Minggu, 14 Juni 2009

Tangis Dua Sahabat

tentang cinta, moderator membuka termin kedua.
Ashar masih dua puluh menit lagi. Anna Althafunnisa
menyentuh bahu Husna. Spontan Husna mencondong-kan
wajahnya ke arah Anna.
“Maaf Mbak Husna, saya tidak bisa mengikuti sampai
acara. Saya harus minta diri sebab ada janji. Sekali lagi saya
mohon maaf sebenarnya saya ingin berbincang-bincang
dengan Mbak Husna panjang lebar. Insya Allah saya janji
akan berkunjung ke rumah Mbak Husna. Tolong alamatnya
di tinggal saja di panitia. Mohon maaf jika saya dirasa kurang
pantas mendampingi Mbak Husna.
84
Sebenarnya yang mendampingi seharusnya Ibu Nila
Kumalasari, M.Ed. Dosen Fakultas Tarbiah STAIN, tapi
mendadak beliau ada halangan. Saya dipaksa untuk
menggantikannya." Pamit Anna pada Husna setengah
berbisik.
"Aduh saya berterima sekali Mbak Bintun. Agaknya saya
harus banyak belajar sama Mbak. Puisi Mbak tentang cinta
luar biasa. Benar ya kapan-kapan main ke rumah." Jawab
Husna.

Insya Allah." Jawab Anna. Lalu beranjak meninggal-
kan
aula. Husna sama sekali tidak tahu identitas gadis jelita yang
mendampinginya itu. la hanya itu dia adalah seorang guru
yang mengajar bahasa Arab di pesantren. Namanya Bintun
Nahl. Dalam hati Husna berkala,
“Jika nanti Mas Azzam pulang dan ternyata Mbak Bintun
Nahl tadi belum bersuami dan tidak ada yang punya, bisa
jadi kakak ipar saya. Orangnya cantik dan kelihatan cerdas."
Termin kedua tak kalah serunya dengan termin pertama.
Karena para santri mengetahui Anna juga seorang psikolog,
banyak juga yang bertanya tentang permasa-lahan-
permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari.
“Mbak Husna yang saya hormati. Saya punya satu
pertanyaan, maaf kalau keluar dari tema diskusi kali ini.
Saya ini sering sakit hati karena marah pada teman.
Sering marah pada orang lain yang berbuat salah pada saya.
Meskipun dia telah minta maaf tetapi hati saya sering
85
masih sakit. Ini kenapa ya Mbak? Apa yang harus saya
lakukan." Tanya seorang santri lelaki bernama Toni yang
masih kelas dua Madrasah Aliyah.
Dengan tenang Husna menjawab pertanyaan itu,
“Dik Toni, yang perlu kamu lakukan adalah membuka
pintu maafmu yang setulus-tulusnya pada orang yang
menyakitimu. Jika kamu masih merasa sakit hati padahal dia
sudah minta maaf maka itu berarti kamu belum benar-benar
memaafkannya. Salah satu ciri kita telah tulus memaafkan
orang lain adalah jika kita tidak lagi terbelenggu oleh rasa
sakit hati kita karena perbuatan orang lain itu. Memberi maaf
itu Dik mampu membuka belenggu-belenggu sakit hati.
Mampu menyingkirkan kebencian. Dan memaafkan adalah
kekuatan yang
sanggup menghancurkan rasa mementingkan diri sendiri!
Dan ingat Dik, ketika kamu memberi maaf itu tidak berarti
kamu lebih rendah atau kalah. Justru ketika kamu bisa
memberi maaf kamu telah menang dan kedudukanmu lebih
terhormat dibandingkan orang yang kamu beri maaf!" Acara
bedah kumpulan cerpen itu selesai tepat saat azan ashar
dikumandangkan. Husna, Zumrah dan Siti diajak panitia ke
kantor pengurus pesantren. Para santri bubar untuk bersiap
shalat ashar.
“Silakan masuk Mbak Husna. Mbak wudhu saja di
kamar mandi yang ada di dalam kantor supaya tidak
berebutan dengan santriwati. Setelah ashar nanti ke sini lagi.
Anak-anak banyak yang ingin foto bersama dan minta tanda
tangan." Kata Nafisah pada Husna. Husna mengikuti saja
apa yang diminta panitia. Ia, Zumrah dan Siti masuk kantor.
Ia dan Siti lalu mengambil air wudhu. Sementara Zumrah
86
hanya duduk di sofa.
“Mbak Zumrah sedang tidak shalat ya? Sedang datang
bulan?" Tanya Nafisah.
Zumrah hanya menganggukkan kepala.
Ketika iqamat dikumandangkan, Husna diiringi Siti dan
Nafisah melangkahkan kaki ke masjid. Di depan pintu masjid
tiga orang santriwati yang bertemu Husna langsung
menyalami dan mencium tangan Husna. Husna jadi salah
tingkah. Husna ketinggalan satu rakaat.
Selesai ashar, Husna disibukkan meladeni para
santriwati yang ingin berfoto bersama. Lalu ia sibuk
menandatangani ratusan buku kumpulan cerpennya milik
para penggemarnya. Di tengah-tengah kesibukannya
menandatangani kumpulan cerpen itu ia bertanya pada
Nafisah,
“Dik Nafisah, saya pernah dengar Pak Kiai Lutfi punya
anak perempuan yang kuliah di Mesir ya. Apa dia masih
kuliah di sana?"
Nafisah agak terkesiap mendengar pertanyaan itu. la jadi
merasa berdosa pada Husna, karena tidak menjelaskan siapa
sebenarnya Bintun Nahl. Tapi seperti itulah permintaan
Anna. Untuk menjawab pertanyaan Husna, Nafisah tidak
berani berbohong.
“Tadi itu putri Pak Kiai Mbak?" Jawab Nafisah.
“Yang jadi pembanding tadi?"
87
“Iya."

Masya Allah. Kenapa kamu tidak mengenalkannya
kepadaku sebagai putrinya Pak Kiai?"
“Maafkan kami Mbak. Kami inginnya mengenalkan
begitu. Tapi putri Pak Kiai tidak mau. Dia malah minta
dikenalkan dengan nama pena yaitu Bintun Nahl." Nafisah
merasa sangat bersalah.
“O begitu. Ya nggak apa-apa. Siapa nama dia sebenar-
nya?"
“Kami memanggilnya Neng Anna. Lengkapnya Anna
Althafunnisa. Maafkan kami ya Mbak."
“Santai saja. Ini masalah kecil. Kalian tidak salah.
Hanya nanti sampaikan pada Neng Anna, dia berjanji
mau main ke rumah saya. Saya tunggu janjinya. Jika tidak
dia tepati dia munafik gitu ya."
“Iya." Husna terus menandatangani buku-buku itu.
“Na, gimana rasanya memiliki banyak fans?" Tanya Siti
menggoda.
“Kamu pengin ya Ti? Makanya nulis!" Jawab Husna
santai.

Mumet
aku kalau disuruh nulis Na. Mending nanam
9
9
88
padi di sawah!" Tukas Siti.
"Aku kalau diminta menanam padi di sawah malah
mumet
, Mending nulis." Balik Husna sambil terus mengambil
buku, membukanya dan menandatanganinya.
Zumrah tidak bisa menahan diri.
“Kalau aku diminta nulis atau diminta menanam padi
mumet semua!"
Nafisah hanya tersenyum saja mendengar
percakapan tidak perempuan yang menjadi tamunya itu.
* * *
Sayup-sayup Husna mendengar lantunan bait-bait syair
yang dilantunkan bersama-sama dari gedung yang ada di
belakang kantor pengurus pesantren putri,
Alhamdulillahi al-
ladzi qad waffaqa Lil 'ilmi khaira khalqihi wa littuqa Hatta
nahat qulubuhum li nahwihi

Itu bunyi syair apa Dik?" Tanya Husna pada Nafisah.
“Itu syair nadham 'Imrithi Mbak." Jawab Nafisah.
“Isi syair itu apa Dik?"
“Syair-syair itu memuat kaidah-kaidah kunci tata bahasa
Arab. Nadham Imrithi itu nama sebuah kitab berisi ilmu
nahwu Mbak. Ilmu nahwu itu ya ilmu tata bahasa Arab."
“O, begitu."
89
“Ini Mbak masih tiga." Nafisah menyodorkan tiga buku
yang langsung ditandatangani Husna satu persatu.

Alhamdulillah sudah selesai." Husna mengambil
nafas
lega.
“Kalau begitu aku bisa bicara Na?" Tanya Zumrah
dengan suaranya yang serak-serak basah. Sejak tadi Zumrah
memang diam saja. la merasa hari mulai sore dan dia harus
bicara dengan teman kecilnya itu.
Husna jadi teringat kenapa Zumrah sampai ikut
dengannya ke pesantren itu. Bahkan sampai mengganti
pakaiannya yang mengumbar aurat dengan gamis dan jilbab
yang menutup aurat.
“Oh iya Zum. Maaf ya. Kita bisa bicara sekarang."
“Tapi aku ingin hanya berdua." Husna lalu minta ijin
pada Nafisah untuk mengguna-kan kamar pengurus itu
hanya untuk dia dan Zumrah saja. Sementara Siti pamitan
minta diri,
“Terus menulis ya Na. Aku tunggu karya berikutnya.
Jangan pernah lupa aku pembaca setia karya-karyamu.
Aku adalah pecinta sastra meskipun aku seorang petani yang
kerjanya setiap hari belepotan lumpur di sawah."
“Iya. Terima kasih Ti ya. Salam buat ibu. Kalau pas
kamu ke Kartasura atau ke Solo mampir. Nanti aku bikinin
nasi goreng babat pete kesukaanmu. Okay?"
90
“Beres." Maka tinggallah mereka berdua; Husna dan
Zumrah di kamar pengurus itu. Zumrah mengambil nafas lalu
bicara.
“Aku dalam masalah serius Na. Aku tak tahu lagi harus
bagaimana?"
“Masalah apa itu?"
“Aku sedang hamil Na?"
“Apa!?... Hamil!?"
“Ya, Na."
“Yang benar Zum!?"
“Benar Na. Aku sedang tidak bergurau."
“Kau sudah menikah?" Zumrah menggelengkan kepala.
“Jadi!?" Husna kaget bukan kepalang. Berarti berita
yang tersebar di dukuh Sraten benar.
“Ya. Aku telah berzina Na. Aku perempuan kotor Na!"
“Tapi kamu tahu siapa ayahnya!?"
Zumrah kembali menggelengkan kepala sambil berkata lirih,
“Aku tak tahu persis Na. Aku perempuan kotor." Lalu
tangis Zumrah pecah. Perempuan itu menutup kedua
mukanya.
91
“Kau hamil karena diperkosa?"
“Tidak Na. Aku tidak diperkosa Na. Sudah kukata-kan
aku ini perempuan kotor Na. Penuh borok dan dosa.
Aku ini perempuan yang buta mata dan buta hati
sampai mana ayah janin yang ada di perutku ini pun aku
tidak tahu. Aku harus bagaimana Na?"
“Aku tidak tahu Zum. Tapi kenapa kamu lakukan ini
semua Zum? Kenapa kamu tidak menikah secara baik-baik
saja?" Tanya Husna sambil menahan perih dalam hatinya.
“Itulah yang ingin aku lakukan Na. Tapi ayahku
menghalanginya. Aku frustasi akhirnya kuhancurkan diriku
sendiri!"
“Aku tak paham maksudmu. kamu harus mencerita-kan
dengan detil dan jujur, Zum. Baru kita akan cari jalan
keluarnya."
“Terima kasih Na. kamulah temanku yang selalu bisa
kuajak bicara. Aku tidak kuat lagi menanggung ini !"
“Sudah ceritakanlah dengan cepat, jujur dan jelas. Kita
tidak punya banyak waktu di sini."
“Baik Na. Dulu entah kamu masih ingat atau tidak, aku
pernah cerita kepadamu sebenarnya aku ingin selalu di
rumah. Di dukuh Sraten. Bersama kedua orang tua. Tapi
lulus SD aku dititipkan Budeku di Ungaran. Karena saat itu
ibuku sedang ribet-ribetnya ngurus anak. Dan ekonomi
92
keluarga sedang susah-susahnya. Aku manut sama orang
tua.
Aku tinggal tidak kurang suatu apa pun di rumah Bude
selain kasih sayang dan perhatian. Budeku dan Pakdeku
itu dua-duanya bisnismen. Jarang di rumah. Sebenarnya
pembantu Bude baik padaku. Tapi yang jadi sumber petaka
dan masalah adalah anak Bude. Hal ini belum pernah aku
ceritakan siapa pun sebelumnya.
Aku pernah cerita anak Budeku sangat bebas per-
gaulannya. Pernah ditangkap polisi karena obat-obatan di
Kopeng. Anak Budeku inilah sebenarnya yang merusak
hidupku. Dia umurnya lebih tua tiga tahun di atasku. Saat
aku kelas dua SMP berarti dia kelas dua SMA, dia
mengagahiku. Di rumahnya. Ketika tidak ada siapa-siapa."

Innalillah!" Husna tersentak kaget.
Zumrah lalu menangis tersedu-sedu.
“Na saat itu aku tak punya tempat untuk mengadu.
Aku tak berani mengadu pada Pakde dan Bude. Juga
tak berani mengadu pada ayah dan ibuku. Aku takut
pengaduanku membuat ayah dan ibu akan bertengkar
dengan Pakde dan Bude. Aku diam saja. Aku hanya bilang
sama ayah bahwa aku ingin pulang saja kembali ke rumah.
Tapi ayah tetap memaksa agar aku kembali ke rumah
Bude.
Ayah ingin aku menyenangkan Bude karena Bude
93
sedang memberi modal pada ayah untuk usaha jualan buah.
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke Ungaran.
“Dan yang lebih menyakitkan lagi Na... kejadian itu
tidak hanya sekali, berulang kali menimpa diriku. Sampai tak
terhitung jumlahnya. Bahkan bisa dipastikan ia
melakukannya setiap kali Pakde dan Bude ke luar kota.
Dan pada saat kelas dua SMA aku hamil. Aku gugurkan
kandunganku diam-diam. Tak ada yang tahu. Sampai
akhirnya aku kuliah di Jogja.
“Anehnya Na, aku justru tidak terlalu dendam pada
anaknya Bude itu. Aku tahu dia memang nakal dan jahat
sejak sebelum aku tinggal di sana. Tapi aku justru dendam
pada ayah dan ibuku. Aku tidak bisa memaafkan mereka
karena aku merasa ditelantarkan. Dibuang ke rumah Bude
yang menyebabkan aku jadi korban kejahatan. Sejak itu aku
selalu cari perkara untuk melampiaskan dendamku.
Jika banyak anak mencari tahu apa yang membuat
senang orang tua, aku sebaliknya. Aku mencari tahu apa
yang paling tidak disuka oleh orang tua. Pokoknya semua
yang membuat orang tua sakit hati pasti aku lakukan. Ini aku
katakan dengan jujur Na. Aku tidak pernah mengatakan hal
ini pada siapapun. Hanya padamu.
“Karena hampir setiap kali pulang aku selalu
menyakitkan ayah ibu, akhirnya mereka menyetop uang
kuliahku. Aku tak ambil pusing. Aku bisa mencari uang
sendiri dengan modal kecantikanku. Apalagi aku toh telah
menjadi gadis yang rusak karena diperkosa.
94
“Sampai klimaksnya satu bulan yang lalu Na. Aku bilang
pada ayahku aku mau nikah dengan pacarku yang berbeda
agama. Aku sudah tahu reaksi ayah dan ibuku pasti akan
marah besar. Memang itulah yang aku inginkan.
Saat mereka marah, aku pergi begitu saja sambil
menutupi dua telinga.
“Lalu aku teror kembali mereka dengan menunjuk-kan
hasil test Prodia bahwa aku telah hamil. Aku katakan pada
ayah dan ibu bahwa aku hamil dengan pacarku yang beda
agama. Padahal sesungguhnya tidak. Aku hamil dengan
orang yang tidak aku ketahui yang mana.
“Ayah marah besar. Dadanya sakit lalu jatuh. Mungkin
serangan jantung. Aku lari ketakutan. Sampai sekarang Na.
Aku dengar ayah meninggal dunia karena itu.Aku tidak
mengira hal itu akan terjadi. Kini aku sadar, aku khilaf Na.
Aku sudah sangat keterlaluan! Sekarang aku harus
bagaimana Na? Aku harus bagaimana? Sekarang semua
orang membenciku, membenci pelampiasan dendamku.
Aku harus bagaimana hu... hu..." Zumrah menangis
sesengukan.
Suasana menjadi hening seketika, mata Husna berkaca-
kaca. la pun tak menduga kalau sahabatnya
sampai mengalami perjalanan hidup seperti itu. Tangisnya
pun pecah, ia tidak kuasa mendengar cerita sahabatnya itu.
Ya, sebuah cerita yang benar-benar menyayat hatinya.
Cerita tentang rasa sakit hati yang luar biasa pedih dari
95
seorang sahabat. Ia merangkul sahabatnya itu. Keduanya
menangis berangkulan.
“Kau tidak pindah agama kan Zum? Ukh... ukh..." Tanya
Husna sambil terisak dengan tetap merangkul Zumrah.
“Tidak Na. Aku tidak pernah pindah agama. Aku
memang telah rusak. Aku jarang shalat, tapi aku tak pernah
menyatakan pindah keyakinan. Aku sadar hal itu Na." Jawab
Zumrah.
“Kau tetap sahabatku. Aku akan berusaha mem-
bantumu semampuku Zum."
“Terima kasih Na. Apa yang harus aku lakukan Na? Aku
selalu mendengarkan rubrik psikologimu di radio.
Tolong beri aku saran!"
“Baiklah Zum." Kata Husna sambil melepaskan
rangkulannya. Ia mengusap kedua matanya yang basah.
Husna lalu melanjutkan,
“Yang pertama kali harus kamu lakukan adalah kamu
memaafkan ayah dan ibumu. Maafkanlah mereka dengan
setulus hati. Barulah setelah itu kamu akan bisa hidup. Jika
kamu tidak bisa memaafkan mereka dengan tulus kamu akan
terus terbelenggu. Tadi di acara bedah aku katakan memberi
maaf itu mampu membuka belenggu-belenggu sakit hati.
Mampu menyingkirkan kebencian. Dan memaafkan adalah
kekuatan yang sanggup meng-hancurkan rasa mementingkan
diri sendiri!
96
“Karena selama ini kamu tidak mau memaafkan. kamu
selalu mementingkan dirimu sendiri. kamu menganggap
dengan sikap diammu, dan memendam sakit hatimu seorang
diri akan menyelesaikan masalah waktu itu.
Memang benar, ayah ibumu dalam dilema waktu itu. Di
saat kesusahan ekonomi, ia harus tetap mempertahankan
kamu untuk tetap sekolah dan menjaga hubungan baik
dengan Pakde dan Bude. Tapi ayah dan ibumu tidak tahu
kalau anaknya Bude sekotor itu. Dan ketika permasala-han
semakin rumit, kamu malah menganggap ayah dan ibumu
menjerumuskan kamu. Padahal mereka benar-benar tidak
tahu permasalahanmu itu. kamu tak pernah peduli betapa
sakitnya kedua orang tuamu dengan perbuatan-
perbuatanmu. Dan ketika ayahmu sudah meninggal, yang
jadi korban bukan hanya ibu kamu bahkan yang jadi korban
adalah juga ketiga adik kamu yang masih membutuhkan
kasih sayang seorang ayah."
“Tapi rasanya sangat susah aku memaafkan mereka."
“Zum, mana ada orang tua yang ingin menelantarkan
anaknya? Kamu salah alamat Zum. Seharusnya kamu tidak
membenci dan mendendam pada mereka. Seharusnya kalau
kamu harus dendam ya dendamlah pada anak Budemu yang
jahat itu."
“Tapi ia sudah mati ditembak polisi Na."
“Kenapa dosa penjahat yang sudah mati kamu lampias-
kan pada orang tuamu. Sebenarnya aku yakin tujuan ayah
dan ibumu saat itu baik. Kamu disuruh tetap di tempatnya
97
Bude agar kamu bisa sekolah dengan baik. Kalau kamu saat
itu cerita yang sebenarnya kamu alami pada ayahmu
mungkin akan lebih baik. Belum tentu ayahmu, ibumu,
Budemu dan Pakdemu akan marah padamu. Bisa jadi
mereka justru akan sangat sayang padamu dan mereka akan
mencari cara terbaik bagaimana mendidik anak Budemu
yang nakal itu. Karena kamu diam saja, semuanya jadi parah
separah-parahnya dan tidak ada yang tahu. Tahu mengalami
nasib seperti ini. Anak Budemu tetap jadi penjahat dan mati
di tangan polisi. Dan ayah kamu mati kena serangan jantung
karena terormu."
“Apakah aku di matamu sudah terlalu kotor dan jahat
Na?"
"Sekotor-kotornya manusia dan sejahat-jahatnya
manusia, pintu ampunan Allah terbuka lebar. Selalu ada
pintu kembali ke jalan kesucian dan kebaikan."
“Benarkah Na?"
“Benar. Awalilah langkahmu dengan memaafkan kedua
orang tuamu yang kamu anggap sudah tak termaaf-kan.
Maafkanlah mereka. Lalu maafkanlah dirimu sendiri.
Lalu melangkahlah di jalan orang-orang normal pada
umumnya!"
“Apa seperti ini aku tidak normal Na?"
“Tanyakanlah pada nuranimu. Pada hati kecilmu sendiri
Zum. Nuranimu lebih berhak menjawabnya.
Hanya itu yang saat ini aku sarankan Zum. Ini sudah
sore.
Ayo kita minta diri."
“Aku sekarang tak tahu harus kemana melangkahkan
98
kaki Na. Aku bingung. Aku dengar pamanku yang polisi itu
sangat marah dan aku akan dibunuhnya. Aku takut Na.
Bagaimana ini?"
“Kita pamit dulu. Nanti aku akan coba berbicara dengan
pamanmu. Dan jika kamu mau menjalankan saranku tadi,
aku akan membantu menjelaskan pada ibumu dan warga
agar adil memperlakukan kamu. Ayo kita pamit. Hari sudah
petang."
“Baik Na. Tapi aku mau cuci muka dulu."
“Benar, aku juga." Keduanya lalu mencuci muka agar
bekas-bekas tangis hilang dari wajah mereka. Setelah cuci
muka, wajah keduanya tampak lebih segar dan bersih.
Keduanya lalu minta diri meninggalkan Pesantren Wangen
yang damai.
Hati Zumrah sedikit lega setelah bisa menangis dan
menceritakan beban hidupnya pada Husna. la hayati betul
kata-kata teman kecilnya itu. la harus memaafkan. Harus
belajar memaafkan! Itu kuncinya. Husna mengendari sepeda
motornya meninggalkan desa Wangen. la hanyut dalam
diam. la tak pernah mengira teman sebangkunya di SD itu
sebenarnya mengalami penderitaan batin yang sedemikian
dalam. Jalan hidupnya penuh semak belukar dan duri tajam.
Sementara itu, Zumrah yang membonceng di belakang
memandang lurus lekuk langit di kejauhan. Senja perlahan
turun. la dapat melihat di kejauhan sana betapa sebagian
besar kehijauan pepohonan telah menghilang di bawah langit
petang.
99
la merasakan satu hukum alam, saat cahaya hilang maka
kegelapan akan datang. la jadi bertanya apakah cahaya
dalam hatinya selama ini telah hilang, sehingga yang ia
rasakan hanyalah kegelapan dan kelam?
“Zum." Sapa Husna dengan tetap tenang mengendarai
sepeda motornya ke arah Tegalgondo
“Iya Na." Jawab Zumrah.
“Aku punya teman di Colomadu. kamu mau menginap
di sana sementara."
“Tak usah Na. Aku tak mau menyusahkan banyak
orang. Aku nanti turun di Tegalgondo saja."
“Kau mau menginap di mana?"
“Hidup tanpa arah seperti ini aku sudah biasa. kamu
tenang saja."
“Terserah kamu lah. Maaf aku tak bisa menemanimu.
Aku punya ibu dan adik yang harus aku temani."
“Diriku ini jangan terlalu kamu ambil peduli. kamu mau
mendengar ceritaku saja aku sudah sangat berterima kasih
dan bahagia."
“Jika perlu aku kirim kabar ya. kamu boleh juga mampir
di radio. kamu pasti tahu jamnya."
“Baik Na. Terima kasih banget ya."
100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar