Minggu, 14 Juni 2009

Ujian Tak Terduga

Azzam meminjam sepeda motor butut milik Husna. la
harus shalat Ashar di Wangen. la telah berjanji pada Kiai
Lutfi bahwa dirinya akan ikut pengajian Al Hikam. la tidak
mau mengingkari janji yang telah terlanjur ia ucapkan.
Meskipun saat itu lelah dari tubuhnya belum benar-benar
punah.
Ia pacu sepeda motor tua itu sekuat-kuatnya. Tapi
lajunya maksimal tetap enam puluh kilometer perjam.
Menjelang sampai Polanharjo ia melihat sawah yang
terhampar. Sejenak ia hentikan motornya. Sudah lama ia
tidak menikmati pemandangan sawah seperti itu.
Di kejauhan ia melihat orang-orang sedang bekerja.
Mereka mencangkul bergelut dengan lumpur. Dari jauh
mereka kelihatan seumpama kayu hidup, tak berbaju.
217
Terik matahari memanggang mereka. Tubuh mereka
hitam dan berkilauan karena keringat. Keringat mereka
merembes dari setiap pori-pori lalu jatuh dan jadi pupuk
penyubur padi yang kelak mereka tanam.
“Mereka para pahlawan, karena keringat merekalah
jutaan orang bisa makan." Gumam Azzam.
Setelah puas menikmati pemandangan yang meng
gugah itu ia melanjutkan perjalanan. Lima belas menit
sebelum ashar Azzam sampai di masjid pesantren.
Masyarakat yang hendak mengikuti pengajian Al
Hikam telah banyak berdatangan. Azzam melihat di antara
yang hadir ada Pak Mahbub, imam masjid di kampungnya.
Pak Mahbub tampak sedang asyik berbincang dengan
seorang kakek berbaju hitam. Azzam tidak ingin mengganggu
keasyikan mereka.
Ia lalu melihat Kiai Lutfi berjalan dari rumah ke masjid.
Kiai itu berbincang dengan seorang santri. Lalu mengitarkan
pandangannya ke arah jamaah yang ada di dalam masjid.
Azzam terus memperhatikan gerak gerik Kiai itu. Dan saat
kedua matanya dan kedua mata Kiai Lutfi bertemu, ulama
kharismatik itu tersenyum padanya. Ia kaget ketika Kiai Lutfi
berjalan ke arahnya.
"Kau memenuhi janjimu Zam?"
“Janji memang harus dipenuhi Pak Kiai."
“Kebetulan kamu datang. Aku mau minta tolong, tapi
maaf mendadak."
“Apa itu Pak Kiai."
“Sepuluh menit yang lalu aku dapat kabar Kiai Rosyad
Teras Boyolali wafat. Dia kakak kelasku di Sarang. Aku harus
ke sana. Sebab mau dikubur bakda ashar ini juga.
Lha ini kok kebetulan Si Hamid yang biasa jadi badal
sedang di Jogja. Kasihan kalau pengajian diliburkan. Aku
minta kamu yang mengantikan ya." Mendengar kalimat
218
terakhir Kiai Lutfi Azzam bagai disambar petir. Ia sama sekali
tidak siap dan tidak menduga hal ini akan menimpanya.
Seketika keringat dingin keluar dari pori-porinya.
“Menggantikan Pak Kiai menjelaskan isi Al Hikam!?"
Tanya Azzam.
"Iya."
“Aduh Pak Kiai saya tidak bisa. Sungguh!"
“Kamu jangan terlalu merendah. Alumni Al Azhar pasti
bisa."
“Tapi saya datang untuk belajar Pak Kiai."
“Ini juga belajar."
“Saya tidak bawa kitabnya Pak Kiai."
“Pakai kitabku."
“Sungguh Pak Kiai, jangan saya!"
“Tak ada yang lain. Kalau kamu tidak mau namanya
menyembunyikan ilmu."
