Minggu, 14 Juni 2009

Pertemuan Dua Keluarga

Kiai Lutfi duduk di ruang tamu memandang ke arah
pesantren, matanya berkaca-kaca. Ia masih terus teringat
kejadian pagi tiga hari yang lalu. Ia sedang shalat dhuha di
kamarnya ketika itu, Anna yang baru pulang dari hotel
mengajaknya bicara. Anna mencium tangannya sambil
menangis. Putrinya itu tersedu-sedu di pangkuannya seperti
anak kecil kehilangan mainannya. Putrinya tampak pucat,
sedih, gelisah dan takut. Ia bingung apa yang terjadi dengan
putrinya.
”Baru bertengkar dengan suamimu ya?”
“Lebih dari itu Bah.”
398
“Apa itu?”
”Kami telah bercerai. Furqan sudah menceraikan Anna!”
”Apa? Cerai!? Apa Abah tidak salah dengar?”
“Tidak Bah. Ini siingguhan!”
“Kamu jangan main-main ya Nduk!”
“Anna tidak main main Bah.”
“Kalian kan sarjana Timur Tengah, paham agama, tahu
syariat, bagaimana mungkin kalian memilih jalan yang
dimurkai Allah.”
”Justru jalan ini ditempuh untuk mencari ridha Allah Bah.
Untuk kebaikan bersama, untuk kebaikan Anna, kebaikan
Abah dan Ummi, juga kebaikan pesantren. Bahkan juga untuk
kebaikan Furqan dan keluarganya, maka kami berdua sepakat
untuk bercerai! Ikatan pernikahan kami tak mungkin
dipertahankan lagi Bah. Anna sudah berusaha yang terbaik
tapi tetap saja tak ada jalan lain kecuali pisah.
”Jika ikatan pernikahan kami tetap dipertahankan yang
tercipta di antara kami bukanlah ketakwaan Bah, tapi
kezaliman. Anna tak ingin ini terjadi, tapi Anna tak bisa apa-
apa lagi. Perempuan mana yang ingin jadi janda Bah? Tak
ada. Tidak juga Anna. Inilah ujian terberat dalam hidup Anna
yang harus Anna lalui dengan penuh kesabaran Bah. Sungguh
Bah Anna mohon maaf jika ini sangat menyakitkan Abah dan
Ummi”
Kalimat putrinya itu sangat mengagetkannya. Kalimat yang
399
diucapkan dengan linangan air mata itu bagaikan keris berkarat
yang ditusukkan ke dadanya.
”Apa sebenarnya yang terjadi Nduk?”
”Aku tak tahu bagaimana menceritakannya Bah. Yang
jelas kalau pernikahan terus dipertahankan Anna pasti binasa
Bah. Dan Anna tidak ingin binasa!”
”Dari kalimatmu ada isyarat bahwa kamu yang meminta
cerai pada Furqan. Bukan Furqan yang menceraikanmu!?”
”Iya, benar Bah. Anna yang minta cerai. Dan hukumnya
wajib Bah. Bukankah marabahaya menurut ajaran Islam harus
ditiadakan Bah? Itulah yang Anna lakukan.”
“Abah tidak paham marabahaya apa yang kamu
maksud?”
Anna diam, tak bisa menjawab.
”Suatu hari nanti Abah akan tahu.”
Siangnya Furqan datang. Abah langsung mengajaknya
bicara. Dan Furqan membenarkan semua ucapan Anna.
Bahkan Furqan berkata,
“Yang salah saya Bah, bukan Anna. Sungguh Anna tidak
salah apa- apa. Anna hanyalah korban dari ambisi pribadi
saya. Saya mohon maaf jika selama di sini banyak khilaf.
Demi kebaikan bersama Anna sudah saya ceraikan. Terserah
nanti bagaimana di pengadilan nanti. Jika prosesnya bisa lebih
cepat itu lebih baik, sehingga Anna bisa bernafas lega. Selama
ini saya sudah membuatnya tersiksa. Saya yang salah dan
400
saya mohon maaf.” Ucapan Furqan yang jujur dan apa
adanya justru membuat Kiai Lutfi terenyuh.
Ia tak tahu harus bagaimana dan harus di pihak siapa.
Yang jadi masalah ia tidak tahu apa yang sebenamya terjadi di
antara mereka. Ketidakcocokan seperti apa yang membuat
perkawinan mereka harus hancur berantakan? Repotnya Anna
dan Furqan tidak mau ada yang menjelaskan apa yang terjadi
sebenamya.
”Kami sama sekali tidak perlu ishlah. Malah akan semakin
menyiksa dua keluarga saja. Insya Allah keputusan kami sudah
final. Namun demikian semoga tali kekeluargaan di antara kita
tetap terjalin.” Jelas Furqan tegas. Hari itu juga Furqan
mengemasi seluruh barangnya dan pergi meninggalkan
pesantren dengan Fortunernya. Furqan benar- benar
meninggalkan rumah mertuanya itu. Ia tidak kembali,
jadwalnya mengajarkan tafsir Jalalain dan yang lain kepada
para santri kosong tidak ada yang mengisi.
Kiai Lutfi duduk di ruang tamu memandang ke arah
pesantren, matanya berkaca-kaca. Ia masih terus teringat
kejadian tiga hari yang lalu. Kejadian yang membuat
perasaannya remuk redam. Kejadian yang membuat isterinya,
yaitu Bu Nyai Nur sempat pingsan, dan sekarang badannya
demam. Perceraian Anna dengan suaminya baginya adalah
aib yang memalukan. Keluarga Kiai semestinya bisa menjadi
suri tauladan akan terbentuknya keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Perceraian itu tak lama lagi akan jadi
omongan masyarakat dan dia sebagai panutan masyarakat
harus bilang apa?
Ia ingin dengan segala daya upaya agar rumah tangga
putrinya itu terselamatkan. Ia terus membujuk putrinya agar
401
cerita masalah yang sebenamya terjadi. Namun putrinya itu
selalu saja menjawab,
“Abah, pokoknya kami berdua telah sepakat untuk
bercerai! Ikatan pernikahan kami tak mungkin dipertahankan
lagi Bah. Anna sudah berusaha menjadi isteri yang baik, tapi
tetap saja tak ada jalan lain kecuali pisah. Jika tetap
dipertahankan maka sama saja mempertahankan kezaliman?”
Ia lalu mengejar,
“Bentuk kezalimannya apa Nduk?”
”Maaf Bah, Anna tidak bisa menceritakannya dengan detil.
Takut nanti timbul fitnah. Kalau Abah percaya sama Anna,
maka relakanlah kejadian ini Bah. Dan kuatkanlah hati Anna.
Saat ini Anna sebenamya juga remuk redam. Anna perlu
orang yang menguatkan.”
la percaya pada putrinya. Tapi ia belum juga bisa bernafas
lega karena belum mengetahui pangkal masalah sebenarnya.
Ia ingin putrinya itu bercerita saja apa adanya terus terang.
Sekiranya ia tahu apa bentuk kezalimannya mungkin ia akan
punya pandangan lain atau jalan keluar lain yang bisa
menyelamatkan rumah tangga putrinya. Selain tes darah ia
juga minta divisum untuk mengecek selaput daranya. Dan ia
bersyukur bahwa selaput daranya benar-benar masih utuh.
Furqan memang sama sekali belum menyentuh mahkota
paling berharga baginya. Ia bernafas lega. Ia masih bisa
menatap masa depan yang cerah. Ia yakin itu. Setelah urusan
perceraiannya dengan Furqan selesai di pengadilan agama, ia
akan konsentrasi tesisnya. Ia perlu waktu untuk kembali
memikirkan pernikahan.
402
Anna siap masuk mobil ketika panggilan dari Umminya
berdering di
hand phonenya. Ia diminta pulang. Bu Maylaf dan
suaminya akan
datang. Ia yakin mereka akan bersama Furqan.
Dalam perjalanan ia membayangkan apa yang akan terjadi di
rumahnya nanti. Mungkin akan terjadi perdebatan panas. Ia
tidak ingin Abah dan Umminya bertengkar dengan kedua
orang tua Furqan. Menurutnya itu semua tergantung Furqan.
Jika Furqan sebelumnya bisa menjelaskan dengan baik
masalah perceraiannya kepada orang tuanya, hal itu tak akan
terjadi. Namun jika Furqan malah memprovokasi dan minta
pembelaan mereka bisa saja akan ada perang.
Jika sampai terjadi pertengkaran antara orang tuanya
dengan orang tuanya lantas kedua orang tuanya disalahkan
habis-habisan, maka ia harus bicara! Ia harus bicara apa
adanya biar semuanya menilai dengan pikiran dan kesadaran
masing-masing. Ia tidak gentar, semua senjata ia punya. Ia
akan diam menjaga rahasia Furqan jika Furqan bisa juga
menjaga kehormatan bersama.
Ia merasa dirinya dan kedua orang tuanya hanyalah
korban. Korban dari ambisi pribadi Furqan yang ia duga
menikahi dirinya karena kecantikan dirinya. Ah, ia sendiri
tidak pernah merasa dirinya cantik. Dan ia tidak mau
sebenarnya dinikahi orang karena kecantikan dirinya. Sebab ia
tahu kecantikan fisik itu pada saatnya nanti akan hilang. Jika
ada orang menikahi dirinya karena kecantikan fisiknya maka
bagaimana nanti jika kecantikan fisiknya hilang? Apakah ia
akan dicampakkan begitu saja? Anna mengendarai Viosnya
dengan lebih cepat. Azan telah berkumandang. Kalau bisa ia
harus lebih dulu datang dari orang tua Furqan. Di depan pasar
Kartasura ia nyaris menabrak becak yang seenaknya
memotong jalan.
403
“Masyarakat bangsa ini belum tahu disiplin!” Desisnya
marah.
Anna sampai halaman rumahnya saat jamaah Isya sedang
didirikan. Ia mendengar suara ayahnya membaca awal surat
Al Anbiya’. Rumah sepi, semuanya sedang jamaah di Masjid.
Cepat-cepat ia mengambil air wudhu dan menyambar
mukena, meskipun terlambat masih bisa mendapat beberapa
rakaat. Dalam sujud Anna minta kepada Allah, agar semua
urusan dimudahkan, dan agar semua jalan setan yang
mengajak permusuhan dijauhkan.
* * *
Pukul setengah sembilan kedua orang tua Furqan datang.
Wajah Bu Maylaf agak kurang ramah. Pak Andi Hasan
meskipun agak dingin tapi berusaha untuk tetap cair. Pak Kiai
Lutfi tetap menyambut ramah. Ia berusaha kuat menjaga
hatinya agar tetap bening dan tenang. Sementara Bu Nyai Nur
begitu melihat wajah Bu Maylaf langsung dingin. Sementara
Furqan menunduk diam.
Pak Kiai mencairkan suasana dengan berbasa-basi
menanyakan keadaan. Menanyakan kapan berangkat dan
kapan sampai di Solo. Menanyakan menginap di mana? Juga
menanyakan perkembangan bisnisnya. Pada akhirnya
pembicaraan tentang perceraian Furqan dan Anna tidak
terelakkan.
Pak Andi Hasan yang membukanya.
”Maaf Pak Kiai, ini tentang anak-anak kita. Furqan
menyampaikan kepada kami kabar yang membuat kami
404
sedih. Katanya dia telah menceraikan Anna. Namun ketika
kami tanya sebabnya dia agak berbelit. Jadi untuk itulah kami
datang kemari. Terus terang perceraian tidak menjadi tradisi
keluarga kami. Kami ingin tahu mungkin sedikit penjelasan
bagi kami. Karena mungkin Pak Kiai sebagai orang yang bisa
dikatakan tinggal satu rumah dengan mereka lebih tahu. Kalau
ikatan perkawinan itu bisa kita usahakan dipertahankan
kenapa tidak?”
Pak Kiai Lutfi sudah menduga ia akan dimintai semacam
pertanggungjawaban seperti itu. Ia mendesah. Ia bingung harus
menjelaskan apa. Dengan agak tergagap Kiai Lutfi bicara,
”Pak Andi, saya me...”
”Abah biar Anna yang bicara!” Tegas Anna memotong.
Anna sudah bertekad untuk tidak membuat orang tuanya
dipojokkan atau diserang. Pertanyaan Pak Andi ia rasakan
seperti minta pertanggungjawaban ayahnya.
”Begini Pak Andi dan Ibu Maylaf, masalah yang ada
dalam kamar kami berdua. Abah dan Ummi sama sekali tidak
tahu menahu. Kami sudah dewasa. Kami sudah bisa berpikir.
Dan Abah saya ini bukan tipe orang tua yang selalu menyuapi
anaknya sampai tua. Tidak! Yang jadi perhatian ayah selama
ini adalah pesantren. Sebab beliau percaya kepada saya.
Bahwa saya bisa mengurus diri saya, suami saya dan rumah
tangga saya. Kalau Pak Andi sama Ibu mau bertanya sebab
kenapa kami bercerai alangkah bijaknya sekarang bertanya
dulu kepada putra Bapak tercinta. Kalau juga dia masih
berbelit- belit, dan ruwet kayak benang kusut. Barulah Bapak
tanya pada saya. Akan saja jelaskan semuanya sejelas-
jelasnya, seterang-terangnya seperti terangnya matahari di
siang bolong.”
405
Dengan nada agak emosi Anna berbicara panjang kepada
Pak Andi dan Bu Maylaf. Pak Kiai Lutfi tak mengira putrinya
yang selama ini halus dan penurut ternyata bisa juga
menyengat seperti lebah yang diganggu sarangnya.
Mendengar perkataan Anna itu Pak Andi agak mengukur
diri dengan siapa berhadapan. Anna bagaikan induk betina
yang bisa bicara dengan cerdas. Mau tidak mau Pak Andi
harus bertanya pada putranya,
”Fur, tolong jelaskan kepada kami semua. Yang jelas,
jangan berbelit-belit lagi! Apa sebenarnya yang terjadi?”
Furqan memutar otaknya, ia harus punya penjelasan yang
tepat. Ia melihat bara dalam mata Anna. Jika ia tidak
membuat semua yang ada di ruangan itu memaklumi kenapa
ia harus menceraikan Anna, maka Anna pasti akan membuka
apa yang terjadi sebenarnya. Senjata pamungkas ada di
tangan Anna. Senjata yang jika digunakan oleh Anna, ia rasa
akan binasa.
Dengan suara serak menahan sesak di dada Furqan
bicara,
“Ayah dan ibu, Pak Kiai dan Bu Nyai, sebelumnya saya
mohon maaf jika peristiwa ini membuat sedih. Jika Ayah dan
ibu sedih, saya lebih sedih. Karena, jujur saja, faktor satu-
satunya, saya ulangi lagi faktor satu-satunya yang membuat
saya dan Anna harus bercerai menurut saya adalah diri saya
sendiri. Kelemahan dan penyakit dalam diri saya sendiri.”
Furqan mengambil nafas. Sesaat ia berhenti bicara.
Matanya berkaca- kaca.
406
”Bisa lebih dijelaskan lagi faktor itu apa? Kelemahan itu
apa?” tanya Pak Andi tidak sabar dengan nada agak jengkel
pada anaknya.
”Saya mau tanya pada Bapak, maaf ya Pak sebelumnya,
tanpa mengurangi rasa hormat dan ta’zhim sedikitpun sama
Bapak. Saat Bapak menikah dengan ibu dulu. Kapan Bapak
bias -maaf- menyentuh selaput dara ibu?”
Pak Andi tersentak kaget. Juga Bu Maylaf. Anna tidak
rnenyangka Furqan akan bertanya seperti itu. Pak Andi seperti
bingung. Wajahnya memerah. Ia diminta untuk membuka
rahasia yang hanya dia dan isterinya yang tahu.
Pak Kiai Lutfi tahu besannya itu bingung. Maka ia bicara
dengan santai,
”Nak Furqan, kalau saya dulu sama ibunya Anna siangnya
akad nikah, malamnya saya sudah rnengoyak selaput dara
ibunya Anna. Saya tidak bisa sabar menunda hari berikutnya.
Saya ingin menunjukkan pada ibunya Anna bahwa dia tidak
salah memilih saya. Saya jelaskan ini karena kayaknya
masalahmu berhubungan dengan hal seperti ini. Saya tidak
perlu malu menjelaskan ini di sini di forum yang kita ingin tahu
kejelasan semuanya.
“Pak Andi jadi tersindir. Ia jadi tidak malu untuk berterus
terang dengan nada kagok,
“Kalau saya melakukan itu baru berhasil satu minggu
setelahnya.”
Bu Maylaf tersenyum mendengarnya.
407
”Coba ayah dan ibu, juga Pak Kiai dan Bu Nyai
bayangkan, saya sampai sekarang tidak berhasil melakukan
hal itu. Anna sampai sekarang masih perawan!”
Kata-kata Furqan itu membuat yang ada di ruangan itu
kaget bagai disambar halilintar, kecuali Anna.
“Apa Fur? kamu jangan bohong?” Kata Bu Maylaf nanar.
”Saya tidak bohong Bu. Selama enam bulan Furqan tidak
mampu melakukan itu.”
”Kau bohong Fur! kamu bersandiwara kan?” Bu Maylaf
masih tidak percaya.
Anna langsung menyahut,
“Ibu, Furqan tidak bohong. Selama enam bulan masih
utuh keperawanan saya. Kami sebenarnya tidak ingin
membuka rahasia ini. Tapi kalian semua ingin kejelasan.
Apakah setelah jelas juga tidak dipercaya? Ini saya ada visum
baru saja saya ambil dari rumah sakit, saya masih perawan.
Kalau ibu masih tidak percaya dengan visum ini, saya siap
divisum ulang!”
Anna menyerahkan kertas visum yang baru diambilnya
pada Bu Maylaf. Furqan tertegun. Ia kaget sampai sedetil itu
Anna meyakinkan dirinya bahwa dirinya masih perawan. Bu
Maylaf membaca dengan mata berkaca-kaca. Pak Sofyan ikut
baca. Pak Lutfi dan Bu Nyai Nur baru tahu apa yang
menimpa putrinya.
”Tapi ibu kok sering lihat kamu mandi sebelum Subuh
408
nduk?” Tanya Bu Nyai Nur tiba-tiba.
”Banyak orang yang mandi sebelum Subuh tanpa
melakukan hal itu. Apa ada dalam kitab kuning yang
memastikan bahwa kalau ada orang mandi sebelum Subuh
pasti jinabat, pasti baru saja melakukan hal itu?” Jawab Anna.
”Tapi kelemahanmu itu bisa disembuhkan Fur? Bisa kita
obatkan, ke Singapura kalau perlu.” Kata Pak Andi.
”Iya benar.” Imbuh Bu Maylaf sambil menyeka
airmatanya.
”Furqan sudah berusaha Bu, sudah setengah tahun. Tapi
sia-sia. Ayah dan ibu jangan selalu melihat sisi saya dong.
Cobalah empati pada Anna juga. Kalau ibu jadi Anna
bagaimana? Sudah enam bulan ternyata punya suami yang
tidak juga mampu menyentuhnya. Kalau berobat juga tidak
tahu berhasil dan tidaknya. Menurut Furqan yang terbaik, agar
tidak ada kezaliman adalah bercerai. Biar Anna mencari suami
baru. Sementara itu Furqan berobat. Jika sudah sembuh
Furqan akan cari isteri lagi. Toh masih banyak perempuan di
muka bumi ini.” Jelas Furqan pada kedua orang tuanya.
Kiai Lutfi merasa sudah saatnya dia bicara.
“Jadi apa yang Pak Andi tadi tanyakan sudah jelas
semua. Sekarang menurut Pak Andi bagaimana. Kita bicara
dengan nurani orang tua yang mencintai anak-anak kita.”
“Sungguh Pak Kiai, saya sama sekali tidak mengira
ternyata masalahnya seperti ini. Maka dengan ini kami mohon
maaf, jika anak saya ini telah membuat cahaya kehidupan di
keluarga Pak Kiai semacam ternodai. Kami juga mohon maaf
409

Tidak ada komentar:

Posting Komentar