Minggu, 14 Juni 2009

Dari Mila Hingga Seila

“Membaca data dan melihat fotonya sih ibu cocok.” Kata
Bu Nafis setelah membaca data dan foto diri gadis muda nan
manis bernama Milatul Ulya, S.E. dari Surabaya
“Wah ini lumayan cantik Kak Azzam, meskipun ya belum
sekelas Eliana. Tapi boleh kok.” Komentar Lia.
Azzam tersenyum mendengarnya.
Sekarang pendapat Kak Azzam sendiri bagaimana?”
Tanya Husna.
Kalau dia mau jadi isteri kakak, kapan pun dia mau
menikah boleh.
313
Bahkan sekarang dia mau mengajak akad nikah pasti akan
kakak langsungkan!.
”Wah! Mantap sekali Kak Azzam ini. Baru kali ini aku
dengar jawaban seorang lelaki semantap ini. Kalau Si Mila ini
dengar, pasti hatinya akar bergetar hebat berhari-hari.” Sahut
Lia.
”Kalau begitu cepatlah diatur bagaimana kakak kalian itu
bisa bertemu Mila.” Pinta Bu Nafis pada Husna dan Lia.
”Tenang Bu, sudah Husna atur sama kakaknya Mila. Ahad
depan Mila akan dolan ke rumah kakaknya di Perumahan
Gentan. Kira-kira pukul sembilan pagi saya dan Kak Azzam
akan dolan ke sana.
Kakaknya akan minta Si Mila yang membuat minuman
dan mengeluarkannya. Kakaknya juga akan pura-pura keluar
sebentar membeli sesuatu dan Mila akan diminta menemui
kami sebentar.
Setelah pertemuan itu barulah nanti kakaknya kan tanya
Si Mila mau tidak sama Kak Azzam. Begitu..
”Bagus sekali skenarionya Mbak. Mbok saya sama Bue
ikut.” Pinta Lia.
”Jangan dulu nanti malah jadi berantakan rencananya.
Kalau sudah matang saja. Saat lamaran baru kita semua ke
Surabaya.” Cegah Husna.
”Bue sepakat. Semoga yang ini benar-benar jodoh.” Lirih
Bu Nafis penuh harap
314
“Amin.” Doa Azzam dalam hati.
* * *
Pagi itu langit tertutup awan. Angin bertiup kencang. Sesekali
kilat menyambar. Guntur menggelegar. Azzam melihat
arlojinya, jam delapan. Husna mengambil jemuran yang masih
basah di halaman.
Gerimis mulai turun perlahan.
”Jadi berangkat Zam?” Tanya Bu Nafis.
”Ya harus tetap berangkat Bu. Kalau tidak kapan ketemu
jodohnya.” Jawab Azzam mantap. Wajah Bu Nafis cerah
seketika mendengarnya. Husna meletakkan pakaian yang
masih basah di ember besar hitam. Gadis yang sudah
berpakaian rapi itu lalu ke kamarnya mengambil tas cokelat
tuanya. Lalu keluar dengan senyum mengembang.
”Siap?” Kata Husna pada kakaknya.
”Siap! Janaka dari Kartasura siap melihat Dewi Dersanala
dari Surabaya.” Canda Azzam seraya melangkah mencium
tangan ibunya minta restu.
”Nanti kalau pulang, dan hujan belum juga reda. Coba
tengok Lia di sekolahnya ya. Biar dia ikut kalian saja.” Pesan
Bu Nafis pada Azzam dan Husna. Dua orang kakak beradik itu
mengangguk lalu bergegas masuk mobil Carry Hijau tahun
1995.
Mobil itu bergerak pelan meninggalkan halaman,
menelusuri jalan dan meninggalkan dukuh Sraten. Mobil
315
bergerak ke Perumahan Gentan. Hujan turun sangat deras.
Jalan-jalan penuh air bagaikan anak sungai dadakan. Hujan
masih lebat ketika mobil itu sampai di sebuah rumah mungil
bergaya minimalis. Azzam memarkir mobil di tepi jalan tepat di
depan rumah itu. Hujan masih mengguyur deras.
Azzam membunyikan klakson beberapa kali. Husna
menurunkan kaca jendela mobil. Yang punya rumah melongok
keluar. Seorang perempuan muda berjilbab hijau tua.
Umurnya kira-kira tiga puluhan tahun. Perempuan itu cepat-
cepat menyongsong dengan membawa dua payung. Satu ia
pegang dan satunya ia serahkan Husna. Husna turun dari
mobil disambut perempuan itu yang begitu hati-hati
melindungi Husna dengan payung yang mengembang di
tangannya.