“Jujur Pak Kiai, saya tidak siap."
“Sudah, kamu jangan mbulet-mbulet. Ayo ikut aku
mengambil kitab. Aku jelaskan sampai di mana. Ayo Nak!"
Dengan hati bergetar Azzam bangkit mengikuti Kiai Lutfi.
Saat berpapasan dengan beberapa santri, tampak para santri
memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.
la tidak memakai sarung lazimnya para santri. Tapi ia
pakai celana. Untungnya ia memakai baju panjang dan
kopiah putih. Jadi masih tidak terlalu menarik perhatian. Kiai
Lutfi memintanya duduk di kursi yang ada di beranda. Kiai
Lutfi lalu masuk untuk mengambil kitabnya. Di ruang tengah
Kiai Lutfi bertemu Anna.
"Jadi ke Boyolali Bah?"
“Iya."
“Yang mengajar ngaji Al Hikam siapa?"
“Tadi rencananya Si Hamid seperti biasa. Tapi ia
ternyata pergi ke Jogja. Tapi alhamdulillah ada pengganti
219
lain yang semoga lebih baik."
“Siapa Bah?"
“Azzam."
“Azzam siapa?"
“Siapa lagi kalau bukan temanmu itu. Yang ngantar
kitab ke sini"
"Dia? Dia ada di sini?"
"Iya mau ikut pengajian. Untung Abah lihat, jadi
kupaksa saja dia."
“Abah ini, itu namanya zalim Bah! Kasihan dia, kalau
tidak siap bagaimana?"
“Abah tidak zalim insya Allah. Ini akan jadi pelajaran
penting bagi dia insya Allah. Dia akan sadar kalau alumni
Timur Tengah itu harus siap mengabdi pada ummat kapan
saja. Harus selalu siap."
“Terserah Abah lah."
Kiai Lutfi mengambil kitab Al Hikamnya. Lalu memberi
tahu Azzam di halaman berapa Azzam harus membacakan.
Kitab itu sudah ada di tangan Azzam.
Pemuda kurus itu menerima dengan dada panas
dingin.
la tidak tahu apa nanti yang akan ia sampaikan pada
sekitar tujuh ratus orang yang sore itu telah datang untuk
mengambil cahaya dari Al Hikam.
"Tenang nanti begitu selesai shalat ashar aku akan
memberi sedikit pengantar memperkenalkan kamu pada
jamaah. Kamu langsung naik mimbar menguraikan Al
Hikam." Kata Kiai Lutfi. Kaki Azzam terasa begitu berat
untuk
melangkah. Baginya ini adalah ujian yang lebih
menegangkan dari ujian di Al Azhar.
Azan ashar dikumandangkan. Jantung Azzam berdegup
kencang. Ia menenangkan diri dengan me ngambil air wudhu
meskipun ia masih punya wudhu.
220
Azzam shalat sunnah qabliyah. Dalam sujud Azzam
memohon pertolongan kepada Allah. Selesai shalat sunnah
Azzam membaca bab yang harus ia jelaskan nanti. Tak lama
kemudian iqamat dikumandangkan. Kiai Lutfi maju ke
depan. Dengan sangat teliti ia menata barisan. Masjid itu
penuh oleh santri dan masyarakat umum. Takbiratul ihram
menggema sampai ke relung relung jiwa seluruh makmum.
Azzam shalat dengan hati bergetar.
Selesai shalat ashar setelah istighfar Kiai Lutfi langsung
naik ke mimbar,

Assalamu'alaikum wr . wb. Jamaah sekalian, bapak
bapak dan ibu-ibu yang mulia. Sore ini Kiai Rosyad, seorang
ulama dari Boyolali dipanggil Allah. Inna lillahi
wa inna ilahi
raaji'un. Mohon maaf, saya har us takziyah
ke sana. Pengajian
Al Hikam insya Allah akan digantikan oleh Ustadz Khairul
Azzam. Ustadz muda yang baru pulang dari Mesir. Sebelum
pengajian mari kita shalat ghaib dahulu bersama. Menshalati
jenazah Kiai Rosyad
rahimahullah Ta'ala."
Kiai Lutfi kembali ke pengimaman untuk memimpin
shalat ghaib. Setelah shalat beliau langsung keluar masjid
dan masuk ke mobilnya meluncur ke Boyolali. Beberapa
jamaah mengikuti Pak Kiai takziyah. Namun 99 persen
jamaah tetap khidmat di dalam masjid.
Di lantai atas, Anna dan Bu Nyai Nur juga duduk
khidmat. Anna sangat penasaran apa yang akan disam
paikan oleh kakaknya Husna. Hatinya khawatir Azzam akan
mengecewakan jamaah. Bukan karena tidak bisa
menyampaikan, tapi karena tidak ada persiapan sama sekali.
Ia tahu ayahnya suka main todong saja. Kalau ia yang
ditodong seperti Azzam pasti akan ia tolak mentah mentah.
Bahkan pada orang yang menodong seenaknya seperti itu ia
pasti akan marah.
Azzam naik ke mimbar. Dari lantai dua Anna
221
memperhatikan. Azzam tidak tahu kalau putri Kiai Lutfi itu
memperhatikannya. Kalau tahu bisa kacau suasana hatinya.
Azzam membuka dengan salam, lalu mengajak para jamaah
membuka pengajian dengan bacaan Al Fatihah bersama.
Hati Azzam bergetar ketika lantunan fatihah menggema
begitu dahsyat. Dilantunkan bersama oleh ratusan orang di
rumah Allah yang mulia.
Kemudian Azzam membaca hamdalah dan shalawat
kepada Rasulullah. la telah menguasai keadaan. Barulah
Azzam berkata dengan suara yang tenang dalam bahasa
Jawa yang halus,
“Jamaah sekalian yang dirahmati Allah, jujur, saya ini
sebenarnya juga masih bodoh. Maka saya datang ke
pesantren ini untuk mengaji. Jujur, saya datang untuk
mengaji, untuk menimba ilmu. Bukan untuk mengajar.
Bukan untuk membacakan kitab. Tapi Romo Kiai Haji
Lutfi Hakim memaksa saya untuk naik ke mimbar ini.
Saya tidak bisa berkutik apa-apa kecuali menjalankan
titah Pak Kiai. Sebab saya ini santri.
"Jamaah yang mulia, anggap saja saya ini sedang
latihan. Jadi kalau nanti banyak khilaf mohon dimaafkan.
Maklum masih bodoh dan sedang latihan.
"Baiklah jamaah yang mulia. Kita akan lanjutkan apa
yang sebelumnya telah dibacakan oleh Romo Kiai Lutfi.
Terakhir kita sampai pada kalimat hikmah yang ditulis
Ibnu Athaillah As Sakandari: Man atsbata li nafsihi
tawadhuan
fahuwa al mutakabbiru haqqan! Yaitu siapa yang
yakin
bahwa dirinya merasa tawadhu' maka berarti dia benar
benar telah takabbur. Tentu Romo Kiai telah menjelaskan
panjang lebar masalah itu." Kalimat-kalimat yang
disampaikan Azzam itu terasa ringan masuk kalbu para
jamaah. Anna yang ada di atas mulai yakin Azzam akan
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Anna tidak ingin
222
Azzam gagal dalam menyampaikan isi hikmah Ibnu Athaillah
As Sakandari pada ratusan jamaah tetap pengajian Al
Hikam.
Anna mendengar Azzam melanjutkan pengajiannya:
“Kali ini kita hayati bersama kalimat Ibnu Athaillah
yang berbunyi:
'Laisa al Mutawadhi'u al-ladzi idza tawadha'a
ra'a annahu fauqa ma shana'...' Artinya, bukanlah orang yang
tawadhu' atau merendahkan diri, seorang yang jika
merendahkan dir i mer asa dirinya di atas yang dilakukannya.
Misalnya, contoh sederhananya ada orang merasa
tawadhu' dengan duduk di belakang suatu majelis, tapi pada
saat yang sama ia merasa tempat yang pantas bagi dirinya
adalah di atas itu yaitu duduk di bagian depan majelis itu.
Maka orang seperti ini menurut Ibnu Athaillah As Sakandari
bukanlah orang yang tawadhu'. Bahkan sejatinya orang yang
sombong.
'Atau misalnya ada orang merasa tawadhu', merasa
telah merendahkan diri dengan datang ke suatu tempat
menggunakan sepeda ontel, tapi dia merasa dirinya
sebenarnya pantas di atas itu yaitu menggunakan motor.
Maka orang seperti ini bukan orang yang merendahkan
dirinya, tapi orang yang sombong.
"Lantas siapakah orang yang benar-benar tawadhu'?
Orang yang benar-benar merendahkan diri?
“Ibnu Athaillah mengatakan di baris selanjutnya:
'Wa
lakin al mutawadhi' idza tawadha'a ra-a annahu duna ma
shana'a.' Artinya, tetapi orang yang benar-benar
merendahkan diri adalah orang yang jika merendahkan diri
merasa bahwa dirinya masih berada di bawah sesuatu yang
dilakukannya. Misalnya, ada orang yang dipaksa duduk di
bagian agak depan suatu majelis, ia akhirnya duduk di
bagian agak depan, tapi ia merasa sesungguhnya dirinya
lebih pantas duduk di belakang. Atau misalnya di masyarakat
223
ada orang yang dimuliakan dan dihormati banyak orang, ia
selalu merasa dirinya, sejatinya belum pantas menerima
penghormatan seperti itu. Itulah orang yang tawadhu'."
Azzam berhenti sejenak memandang ke wajah beberapa
hadirin. Di lantai dua tanpa sepengetahuan Azzam, Anna
menyimak semua kalimat Azzam dengan seksama. Azzam
merasa beruntung bahwa bagian kitab
Al Hikam yang ia
jelaskan ini pernah ia dapatkan
penjelasannya dari Imam
Muda bernama Adil Ramadhan.
Dia adalah imam di masjid tak jauh dari apartemennya
di Cairo. Imam muda itu sebenarnya adalah kakak kelasnya
di Fakultas Ushuluddin, dan usianya sama dengannya. Adil
Ramadhan lulus S.l. dengan predikat terbaik di angkatan
nya, dan sekarang sudah diangkat sebagai asisten dosen di
Universitas Al Azhar. Azzam merasa beruntung bahwa ia
telah mengkhatamkan Al Hikam dibimbingan Imam Adil
Ramadhan.
Azzam menambah penjelasannya,
“Jamaah yang mulia, tawadhu' adalah sifat orang-
orang mulia. Tawadhu' adalah sifat para nabi dan rasul.
Kebalikan dari tawadhu' adalah takabbur, sombong. Ulama
sepakat bahwa takabbur itu diharamkan dalam Islam!
“Sombong adalah sifat milik Allah saja, yang berhak
memiliki hanya Allah. Tidak boleh ada satu makhlukpun
yang menyaingi Allah dalam hal ini. Siapa yang menyaingi
Allah dan merasa berhak memiliki sifat takabbur maka dia
berarti merasa menjadi Tuhan manusia. Orang yang seperti
ini pasti mendapat murka dari Allah. Dalam sebuah hadits
Qudsi, Allah berfirman,
'Sombong adalah selendang ku, dan
agung adalah pakaianku. Siapa yang menyaingi Ku dalam
salah satu dari keduanya maka akan Aku lempar dia ke
224
dalam neraka Jahannam.
'
17
“Karena rasa sayang dan cinta Allah memerintahkan
Rasulullah Saw. untuk tawadhu'. Lalu karena rasa sayang
dan cinta juga Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk
tawadhu'. Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya Allah Swt.
memerintahkan aku agar tawadhu', jangan sampai ada salah
seorang yang menyombongkan diri pada or ang lain, jangan
sampai ada yang congkak pada or ang lain.
'
18
“Rasulullah adalah teladan bagi orang berakhlak mulia.
Beliau makhluk Allah paling mulia namun juga orang
paling tawadhu' dala m sejarah ummat ma nusia. Sejak
muda Rasulullah selalu merendahkan' dirinya.
"Contoh yang menggetarkan jiwa kita, adalah beliau
sama sekali tidak risih menjadi pengembala kambing.
Dengan mengembala kambing beliau tidak hanya
merendahkan diri pada manusia juga pada binatang. Beliau
tidak canggung hidup di tengah-tengah kambing yang bau
dan kotor. Beliau menjaga dan melayani kambing dengan
penuh kasih sayang. Jika ada kambing yang melahirkan
beliau membantu persalinannya. Tidak ada jarak antara
beliau dengan kambing yang digembalakarmya. Rasulullah
tawadhu'
tidak hanya pada manusia juga pada binatang
ternak yang di-gembalakannya.
"Contoh sifat tawadhu' Rasulullah yang lain adalah
beliau masih mau memakan makanan yang jatuh ke tanah.
Dapat kita baca dalam Sirah Nabawiyyah bahwa setiap
ada makanan jatuh ke tanah, Rasulullah Saw. tidak mem
biarkannya. Beliau pasti mengambilnya dan mem
bersihkannya. Beliau membuang kotoran seperti debu yang
menempel padanya lantas memakannya. Beliau selalu
17
18
225
menjilati jari-jarinya setelah makan. Beliau tidak merasa risih
akan hal itu sama sekali.
"Anas bin Malik ra., pembantu Rasulullah Saw.,
menjelaskan jika Rasul makan beliau menjilati jari-jarinya tiga
kali. Anas meriwayatkan: Rasulullah Saw. bersabda,
'Jika
makanan kalian jatuh maka buanglah kotorannya dan
makanlah dan jangan meninggalkannya untuk setan!
1 9
“Para sahabat nabi juga menghiasi dirinya dengan sifat
merendahkan diri. Suatu hari Ali bin Abi Thalib membeli
kurma satu dirham dan membawanya dalam selimutnya.
Saat itu Ali bin Abi Thalib adalah khalifah yang
memimpin ummat Islam seluruh dunia. Ada seorang lelaki
melihatnya dan berkata padanya,
'Wahai Amirul Mu'minin,
tidakkah kami membawakannya untukmu?' Ali menjawab
dengan merendahkan diri, 'Kepala keluarga lebih berhak
membawanya.'
2 0
“Jamaah yang mulia, sejarah membuktikan hancurnya
seseorang juga hancurnya suatu bangsa di antaranya adalah
kesombongan dan kecongkakan yang dilestarikan.
Seorang ulama menjelaskan hakekat sombong adalah
jika seseorang merasa pantas dibesarkan padahal sejatinya
tidak pantas. Jika seseorang merasa pantas menempati suatu
derajat padahal ia belum pantas.
"Bangsa kita ini akan bisa binasa jika masih banyak
orang-orang yang sombong. Bahkan sombong yang telah
membudaya. Misalnya, ada seorang yang masuk Fakultas
Kedokteran dengan membayar uang yang berjuta-juta rupiah
jumlahnya kepada pihak universitas. Ia tetap memaksakan
diri masuk Fakultas Kedokteran, ia merasa pantas. Padahal
sejatinya ia tidak pantas. Nilainya masih kurang. Tapi ia
.
19
20
226
merasa pantas karena memiliki uang.
Kepantasan itu bahkan ia beli dengan uang. Ia tidak
hanya sombong. Lebih sombong lagi, ia membiayai kesom
bongannya itu. Maka yang akan jadi korban selain dirinya
sendiri ya bangsa ini. Akan muncul di negeri ini na nti ribuan
dokter yang tidak tahu apa-apa. Sehingga malpraktek ada di
mana-mana.
"Ada juga maskapai penerbangan yang sombong.
Sebenarnya tidak pantas dan tidak layak terbang. Tapi
merasa layak terbang. Merasa layak dibesarkan. Ia
mempropagandakan perusahaannya sedemikian menyi
laukan. Padahal pesawatnya adalah barang rongsokan.
Pilotnya belum lulus jam terbang. Tapi ia sombong. la
merasa layak terbang. Akibatnya jika demikian kebi
nasaanlah yang datang berulang-ulang.
"Juga, banyak orang merasa layak jadi pemimpin.
Merasa layak jadi negarawan yang mengatur bangsa.
Padahal mengatur diri sendiri saja tidak bisa. Mengatur
keluarganya saja tidak bisa. Tapi ia merasa layak ditinggikan
sebagai pengatur negara. Sesungguhnya yang mendorong itu
semua adalah kesombongannya. Maka, jika sudah demikian
hukuman dari Allah tinggal ditunggu kapan datangnya."
Sore itu Azzam hanya membaca dua baris saja dari
kitab Al Hikam. Namun penjelasannya cukup panjang dan
mendalam. Bu Nyai Nur tersihir oleh uraian Azzam.
Sementara Anna diam-diam semakin kagum pada
pemuda itu. Anna kembali ingat perkataan ayahnya. Dan
benarlah perkataan Abahnya malam itu:
“Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah
pinta Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan
kesempatan." Begitu turun dari mimbar ratusan jamaah
menyalami nya. Para santri berebutan ingin mencium
tangannya.
227
Setiap kali mau dicium dengan cepat Azzam menarik
tangannya. Ia merasa sangat tidak pantas dicium tangannya.
Dosanya masih menggunung dan aib dirinya tak terhitung
jumlahnya. Ia yakin jika yang ingin mencium tangannya
melihat dosa dan aibnya, pasti akan menjauh darinya, tak
akan sudi mencium tangannya.
Pak Mahbub ikut menyalaminya dan memeluknya erat-
erat dengan mata berkaca-kaca,
“Semoga ilmumu barakah Zam. Aku bangga padamu,
Anakku. Aku jadi teringat ayahmu, teman seperjuangan
Bapak. Semoga manfaat ilmumu menjadikan ayahmu
diangkat derajatnya disisi Allah."
"Amin. Doanya Pak Mahbub. Dan mohon bim
bingannya, saya masih harus banyak belajar." Lirih Azzam.
Seorang bapak-bapak setengah baya dengan batik biru
keemasan datang menyalami Azzam dengan menyungging
senyum, 'Aku bahagia ada anak muda sepertimu Nak. Pak
Kiai Lutfi tidak salah memilihmu. Kalau boleh tahu Nakmas
sudah menikah?" Bahasa lelaki itu halus dan santun.
"Belum Bapak."
“Kebetulan kalau begitu. Siapa tahu jodoh. Saya punya
anak perempuan masih kuliah. Nama saya Ahmad Jazuli.
Ini kartu nama saya. Nakmas boleh dolan bila ada
waktu luang." Azzam menerima kartu nama yang diulurkan
bapak itu dengan dada bergetar.
* * *
Sepulang dari takziyah Kiai Lutfi langsung bertanya
pada Bu Nyai,
“Bagaimana Mi tadi pengajiannya?" Kiai Lutfi duduk
meletakkan punggungnya di sofa.
Di luar senja mulai turun. Sinar matahari yang
228
kekuning kuningan perlahan mulai pudar. Para santri ada
yang sibuk mandi, ada yang sudah rapi, ada yang sibuk
menata baju bajunya dan memasukkan ke dalam almari.
Mendengar pertanyaan itu spontan Bu Nyai Nur
menjawab dengan penuh semangat,
“Wah luar biasa Bah! Pemuda itu bahasa Jawanya
enak.
Penjelasannya runtut dan dalam. Cuma dua baris saja
dari kitab Al Hikam yang dia bacakan. Tapi penjelasannya
masya
Allah
Bah. Haditsnya ia sampaikan. Seolah-olah dia
itu hafal ratusan hadits. Terus contoh-contohnya mulai dari
yang kecil-kecil, contoh tawadhu'nya Rasulullah, ada juga
contoh sahabat. Terus itu Bah, bagusnya penjelasannya itu
lho, masuk juga untuk keadaan bangsa saat ini. Jujur Bah ya,
tapi Abah jangan marah lho!"
“Apa itu Mi?"
“Pertama, penjelasan Azzam dan cara menerangkan
nya lebih aku suka daripada caranya Abah. Menurutku Abah
terlalu membuat tasawuf angker. Terus contoh contoh yang
Abah sampaikan seringnya cuma Mbah Kiai ini begini, Mbah
Kiai itu begini, Syaikh ini begini, Syaikh itu begini. Langsung
saja Bah kayak Azzam tadi, langsung induk-induknya yang
diambil. Langsung Rasulullah, baru yang Iain-lain sampai
masuk keadaan sekarang ini."
Anna mendengar perbincangan kedua orang tuanya itu
dari dapur. la tersenyum Abahnya dikritik Umminya.
Dalam hati Anna berkata,
“Bagus Mi, ayo terus kritik Abah. Biar semakin maju
dan tercerahkan."
la ingin tahu apa jawaban Abahnya. Apakah akan
marah dan tinggi hati atau sebaliknya. Kalau marah maka ia
akan sarankan kepada Abahnya agar tidak usah
membacakan kitab Al Hikam saja. Kalau marah berarti
229
Abahnya sombong. Dan sebaiknya Abahnya belajar tidak
sombong baru menga jarkan Al Hikam.
"Iya maklum Mi. Azzam itu kuliah sampai Mesir, lha
Abah kan cuma pesantren lokal. Kalau Azzam Ummi lihat
lebih baik dari Abah alhamdulillah, Abah bersyukur, akan
terus ada penerus perjuangan menegakkan kalimat Allah.
Itu kan yang pertama Mi. Yang kedua apa?"
Anna tersenyum mendengar jawaban Abahnya.
Abahnya sungguh lapang dada.
Tapi Anna senyum Anna hilang begitu mendengar
perkataan Umminya,
“Maaf Bah, entah kenapa hati Ummi sebenarnya kok
cenderung pada pemuda itu setelah tadi mendengarkan
uraiannya. Ummi merasa pemuda itu cocok jadi anak
Ummi."
“Maksudmu jadi menantumu."
“Iya Bah."
“Sudahlah Mi. Ummi ini panutan. Ummi harus
bersyukur atas segala pemberian Allah. Semua manusia ada
kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Anna sudah
memilih Furqan. Insya Allah itu pilihan terbaik.
Abah yakin Furqan juga punya kelebihan yang tidak
dimiliki oleh pemuda itu. Jangan mengatakan hal ini sama
Anna. Nanti dia malah sedih. Kita harus dukung apa yang
dipilih Anna, meskipun kita sebenarnya punya pilihan dan
kriteria yang berbeda." Jawab Kiai Lutfi.
Di belakang tanpa mereka ketahui Anna men
dengarkan itu semua. Anna berusaha menahan tangisnya.
Pelan-pelan ia naik ke lantai atas. Dan masuk ke
kamarnya.
Di kamar ia kembali menangis. Ia tak kuasa menahan
sesak di dalam dada.
230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar