Minggu, 14 Juni 2009

Senandung Gerimis

telah punya prasangka yang kurang baik pada Pak Kiai. Kalau
begini, ya memang kesalahan ada pada Furqan. Kami kira apa
yang terakhir disampaikan Furqan cukup bijak. Jalan terbaik
memang ya cerai. Biar tidak ada kezaliman. Semoga ini
adalah perceraian yang menjadi obat bersama.”
”Amin.”
Malam itu akhirnya tercapai kesepakatan secara damai.
Pengajuan masalah ke pengadilan agama akan dipercepat.
Saat sidang agar tidak berlarut-larut orang tua Furqan dan
orang tua Anna akan ikut bicara dan jadi saksi. Malam itu juga
disepakati untuk tetap menjalin tali persaudaraan. Ketika Bu
Maylaf pamit, Anna mencium tangan ibu Furqan itu. Dengan
linangan air mata Bu Maylaf berkata pada Anna,
“Anakku maafkan Furqan ya, maafkan kami yang
mungkin telah menyakitimu.”
”Sama-sama Bu.” Jawab Anna dengan hati terenyuh.
410
24
Senandung Gerimis
Jarum jam terasa begitu lama berputar. Detik-detik
berjalan terasa begitu berat. Matahari terasa lambat berjalan.
Dan malah terasa sangat panjang. Azzam merasa menunggu
empat hari lagi bagaikan menunggu empat tahun lamanya.
Ya, empat hari lagi Azzam menikah. Semua persiapan
telah matang. Berkali-kali ia latihan menjawab akad nikah
dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih.
“Malu kalau lulusan Mesir menjawab akad nikah tidak
fasih.” Pikirnya. Ia sudah membayangkan hari bahagianya itu.
Ia membayangkan selesai akad nikah akan menggandeng
tangan Vivi dengan penuh kasih sayang. Dan malamnya ia
akan tidur dengan sangat nyaman di samping seorang isteri
yang penyayang.
Pagi itu gerimis turun. Azzam membayangkan jika Vivi
sudah jadi isterinya, alangkah indahnya duduk berduaan
berpelukan sambil menikmati gerimis yang turun. Dan saat
hujan turun dengan lebatnya ia akan mengajak isterinya
masuk kamar untuk bercengkerama dan merasakan
kehangatan.
Astaghfirullahl Azzam membuang jauh pikirannya
yang bukan-
bukan. Dalam hati ia menghardik dirinya sendiri,
“Kamu itu yang sabar tho Zam, tinggal empat hari lagi,
sabar!”
411
Gerimis tipis turun perlahan. Hati Azzam tak bisa diajak
tenang. Ingin rasanya ia terbang ke Kudus, dan minta kepada
ayah Vivi agar akad nikah diajukan sekarang. Biar ia bersama
Vivi bisa menikmati gerimis pagi yang turun perlahan. Entah
ada ilham datang dari mana. Hatinya menulis sebuah puisi:
gerimis turun perlahan
wajah kekasih membayang
dalam
daun-daun yang basah
diriku resah
menanti pertemuan
yang
tenang
cinta kasih dan sayang
Tuhan
tolong damaikan
hatiku
yang gamang
Benar kata banyak orang, jika orang jatuh cinta akan
mampu menulis syair beratus-ratus bait jumlahnya. Hati
Azzam masih ingin mendendangkan puisi lagi. Namun,
”Zam ternyata masih ada yang terlupakan.” Suara ibunya
membuyarkan lamunannya. Ia tergagap. Bu Nafis berdiri di
samping kanannya sambil mengusap-usap rambutnya.
“Nanti rambutmu ini dipotong dulu ya biar rapi.” Kata Bu
Nafis lagi.
“Iya Bu, rencana nanti sore Azzam mau potong di pojok
Pasar Kartasura. Apa sih yang terlupakan Bu?”
“Nanti itu di hari walimahnya Husna yang juga sekaligus
syukuran pernikahanmu rencananya kan ada pengajian
singkatnya. Lha kita belum minta siapa pembicaranya.
Enaknya siapa ya Zam?”
”Siapa ya Bu? Apa Pak Mahbub saja?”
”Ya jangan Pak Mahbub lah Zam. Dia kan sudah ibu
minta yang bicara mewakili keluarga, masak dia juga yang
mengisi pengajian. Cari yang lainnya, yang kalau bicara enak
412
didengarkan banyak orang dan berbobot isinya gitu lho Zam.”
Azzam berpikir sejenak. Wajahnya tiba-tiba cerah.
”Bagaimana kalau Pak Kiai Lutfi Hakim Bu, Pengasuh
Pesantren Wangen?”
”Lha itu boleh Zam. Kalau begitu ayo kita ke tempat beliau
sekarang.”
”Sekarang Bu?”
”Iya. Mau kapan lagi. Acaranya seminggu lagi. Acaramu di
Kudus empat hari lagi. Sudah tidak ada waktu ayo kita
berangkat sekarang.” Bu Nafis ngotot.
Husna yang mendengar pembicaraan itu dari dapur
berseloroh,
”Mbok nanti sore saja tho Bu, kan sedang gerimis.
Mobilnya Mas Azzam sedang dipinjam Kang Paimo mengantar
ibunya ke rumah sakit.”
”Nanti sore ibu ke Kartasura, memastikan baju Bue sudah
jadi atau belum. Sudah sekarang saja mumpung Bue sedang
luang. Ya kalau tidak ada mobil pakai sepeda motor. Gerimis
toh cuma air. Bisa pakai jas hujan tho.”
”Nanti Bue sakit kalau kehujanan.” Lanjut Husna.
”Biar saya saja yang ke tempat Kiai Lutfi Bu.” Sambung
Azzam.
”Bue harus ikut. Bue yang akan minta langsung pada Kiai
413
Lutfi, jadi lebih menghormati beliau. Seperti ini tugas orang
tua. Insya Allah Bue sehat.”
”Atau nunggu Kang Paimo, paling tidak lama Bu,”
”Ah kamu ini Zam bantah Bue saja. Sudah sekarang siap-
siap kita berangkat. Ya kalau Paimo langsung pulang, kalau
dia mampir- mampir kesana-kemari nanti malah kelamaan
nunggu. Ayo Zam cepat!”
”Bue ini ada apa tho kok tidak sabaran sih.” Seloroh
Azzam
”Sudah, cepat salin kita berangkat!” Hardik Bu Nafis
* * *
Dengan berat hati Azzam harus menuruti keinginan
ibunya. Ia ganti pakaian dan siap berangkat. Sebelum
berangkat Bu Nafis minta dibuatkan teh hangat.
”Bue ini aneh-aneh saja, kenapa tidak tadi-tadi tho. Nanti
di tempatnya Pak Kiai Lutfi kan pasti dikasih minuman.” Ujar
Husna sambil membawa teh hangat.
”Teh buatanmu lain rasanya Na. Enak. Ibu ingin
meminumnya barangkali untuk kali terakhir.” Sahut Bu Nafis.
“Terakhir bagaimana?” Tanya Husna santai.
“Ya terakhir sebelum kamu menikah. Besok kamu kan
sudah sibuk ngurusi suamimu.”
”Kalau Bue mau, Husna bisa tinggal menemani Bue
414
sampai tua.”
”Ah Bue sudah tua kok Nak. Ya yang penting kamu nanti
jadilah isteri yang baik.”
Bu Nafis lalu minum teh hangat buatan putri tercintanya
itu.
”Enak sekali Na. Kalau entah kapan nanti ibu tiada,
jagalah kakak dan adikmu ya Na.” Pesan Bu Nafis. Azzam
yang mendengar langsung menyahut,
”Aku, insya Allah yang akan menjaga Husna dan adik-
adik”
“Iya, iya, ibu tahu, ibu lupa kamu yang mbarep. Ayo kita
berangkat Zam.”
”Ayo.”
Dengan mengendarai sepeda motor Husna yang sudah
tua, Azzam memboncengkan ibunya menerobos gerimis pagi.
Sampai di jalan raya Azzam menambah kecepatan.
”Pelan-pelan saja Nak.”
”Ini pelan Bu. Motornya Husna tidak bisa dibuat cepat.”
”Hati-hati yang penting sampai dan selamat.”
“Iya Bu.” Azzam terus memacu kendaraan tua itu. Sampai
di Pasar Tegalgondo ia belok kanan. Lalu terus lurus ke barat.
Sampai di pertigaan Polanharjo belok kiri. Akhirnya tiba di
halaman rumah Anna.
415
Saat itu Anna sedang membaca buku Dhawabithul
Mashlahah yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al
Buthi. Anna terhenyak melihat Azzam dan ibunya datang.
Entah kenapa hatinya bergetar. Ia langsung membungkam
suara hatinya dengan mengatakan,
“Dia sudah mau menikah dengan seorang dokter dari
Kudus. kamu sudah terima undangannya kan?” Anna bangkit
menyambut ke beranda.
“Aduh Ibu, kok hujan-hujanan sih. Kenapa tidak
menunggu nanti kalau sudah reda saja?” Kata Anna halus.
“Iya, ibu ini kalau sudah ada kemauan badai saja
diterjangnya. Gunung saja mungkin bisa dipindahkannya.”
Sahut Azzam sebelum ibunya bicara.
”Iya benar Bue memang begitu sejak dulu. Lha sifat itu
kan bagus. Sifat ini yang menurun pada dirimu Zam, hingga
kamu sampai ke Mesir.” Ujar ibunya sambil tersenyum pada
Azzam. Mendengarnya Anna tersenyum.
”Nduk, Abahmu ada?” Tanya Bu Nafis pada Anna.
”Oh ya ada, masih di masjid Bu. Ibu sama Mas Azzam
masuk dulu saja. Anna akan panggilkan Abah. Ayo silakan!”
Bu Nafis sama Azzam langsung masuk. Begitu duduk Bu
Nafis langsung berkata pada Azzam,
“Kok ada ya perempuan yang jelita dan halusnya kayak
Anna. Andai saja...”
416
”Menantu ibu, Si Vivi, insya Allah juga halus, bahkan nanti
akan Azzam buat lebih halus dari Anna.” Azzam memotong
perkataan ibunya.
“Ya semoga. Tapi ibu itu kenapa tidak tahu. Ketemu Anna
ini kok rasanya kayak ketemu sama anak sendiri.”
“Ya karena Anna sudah akrab sama Husna saja kali Bu.”
“Mungkin.”
Terdengar langkah kaki melepas sandal. Ternyata Kiai
Lutfi. Anna mengikut di belakang
”A
ssalamu’alaikum,” Sapa Kiai Lutfi.
”W
a’alaikumussalam.” Jawab Azzam dan Bu Nafis hampir
bersamaan.
”Sudah lama Zam?” Tanya Kiai Lutfi seraya duduk. Anna
lurus ke dalam.
”Baru saja sampai Pak Kiai.”
”Ibu apa kabarnya?” Tanya Pak Kiai pada Bu Nafis.
”A
lhamdulillah baik Pak Kiai.”
”Senang ya Bu, punya anak seperti Azzam ini. Pinter dan
ulet!”
”Ah Pak Kiai ini bisa saja. Saya justru ingin punya anak
seperti Anna. Halus budi bahasanya.”
”Kalau begitu bawa saja Anna Bu, diadopsi saja dia, biar
tinggal di rumah ibu, biar latihan bikin bakso he... he... he...”
”Wah boleh Pak Kiai he... he... he... Pak Kiai ini bisa juga
417
bercanda.”
Dari ruang tengah Anna mendengar canda Abah dan
ibunya Azzam dengan hati berdesir tapi geli. Orang-orang tua
kalau bercanda kadang memang bisa benar-benar lucu.
“Ibu sama Azzam ini kok hujan-hujan kemari, ada
keperluan apa, kok kayaknya penting?”
”Iya Pak Kiai, ini begini, alhamdulillah anak saya ini,
Azzam, insya
Allah
mau menikah empat hari lagi.”
”Ya, saya sudah tahu, saya baca undangannya.”
”Terus adiknya yang si Husna itu juga mau menikah,
dengan Ilyas, santri Pak Kiai.”
”Iya saya juga sudah tahu.”
”Azzam menikah di Kudus, tapi nanti akan mengadakan
syukuran di Kartasura. Lha syukurannya Azzam ini
dibarengkan dengan acara
walimatul ursynya Husna.
Rencananya di acara itu akan kami isi
dengan pengajian
singkat. Kami mohon Pak Kiai yang memberi
mau’idhah
hasanahnya.” Terang Bu Nafis,
Mendengar permintaan Bu Nafis, Kiai Lutfi langsung
menunduk. Ia malu. Pernikahan putrinya gagal, tapi ia harus
memberikan
mau’idhah pada orang lain. Dengan ber at hati
Pak Kiai Lutfi
menjawab,
”Saya merasa tidak layak Bu, maaf.”
”Kami mohon Pak Kiai, sampai hujan-hujan saya kemari,
418
mohon.” Desak Bu Nafis.
Mata Pak Kiai berkaca-kaca,
”Apa pantas Bu, orang yang pernikahan putrinya saja
gagal kok memberi mau’idhah pernikahan pada orang lain.
“Itu namanya
kabura maqtan ’indallah”
Kata-kata Pak
Kiai Lutfi membuat Azzam kaget. Bu Nafis belum paham
maksudnya. Anna di dalam langsung menangis tertahan.
“Saya tidak paham maksud Pak Kiai.”
”Putri saya cerai dengan Furqan Bu. Baru kemarin,
Sekarang dalam proses sidang. Memang bukan salah Anna.
Yang salah saya. Seharusnya sayalah yang memilihkan jodoh
buat dia. Saya pilihkan orang yang saya mantap ternyata saya
salah. Saya juga tidak menyalahkan Furqan. Tidak! Yang
salah adalah saya, yang waktu itu kurang tegas. Kalau saya
tegas mungkin putriku sudah mau punya anak dan bahagia.
Apa pantas orang seperti saya yang masih harus banyak
belajar ini meskipun dipanggil Kiai untuk memberikan nasihat
perkawinan. Jangan paksa saya Bu! Saya malu pada Allah
juga pada diri sendiri.” Jelas Pak Kiai dengan air mata meleleh.
Azzam jadi tersentuh. Ia tak tahu apa yang terjadi. Tapi ia
tak mau berprasangka apa pun baik pada Anna maupun pada
Furqan. Di ruang tengah Anna tidak kuat untuk menahan
tangisnya. Ia bergegas ke kamar mandi, menyalakan kran dan
menangis tersedu-sedu. Ayahnya sedemikian besar jiwanya,
dia malah menyalahkan dirinya sendiri bukan orang lain.
Dalam hati Anna berjanji, untuk mencari suami lagi ia
akan serahkan semuanya pada ayahnya. Ia akan tutup mata.
419
Siapa pun yang dibawa ayahnya akan ia terima dengan hati
terbuka. Tanpa ia pinta pikirannya berkelebat ke Ilyas. Ah
andai dia yang dulu dia pilih. Ilyas adalah murid ayahnya, dan
agaknya ayahnya lebih condong ke Ilyas daripada Furqan. Ah!
Sekarang Ilyas mau menikah dengan Husna. Rezeki orang
memang sudah ada jatahnya.
Melihat lelehan air mata Pak Kiai Lutfi, Bu Nafis terenyuh,
tak berani lagi memaksa. Dengan suara lirih, Bu Nafis berkata,
“Kami tidak bisa memaksa Pak Kiai. Kalau boleh tanya
siapa kira- kira yang sebaiknya kami pinta untuk mengisi
pengajian itu menurut Pak Kiai?”
”Coba saja Kiai Kamal Delanggu. Kalau sampai pasar
langgu tanya saja sama orang-orang di sana pasti tahu. Nanti
kalau sampai sana bilang yang minta Kiai Lutfi. Dia dulu santri
di sini juga.”
”I
nsya Allah
kami ke sana segera.”
Di luar gerimis masih turun. Langit suram. Beberapa kali
suara guruh bergemuruh. Anna masih di kamar mandi. Ia
harus membuatkan minuman. Ia menyeka mukanya dengan
sedikit air, lalu mengusapnya dengan handuk. Ia ke dapur
membuat teh hangat. Lalu mengeluarkan ke ruang tamu.
Azzam menunduk sama sekali tidak memandang ke wajah
atau ke jari-jari Anna seperti yang pernah ia lakukan dulu.
Pikirannya sepenuhnya untuk Vivi, putri Kiai Lutfi itu sudah
tidak ada dalam pikirannya sama sekali.
Setelah minum teh itu Azzam dan Bu Nafis mohon diri.
Gerimis masih turun dari langit. Bu Nafis memakai jas hujan.
Azzam mengelap air yang membasahi jok motor.
420
”Apa tidak ditunggu nanti saja jika sudah benar-benar
tidak ada gerimis?” Ujar Pak Kiai.
”Kalau gerimis seperti ini biasanya sampai sore, Pak Kiai.”
Jawab Azzam.
”Atau ibumu biar diantar Anna pakai mobil ke rumahmu.
Dan kamu saja yang ke rumah Kiai Kamal.” Usul Pak Kiai.
”Ah tidak usah Pak Kiai. Saya juga ingin silaturrahmi ke
sana. Delanggu itu tidak jauh kok.” Bu Nafis menukas.
“Iya monggo kalau begitu.”
Azzam menyalakan mesin. Ibunya membonceng ke
belakang. Keduanya rapat dalam balutan jas hujan. Setelah
mengucapkan salam keduanya meninggalkan pesantren dan
meluncur ke Delanggu.
Azzam mengendarai motor tua itu dengan tenang. Motor
itu melewati jalan raya Solo-Jogja. Bergerak lima puluh
kilometer perjam ke selatan. Ke Delanggu. Azzam berjalan di
pinggir. Karena bus dan truk melaju dengan sangat kencang.
Jalan itu bukan jalan tol tapi mirip jalan tol.
Gerimis masih turun. Alam basah dan muram. Azzam
mengendarai motor tua itu dengan tenang. Hatinya bahagia
bisa memboncengkan ibunya dengan penuh cinta. Tiba-tiba
entah dari mana datangnya hatinya seperti mendendangkan
sebuah sajak cinta untuk ibunya:
Ibu,
aku mencintaimu
seperti laut
mencintai airnya
tak
mau kurang
selamanya..
421
Sepeda motor Azzam melaju tenang di pinggir jalan.
Sawah menghijau di kiri jalan, dan pohon-pohon menghitam
di kejauhan. Azzam melaju tenang di pinggir jalan. Ia
beriringan dengan mobil
pick up hitam yang membawa buah
pisang. Azzam begitu mencintai
ibunya. Hatinya ingin
mendendangkan puisi lagi. Namun, tiba tiba dari arah
belakang sebuah bus berkecepatan tinggi hendak menyalip
mobil pick up. Bus itu membunyikan klakson dengan keras.
Azzam minggir sampai di batas akhir aspal. Bus tetap melaju
dengan kecepatan tinggi Motor yang dikendarai Azzam.
Dan...
Duar!!!
Bemper bus bagian depan menghantam motor yang
dikendarai Azzam.
”Allah!!” Jerit Azzam spontan.
la terpelanting seketika beberapa meter ke depan. Dan
langsung pingsan. Bu Nafis terpelanting lebih jauh dari Azzam.
Helm Bu Nafis lepas sebelum kepalanya dengan keras
membentur aspal. Darah mengucur dari dua tubuh lemah tak
berdaya itu. Darah itu mengalir di aspal bersama air hujan.
Bus berkecepatan tinggi itu lari dan langsung dikejar oleh pick
up hitam.
Gerimis turun semakin deras, ketika tubuh Azzam dan
ibunya ditolong banyak orang. Seorang bapak setengah baya
yang kebetulan lewat dengan membawa mobil Kijang
dihentikan. Dengan Kijang itu Azzam dan ibunya dilarikan ke
rumah sakit terdekat. Darah mengucur semakin deras
mengiringi gerimis yang semakin deras.
422

Tidak ada komentar:

Posting Komentar