Mereka berdua berjalan dalam satu payung. Azzam turun
dan langsung melindungi dirinya dengan payung. Guntur
menggelegar.
Azzam merasa kerdil di tengah keagungan Tuhan.
Azzam meletakkan payungnya di teras. Lalu menata
Kemejanya dan masuk.
”A
ssalamu’alaikum.” Sapa Azzam
”W
a’alaikumussalam. Silakan duduk Mas.” Jawab
perempuan muda
yang sudah duduk berhadapan dengan
Husna. Azzam mengambil tempat di sisi Husna.
”Mbak Yuni, ini kakakku namanya Azzam.” Husna
memperkenalkan.
316
”O yang kuliah di Mesir itu?” Tanya perempuan muda.
”Iya..
”Kenalkan Mas, saya Yuni teman kerja Husna di radio
JPMI Solo..
”Iya Mbak. Suaminya mana Mbak?.
”Itu di belakang sedang membetulkan genteng yang
melorot..
”Iya deras sekali hujannya ya Mbak. Anginnya juga besar.”
Kata Husna
“Benar. Malah ada pohon di jalan dekat perumahan
sebelah tumbang.” Kata perempuan bernama Yuni itu.
“Sebentar ya.” Lanjutnya lalu masuk ke dalam.
Ketika tuan rumah masuk, Husna berbisik pada Azzam,
“Yang akan ditemukan dengan kakak adalah adik
suaminya Mbak Yuni ini.
Kakak santai saja. Biasa saja..
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab putih keluar
dengan membawa nampan berisi teh hangat. Azzam
memandang wajah gadis itu, biasa saja nuansa hatinya, tidak
ada desir aneh seperti ketika ia melihat Anna atau Eliana dulu.
Gadis itu berwajah oval.
Alisnya tipis. Ada tahi lalat di pelipis kanannya. Tangannya
317
lentik meletakkan gelas dari nampan ke meja.
”Silakan Mbak, Mas diminum.” Kata gadis itu dengan
suara serak- serak basah. Mirip suara Zumrah.
”Terima kasih, Mbak ya. Eh Mbak siapa kalau boleh tahu
namanya?” Husna bertanya pada gadis itu.
”Mila. Lengkapnya Milatul Ulya.” Jawab gadis itu,
“Maaf saya ke belakang ya.” Sambungnya lalu bergegas
ke belakang.
”Bagaimana Kak. Setelah melihat sekilas.” Bisik Husna
pada Azzam setelah gadis itu hilang di balik tembok.
”Biasa saja. Tapi sudah masuk standar. Jilbabnya rapat
dan panjang.
Kakak suka itu.” Jawab Azzam.
Tak lama kemudian muncul seorang pria muda berkaos
panjang biru tua dan memakai celana jeans biru muda. Kepala
pria itu agak botak.
Rambutnya tipis. Wajahnya segar dan ramah.
”A
ssalamu’alaikum, kenalkan saya Edy. Suami Yuni.”
Kata pria itu
sambil menjabat tangan Azzam lalu duduk.
”Nama saya Azzam Mas. Lengkapnya Khairul Azzam.
Kakak kandung Husna ini?.
”O ini tho kakaknya Husna. Bisa nulis juga seperti
318
adiknya?.
”Bisa, tapi nulis surat he... he... he...” Jawab Azzam.
Edy juga tertawa. Husna tersenyum saja. Ruangan itu jadi
cair dan hangat.
”Berapa lama di Mesir?.
”Aduh jadi malu kalau ditanya itu. Saya sembilan tahun di
Mesir.
Tapi masih bodoh tidak bisa apa-apa..
”Ah jangan merendah begitu..
”Sungguh. Bisanya malah bikin bakso. Sekarang saya
usaha bakso di UMS. Bakso cinta..
’O bakso cinta itu ya. Yang bentuknya tidak bulat tapi
berbentuk lambang cinta?.
”Iya..
”Itu milik Anda?.
”Benar..
Katanya mantap. Itu teman-teman saya di kantor yang
cerita kalau mantap. Nanti kapan-kapan saya coba..
”Datang saja Mas. Kalau ingin bertemu saya ya yang di
samping UNS..
319
”Ya baik..
Kemudian Yuni dan Mila keluar. Yuni membawa sepiring
pisang goreng dan Mila membawa dua toples berisi kacang
kulit dan rempeyek. Piring dan toples itu diletakkan di meja.
”Wah ini kayak lebaran saja Mbak Yun.” Ujar Husna.
“Biar. Adanya cuma itu. Tidak ada apa-apa.” Sahut Yuni.
Saat Mila mau masuk lagi ke dalam Yuni memegang
tanggannya seraya berkata,
“Jangan masuk. Ini temani kakakmu. Aku mau ke tempat
Bu RT kemarin lupa iuran seragam PKK. Mumpung aku ingat.
Nanti kalau lupa lagi tidak enak sama Bu RT..
Mila jadi kikuk. Ia lalu duduk di kursi yang ada di samping
kakaknya. Yuni melangkah keluar mengambil payung dan
menerobos hujan. Hujan masih turun dengan lebatnya.
Gelegar guruh dan guntur berkali-kali terdengar.
”Oh ya Mas Azzam, Mas dulu di Mesir ambil jurusan apa?.
”Saya kuliah di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir. Kalau
Mas Edy dulu kuliah di mana?.
”Saya dulu di ITS. Terus kerja di Telkom, saya
ditempatkan mulanya di Salatiga terus dipindah di Solo. Saat
di Solo itulah saya ketemu Yuni. Kok tertarik. Langsung saya
temui orang tuanya. Dia mau.
Orang tuanya boleh. Lalu kami nikah.” Cerita Edy ke
mana-mana menjawab pertanyaan Azzam.
320
”Mas Azzam sudah menikah?.
”Belum..
”Kenapa?.
”Belum ketemu jodoh..
”Wah apa mungkin ini kebetulan. Adik saya Mila ini iuga
belum menikah lho.” Milatul Ulya salah tingkah mendengar
perkataan kakaknya Mukanya memerah. Saat memerah itulah
pesonanya bisa menyihir siapa saja.
Azzam melihat perubahan muka itu dan melihat
pesonanya. Azzam merasakan sihirnya. Barulah hatinya
berdebar dan berdesir.
”Bagaimana Mas, apa sama adik saya saja, malah tidak
usah pusing- pusing cari jodoh?.
Azzam menjawab dengan tenang. Ia harus menguasai
keadaan,
“Kalau saya sih mudah saja Mas. Siapa sih yang tidak mau
sama gadis cantik berjilbab seperti Mila. Persoalannya adalah
Mila mau tidak sama saya. Saya yang degil, dan hanya seorang
penjual bakso..
Mendengar kalimat itu Mila semakin menunduk. Kedua
pipinya memerah. Jari-jarinya memilin-milin jilbab besarnya. Ia
diam seribu bahasa.
”Eh Mbak Mila masih kuliah?” Tanya Husna pada Mila.
321
Perlahan Mila mengangkat muka memandang wajah
Husna.
”Saya sudah selesai kuliah Mbak..
”Di mana kuliahnya?.
”Di FE UI Depok..
”Sekarang aktivitasnya apa?” ’
“Kerja sama aktif di dakwah..
”Kerja di mana?”
“Di sebuah bank syariah di Surabaya..
’Ke Solo dalam rangka apa?”
“Ya main ke rumah kakak saja..
Berapa bersaudara sih Mbak?.
”Empat bersaudara. Kakak ini yang nomor dua. Nomor
satu di Malang. Saya nomor tiga dan nomor empat masih
kuliah di UNEJ.
Oh ya tadi Masnya bilang kuliah di Mesir ya?” Mila berani
bertanya pada Azzam meskipun dengan wajah tetap
menunduk memandang meja.
”Iya.” Jawab Azzam.
322
”Saya dulu di SMP punya teman, namanya Nanang. Dia
setahu saya kuliah di Mesir. Apa Mas kenal?.
”Sebentar, apa namanya Nanang Sukamtono?”
“Iya..
”Yang alisnya tebal. Terus ada kayak tompel di anak
telinga kanannya..
”Iya benar. Ia sama teman-teman dulu malah kadang
dipanggil Nanang Tompel..
”Kebetulan saya kenal baik. Nanang itu adik kelas saya.
Dia satu rumah dengan saya..
Spontan pria bernama Edy berkata,
“Masya Allah, dunia ternyata sempit sekali. Wah lha kok
kebetulan. Apa ini tanda-tanda berjodoh ya?.
Kembali wajah Mila memerah. Gadis itu diam tidak
menanggapi kalimat kakaknya dengan kata-kata tapi dengan
diamnya dan perubahan wajahnya. Satu jam lamanya Azzam
dan Husna berbincang-bincang dengan Mila dan kakaknya.
Ketika Yuni kembali hujan mulai reda. Azzam dan Husna lalu
pamit minta diri.
”Wah gadis itu masih sangat alami Kak. Meskipun dia
kuliah di UI tapi jiwa dan hatinya sama sekali masih benar
benar alami. Kak Azzam lihat tidak tadi perubahan mukanya.
Diamnya. Salah tingkahnya. Kalau sudah terkena budaya kota
dan budaya metropolis itu tak akan terjadi.” Husna
menjelaskan penilaiannya dalam perjalanan pulang ke
323
Wangen.
”Begini saja Na. Terserah kamu mengaturnya bagaimana.
kamu sampaikan saja lamaranku pada kakaknya atau langsung
pada Si Mila. Kalau kira-kira okay, kita berangkat ke
Surabaya..
”Baik Kak..
”Semoga dia memang jodohku.” Ucap Azzam penuh
harap.
”Semoga kak. Amin. Kalau dari salah tingkahnya aku
yakin dia menerima Kak. Sembilan puluh lima persen sudah
okay, tinggal yang lima persen kakak harus banyak doa.” Kata
Husna.
Suatu siang Azzam dan Husna bertemu dengan Yuni di
sebuah rumah makan di dekat pasar Kleco. Yuni datang
sendirian dengan bersepeda motor. Perempuan muda itu
hendak menjelaskan hasil lamaran Azzam.
”A
lhamdulillah, untuk Mila tidak ada masalah.” Kata Yuni.
”Artinya dia menerima?.
”Iya. Bahkan begitu kalian pulang dari rumahku itu, Mila
bertanya minta pada kakaknya agar serius mengejar Azzam.
Tidak hanya guyonan.” Kata Yuni yang membuat hati Azzam
bagai ditetesi embun dingin.
”Tapi masalahnya justru ada pada ibu mertuaku, yaitu
ibunya Mila.” Lanjut Yuni.
324
”Apa masalahnya?.
”Masalah yang saya sama Edy sampai judeg dan bingung
harus bagaimana menghendaki perempuan tua kolot. Masalah
yang sangat mengherankan masih saja ada di zaman modern.
Masalahnya adalah Azzam anak pertama dan Mila anak ketiga.
Ibu mertua itu sangat percaya itu namanya lusan. Tidak boleh
anak ketiga menikah dengan anak pertama. Terus katanya
kalau me....
“Ya kalau menikah maka salah satu dari orang tua
pengantin, baik itu pengantin lelaki atau pengantin perempuan
akan ada yang binasa.
Akan ada yang meninggal dunia. Begitu kan?.
”Iya. Edy sama saya sampai berdebat keras sama ibu
mertua. Edy malah sampai marah. Tapi ibunya tetap
bersikukuh. Dan dia bilang, ’Kalau sampai Mila jadi menikah
dengan lelaki itu maka aku tidak rela dunia akhirat. Dan Edy
yang membawa lelaki itu dan keluarganya juga tidak aku
ridhai!’ Begitulah kami tidak bisa berkutik apa-apa. Edy tidak
berani ikut karena malu sama Azzam.
Kalau kalian ada saran silakan. Terus terang kami telah
kehabisan cara berhadapan dengan ibu mertua yang sangat
kolot dan masih kuat memegang kejawen..
”Ibu mertuamu di Surabaya masak masih begitu.
Surabaya kan kota santri?.
”Ibu mertua memang di Surabaya, tapi aslinya kan
Karanganyar.”
325
“Lha bapak mertuamu bagaimana?.
”Dia selalu ikut apa kata ibu mertua. Ah yang kasihan
Mila..
”Kenapa dengan Mila?” Tanya Husna penasaran.
”Mila tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia sangat sedih.
Ia bilang ke saya, ’Kalau Mas Azzam mau mengajak dia kawin
lari pun dia siap. Nanti biar Mas Edy yang jadi walinya.’ Tapi
suamiku itu tidak berani. Ia takut membuat ibunya benar-benar
murka dan menyumpahinya tujuh keturunan..
”Terus apa yang seharusnya kami lakukan?”
“Aku juga tidak tahu. Tapi kalau Azzam mau mencoba
menghadapi ibu mertuaku langsung juga tidak apa. Siapa tahu
di tangan Mas Azzam ibu mertuaku takluk..
Mendengar penjelasan Yuni itu Azzam hanya bisa geram.
Kenapa mitos-mitos yang penuh kebohongan itu tetap saja jadi
keyakinan.
Berapa banyak korban yang sengsara karena mitos seperti
itu. Dulu di dukuh Sraten, Sriani anak perempuan Bu War
gagal kawin dengan anak pedagang sapi dari Karanggede
Boyolali gara-gara masalah hitungan hari kelahiran. Menurut
orang-orang Karang gede hitungan keduanya yang tidak
cocok. Kalau tetap dikawinkan akan selalu mendatangkan huru
hara rumah tangga. Perkawinan dibatalkan. Dan anak Bu War
jadi linglung sampai sekarang.
Sampai di rumah semua keterangan Yani
dimusyawarahkam dengan Bu Nafis dan Lia.
326
”Kak Azzam, nekat saja ke Surabaya. Labrak saja ibunya
Mila yang kolot itu. Kalau tetap bersikukuh bawa saja si Mila
kawin di sini.
Kalau Edy kakaknya tidak mau jadi wali bisa pakai wali
hakim.
Kalau seperti ini diterus teruskan yang kasihan kan kamum
perempuan.
Selalu jadi korban, kayak Si Mila itu. Apa salah Si Mila
coba!?” Sengit Lia dengan mata menyala-nyala.
”Jangan! Kalau Azzam tetap nekat terus ibunya Mila tetap
bersikukuh dan Azzam tetap membawa Mila nikah, ibu kok
yakin ibunya Mila itu akan meninggal dunia!” Kata Bu Nafis.
”Benarkah Bu?” Heran Lia. Azzam dan Husna juga heran.
“Benar.
Ibu agak yakin..
Berarti ibu juga berpendapat sama dengan ibunya Mila
bahwa anak ketiga tidak boleh menikah dengan anak yang
nomor pertama?” Kata Lia dengan nada agak sinis.
“Tidak begitu.” Terus kenapa ibu begitu?.
Kalau Azzam tetap menikahi Mila. Ibu itu akan mati karena
marah! Mati karena serangan jantung dan sakit hati yang luar
biasa yang dihembuskan oleh setan yang menjaga mitos
menyesatkan itu!.
327
“O begitu.” Lia lega. Menurut Bue Kak Azzam harus
bagaimana?.
”Cari yang lain saja! Kayak tidak ada gadis lain saja di
muka bumi ini. Masih ada yang lebih baik dari Mila. Soal Mila
itu urusan keluarga mereka!” Tegas Bu Nafis.
Sebenarnya Azzam sangat berat menerima kenyataan ini.
Inilah kali keempat ia berniat menikahi seorang gadis tapi tidak
berjodoh. Yang pertama ia melamar Anna lewat Ustadz Mujab
ternyata sudah didahului Furqan. Kedua, ia cocok dengan
Rina, ibunya tidak cocok.
Ketiga, ia juga cocok dengan Tika, ibunya yang tidak
cocok.
Keempat dengan Mila. Ia dan Mila sama-sama cocok, tapi
ibu Mila yang ternyata jadi penghalang. Sudah empat kali!
“Jangan sedih Kak. Ayo Kak cari yang lain! Lia dan Mbak
Husna juga akan bantu!” Lia berusaha menghibur kakaknya.
”Kak Azzam sendiri apa tidak punya kenalan gitu? Kan
kakak juga mengajar ngaji di pesantren siapa tahu ada di
antara jamaah yang punya anak putri yang cocok buat Kakak.”
Ujar Husna. Kata-kata Husna itu mengingatkannya pada
seorang bapak setengah baya yang pernah memberikan kartu
nama kepadanya. Bahkan bapak itu menawarkan putrinya. Ia
merasa untuk mendapatkan jodoh segala jalan yang halal dan
terhormat harus ditempuh.
”Ya kakak ada kenalan, kakak ingat! Beliau pernah
memberi kartu nama!” Seru Azzam.
328
”Iya Kak, coba saja! Siapa tahu memang jodohnya.’ Lia
menyemangati.
Azzam langsung beranjak ke kamarnya mencari kartu
nama yang ia yakin ia letakkan di dalam almari di kamarnya.
Sejurus kemudian Azzam berteriak,
“Ya ada”. Lalu keluar.
”Namanya Pak Ahmad Jazuli. Alamatnya di Batur, Ceper,
Klaten.
Pemilik perusahaan cor besi dan baja Jayakusuma
Logam.” Kata Azzam.
”Ketemu sama Bapak itu di mana Zam?” Tanya Bu Nafis.
”Di pesantren Wangen Bu. Saat Azzam mengisi pengajian
Al Hikam yang pertama dulu..
”O begitu.”
“Wah kalau ini jodoh, bisa jadi lebih baik dari Mila dong
Kak. Kan orang Batur itu banyak yang kaya karena punya
pabrik logam.” Celetuk Lia.
”Bukan kekayaan yang kakak cari kok Lia. Tapi isteri yang
shalehah..
”Iya Lia tahu..
* * *
329
Hari berikutnya Azzam langsung meluncur ke Batur, Ceper,
Klaten.
Jam sepuluh pagi Azzam sampai di alamat yang ada
dalam kartu nama itu. Ia sampai di sebuah rumah yang besar.
Dengan pagar bumi tinggi. Halamannya luas, dan rumahnya
menjorok ke dalam. Dua orang satpam menjaga pintu gerbang.
Ia memperkenalkan diri dan menjelaskan keperluannya. Pintu
gerbang dari besi dibuka. Azzam membawa mobilnya masuk.
Ia melihat rumah yang mewah.
Garasinya terbuka. Ada tiga mobil terparkir di sana. Kijang
kapsul, BMW hitam. dan Nissan X-Trail.
Begitu Azzam keluar dari pintu mobilnya. Seorang lelaki
berusia kira-kira lima puluh tahun keluar dari pintu rumah dan
menyambutnya. Lelaki itu memakai sarung dan koko putih.
Tanpa peci. Rambutnya sebagian mulai memutih.
“M
asya Allah, ada tamu agung tho. Nakmas Azzam. Mari-
mari
silakan masuk Nak.” Lelaki itu menyambutnya dengan
sangat hangat. Azzam masuk, lantai rumah itu sepenuhnya
adalah yang tebalnya kira-kira dua senti. Ada satu dinding
yang sepenuhnya adalah aquarium. Ikan-ikan emas itu seperti
naik turun berlari dan bergerak di dinding. Dinding itu seperti
dasar laut.
”Apa kabarnya Nak?.
”A
lhamdulillah baik Pak..
”Apa kegiatan Nakmas sekarang?.
”Anu Pak, latihan bisnis kecil-kecilan..
330
”Apa itu?.
”Jual bakso..
”Bagus itu. Bapak dulu waktu masih muda pernah jualan
garam pakai sepeda. Ternyata itu bisa jadi latihan untuk
menggembleng mental bisnis. Teruskan bisnismu Nakmas,
Bapak doakan semoga barakah..
”Amin..
”Ngomong-ngomong, ada keperluan apa ini Nakmas kok
tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada guntur sampai di sini?.
”Ya sowan saya ke sini pertama untuk niatan
menyambung tali silaturrahmi. Kedua ya untuk bertemu bapak,
mengetahui kesehatan bapak. Kan Bapak pernah memberi
kartu nama kepada saya agar saya datang kemari. Ketiga, terus
terang untuk menjawab tawaran bapak waktu itu. Bapak bilang
punya anak putri siapa tahu berjodoh.” Jawab Azzam dengan
tenang dan lancar.
Bapak pemilik rumah mewah itu menunduk, lalu
menghembuskan nafasnya. Matanya berkaca-kaca. Raut
mukanya berubah sedih.
”Maafkan saya kalau saya lancang Pak.” Lirih Azzam.
”Tidak Nak. kamu tidak lancang. Bapak sangat berterima
kasih kamu berkenan datang. Sungguh bapak sangat bangga
denganmu. Dan bapak sangat berharap saat itu begitu kamu
membaca kartu nama bapak langsung datang kemari. Itu foto
anak Bapak. Namanya Afifatul Qana’ah.” Lelaki itu menunjuk
331
ke sebuah foto wisuda di dinding. Azzam melihat. Dan hati
Azzam berdesir.
”Itu waktu dia wisuda di ITB. Setelah itu dia S2
Matematika di Belanda. Saat aku bertemu denganmu dia baru
pulang dua minggu dan minta dicarikan jodoh yang bisa
membimbingnya baca Al Qur’an dan bisa mengimaminya
shalat. Bapak anggap ketika bertemu denganmu engkaulah
orangnya. Cocok. Sama-sama lulusan luar negeri. Bapak
tunggu dari hari ke hari dan minggu ke minggu, kamu tidak
datang. Bapak punya pikiran kamu mungkin sudah ada calon.
Bapak merasa salah terlalu berharap pada orang yang
bertemu sepintas lalu.
”Sementara Afifa terus mendesak bapak. Umurnya sudah
dua puluh enam. Akhirnya bapak menyerahkan jodohnya
padanya, asal baik dan shaleh kalau dia punya calon bapak
merestui. Dia bilang dulu punya teman di ITB, orang asli
Cirebon. Dia cari informasi ternyata temannya itu masih lajang.
Punya usaha toko komputer di Bandung.
Satu bulan yang lalu dia menikah Nakmas. Sekarang
diboyong suaminya ke Bandung. Kedatanganmu membuat
Bapak sedih. Sedih kenapa Bapak tidak sabar menunggumu
datang..
Azzam meneteskan air mata. Ia tidak berlama-lama. Ia
pulang dengan rasa haru membuncah di dada. Kenapa ia
meremehkan silaturrahmi? Ia memaki dirinya sendiri. Kenapa
ketika diberi kartu nama dan diminta silaturrahmi dia tidak
datang. Coba kalau datang.
Anak Pak Jazuli itu tidak kalah jelita dibanding Eliana dan
332
Anna. Ia lulusan Matematika S2 Belanda. Sebelumnya di ITB.
Dari keluarga santri. Ia memukul kepalanya sendiri. Penyesalan
selalu datang belakangan. Meremehkan hal-hal kecil bisa
rnembuat seseorang akan menyesal berkepanjangan.
* * *
Gagal mendapatkan putri Pak Jazuli tidak membuat Azzam
putus asa dalam berikhtiar mencari jodohnya.
Setiap ada informasi yang ia rasa menarik dikejarnya.Saat
ronda malam Kang Paimo cerita bahwa di Singopuran ada
jurangan beras yang kaya, namanya Pak H Darmanto. Biasa di
panggil Haji Dar.
Kang Paimo menceritakan bahwa Haji Dar memiliki putri
yang cantik. Ia pernah bilang padanya bahwa siapa yang mau
menikahi anaknya secepatnya akan dinaikkan haji seluruh
keluarganya.
Azzam tertarik. Suatu sore, saat langit terang benderang,
matahari masih bersinar cerah, Azzam mencari rumah Haji
Dar. Dan ketemu.
Rumah itu dekat dengan pabrik tembakau. Haji Dar
melihat Azzam datang. Tanpa basa-basi Azzam mengutarakan
niatnya menyunting putri Haji Dar itu. Haji Dar luar biasa
senangnya. Seketika Haji Dar kebelakang mencari isterinya.
Saat Haji Dar kebelakang ia melihat ada anak gadis berkulit
putih muncul dari samping rumah. Ia perkirakan gadis itu
mahasiswi semester tiga atau empat. Ia kaget, tiba tiba gadis itu
duduk begitu saja di halaman seperti anak kecil.
Lalu ia main karet yang ia bawa dengan plastik hitamnya.
333
Belum hilang kagetnya isteri Haji Dar muncul.
“Ini Bu namanya Nak Azzam. Dia yang melamar mau
menikahi Eva.” Terang Pak Dar pada istrinya.
”Kau sudah mantap Nak?”
“Insya Allah Bu..
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh gadis itu yang menangis
meraung-raung di halaman sendirian. Gadis itu jalan dan
masuk rumah. Lalu menangis di pangkuan ibunya.
“Ibu Eva mau mimik susu!” Kata gadis itu. Seketika
seluruh badannya gemetar. Gad is itu memang cantik tapi
ternyata gadis itu punya kelainan yaitu keterlambatan
perkembangan pikirannya. Ia mau pingsan rasanya saat itu. Ia
langsung buru-buru minta diri dan minta maaf pada Pak Haji
Dar. Ia bilang bahwa dirinya salah alamat. Ingin rasanya ia
menjitak Kang Paimo.
Azzam belum juga menyerah.
Adiknya Lia mencoba mengenalkannya dengan anak Pak
Badri.
Menurut Lia, Pak Badri ini adalah wali murid seorang
anak didiknya.
Pak Badri pernah bercerita bahwa dia memiliki anak
perempuan yang sedang menghafalkan Al Qur’an di
Wonosobo.
”Kata Pak Badri namanya Seila Oktaviana. Dulu sekolah
334
di MAN I Surakarta. Begitu lulus MAN, Seila langsung nyantri
di Wonosobo.
Tahun ini katanya khatam hafal 30 juz. Mungkin yang
santriwati hafal Al Qur’an seperti ini yang jadi jodoh Kakak..
”Rumah Pak Badri di mana?” Tanya Azzam penasaran.
”Dekat Kak. Di daerah Banyudono situ..
Tak harus menunggu lama, hari berikutnya ia ke
Banyudono. Pak Badri ternyata juga ikut pengajian Al Hikam
yang diasuhnya. Pak Badri sangat senang mendengar
pengakuan Azzam yang ingin menyunting putrinya. Azzam
langsung diajaknya ke Wonosobo.
”Kita langsung saja ke sana. Langsung ketemu Seila. Biar
semuanya jadi enak dan terbuka.” Kata Pak Badri.
Azzam ditemukan dengan Seila yang terus menundukkan
kepala.
Pak Badri juga menjelaskan kepada Seila maksud
kedatangannya membawa Azzam. Seila melihat Azzam sesaat.
Seila tidak langsung memberi jawaban. Seminggu setelah itu
surat Seila dari Wonosobo datang ke Banyudono. Surat itu
singkat sekali. Surat itu oleh Pak Badri diberikan kepada Azzam
untuk dibaca,
Ayahanda tercinta di Banyudono Assalamu ’alaikum Wr Wb
Ananda dengan sur at ini mohon tambahan doa restunya.
Pun Ananda berdoa semoga Ayahanda dan Ibunda, juga adik-
adik semuanya selalu dikasihi dan dicintai oleh Allah. Amin.
335
Ayahanda berkenaan dengan maksud ayah menjodohkan
ananda dengan pemuda yang bernama Azzam, itu adalah hal
yang sepatutnya ananda syukuri. Memang kewajiban seorang
ayah mencarikan jodoh untuk putrinya.
Namun ayah, menurut ananda rumah tangga yang tidak
didasari cinta akan hampa tiada bermakna. Jujur, saat bertemu
Azzam itu hati ananda tidak menerbitkan sedikit pun cahaya
cinta. Ananda mohon maaf. Ananda tidak bisa menerimanya.
Lagi pula ananda masih akan cukup lama di pesantren. Ananda
belum tuntas betul menghafalkan 30 juz. Ananda tidak mau
gara-gara memikirkan nikah terus konsentr asi Ananda
berantakan.
Setelah hafal pun ananda juga masih ingin di pesantren
cara mengabdi
satu tahun untuk mema tangkan hafalan dengan
pada pesantren.
Sama sekali ananda tidak bermaksud mengecewakan
ayahanda atau siapa saja. Ananda hanya menyampaikan
terutama yang menjadi pendapat ananda, dan yang menurut
ananda terbaik untuk ananda.
Demikian mohon maaf jika ada khilaf.
Wassalamu ’alalkum
Ta’zhim ananda, Seila
Membaca surat itu Azzam malah terharu. Seila benar. Seila
harus memilih suami yang dicintainya. Dan Seila harus
menyelesaikan hafalan Qur’annya. Ia sama sekali tidak mau
menjadi penghalang bagi keberhasilan seseorang
336
menghafalkan Al Qur’an.
Suatu malam ketika semua orang sedang tidur nyenyak,
Azzam menangis dalam sujud shalat tahajjudnya. Ia adukan
semua keluh kesah dan lelahnya kepada Allah,
“Ya Allah, Engkau Dzat Yang Maha Melihat dan
Mendengar.
Engkau melihat segala ikhtiar hamba untuk bertemu
dengan makhluk yang Engkau jodohkan untuk menjadi
pendamping hidupku. Sudah berhari-hari hamba berikhtiar
mengetuk setiap pintu rumah yang hamba yakin ada jodoh
hamba. Mulai dari Anna, Rina, Tika, Mila, Afifa, Eva, dan Seila
sudah hamba datangi. Engkau Mahatahu kenapa hamba
mendatangi mereka ya Allah.
”Ya Allah hamba memohon temukanlah hamba dengan
pendamping hidup yang terbaik untuk hamba menurut-Mu ya
Allah. Yang terbaik untuk dunia dan akhirat hamba ya Allah.
Hamba lelah ya Allah, namun lautan rahmat dan cintaMu
membuat hamba selalu merasa segar dan tegar. Jangan
tinggalkan hamba dalam kesia-siaan ya Allah. Jadikanlah
semua langkah hamba senantiasa mendatangkan ridha dan
rahmatMu. Amin..
337

Tidak ada komentar:

Posting Komentar