya tidak punya saudara kan kasihan. Kalau tinggal
dirumah kitakan jadi punya Bue, punya Mbak
Husna, Mbak Lia, Sarah dan Kak Azzam.” ]elas Sarah dengan
suara khas kekanak-kanakan.
”Sudah Sarah jangan mikir itu dulu. Mbak Izzah kan sudah
besar.
Sudah bisa mikir dirinya sendiri. Kalau dia tinggal di
rumah kita ya boleh boleh saja.Yang penting Sarah harus rajin
sekolah dan menghafalkan Al Qur’an ya?.
”Iya Kak. Nanti Sarah akan cerita pada Mbak Izzah, kalau
kakak Sarah yang di Mesir sudah pulang. Terus kakak Sarah itu
membolehkan Mbak Izzah tinggal di rumah. Mbak Izzah itu kata
Bu Nyai yang paling bagus hafalannya di sini. Suaranya paling
indah.
Sarah suka banget sama dia.” Puji Sarah yang membuat
Husna dan Lia iri. Adiknya itu lebih dekat dengan pengurus
pesantren yang bernama Izzah daripada mereka.
361

Tidak ada komentar:

Posting Komentar