Minggu, 14 Juni 2009

Pertemuan Cinta

"Sepuluh menit lagi kita akan mendarat di Bandara Soekarno
Hatta." Kata Eliana pada Azzam yang duduk di sampingnya.
Azzam diam menikmati gelombang ke-haruan dan
kebahagiaan dalam hatinya. Kedua matanya berkaca-kaca. la
hampir-hampir tidak percaya bahwa akhirnya ia bisa pulang
juga. Pulang ke tanah air tercinta untuk bertemu dengan
orang-orang yang sangat di-rindukannya.
“Kau menangis Mas Irul?" Azzam mengangguk. Di
pelupuk matanya ada ibu dan ketiga adiknya. Kemarin
sebelum meninggalkan Cairo ia sempat kirim sms kepada
Husna bahwa ia akan sampai hari ini di Jakarta. Ia tidak
minta sang adik menjemputnya.
Namun ia berharap ketika ia sampai di bandara ada
yang menjemputnya.
143
“Apa yang membuatmu menangis Mas?" Eliana lagi.
Azzam menyeka air matanya. la memandang wajah Eliana
sesaat seraya berkata,
“Sudah sembilan tahun aku meninggalkan tanah air.
Sudah sembilan tahun aku berpisah dengan ibuku dan
adik-adikku. Aku terharu bahwa akhirnya aku bisa pulang ke
Indonesia. Aku akan bertemu dengan keluarga.
Apakah aku tidak boleh menangis karena haru dan
bahagia? Apakah aku tidak boleh menangis karena bersyukur
bahwa aku akan kembali menginjak tanah air tercinta?"
“Kau benar. Aku baru tahu kalau selama itu kamu
meninggalkan Indonesia dan selama itu pula kamu tidak
pernah bertemu keluarga. kamu sungguh orang yang sabar
dan tabah."
“Aku tidak sesabar dan setabah yang kamu kira."
“Paling tidak kamu membuatku salut."
Pesawat semakin rendah. Semakin mendekati bumi.
Akhirnya siang itu, tepat jam dua siang pesawat yang
ditumpangi Azzam mendarat di landasan Bandara
Internasional Soekarno Hatta dengan selamat. Arus
kebahagiaan merasuk ke dalam hatinya dengan deras, kuat
dan tajam. Berkali-kali ia memuji kebesaran Allah atas
limpahan nikmatnya.
“Aku datang Indonesia tercinta! Aku datang ibunda
144
tercinta! Aku datang adik-adikku tercinta!" Pekiknya dalam
hati dengan mata berkaca-kaca.
Azzam berjalan beriringan dengan Eliana.
“Mas Irul ada yang jemput?" Tanya Eliana.
“Tidak tahu pasti. Mungkin saja ada." Jawab Azzam.
“Kalau tidak ada yang menjemput bareng aku saja.
Istirahat saja dulu di rumahku. Baru besok pulang ke
Solo.
Bagaimana?"
“Tak tahu. Nanti sajalah jika sudah di luar sana."
Mereka berdua melangkah menuju loket imigrasi, lalu
mengambil bagasi. Barang bawaan Azzam jauh lebih banyak
dibandingkan Eliana. Eliana hanya membawa tas kecil dan
kopor ukuran sedang yang bisa ditarik dengan santai. Setelah
melewati bea cukai hati Azzam berdebar, jantungnya
berdegup kencang. Syaraf-syarafnya bergetar.
Ia sangat yakin ada yang menunggunya di luar.
Azzam keluar dengan hati bergetar. Ia melangkah sedikit
di depan Eliana. Ia melihat banyak orang bawa kamera.
Seperti membidik dirinya. Ia mendengar seseorang
memanggil-manggil namanya. Suara anak perempuan. Ia
mencari-cari asal suara. Matanya bertemu dengan mata gadis
manis berkerudung hijau muda.
145
Gadis itu adalah Husna. Azzam menghambur ke arah
adiknya. Sang adik juga bergegak menghampur ke arah
kakaknya. Keduanya berpelukan sambil menangis penuh
haru. Sembilan tahun tidak bertemu akhirnya bertemu.
Husna meraih terisak-isak dalam pelukan kakaknya
tercinta. Kakak yang sangat dirindukannya siang dan malam.
Kakak yang menjadi pahlawan baginya yang telah
membiayai hidup dan sekolahnya. Juga sekolah adik-
adiknya. Tubuh kakaknya itu begitu kurus. Wajahnya lebih
tua dari umurnya.
Eliana menyaksikan adegan itu dengan hati haru. Ia juga
meneteskan air mata, tapi segera ia hapus dengan sapu
tangannya. Belasan wartawan terus membidikkan gambar ke
arahnya. Seorang pria setengah baya datang mengawal-nya.
Sejurus kemudian ia sudah dikepung belasan wartawan yang
ternyata sudah menunggu sejak pagi untuk
mewawancarainya.
Azzam melepaskan pelukannya pada adiknya.
“Sendirian Dik?" Tanya Azzam sambil menyeka air
matanya.
"Iya, Husna ke Jakarta sendiri. Tapi ke sini Husna ditemani
dua orang teman. Itu, mereka berdiri di sana memandangi
kita. Mereka kakak beradik Rina dan Luna."
“Bu’e dan adik-adik tidak ikut kenapa?"
“Jakarta itu jauh Kak. Takut ibu malah sakit. Lia harus
mengajar, di samping juga harus menemani Bu’e. Si Sarah di
pesantren."
146
“Ya sudah tidak apa-apa. Terima kasih Dik ya, sudah
menjemput kakak."
“Tidak perlu berterima kasih atas sebuah kewajiban
Kak."
“Kapan kamu sampai ke Jakarta?"
“Kemarin pagi. Terus tadi malam Husna menginap di
rumah Rina."
“Ini kita mau ke mana?"
“Kita ke Cikini Kak. Ke hotel yang disediakan panitia
untuk Husna. Kan nanti malam acara penganugerahan
penghargaan itu seperti yang pernah Husna ceritakan di
surat. Ayo kita temui Rina dan Luna."
“Ayo." Azzam mendorong barang bawaannya mengikuti
langkah Husna ke arah dua gadis yang berdiri tenang.
Eliana masih sibuk dengan wawancaranya.
“Rin, Lin, ini kakakku yang aku ceritakan itu. Kak
Khairul Azzam." Azzam menelungkupkan kedua tangannya di
dada sambil mengangguk pada Rina dan Luna. Kedua gadis
itu melakukan hal yang sama seraya berkata,
“Selamat datang kembali di Indonesia!"
“Terima kasih." Jawab Azzam.
147
“Mbak Husna, itu yang dikerubuti wartawan keli-
hatannya Eliana Alam deh." Ujar Luna yang sangat ngefans
sama Eliana.
"Wah aku kok tidak begitu memperhatikan ya." Jawab Husna
sambil melongok ke arah keramaian orang yang membawa
kamera.
“Maklum, konsentrasinya sepenuhnya pada sang kakak
yang sudah sembilan tahun tidak bertemu." Tukas Rina
sambil tersenyum.
“Memang benar." Jawab Husna ringan.
“Yang dimaksud Eliana Pramesti Alam?" Tanya Azzam.
“Betul Mas. Itu lho bintang sinetron Dewi-dewi Cinta?
Mas Azzam kenal dia? Tadi satu pesawat ya?" Seru Luna
heboh.
“Iya itu memang Eliana Pramesti Alam. Saya kenal baik
dengan dia. Tadi bahkan duduk satu bangku dengannya."
Jawab Azzam santai.
“Hebat! Mas Azzam pacarnya ya?" Timpal Luna tanpa
dosa.
“Hus! kamu ada-ada saja!" Rina membentak adiknya
yang menurutnya sudah keterlaluan. Husna dan Azzam
tersenyum saja mendengarnya.
“Mas bisa tidak, aku dikenalkan sama dia? Aku ingin
foto bareng sama dia. Biar heboh teman-teman di kantor."
148
“Bisa. Kita temui dia saja sekarang, nanti dia keburu
pergi!" Ajak Azzam.
“Mbak Rina di sini saja ya. Nunggu barang-barang.
Kalau tidak ditunggu nanti hilang." Seru Luna riang.
Dengan muka agak cemberut Rina menjawab,
“Ya.
Fotolah sepuas-puasnya!" Azzam, Husna dan Luna
melangkah ke arah kerumu-nan. Sambil berjalan Luna
menyerahkan hand phone kameranya pada Husna. la
menjelaskan bagaimana caranya mengambil gambar.
Azzam menerobos kerumunan diikuti Husna dan Luna.
Begitu sampai di samping Eliana Azzam berkata,
"Mbak, kenalkan ini adikku Husna dan temannya Luna."
“Oh ya. Saya Eliana." Husna dan Luna menjabat tangan
Eliana. Luna langsung menggeser tubuhnya dan berdiri di
samping kanan Eliana. Dan Azzam ada di samping kiri
Eliana.
Sementara Husna sedikit mundur. Eliana mau
mengatakan sesuatu pada Azzam, tiba-tiba seorang wartawan
televisi bertanya,
“Saat ini kalau boleh tahu siapa pria paling dekat
dengan Eliana?" Eliana agak terhenyak menjawab
pertanyaan itu.
“Apa tadi?" la pura-pura kurang dengar.
149
“Siapa pria paling dekat dengan Eliana saat ini?"
Wartawan itu mengulang dengan suara lebih keras.
“Em... siapa ya. Yang paling dekat saat ini seorang
mahasiswa di Cairo namanya Khairul Azzam!" Jawab Eliana
sekenanya.
Husna dan Luna kaget. Keduanya berpandangan.
Azzam lebih kaget. la tidak percaya apa yang
didengarnya.
“Orang itu sekarang ada di mana?" Kejar wartawan itu.
“Ini di samping saya." Jawab Eliana santai, ia benar-
benar sang penguasa keadaan saat itu.
Seketika moncong kamera dan belasan alat perekam
mengarah ke Azzam.
“Sejak kapan Anda kenal Eliana?" Tanya seorang
wartawan.
“Aduh, ini apa-apaan!" Seru Azzam panik.
“Santai saja Mas. Kita kooperatif saja jadi enak. Sejak
kapan Anda kenal Eliana?"
“Aduh, gimana ini. Mbak Eliana, bicara dong. Wah kok
jadi rumit begini sih!" Kata Azzam pada Eliana.
"Dia tidak biasa menghadapi wartawan. Kami kenal sejak
satu tahun yang lalu." Sahut Eliana dengan tenang.
150
“Benar kamu dekat dengan Eliana?" Cerocos seorang
wartawan koran ibu kota.
“Kebetulan tadi kami satu pesawat dan tempat
duduknya berdekatan. Saya diF, dia diE. Jadi kami memang
dekat." Jawab Azzam juga sekenanya.
“Apa profesi Mas saat ini?"
“Jualan bakso."
“Ah, jangan bergurau Mas."
“Sungguh. Tanya saja pada Eliana!" Wartawan itu
langsung bertanya pada Eliana,
“Benarkah dia berjualan bakso?"
“Ya benar. Para diplomat adalah para pelanggannya."
Jawab Eliana.
“Wah seorang entrepreneur! Keren ya Mbak?" Wartawan
itu berkomentar.
“Iya dong. Dia pria paling keren yang pernah aku
temui." Kata Eliana santai menanggapi komentar wartawan
itu. Eliana lalu mencondongkan kepalanya ke arah telinga
Azzam dan berbisik,
“Hei, Mas, jadinya bagaimana? Mau ikut ke rumahku?"
Azzam menggelengkan kepala.
151
“Kenapa?" Tanya Eliana berbisik. Kepalanya masih
condong ke arah Azzam.
Puluhan kamera mengabadikan peristiwa itu. Eliana
cuek saja. Azzam tak tahu harus bagaimana.
“Aku sama adikku ada hotel." Jawab Azzam juga
setengah berbisik.
“Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau aku ke Solo boleh
mampir?"
“Boleh." Jawab Azzam sambil mengangguk.
Beberapa wartawan mencatat dialog lirih Eliana dengan
Azzam. Mereka mencatat beberapa kalimat yang mereka
dengar lalu mengembangkan dengan imajinasi mereka.
Azzam pamit pada Eliana. la hanya menelungkupkan
tangan di dada. Lalu beranjak pergi.
“Tidak ada
cipika cipiki
Mas?" Tanya seorang
11
wartawan usil.
Azzam tidak menjawab, yang menjawab malah Eliana,
“Dia itu mahasiswa Al Azhar Cairo, masak cium pipi
kanan pipi kiri. Kan belum halal! Ngerti!?"
“Wah sekarang pacar Eliana 'alim ya. Bisa jadi berita
menarik ini." Komentar seorang wartawan.
Cium pipi kanan, cium pipi kiri
11
152
“Boleh saja. Okay, teman-teman wartawan semua. Aku
pamit dulu. Terima kasih ya semuanya." Eliana melangkah
pergi. Beberapa wartawan masih mengabadikan wajah
Eliana yang tampak lelah namun tetap cantik di kamera
mereka. Pria setengah baya yang datang untuk menjemput
dan mengawal Eliana langsung mengambil peran. Dengan
sekuat tenaga ia menyibak jalan dan membawa Eliana ke
mobil Toyota Camry yang telah siap menunggu. Begitu
Eliana dan pria setengah baya itu masuk, Camry itu langsung
meluncur tergesa.
Azzam melangkah bersama Husna dan Luna ke tempat
Rina menunggu. Husna belum bisa memahami apa yang
baru saja dilihatnya. Bagaimana mungkin kakaknya begitu
dekat dengan Eliana. Seolah tidak ada jarak. Ia ingin
langsung banyak bertanya, tapi ia lihat muka kakaknya
sedang benar-benar lelah. Ia tidak tega. Dua orang wartawan
datang minta wawancara. Dengan tegas Husna
mengamankan kakaknya. Seorang sopir taksi menawar-kan
jasanya, Azzam langsung mengiyakan. Dengan sigap ia
memasukkan barang bawaannya dibantu sopir taksi yang
kekar dan muda.
Azzam lalu masuk duduk di depan. Husna, Rina dan
Luna duduk di belakang.
“Ke mana Bang?" Tanya sopir taksi sambil meng-
hidupkan argo kepada Azzam.
“Ke mana Dik?" Tanya Azzam pada Husna.
“Ke Hotel Sofyan Cikini Bang, yang dekat dengan TIM
ya Bang." Jawab Husna.
153
“Baik." Taksi itu lalu meluncur perlahan meninggalkan
Ban-dara. Luna diam-diam kagum pada Azzam. Rasa
kagum-nya pada Azzam sama dengan rasa kagumnya pada
Eliana.
“Ternyata kakak Mbak Husna selebritis juga ya. Nanti
aku minta foto bareng ya." Celetuk Luna.
“Ah kamu ini foto melulu yang dipikir. Udah ah, jangan
mengganggu orang dong!" Ujar Rina setengah membentak
pada adiknya.
“Saya ini bukan selebritis kok Dik. Saya ini cuma penjual
tempe dan bakso di Cairo. Sungguh. Kebetulan di antara
yang sering pesan bakso saya ayahnya Eliana dan Eliana
sendiri. Ayahnya Eliana itu kan Dubes Indonesia di Mesir.
Jadi saya kenal baik dengan Eliana. Tadi itu kan Eliana tidak
serius. Dia main-main. Dia mengerjain saya! Wah punya
kenalan artis ini jadi repot!" Jelas Azzam panjang lebar.
Ia tahu adiknya dan dua gadis temannya itu pasti
mengira yang bukan-bukan pada dirinya.
“Tapi aku yakin besok pagi wawancara tadi bakal jadi
head line surat kabar dan akan jadi berita dan gosip tidak
ada
habis-habisnya di infotainment." Ujar Luna.
“Biarin saja. Kayak gitu tidak udah diurus, hanya
menghabiskan umur saja." Sahut Azzam tenang.
* * *
Sampai di hotel Husna mengajak ke kamar yang telah ia
pesan untuk kakaknya. Kamar kakaknya berdampingan
154
dengan kamarnya Ia sudah check in di hotel itu sejak pagi
sebelum berangkat ke bandara. Ia memilih hotel yang paling
dekat dengan tempat acaranya. Rina yang memilihkan Hotel
Sofyan.
“Kakak istirahat saja dulu. Nanti selepas maghrib kita
berangkat ke TIM. Acaranya nanti jam tujuh malam." Ujar
Husna sambil menata barang-barang bawaan kakaknya.
“Iya Dik. kamu pun kelihatannya juga lelah. Istirahatlah
dulu!"
“Baik."
“Eh, Dik, dua temanmu itu sudah pulang?"
“Belum, mereka ada di kamar. Mereka juga mau lihat
acara nanti Malam. Usai acara baru mereka akan pulang.
Oh ya itu Si Luna tetap ingin foto bareng Kak Azzam,
bagaimana?"
“Ya nggak apa-apa asal nanti kamu ikut foto."
“Baik Husna akan sampaikan. Dia itu penggemar berat
Eliana. Wah dia merasa seperti mimpi katanya bertemu
Eliana. Awalnya tadi pagi Luna tidak mau ikut tapi dipaksa
sama Rina. Jadilah dia ikut. Tadi pagi selama perjalanan dia
uring-uringan terus sama kakaknya, sampai Husna tidak enak
dibuatnya. Sekarang ia berterima kasih berkali-kali sama
kakaknya. Oh ya Kak, ayah dan ibu mereka titip salam.
Sebenarnya ayah dan ibunya Rina mau ikut jemput, tapi
tidak jadi karena ternyata mereka punya janji dengan kolega.
155
Ibunya Rina itu ingin sekali bertemu kakak. Baiklah Kak,
Husna ke kamar dulu ya?"
“Eh, nanti jam setengah lima aku dibangunkan ya Dik?"
“Iya kak." Husna pergi ke kamarnya. Azzam menutup
pintu lalu rebahan. Husna yang ia temui sekarang sudah
sangat berbeda dengan Husna sembilan tahun silam.
Sekarang tampak lebih anggun dan dewasa. la jadi semakin
penasaran seperti apa Lia? Juga ibunya. Seperti apa dukuh
Sraten sekarang? Apakah masih seperti sembilan tahun
silam? Ataukah telah banyak perubahan? Dan Pak Masykur
yang dulu pernah memarahi dirinya dan teman-temannya
karena bergurau saat shalat Jumat, bagaimana-kah kabar
beliau sekarang? Akhirnya rasa lelah membawa Azzam tidur
pelan-pelan.
* * *
Usai shalat maghrib mereka berempat berjalan kaki ke
TIM. Pusat budaya yang ada di jantung kota Jakarta itu tak
pernah sepi dari karya cipta. Pertunjukan seni, diskusi,
pagelaran budaya, dan peluncuran karya hampir selalu ada
tiap bulannya.
Malam itu, Diknas menggelar acara penganugerahan
penghargaan kepada karya-karya terbaik di bidang sastra.
Diknas menggolongkan penghargaan dalam tiga
kategori.
Kategori pertama, karya sastra untuk anak-anak. Kedua,
karya sastra untuk remaja. Dan ketiga, karya sastra untuk
156
dewasa. Masing-masing dipilih sepuluh terbaik nasional.
Jadi semuanya ada tiga puluh orang yang mendapat
penghargaan.
Kumpulan cerpen Menari Bersama Ombak yang ditulis
Husna meraih penghargaan karya terbaik nomor 1 kategori
karya sastra untuk remaja. Buku Husna itu mengalahkan
seratus lima puluh tujuh judul buku yang diseleksi oleh
Diknas.
Mereka berjalan santai. Sepuluh menit kemudian mereka
sampai di gerbang TIM.
“Ini tho yang namanya Taman Ismail Marzuki yang
terkenal itu." Ujar Azzam dengan perasaan gembira yang
meluap. la sudah lama mendengar nama TIM. Tapi baru
malam itu sampai di gerbangnya.
Gerbang TIM tampak semarak. Belasan warung tenda
berjejer menyambut siapa saja yang datang ke sana.
“Acaranya di gedung apa Na?" Tanya Rina.
“Di Graha Bhakti Budaya." Jawab Husna.
“Kita langsung ke sana saja. Gedung itu muat untuk
sekitar delapan ratus orang. Kalau malam ini pengunjung-nya
membludak kita bisa tidak dapat tempat kalau terlambat.
Ayo!" Seru Rina.
“Iya, apalagi akan ada beberapa artis ibu kota yang akan
membaca puisi." Sahut Husna
157
“Pasti membludak!" Yakin Rina sambil mempercepat
langkah. Husna, Azzam, dan Luna mengikuti iramanya.
“Wah, kalau banyak artis yang datang, ini acara seru
juga." Seloroh Luna.
“Apa kalau tidak ada artis yang datang tidak seru?"
Tanya Rina dengan nada tidak sepakat.
“Ya bukan begitu. Maksudnya semakin seru dengan
datangnya artis. Wah susah menjelaskan." Sengit Luna.
“Apa-apa kok timbangannya artis. Memang artis itu nabi
apa, kok selalu dijadikan timbangan?" Imbuh Rina dengan
sinis.
“Tak tahu ah. Yang penting nanti akan aku abadikan
Mbak Husna saat menerima penghargaan sebaik-baiknya."
Ujar Luna sambil melirik Husna yang melangkah tenang.
Graha Bhakti Budaya hampir penuh terisi orang.
Husna dan rombongannya menemui panitia. Mereka
berempat lalu dicarikan tempat agak depan. Tepat pukul
sembilan belas malam acara dimulai. Ada sesuatu yang
membuat mereka berempat terkesima, yaitu sang pembawa
acaranya, yang tak lain adalah Eliana Pramesti Alam. Artis
muda yang sedang naik daun dan paling diminati para
pemirsa televisi di tanah air.
Eliana tampak begitu anggun dalam balutan kebaya ala
Betawi. Puluhan kamera langsung mengambil gambarnya
begitu ia berdiri di tengah panggung. Acara disiarkan secara
langsung di dua stasiun televisi swasta terkemuka. Eliana
158
membuka acara itu dengan bersama-sama membaca Al
Fatihah.
Kemudian ia mempersilakan ketua panitia memberi-kan
sambutannya. Setelah itu Eliana langsung meminta Bapak
Menteri Pendidikan untuk menyampaikan pidato
kebudayaannya. Bapak Menteri berpidato hanya lima belas
menit. Eliana langsung memanggil seorang penyair
perempuan untuk membacakan puisinya.
Seorang perempuan berjilbab maju ke panggung.
Berjalan anggun. Dan berdiri di panggung dengan
anggun.
Setelah salam, perempuan itu membuka kalimatnya,
“Perkenankan aku membaca sebuah puisi, yang aku
tulis dikertas ini dengan tetesan air mata. Sebuah puisi untuk
anak-anak Irak yang teraniaya. Judulnya Pohon
Zaitun Masih
Berbunga.
"
Seluruh hadirin diam. Graha Bhakti Budaya
12
sesaat senyam. Semua mata tertuju pada gerak gerik sang
penyair di depan. Penyair perempuan itu lalu membaca
puisinya dengan segenap penghayatan. Suara emasnya
menyihir siapa saja yang mendengarkan,
Di kota Basrah Seor ang ibu melagu
Di depan ayunan bayinya
Mendendangkan lagu sayang
12
159
Tidurlah nak, malam masih panjang.
Pohon zaitun di halaman masih berbunga
Katakan pada dunia kita masih ada
Seribu satu cer ita masih aku punya
Untuk mengantarkan kamu dewasa
Syahrazad mungkin habis cerita
Tak menyangka di ujung umur dunia
Seorang durja memporak porandakan negeri kita
Namun doa Rabiah Membuka pintu Tuhan
Pintalah apa yang bisa kamu pinta
Pintalah Zaitun tetap berbunga.
Pintalah darah syuhada menjadi pupuknya .
Pintalah negeri kita tetap ada.
Pintalah apa yang bisa kamu pinta.
Pintalah nak..
Pinta Tuhan menjaga.
Semua yang hadir terkesima.
Azzam menghayati kandungan puisi itu dengan hati
basah dan mata berkaca-kaca. Demikian juga Husna yang
halus perasaannya. Begitu sang penyair itu selesai
membacakan puisinya, gedung itu luruh dalam gemuruh
tepuk tangan hadirin yang tersentuh hatinya. Beberapa orang
malah meneriakkan takbir secara spontan dan tiba-tiba.
“Selanjutnya untuk membacakan lagi, sebuah puisi saya
panggilkan seorang artis papan atas Indonesia. Seorang artis
berbakat yang sudah go international. Kita panggil Emira
Giza Humaira!" Kalimat Eliana langsung disambut tepuk
tangan hadirin dengan semeriah-meriahnya. Seorang artis
yang tidak asing, yang biasa dipanggil Giza maju memakai
gaun malam panjang hijau tua. Tanpa sebuah pengantar ia
160
membacakan sebuah puisi pendek berjudul,

Tuhan Mabukkanlah Aku
" dengan penuh
13
penghayatan,
Tuhan mabukkanlah aku Dengan anggur cinta-Mu
Rantai kaki er at-erat Dengan belenggu penghambaan
Kuraslah seluruh isi diriku Kecuali cinta-Mu
Lalu recai daku
Hidupkan lagi diriku
Laparku yang maha pada-Mu
Telah membuatku Berlimpah kar unia.
Giza membaca penuh penghayatan dan meng-akhirinya
dengan setetes air mata. Sebuah akting yang nyaris
sempurna. Diam-diam Eliana memperhatikan dengan
seksama segala kelebihan akting Giza yang lebih senior
darinya. la memperhatikan untuk belajar darinya.
Lalu tibalah acara inti. Pengumuman dan
penganugerahan penghargaan karya sastra terbaik tingkat
nasional. Para pemenang dipanggil berurutan perkategori.
Dan pemenang pertama perkategori diminta memberi
sambutannya. Akhirnya sampailah nama Ayatul Husna
diucapkan oleh bibir Eliana. Husna bangkit dan maju diiringi
gemuruh tepuk tangan. Lalu sembilan nama menyusul di
belakangnya.
13
161
Sampai di depan panggung Eliana agak terkejut melihat
Husna. la tahu yang berdiri di panggung sebagai pemenang
pertama adalah adiknya Azzam. Matanya mencari-cari sosok
Azzam. Akhirnya ketemu juga. la melihat Azzam, tapi Azzam
sedang memusatkan perhatian-nya pada adiknya. Hatinya
dipenuhi gelombang bahagia yang membuncah-buncah luar
biasa. Setelah menerima piala penghargaan, Husna
memberikan sambutan.
“Piala ini aku hadiahkan yang pertama untuk kakakku.
Dialah pahlawanku yang mati-matian membiayai hidup dan
kuliahku ketika ayah telah tiada. Kakakku yang membanting
tulang dengan jualan tempe dan bakso di Cairo demi adik-
adik yang dicintainya. Untuk kakakku yang baru tiba di
Indonesia setelah sembilan tahun lamanya tidak bisa pulang
ke Indonesia demi memper-juangkan nasib adik-adiknya, aku
hadiahkan penghargaan ini. Dan di hari bahagia ini
menyambut kepulangannya, perkenankan aku membacakan
puisi yang baru tadi sore aku tulis untuknya. Judulnya

Kau Mencintaiku."
Kau mencintaiku..
Seperti bumi Mencintai titah Tuhannya.
Tak pernah lelah Menanggung beban derita
Tak pernah lelah Menghisap luka
Kau mencintaiku
Seperti matahari Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa
Kau mencintaiku
162
Seperti air Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membersihkan lara
Tak pernah lelah Menyejukkan dahaga
Kau mencintaiku
Seperti bunga Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Menebar mekar aroma bahagia
Tak pernah lelah Meneduhkan gelisah nyala
Azzam tidak bisa menahan harunya. la meneteskan air
mata bahagia di tempat duduknya. Acara itu disiarkan
langsung ke seluruh Indonesia. Sambutan Husna itu
disaksikan oleh jutaan manusia, termasuk ibu dan adiknya
Lia di Kartasura. Anna Altafunnisa dan keluarganya di
Wangen. Furqan dan keluarganya di Jakarta. Juga teman-
teman kerjanya di UNS dan radio JPMI Solo. Sambutan dan
puisi Husna begitu menggugah dan bermakna.
Dan diam-diam, Eliana harus merasa kagum pada
Azzam dan adiknya. la tidak mengira akan sedahsyat ini hasil
jerih payah Azzam. la tidak bisa lagi meremehkan Azzam
hanyalah seorang pemuda pembuat bakso dan tempe. la
merasa Azzam pemuda yang langka di persada nusantara.
Dan dengan sangat halus sekali ada rasa kagum menyusup
ke dalam hati Eliana. Kagum pada pemuda kurus bernama
Khairul Azzam.
Eliana teringat apa yang tadi siang ia lakukan pada
Azzam. Ia memang murni mengerjai Azzam dan para
wartawan. Ia jadi malu karenanya. Namun ia merasa tidak
akan menyesal jika digosipkan oleh siapa saja kalau dirinya
dekat dengan pemuda itu. Ia tidak akan menyesal. Sebab ia
163
kini telah tahu kualitasnya. Azzam, secara akademik memang
kalah dengan Furqan yang beberapa waktu terus dikejarnya.
Namun dalam ujian hidup nyata Azzam sudah menunjukkan
karakternya.
Dalam hati, Eliana meneguhkan selesai acara ia akan
mengajak Azzam dan adiknya makan malam bersama. Ia
merasa malam itu benar-benar salah satu malam yang
berbeda baginya.
* * *
164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar