Minggu, 14 Juni 2009

Sebuah Firasat

Sudah lebih satu minggu sejak bertemu di pesantren,
Husna tidak mendapat kabar dari Zumrah. Seminggu yang
lalu Husna langsung menemui keluarga Zumrah dan
menceritakan semua yang ia ketahui dari Zumrah.
Meskipun berat, ibu Zumrah telah memaafkan putri
sulungnya itu. Adik-adik Zumrah malah berharap kakaknya
itu kembali ke rumah.
Sebagian warga dukuh Sraten ada yang iba dan kasihan
sama Zumrah. Namun ada juga kalangan yang tetap sinis
dan menunjukkan rasa jijik setiap kali mendengar nama
Zumrah. Zumrah seolah-olah barang najis yang pantang
didengar sekalipun. Husna berusaha menjelaskan kepada
siapa saja yang membicarakan Zumrah, bahwa gadis itu
101
justru harus ditolong bukannya dipinggirkan dan dihina.
Malah, Mahrus paman Zumrah yang anggota serse tetap
bersikukuh akan menembak
keponakannya itu jika ketemu. la sama sekali tidak percaya
dengan apa yang disampaikan Husna.
Pagi itu Husna dan Lia sedang mencabuti rumput yang
tumbuh di samping rumah mereka ketika sebuah mobil
sedan Vios berhenti tepat di depan rumah mereka.
Matahari mulai meninggi di angkasa, menyinari dunia
dengan sinar keemasannya. Seorang gadis berjilbab putih
gading rurun dari mobil. Husna dan Lia bangkit melihat siapa
yang datang.
Ketika gadis berjilbab putih gading menghadap ke arah
pintu rumah Husna langsung kenal siapa yang datang.
“Cari siapa Mbak Bintun Nahl?" Sapa Husna dari jarak
agak jauh sambil melangkah mendekat diiringi Lia adiknya.
Anna yang masih menggunakan nama samaran Bintun Nahl,
menengok ke arah suara dan tersenyum ceria.

Assalamu'alaikum Mbak Husna
, sedang berkebun
ya?"

Wa 'alaikumussalam
. Tidak. Ini sedang mencabuti
rumput. Mumpung ada waktu longgar. Sendirian?"
“Iya."
“Mengajar di Pesantren Wangen itu makmur ya. Guru
bahasa Arabnya saja punya mobil sedan. Baru lagi. Mau
102
dong aku daftar jadi guru di sana." Kata Husna dengan nada
bergurau.
“Itu mobil pinjam kok."
“Pinjam Abah ya. Kamu itu sungguh jahat kok Mbak
Anna. Tega-teganya lho menyembunyikan identitas dariku.
Lha wong namanya Anna Althafunnisa, Lc. Putri tunggal
pengasuh pesantren Daarul Qur’an Wangen kok ya pakai
nama samaran Bintun Nahl. Tega-teganya. Ih!" Ujar Husna
sambil menjotos lengan Anna.
“Eit." Anna mengelak.
Mereka berdua terlihat begitu akrab meskipun baru dua kali
bertemu. Mereka berdua seperti dua orang sahabat lama
yang baru bertemu.
“Ayo masuk! Ini adikku, namanya Lia." Husna
mengenalkan adiknya pada Anna. Keduanya tersenyum, lalu
berjabat tangan.
“Namaku Anna Althafunnisa. Masih kuliah, Dik?" Tanya
Anna.
“Masih." Jawab Lia.
“Di mana?"
“Di STAIN."
“Fakultas apa?"
“Tarbiyah."
103

Alhamdulillah sekarang dia sudah mengajar di SDIT."
Sela Husna.

Alhamdulillah." Sahut Anna.

Ayo masuk! Jangan di luar terus. Matahari semakin
menyengat!" Ajak Husna.
Mereka bertiga lalu masuk ke dalam rumah. Kursi di
ruang tamu itu adalah kursi jati tua yang sudah kusam
pliturnya. Namun kursi itu masih berfungsi dengan baik
untuk menerima tamu.
“Ibu kalian mana?" Tanya Anna setelah duduk.
“Beliau sedang mengikuti pengajian rutin di masjid."
Jawab Husna.
“Dengar-dengar Mbak Anna kuliah di Mesir ya?" Tanya
Lia.
“Iya. Alhamdulillah. Ini saya sedang pulang untuk
penelitian tesis S2." Jawab Anna.

Masya Allah. Semoga diberkahi Allah." Sahut Husna.

O ya Mbak Anna kenal nggak dengan kakak saya? Dia
juga kuliah di Cairo." Tanya Lia.
"Siapa namanya?" Anna balik bertanya. Ada rasa
penasaran dalam hatinya saat bedah buku dan Husna
menyebut-nyebut kakaknya yang kuliah di Cairo yang
sedemikian besar tanggung jawabnya. Dia ingin tahu siapa
104
orang itu. Mungkin ia mengenalnya.
“Namanya Azzam." Jawab Lia.
“Azzam siapa ya?"
“Lengkapnya Khairul Azzam."
“Sebentar, coba kuingat-ingat."Kata Anna. Dahinya
berkerut.
“Aduh, maaf, kelihatannya saya tidak kenal."
“Masak tidak kenal? Kakak saya sudah sembilan tahun
di Cairo. Sampai sekarang belum lulus SI. Dia di sana belajar
sambil bekerja. Atau kebalikannya ya bekerja sambil belajar.
Dikenal sebagai penjual tempe dan bakso. Lha ibu-ibu KBRI
saja banyak yang kenal. Tiga bulan lalu Pak Manaf dan
isterinya yang di konsuler datang ke sini mengantarkan
titipan Kak Azzam." Jelas Lia panjang lebar.
“Aduh, benar, saya tidak kenal. Penjual tempe yang
kukenal namanya itu ada Rio, Budi, dan Muhandis atau Irul.
Di antara mereka yang paling senior adalah Muhandis.
Tidak ada yang namanya Azzam. Tapi mungkin aku
terlalu kuper. Terus terang S1 aku kuliah tidak di Cairo."
“Di mana Mbak?"
“Di Al Azhar putri Alexandria. Baru kemudian S2-nya di
Cairo. Selama S2 terus terang aku juga tidak banyak
berinteraksi dengan teman-teman mahasiwa dari Indonesia.
105
Aku lebih banyak di perpustakaan."
“O. Kalau begitu ya maklum." Kata Lia.
“Kalau ketemu orangnya bisa jadi aku kenal.
Seringkali aku akrab dengan wajah orang Indonesia di
sana karena bertemu di bus atau di metro tapi aku tidak tahu
namanya."
Husna menyela,
“Kebetulan minggu depan insya Allah dia pulang.
Semoga ada waktu untuk bertemu."
“Iya Mbak Anna. Mbak Anna sudah menikah?" Tanya
Lia santai.
“Belum."
“Wah kebetulan."
“Kebetulan bagaimana?" Heran Anna.
“Kebetulan kalau belum nikah. Nanti siapa tahu bisa
jodoh dengan kakak saya." Terocos Lia.
“Hus! Kamu ini Dik, ada-ada saja. Kok tidak mengukur
diri mengajukan kakaknya. Kakak kita ini cuma penjual
tempe yang kuliahnya tidak lulus-lulus. Kok kamu ajukan ke
putri Kiai yang mau selesai S2. Kamu ini." Sergah Husna.
“Mm... aku memang belum menikah. Tapi sebentar lagi
insya Allah menikah. Doanya." Kata Anna.
106
“Lho iya tho, penjual tempe mana mungkin berjodoh
sama putri Kiai terkenal." Kata Husna.
“Jodoh, rizki, juga kematian sudah ada yang mengatur."
Pelan Anna.
“Tapi sungguh, jujur aku kagum dan hormat sama kakak
kalian. Aku salut pada pribadi seperti kakak kalian.
Jujur sebagai perempuan hatiku ada kecenderungan
pada pemuda yang sangat bertanggung jawab dan mandiri
seperti itu. Adapun jodoh itu lain lagi urusannya. Semua
Allah yang menentukan. Kebetulan tunangan saya juga
mahasiswa Cairo. Sudah selesai S2 dan sekarang sedang
proses S3." Tutur Anna penuh kejujuran.
“Lha ini lebih cocok. S2 layak dapat yang sudah selesai
S2. Sama-sama dari Cairo lagi. Nanti kami diundang ya pada
hari H? Masih lama?" Kata Husna.
“Rencananya dua bulan lagi. Ya kalian pasti aku undang
insya Allah."
"Boleh tahu nama calon suami Mbak Anna? Siapa tahu
kakak saya kenal. Nanti kalau dia pulang biar kami beritahu
dia." Tanya Lia.
“Boleh namanya Furqan Andi Hasan."
“Furqan?"
“Iya. Ada apa?"
107
“Seingat saya kakak saya pernah bercerita punya teman
namanya Furqan. Apa mungkin Furqan itu ya?"
“Bisa jadi. Tapi nama Furqan di Cairo juga banyak."
Jelas Anna.
Hampir dua jam lamanya Anna berada di rumah Husna.
Selama dua jam banyak hal dibicarakan. Banyak cerita
diriwayatkan. Terutama tentang Mesir, juga tentang Furqan.
Dari perbincangan dengan Husna dan Lia, ia jadi semakin
tahu siapa sosok Azzam sesungguhnya. Ia jadi tahu bahwa
Husna dan Lia semuanya dibiayai oleh kakaknya.
Kekagumannya kepada sosok bernama Azzam semakin
menguat. Namun ia selalu bisa meyakinkan dalam hati
bahwa Furqan tunangannya itu adalah lelaki terbaik untuk
menjadi pendamping hidupnya.
Pukul setengah sebelas Anna mohon diri. Saat ia hendak
keluar dari rumah, Bu Nafis memasuki halaman.
“Lha itu Bu’e baru pulang." Kata Lia.
“Bagaimana kalau Mbak Anna duduk lagi. Bincang-
bincang dengan ibundaku sebentar. Beliau pasti senang."
Tukas Husna sambil memandang wajah Anna.
“Maaf, saya harus pulang sekarang. Sudah cukup lama.
Kebetulan mobilnya mau dipakai Abah ke Jogja. Jadi aku
harus segera pulang. Lain kali insya Allah." Jawab Anna.
Anna menunggu Bu Nafis sampai beranda. Begitu Bu
Nafis mendekat Anna langsung meraih tangan perempuan
setengah baya itu dan menciumnya penuh rasa ta'zhim.
108
"Saya Anna Althafunnisa Bu. Temannya Husna." Anna
berkata halus mengenalkan diri.
“Kau cantik sekali Nak. Di mana rumahmu?" Tanya Bu
Nafis dengan mata berbinar.
“Wangen, Polanharjo Bu."
“Jauh dari pesantren?" Tanya Bu Nafis.
Belum sempat Anna menjawab, Husna mendahului,
“Dia putrinya Pak Kiai Lutfi Bu. Dialah yang punya
pesantren." Bu Nafis terhenyak dan berkata,
“Masya Allah.
Seharusnya ibu yang mencium tanganmu Nak. Bukan
kamu yang mencium tangan ibu. Masya Allah, ayo masuk
Nak, akan ibu buatkan mendoan yang enak."
“Ah ibu. Sayalah yang harus mencium tangan ibu.
Tangan ibu yang telah mendidik putra dan putri yang
membanggakan seperti Husna, Lia dan juga Azzam.
Sungguh Bu saya ingin sekali berbincang-bincang. Saya
betah di sini. Tapi sayang saya harus pulang. Mobilnya mau
dipakai Abah pergi, Bu."
“O begitu. Matur nuivun ya Nak sudah berkenan
mampir."
109
“Saya pamit, Bu. Mohon tambahan doanya."
“Semoga Allah menyertaimu. Amin." Anna kembali
meraih tangan Bu Nafis dan mencium-nya. Ada kebahagiaan
yang mengalir dalam hati perem-puan tua itu ketika kulit
tangannya bersentuhan dengan kulit tangan putri ulama
terkenal dari Wangen. Dalam hati paling dalam ada
pengharapan yang sangat halus,
“Andaikan gadis ini jadi menantuku, alangkah
bahagianya diriku sebagai seorang ibu." Anna melangkah
masuk ke dalam mobil. Bu Nafis, Husna dan Lia masih
berdiri di beranda. Mobil itu mundur perlahan. Lalu putar
haluan. Anna melambaikan tangan.
Bu Nafis, Husna dan Lia membalas melambaikan tangan
dengan senyum mengembang. Tak lama kemudian sedan
Vios itu hilang di tikungan jalan.
“Kok ada ya gadis sejelita itu. Ibu pikir Si Zumrah itu
dulu paling cantik. Ternyata kalah jauh dengan putrinya Kiai
Lutfi." Bu Nafis berkomentar seraya masuk rumah.
“Kalau Anna tadi Bu, tidak hanya cantik. Dia juga
shalihah insya Allah dan dalam ilmu agamanya. Dia itu
sudah selesai S1-nya di Al Azhar Mesir lho Bu." Tukas
Husna.
“Jadi dia kuliahnya di Al Azhar?" Bu Nafis bertanya
meyakinkan.
“Iya. Sekarang sedang merampungkan S2-nya."
“Berarti dia kenal kakakmu? Apa dia datang kemari
110
membawa titipan dari kakakmu Na?"
“Wah sayang, Bu’e. Dia tidak kenal Kak Azzam juga
tidak membawa titipan dari Kak Azzam. Dia kemari karena
kemarin ketika bertemu di acara bedah buku, dia berjanji
akan berkunjung ke sini. Dia memenuhi janjinya."
“O begitu. Sungguh aku senang ketemu sama gadis
seperti itu. Dalam hati tadi aku sempat berharap kalau dia
jadi menantu ibu. Jadi isteri kakakmu."
“Kayaknya harapan Bu’e hanya akan jadi harapan."
“Kenapa, apa tidak mungkin itu terjadi?"
“Ya mungkin saja sih. Tapi sangat sulit. Sebab dia sudah
tunangan. Bulan depan mau menikah."
“O begitu. Ya kalau begitu ya dia mungkin tidak rizki
kakakmu." Lia yang hanya mendengarkan saja menyela,
“Aku yakin Kak Azzam akan mendapat jodoh seorang
bidadari dunia. Bidadari yang jadi penyejuk hati suami dan
keluarga."
“Amin." Lirih Bu Nafis.
* * *
Sedan Vios itu memasuki pelataran pesantren dan berhenti
tepat di halaman kediaman pengasuh. Anna keluar dengan
wajah cerah. Ada gelombang kebahagiaan yang hinggap di
dalam hatinya. Gelombang itu terasa kuat, tajam,
111
menakjubkan. Entah kenapa hatinya merasa sangat bahagia
bisa akrab dengan Husna dan keluarganya. Ketika kulit
tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Bu Nafis, ada
getaran halus menyusup ke dalam hatinya. la merasa sejak
pertama melihat Husna jiwa dan hatinya telah bertemu
dengan jiwa dan hati Husna. Itulah yang ia rasakan sebagai
pangkal kebahagiaan yang berdesir dalam hatinya. Entah
kenapa ia merasa seperti sudah sangat dekat dengan
keluarga psikolog dan penulis muda itu.
“Dari mana saja kamu Nduk? Abahmu seharusnya
sudah berangkat seperempat jam yang lalu. Jika Abahmu
terlambat yang kasihan pasti jamaah pengajian. Mereka akan
menunggu lebih lama." Tegur Bu Nyai Nur, ibunda Anna.
Nama lengkapnya Nur Sa'adah.

Ummi, maaf Anna terlambat. Anna tidak mampir ke
mana-mana kok. Anna hanya ke rumah Ayatul Husna.
Psikolog yang minggu lalu kita undang mengisi bedah
buku. Abah di mana Mi?"
“Beliau sedang membaca Al Qur’an di taman belakang.
Datangilah beliau agar segera berangkat."
“Baik Mi." Anna lalu bergegas ke taman belakang.
Sampai di taman belakang Anna langsung menemui ayahnya
dan meminta maaf atas keterlambatannya. Kiai Lutfi
langsung bergegas berangkat. Setelah Kiai Lutfi berangkat
Anna langsung ke tempat kerjanya, menulis tesis di perpusta-
kaan. Namun ternyata Bu Nyai mengikuti putrinya itu ke
lantai dua. Anna kaget ketika tahu ibundanya mengi-kutinya.
112
“Ada apa Mi?"
"Ummi ingin mengajakmu bicara sebentar."
“Tentang apa Mi?"
“Tentang rencana pernikahanmu dengan Furqan."
“Ada apa Mi?"
“Apa kamu telah benar-benar mantap?" Tanya Bu Nyai
dengan mimik serius. Seluruh mukanya menghadap muka
Anna.
“Ummi ini bagaimana? Masak itu ditanyakan lagi.
Kalau tidak mantap ya pasti aku tidak mau dikhitbah.
Tidak akan memilih Furqan dan tentu juga tidak mau
ditunang-kan dengan Furqan."
“Entah kenapa sampai sekarang ibu belum mantap
seratus persen. Ibu sendiri tidak tahu. Masih ada sebersit
keraguan yang menyusup halus."
“Keraguan itu banyak dijadikan alat oleh setan untuk
menjauhkan manusia dari amal kebaikan. Sudahlah Mi, yang
Ummi tanyakan itu sudah tidak perlu ditanyakan lagi."
“Kalau sudah mantap ya alhamdulillah. Itu yang Ummi
inginkan."
* * *
Sementara nun jauh di Jakarta sana. Tepatnya di sebuah
113
rumah mewah di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan
Furqan sedang berbaring di tempat tidurnya. Matanya
berkaca. la masih didera perang batin yang masih
berkecamuk dengan dahsyat di dalam dada.
Ayah dan ibunya sangat bahagia dengan keberhasilan
studinya. Mereka juga sangat bahagia mengetahui siapa
calon menantu dan besan mereka. Terutama ibunya yang
asli Betawi sangat bahagia. Sebab menjadi bagian dari
keluarga besar seorang Kiai adalah harapan banyak orang.
Dan tak lama lagi setelah pernikahan itu dilangsungkan
maka keluarga Andi Hasan akan menjadi bagian tak
terpisahkan dari keluarga pengasuh Pesantren Wangen. la
sendiri juga bahagia. Cita-cita dan keinginannya menyun-ting
gadis yang menurutnya paling jelita di antara mahasiswi
Indonesia di Cairo tinggal satu langkah lagi menjadi
kenyataan. Yaitu ketika akad nikah telah dilangsungkan.
Namun ia merasa ada ribuan paku menancap di relung-
relung hatinya. Ada rasa sedih dan rasa perih yang terus
menderanya. Juga rasa takut yang luar biasa. Ia takut jika
sampai keluarga Anna mengetahui apa yang dideritanya,
entah dari siapa saja sumber informasinya. Jika mereka tahu
ia telah mengidap HIV maka tamatlah riwayatnya dan
riwayat keluarganya. Selain itu dalam relung hatinya yang
paling dalam ia tidak tega menyakiti Anna. Nuraninya sering
berontak bahwa jika langkah ini diteruskan sampai Anna
menjadi isterinya, itu sama saja membunuh Anna dengan
cara paling keji di dunia.
Ia yakin ada penyakit dalam tubuhnya. Dan per-
kawinannya dengan Anna nanti akan menularkan
114
penyakitnya pada Anna. Lalu pada anak-anak mereka. Ia
lalu membayangkan seperti apa murkanya Anna dan
marahnya keluarga besar Pesantren Wangen padanya. Lalu
di mana rasa takwanya kepada Allah? Bukankah apa yang
dilakukannya itu satu bentuk penipuan paling menya-kitkan
ummat manusia? Nuraninya memintanya untuk bersikap
layaknya orang-orang shaleh yang memiliki jiwa ksatria.
Nurani-nya memintanya untuk membatalkan saja
pertunangan itu. Terserah alasannya yang penting tidak ada
yang dizalimi karena ulahnya. Namun nafsunya tidak
menerimanya. Ia sangat mencintai Anna. Ia merasa sangat
berat memutus begitu saja pertunangannya dengan Anna.
Apakah ia akan membuang begitu saja mutiara paling
berharga yang paling ia inginkan setelah ada dalam
genggamannya? Tidak! Furqan memutuskan untuk tetap
meneruskan langkah. Ia tak peduli lagi pada apa yang akan
menimpa-nya dan apa yang akan menimpa Anna. Ia juga
tidak peduli pada apa yang akan terjadi jika akhirnya Anna
dan keluarganya tahu apa yang disembunyikannya.
“Jika aku memutuskan pertunanganku dengan Anna,
siapakah yang lantas akan peduli pada nasibku? Biarlah aku
menentukan nasibku sendiri!" Tekadnya dalam hati dengan
mata berkaca-kaca. Saat ia meneguhkan tekadnya itu
nuraninya menjerit tidak rela. Ia teguhkan untuk tidak
mendengar jeritan-jeritan protes nuraninya. Ia berusaha
membutakan mata batinnya sendiri.
Tiba-tiba ia menangis sendiri. Ia teringat hari paling
celaka dalam hidupnya. Yaitu saat ia bangun dari tidurnya di
Meridien Hotel Cairo dan mendapati dirinya dalam keadaan
sangat memalukan. Lalu teror gambar-gambar dirinya
bersama Miss Italiana. Lalu periksa darah. Lalu di kantor
115
intelijen. Ia tahu Miss Italiana yang menghancurkan hidupnya
adalah seorang agen Mossad. Dan terakhir ia membaca hasil
laboratorium yang menyatakan ia positif mengidap HIV. Lalu
janjinya pada Kolonel Fuad untuk tidak menyebarkan virus
yang dideritanya.
Ia tidak percaya kenapa semua ini terjadi pada dirinya.
Kenapa? Apa ia pernah melakukan dosa besar sehingga
harus dihukum sedemikian beratnya? Dan kini ia merasa
dunia begitu sepi dan sunyi. Ia seperti sendirian. Tidak ada
tempat berbagi, tidak ada tempat melabuhkan nestapanya.
Berkali-kali ia ingin menceritakan apa yang dialaminya pada
ayah dan ibunya, tapi selalu ia urungkan. Ia tidak sampai hati
menghancurkan rasa bahagia yang kini sedang bermekaran
dalam dada mereka.
Furqan kembali menangis. Pada siapa ia harus
mengadu. Setiap malam ia terus bermunajat mengadu
kepada Allah, namun ia merasa belum juga mendapatkan
penyejuk nelangsa jiwanya. Tekanan batin yang terus
menderanya membuatnya ia selalu murung muka. Hanya
saat ia berada di rumah Anna dalam acara pertunangan
itulah mukanya tampak bercahaya. Begitu meninggalkan
pesantren Wangen mukanya kembali murung seperti
sebelum-sebelumnya.
Saat Furqan menyeka air matanya, hand phonenya
berdering. Satu sms masuk. Ia buka. Dari Abduh, teman satu
rumahnya di Cairo. Ia baca,
“Ass. Mas apa kabar? Ane kirim email. Dibaca ya.
Abduh." Furqan menghela nafas. Ia lalu bangkit mengambil
116
laptopnya. Sejurus kemudian ia sudah berlayar di dunia
internet. Ia buka inbox alamat emailnya. Benar, ada email
dari Abduh. Tidak hanya dari Abdul ada puluhan email
masuk yang belum ia baca. Ia membuka email Abduh
dengan perasaan tak menentu. Tidak seperti biasanya.
Biasanya ia selalu membuka email dengan perasaan
bahagia dan penasaran apa isinya. Sejak kejadian di
Meridien Hotel ia seperti tidak ingin berinteraksi dengan
siapa saja.
Abduh menulis,
“Mas Furqan, assalaamu'alaikum wr wb. Dari Cairo
kalau boleh aku ingin mengucapkan selamat kepada Mas atas
pertunangannya dengan Anna Althafunnisa. Kabar itu sudah
menyebar ke seantero Cairo. Dan Cairo sedang geger. Saya
yakin banyak hati yang patah karena orang yang didamba
sudah ditunang orang. Sekali lagi selamat ya Mas. Semoga
nanti sakinah, mawaddah wa rahmah. Amin. Salam dari
teman-teman."
Di bawah email Abduh, ada email singkat dari Eliana, putri
duta besar yang terus mengejar cintanya. Eliana menulis
singkat,

Aku dapat kabar dari Abduh, kamu sudah tunangan
dengan Anna. Selamat ya atas pertunangannya.
Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu cari
padanya. Eliana Alam."
Furqan kembali meneteskan air mata. Seharusnya ia
117
memang paling bahagia di antara mahasiswa Cairo. Ia sudah
selesai S2 dan siap menyunting gadis paling didamba oleh
mahasiswa Cairo. Email dari Abduh bukan menam-bah
dirinya bahagia, email itu justru semakin membuat pedih
hatinya. Ia tidak seperti yang disangka banyak orang.
Hatinya remuk redam, dan jiwanya telah hancur
beranta-kan. Berhari-hari ia merasa dirinya bagai mayat yang
berjalan.
“Fur!" Ia mendengar suara ibunya memanggil.
“Iya Bu." Jawabnya. Ia menghapus matanya yang
basah. Ia melihat cermin. Gurat wajahnya sama sekali tidak
ceria. Cepat-cepat ia ke kamar mandi membasuh muka.
Ia selalu berusaha tampak biasa di hadapan ibunya. Dan
tetap saja ibunya menganggapnya bermurung durja.
Setelah merasa wajahnya segar ia keluar dari kamarnya
yang mewah di lantai dua. Ia turun menemui ibunya. Ia
memang sangat mencintai ibunya.
“Ada apa Bu?" Tanya Furqan.
“Ibu tadi sudah ketemu Teh Vina, desainer busana
pengantin muslimah dari Bandung yang terkenal itu. Dia bisa
menyelesaikan gaun pengantin untuk calonmu.
Tinggal kamu pilih harga dan warnanya. Teh Vina minta
agar bisa segera mengukur calonmu itu. Menurutku agar
tidak merepotkan Anna. Ajak saja Teh Vina ke Solo besok.
118
Berangkat pagi pakai Garuda. Langsung ke Wangen biar
Teh Vina langsung bertemu Anna. Sore bisa kembali ke
Jakarta. Bagaimana menurutmu?" Bu Maylaf, ibunda Furqan
bicara dengan penuh semangat dan wajah berseri.
“Saya sepakat Bu!"
“Kalau begitu kamu telpon Anna dulu. Memastikan
besok dia di rumah dan tidak ke mana-mana. Jika sudah
pasti baru ibu akan telpon Teh Vina."
“Sekarang Bu?"
"Iya. Kapan lagi?"
“Baik Bu." Furqan lalu kembali ke kamarnya mengambil
hand phonenya
. Nomor Anna sudah tersimpan dan disetting
pada urutan pertama dalam hand phonenya. la langsung
menelpon tunangannya itu dari kamarnya. Saat men-dengar
suara Anna di seberang sana, hatinya bergetar hebat. Nyaris
ia tidak bisa bicara dengan baik. Dengan agak gagap ia
menyampaikan apa yang diinginkan oleh ibunya.
Anna mengiyakan dan akan menunggu di rumahnya.
Furqan tersenyum. Ada sebersit bahagia menyusup
dalam hatinya. Ia semakin menekadkan hatinya untuk tetap
maju.
“Yang penting maju dan mendapatkan Anna. Urusan
lainnya belakangan. Aku juga berhak merasakan bahagia."
Gumamnya pada diri sendiri.
* * *
119
“Siapa yang telpon Nduk?" Tanya Bu Nyai Nur pada
putrinya.
“Furqan, Mi." Jawab Anna dengan wajah tersipu.
“Ada apa dia nelpon Nduk? Apa dia sudah kangen sama
kamu?"
“Ya tidak tahu Mi. Dia tadi nelpon memberitahukan
bahwa dia dan ibunya besok mau datang ke sini."
“Ke sini lagi? Untuk apa?"
“Ibunya membawa desainer busana pengantin muslimah
dari Bandung. Desainer itu yang akan membuat gaun
pengantin Anna. Besok datang untuk mengukur Anna."
“O begitu. Itu desainer terkenal ya Nduk?"
“Mungkin Bu. Anna kan tidak tahu dunia seperti itu."
“Iya orang-orang kota itu kalau nikah kok ada saja yang
disiapkan. Ya inilah, ya itulah. Ummi dulu waktu nikah sama
Abahmu kok ya biasa saja. Akad di masjid. Ayahmu pakai
sarung baru dan baju putih baru. Juga peci baru. Itu saja. Ibu
yang baru malah Cuma kerudungnya. Tapi kalau sekarang,
harus membuat gaun pengantin khusus."
“Ummi inginnya aku seperti Ummi?"
“Sebenarnya iya, pakaian sederhana saja.
Tapi bagaimana dengan mertuamu nanti. Pasti tidak setuju.
120
Dia kan konglomerat ibu kota. Ya ikuti saja keinginan
mereka, asal baik. Itu saja."
Belum apa-apa Anna sudah menemukan cara pandang
yang berbeda antara ibunya dengan ibu Maylaf, calon
mertuanya.
“Tapi ada satu hal yang harus kamu pertahankan mati-
matian lho Nduk!" Ibunya kembali bicara padanya.
Nadanya tegas.
“Apa itu Mi?"
“Kau jangan pernah mau jika diminta tinggal di Jakarta
hidup bersama mereka! Ingat baik-baik ya!"
“Jangan khawatir Mi. Kan perjanjian waktu tunangan
kemarin memang Anna tidak tinggal di Jakarta setelah
menikah nanti. Tapi Anna akan tetap di sini. Furqan tinggal
di sini untuk ikut mengajar di pesantren. Itu sudah jadi syarat
yang harus Furqan penuhi. Jangan khawatir Mi!"
“Ummi khawatir suamimu nanti berubah pikiran.
Kalau kamu dibawa ke Jakarta sana, lalu siapa yang
akan meneruskan pesantren itu. Kakakmu sudah menetap di
Magelang. Tinggal kamu satu-satunya andalan Abahmu."

Insya Allah
Mi, Anna akan hidup terus bersama Abah
dan Ummi di sini."
“Sungguh?"
121

Insya Allah,
Mi."
“Alhamdulillah. Ummi pegang janjimu. Oh ya Ummi
mau tanya lagi, apa kamu benar-benar sudah mantap
memilih Furqan?"
"Ih Ummi ini tanya itu lagi! Kenapa sih Mi?"
“Entah, Ummi juga bingung sendiri. Ada sesuatu dalam
hati Ummi. Apa ini sebuah firasat. Ah, Ummi tidak tahu itu
apa."
“Sudahlah Mi. Anna sudah mantap. Anna harus
bagaimana lagi Mi? Ummi jangan membuat Anna jadi ragu-
ragu."
“Iya Nduk. Maafkan Ummi ya."
“Ummi harus yakin bahwa Allah tidak akan mene-
lantarkan Anna. Bahwa Allah memberikan pendamping
hidup yang terbaik buat Anna. Ummi harus yakin itu.
Sebab Allah itu mengabulkan prasangka hamba-Nya
kepada-Nya. Anna minta, Ummi berprasangka yang baik-
baik saja."
“Iya Nduk."
122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar