Minggu, 14 Juni 2009

Ikatan Batin

Sore itu dengan pembacaan surat Al Fatihah ikatan
pertunangan Anna Althafunnisa dengan Furqan resmi sudah.
Peristiwa itu disaksikan oleh tokoh-tokoh terpenting dari dua
keluarga, belasan Kiai pengasuh pesantren dan para pemuka
masyarakat desa Wangen.
Anna tampak anggun dengan dalam balutan jilbab dan
jubah panjangnya berwarna biru muda. Kecantikannya dipuji
oleh keluarga Furqan. Nyonya Maylaf, ibu Furqan, yang
tergolong wanita yang tidak mudah memuji kecantikan orang
lain, saat itu tidak mampu untuk menahan pujiannya.
“Pa, calon menantu kita ini kecantikannya sungguh
alami ya." Bisik Bu Maylaf pada Pak Andi Hasan, suaminya.
Pak Andi Hasan mengangguk pelan.
29
Furqan tampak gagah dengan koko biru tuanya. Jika
disandingkan dengan Anna pastilah pakaian keduanya akan
tampak sangat serasi. Sore itu Furqan mampu
menyembunyikan segala muramnya.
“Padahal tidak ada kesepakatan kok baju Anna dan Nak
Furqan bisa serasi ya." Seru Kiai Lutfi Hakim, ayah Anna
Althafunnisa sambil tersenyum.
“Ini namanya benar-benar jodoh Pak Kiai." Sahut Bu
Maylaf.
“Sudah ada kontak batin yang memadukan, bukankah
begitu Fur?" Sambung Pak Andi Hasan sambil melirik
Furqan.
Furqan hanya tersenyum. Anna menunduk memandang
lantai. Kalimat-kalimat itu semakin meneguhkan
keyakinannya bahwa inilah sejarah hidupnya. Bahwa Furqan
adalah bagian dari sejarah masa depannya.
Sore itu juga disepakati hari, waktu, dan tempat akad
nikah. Setelah dialog penuh kehangatan tercapai
kesepakatan bahwa akad dan pesta walimah diadakan di
desa Wangen. Di Pesantren Daarul Qur’an. Sementara di
Jakarta hanya acara semacam syukuran yang akan diadakan
di sebuah hotel berbintang di bilangan Cikini.
Akad nikah akan dilangsungkan pada hari Jumat kedua
bulan Agustus. Lalu disambung walimah selama dua hari
yaitu, hari Sabtu dan Ahad.
30
Yang menarik sebelum hari akad dan walimah
disepakati, Anna Althafunnisa mengajukan syarat kepada
Furqan jika tetap ingin menikahinya. Syarat yang sempat
membuat perdebatan sengit antara Anna dan Furqan.
“Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari
sahnya akad nikah. Artinya farji saya halal diantaranya jika
syarat saya ini dipenuhi oleh Mas Furqan." Kata Anna di
majelis musyawarah itu.
“Apa itu syaratnya?" Tanya Furqan.
“Pertama, setelah menikah saya harus tinggal di sini.
Saya tidak mau tinggal selain di lingkungan pesantren
ini.
Kedua, saya mau dinikah dengan syarat selama saya
hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya
sebagai isteri Mas Furqan tidak boleh menikah dengan
perempuan lain!" Dengan tegas Anna menjelaskan syarat
yang diinginkannya.
Kalimat yang diucapkan itu cukup membuat kaget
Furqan dan keluarganya.
“Apa syarat-syarat itu tidak mengada-ada?" Kata Pak
Andi Hasan, ayah Furqan.
“Tidak. Sama sekali tidak. Para ulama sudah mem-
bahasnya panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan ini sah
dan boleh." Jawab Anna. Pak Kiai Lutfi diam saja. Dia
percaya bahwa putrinya pasti bisa memperjuangkan apa
yang menjadi maslahat bagi masa depannya.
31
“Maaf, untuk syarat pertama saya rasa tidak ada
masalah. Itu sah dan boleh-boleh saja. Tapi untuk syarat
kedua, apa tidak berarti kamu mengharamkan poligami?"
Gugat Furqan.
“Mohon Mas Furqan melihat dan meneliti dengan
seksama, dibagian mana dan di teks mana saya meng-
haramkan poligami yang dihalalkan oleh Al Qur’an. Tidak,
sama sekali saya tidak mengharamkan. Kalau Mas Furqan
menikah dengan selain saya, Mas mau menikahi langsung
empat wanita juga saya tak ada masalah. Itu hak Mas
Furqan. Syarat itu sama dengan syarat misalnya saya minta
setelah menikah Mas Furqan tidak makan Jengkol, karena
saya tidak suka. Jengkol itu bau. Baunya saya tidak suka.
Apa itu berarti saya mengharamkan Jengkol? Saya meminta
syarat untuk sesuatu yang menurut saya bermanfaat bagi
saya dan anak-anak saya. Dan dengan syarat ini Mas Furqan
sama sekali tidak dirugikan, sebab saya mengatakan tidak
boleh menikah dengan perempuan lain selama saya hidup
dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai
isteri. Kalau saya sakit menahun dan tidak bisa menunaikan
kewajiban saya ya silakan menikah. Syarat yang seperti ini
dibolehkan oleh ulama." Anna beragumentasi membela
syarat yang diajukannya.
“Maaf saya belum pernah membaca ada ulama
membolehkan syarat seperti itu." Tukas Furqan.
“Baiklah. Tunggu sebentar!" Kata Anna. Gadis itu masuk
ke kamarnya dan mengambil sebuah kitab. Pada halaman
yang ditandainya ia membukanya dan langsung
menyodorkannya pada Furqan,
32
“Ini juz 7 dari kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah,
silakan baca di halaman 93!" Furqan menerima kitab itu lalu
membaca pada bagian yang diberi garis tipis dengan pensil
oleh Anna. Saat membaca kening Furqan berkerut. Ia lalu
mendesah. Ia diam sesaat. Wajahnya agak bingung.
“Jelas sekali, para ulama sepakat bahwa suatu syarat
yang menjadi sebab akad nikah terjadi harus dipenuhi.
Maka syarat saya tadi harus dipenuhi kalau ingin akad
nikah dengan saya terjadi. Selama syarat itu tidak
bertentangan dengan tujuan pernikahan dan tidak
menghilangkan maksud asli pernikahan. Saya tidak
mensyaratkan misalnya saya hanya boleh disentuh satu
tahun sekali. Tidak! Syarat ini bertentangan dengan maksud
pernikahan. Dan ulama juga banyak yang memilih pendapat
bahwa perempuan boleh mengajukan syarat sebelum akad
nikah bahwa suaminya tidak akan menikahi perempuan lain.
Dan sang suami wajib memenuhi syarat itu selama dia
menerima syarat itu ketika akad nikah.
Imam Ibnu Qudamah ketika berbicara tentang syarat
dalam nikah sebagaimana termaktub dalam kitab Al Mughni
yang Mas Furqan pegang itu berkata:
'Yang wajib dipenuhi
adalah syar at yang manfaat dan faidahnya kembali kepada
ister i. Misalnya sang suami tidak akan mengeluarkannya dari
rumahnya atau dari kampungnya, tidak bepergian dengan
membawanya atau tidak akan menikah atasnya. Syarat
seperti ini wajib ditepati oleh suami untuk isteri, jika suami
tidak menepati maka isteri berhak minta dihapuskan
nikahnya. Hal seperti ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab
ra, dan Saad bin Abi Waqqash, Mu'awiyah, dan Amru bin
33
Ash r a. Hal ini juga difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz,
Jabir bin Zaid, Thawus, Auzai dan Ishaq.'
Dan ayat yang meminta kita untuk memenuhi janji
adalah Al Maidah ayat 1, Allah berfirman, 'Hai orang-orang
yang beriman penuhilah janji-janji!" Dan dalam sebuah
hadits
riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk
kalian
penuhi adalah syarat yang membuat suatu farji jadi halal
untuk kalian!'
Saya hanya ingin seperti Fatimah yang selama
hidupnya berumah tangga dengan Ali bin Abi Thalib tidak
dimadu oleh Ali. Dan saya ingin seperti Khadijah yang
selama hidupnya berumah tangga dengan Rasulullah juga
tidak dimadu. Sungguh saya sama sekali tidak meng-
haramkan poligami. Tapi inilah syarat yang saya ajukan.
Jika diterima ya akad nikah bisa dirancang untuk
dilaksanakan. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Silakan Mas
Furqan mencari perempuan lain yang mungkin tidak akan
mengajukan syarat apa-apa!" Papar Anna panjang lebar
Menghadapi argumentasi Anna, akhirnya Furqan dan
keluarganya menyerah. Mereka akhirnya menerima dua
syarat yang diajukan Anna Althafunnisa.
* * *
Sore itu juga berita telah resminya Anna Althafunnisa
putri Pengasuh Pesantren Daarul Qur’an bertunangan
dengan Furqan Andi Hasan dari Jakarta langsung menyebar
di seantero desa Wangen. Beberapa santri senior, beberapa
ustadz muda dan beberapa pemuda desa yang menaruh hati
dan harap menelan ludah kekecewaan. Impian mereka bisa
bersanding dengan putri Kiai Lutfi yang terkenal cantik,
34
cerdas dan shalihah itu hilang.
Seorang pemuda desa Wangen yang tidak bisa
menyembunyikan kekecewaannya berkata,
“Aku kecewa pada Pak Kiai. Kenapa Pak Kiai memilih
calon menantu dari Jakarta! Kenapa mesti Jakarta yang
diutamakan? Kenapa tidak memilih menantu orang sini saja.
Menantu yang sudah beliau kenal, dan sudah mengaji dan
belajar pada beliau sejak masih balita!"
“Masalahnya bukan orang Jakarta atau orang sini.
Bukan itu kukira. Aku yakin karena yang dipilih sekarang
ini adalah yang terbaik menurut Pak Kiai dan putrinya yaitu
Anna Althafunnisa. kamu boleh saja kecewa. Tapi jodoh
sudah ada yang menentukannya." Sahut pemuda yang lebih
tua.
* * *
Bu Maylaf belum mengganti gaun yang ia kenakan
dalam acara pertunangan putranya. Selepas maghrib ia
langsung mengajak Furqan jalan-jalan mengelilingi kota Solo.
Mereka hanya berdua. Pak Andi Hasan dan yang lain
memilih istirahat di hotel. Mobil Toyota Fortuner berplat B itu
melaju tenang di jalan Slamet Riyadi.
Jalan utama kota Solo itu lebar dan ramai. Di kanan kiri
berdiri bangunan-banguan metropolis; mall, hotel, bank,
butik, rumah makan, pusat elektronik dan lain sebagainya.
Meskipun bukan sebuah ibu kota provinsi, Solo bisa disebut
kota yang kesepuluh terbesar di Indonesia setelah Jakarta,
35
Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Makassar,
Denpasar, Palembang, dan Jog-yakarta.
Bu Maylaf minta Furqan menuju kraton.
“Aku ingin tahu suasana kraton dan Pasar Klewer di
malam hari." Gumam Bu Maylaf.
“Aku juga ingin, Bu." Sahut Furqan.
“Fur, kamu bahagia?" Tanya Bu Maylaf sambil meman-
dang gurat wajah putranya yang tidak benar-benar cerah.
“Iya bahagialah Bu. Ibu ini ada-ada saja."
“Tapi ibu amati begitu pulang dari pesantren tadi
wajahku muram."
“Ah tidak. Ibu saja yang terlalu berperasaan."
“Tidak Anakku, ibu serius. Ibu amati kamu masih saja
murung. Sejak kamu pulang dari Cairo sampai sekarang
kamu kok sepertinya punya masalah serius? Apa kamu
sebenarnya tidak suka pada gadis itu? Merasa salah pilih?
Karena kamu sudah terlanjut melamar dia sejak di Cairo dan
terlanjur bilang sama ibu dan ayah, kamu jadi menanggung
beban, begitu?"
“Tidak ibu. Aku tidak ada masalah apa-apa kok. Aku
suka gadis itu dan sama sekali tidak salah pilih."
“Terus kenapa kamu muram seperti tertekan sesuatu?"
36
“Tidak ada kok Bu. Sungguh!"
“Fur, firasat seorang ibu pada anaknya tidak pernah
salah. Ibu tahu kamu sejak kamu lahir. Kalau kamu senang
ibu hafal wajah kamu. Kalau kamu marah, kamu kesal, kamu
kecewa, ibu hafal semua. Juga kalau kamu memendam
masalah. Ayo ceritakanlah pada ibu, Nak!" Desak Bu Maylaf.
Mendengar kata-kata ibunya itu Furqan ingin menangis,
ingin rasanya meledakkan tangisan di pangkuan ibunya
sambil dielus-elus kepalanya seperti saat masih kecil dulu. Ia
ingin menceritakan musibah yang menimpanya beberapa
hari sebelum kepulangan-nya. Tentang dirinya yang tanpa ia
ketahui dosanya digarap agen Mossad di Meridien Hotel.
Tentang Miss Italiana yang menghancurkan dirinya dengan
virus HIV.
Tentang janjinya pada Kolonel Fuad untuk tidak
menyebarkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain.
Dan kini ia telah bertunangan dengan Anna
Althafunnisa.
Gadis terbaik yang pernah ia kenal dan ia ketahui.
Haruskah ia meneruskan sampai ke pelaminan? Ia ingin
mengungkapkan semua pada ibunya. Ia sangat mencintai
Anna, tapi ia tidak ingin merusak Anna. Ia tidak tahu harus
bagaimana? Jika ia berterus terang pada ibunya, pada
keluarganya.
Ia khawatir akan itu menyakit hati mereka berdua dan
merusak hidup mereka. Sebab ia tahu betapa sayang mereka
37
berdua padanya. Ia satu-satunya anak lelaki mereka. Kakak
dan adiknya perempuan. Ia tiga ber-saudara. Ia anak tengah.
Kakaknya telah menikah dan kini sedang hamil tua.
Sementara adiknya hanya selesai D3 dan tidak mau
melanjutkan kuliah lagi. Ialah yang meraih pendidikan
tertinggi, maka ialah putra kebanggaan keluarga. Apa jadinya
jika ayah dan ibunya mengetahui anak kebanggaan mereka
mengidap virus HIV.
“Fur kenapa kamu diam!" Teguran ibunya menyadarkan
dirinya dari lamunan.
Ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia
mencoba untuk menormalkan keadaan.
“Oh tidak Bu. Aku tidak memendam masalah. Aku
hanya tegang saja akhir-akhir ini. Tegang karena akan punya
isteri. Akan benar-benar hidup sendiri. Hidup berumah
tangga. Itu yang mungkin ibu lihat aku agak muram. Hanya
tegang mau hidup berumah tangga Bu." Furqan menjawab
diplomatis. Jawaban yang bisa menutupi segala galau dan
kacau yang terus menteror perasaan dan jiwanya.
“O, begitu. Kalau itu ya memang biasa. Sebagian orang
yang akan berumah tangga mengalaminya. Ibu dulu juga
begitu. Tapi percayalah dengan berjalannya waktu semua
akan baik-baik saja. Membangun rumah tangga tidak
semenakutkan yang kamu bayangkan. Dengan kerjasama
yang baik antara suami isteri nanti rumah tangga itu akan
sangat menyenangkan dan membahagiakan. Semoga rumah
tanggamu nanti kokoh dan barakah, Fur."
“Amin." Malam itu mereka menikmati panorama malam
38
di kawasan kraton. Furqan minta ibunya menemaninya
minum wedang ronde di pojok barat alun-alun utara, tak
jauh dari masjid Agung.
“Wah wedang rondenya enak ya Fur."
“Iya Bu."
“Nanti kalau kamu pengantin baru. Ajaklah Anna
minum wedang ronde di sini. Akan terasa sangat romantis
Fur. Setelah itu ajaklah jalan-jalan keliling kota. Lalu ajaklah
bermalam di hotel berbintang lima. Pasti itu akan membuat
Anna tambah berlipat cintanya padamu Fur." Kata Bu Maylaf
sambil tersenyum pada putra kesayangannya.
“Ah ibu, sudah membayangkan yang indah-indah."
“Ya, bayangkanlah yang indah-indah itu. Karena
memang yang indah-indah itu adalah hak para pengantin
baru. Saya dengar dari Pak Kiai yang mengajar di masjid
kita, bahwa Rasulullah meminta kepada pada pejaka agar
menyertai isterinya yang selama tujuh hari saat pengantin
baru. Jika isterinya itu seorang gadis. Tujuannya ya katanya
agar bisa mereguk keindahan-keindahan bersama sedalam-
dalamnya, seromantis-romantisnya, agar cinta di antara
keduanya benar-benar berakar mendarah daging. Dan
dengan itu mawaddah dan rahmah lebih mudah tercipta."
“Wah ibu kayak Ustadzah saja."
“Lho, begini-begini kan ibu ini ibundanya Ustadz
Furqan, lulusan S2 Mesir." Keduanya tersenyum. Sesaat
wajah murung Furqan hilang. Imajinasi keindahan
39
berkelebat-kelebat dalam pikirannya. Keanggunan Anna
dalam balutan serba biru kembali hadir di pelupuk matanya.
* * *
Sementara itu, di sebelah barat Kota Surakarta.
Tepatnya dalam rumah papan di sebuah kampung di
pinggir Kartasura, tampak tiga orang perempuan sedang
beraktifitas di ruang tamu yang sekaligus adalah ruang
tengah, ruang makan dan ruang kerja. Seorang perempuan
tampak sudah berumur. Kira-kira lima puluh tahunan.
Sedangkan dua perempuan lainnya masih muda.
Perempuan setengah baya itu sibuk bekerja di depan
mesin jahit tuanya. Ia sedang menjahit korden seorang
pelanggan-nya. Berkali-kali perempuan itu menjahit sambil
terbatuk-batuk. Perempuan setengah baya itu tak lain adalah
ibunda Khairul Azzam. Namanya Ibu Malikatun Nafisah. Di
dukun Sraten ada yang memanggil Bu Lika. Ada yang
memanggil Bu Nafis dan Bu Isah. Panggilannya yang paling
lazim dan masyhur adalah Bu Nafis.
“Bu’e, jangan memaksakan diri tho. Kalau sudah capek
ya istirahat. Besok pagi dilanjutkan lagi. Nanti sakit lagi."
Ucap perempuan muda berjilbab cokelat sambil meng-
hentikan aktifitas membacanya. Perempuan berjilbab coklat
itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju
ibunya. Ia lalu memijit pundak ibunya yang masih sesekali
batuk dengan penuh kasih sayang.
“Ya keras sedikit Na. Ke arah tengkuk Na. Pegel
40
rasanya. Ini biar Bu’e teruskan sedikit lagi ya. Biar selesai
sekalian. Masalahnya ibu sudah janji besok pagi bisa diambil.
Kalau besok belum jadi terus yang pesan datang kan
mengecewakan." Lirih Sang Ibu sambil terus melanjutkan
pekerjaannya.
“Kalau Husna bisa menjahit, pasti Husna bantu. Biar
Bu’e istirahat saja. Bu’e kan sudah tua, tidak perlu memaksa-
maksakan diri bekerja." Sahut perempuan berjilbab cokelat
itu sambil terus memijit Sang Ibu.
“Ah ini kegiatan ringan saja kok Na. Ya Bu’e kan perlu
kegiatan tho. Mosok nganggur. Ukh... ukh... ukh!" Kata Sang
Ibu sambil terbatuk-batuk.
“Dik Lia, maaf bisa nggak bantu Bu’e. Biar Bu’e istirahat
saja. Ini Bu’e sudah batuk terus!" Seru perempuan berjilbab
cokelat sambil menengok ke arah adiknya yang sedang
bergelut dengan tumpukan buku di kanan-kirinya.
“Aduh Mbak Husna, tidak bisa. Ini kerjaan sekolah
menumpuk. Malam ini harus beres. Bu’e sih, sudah
dibilangin tidak usah terima orderan, masih terus saja terima.
Bu’e tidak melihat kondisi diri sendiri. Kalau sakit kan yang
repot kita Bu. Anak-anaknya Bu’e." Jawab sang adik sewot.
“Kalau tidak bisa ya sudah tho Dik, nggak perlu
ceramah." Sahut sang kakak.
“Mbak Husna tidak tahu sih, Lia ini lagi pusing plus
repot banget. Apa Mbak nggak lihat kerjaan Lia! Setumpuk
nih! Lia harus lembur malam ini Mbak. Kalau luang pasti
tanpa diminta juga sudah Lia bantu kerjaan Bu’e." Timpal
41
sang adik.
“Sudah-sudah! Bu’e yang salah. Bu’e terlalu memaksa-
kan diri. Husna, jangan ganggu adikmu. Dia kalau luang
seperti biasa, pasti sudah bantu Bu’e.
Ya sudah, Bu’e istirahat dulu. Besok habis subuh baru
akan Bu’e lanjutkan. Tinggal sedikit saja kok. Ukh... ukh!"
Ucap sang ibu menengahi sambil bangkit.
Perempuan berjilbab cokelat yang tak lain adalah Ayatul
Husna, mengantarkan ibunya ke kamarnya. Sampai di kamar
ia menunggu ibunya rebahan. Lalu menye-limutinya dengan
penuh kasih sayang.
“Ibu mau Husna buatkan jahe tambah madu hangat.
Biar badan ibu hangat dan segar?" Sang ibu
mengangguk.
Husna beranjak ke dapur.
Sang ibu merasakan keharuan luar biasa. Tanpa bisa ia
cegah air matanya meleleh membasahi pipinya.
Sedemikian sayang dan perhatian kedua putrinya itu
pada dirinya. Lirih ia menyampaikan rasa syukur sedalam-
dalamnya kepada Allah atas karunia yang sangat mahal ini.
Meski ia membesarkan anak-anaknya tanpa didam-pingi
sang suami, namun Allah selalu menurunkan
pertolongannya. Keempat anaknya ia rasakan sangat
berbakti dan sangat mencintainya.
Anak pertamanya, Khairul Azzam, sejak kecil telah
42
menunjukkan baktinya. Prestasi-prestasinya mengharum-kan
nama orang tua. Saat kuliah di Al Azhar, ia juga meraih nilai
sangat baik di tahun pertamanya. Dan ketika sang ayah
tiada, Azzam menunjukkan tanggung jawabnya sebagai anak
sulung dan satu-satunya anak lelakinya.
Azzam bekerja keras di Mesir sana. Ia tahu anaknya itu
bekerja dan berwirausaha dengan membuat bakso dan
tempe di sana. Tiap bulan mengirimkan uang demi
menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya. Sebagai ibu,
ia sangat bangga pada anak pertamanya itu. Di saat sang
ayah tiada dan ia sakit-sakitan, nama keluarga tetap terjaga.
Seluruh adik-adiknya tetap lanjut kuliah.
Ia jadi sangat merindukan Azzam.
“Segeralah pulang Nak. Bu’e sangat rindu padamu. Bu’e
ingin tahu seperti apa wajahmu. Seperti apa baumu. Bu’e
ingin memelukmu." Lirihnya dalam hati didera kerinduan
dan keharuan luar biasa.
Anak keduanya, Ayatul Husna, sangat halus tutur
bahasanya. Dan sangat mencintainya. Husna seolah tidak
pernah rela ada nyamuk sekalipun menyentuh kulit ibunya.
Ia dulu pernah merasa Husna adalah anak yang nakal. Ia
ingat anak keduanya itu sewaktu kecil paling sering bikin
ulah. Paling sering berkelahi dengan anak tetangga. Paling
sering merebut mainan temannya. Dan saat kelas tiga SMP
justru ikutan karate sebagai kegiatan ekstra kurikuler. Ia ingat
bagaimana dulu Husna pernah memukul kakaknya dengan
gagang sapu sekeras-kerasnya.
Gara-garanya Husna disiram kakaknya karena sampai
43
pukul enam pagi belum juga bangun pagi.
“Anak perempuan kok
kebluk
!
kamu ini sudah akil
3
baligh Na! Dosa kalau kamu shalat subuh selalu kesiangan
apalagi tidak shalat subuh!" Seru kakaknya dengan nada
marah saat itu. Husna sangat marah diperlakukan seperti itu
oleh kakaknya. Ia bangkit lalu mengambil sapu. Dan
memukul kakaknya dengan sekeras-kerasnya meng-gunakan
gagang sapu. Sampai gagang sapu itu patah.
Husna memukul tepat di pelipis. Tak ayal, pelipis Azzam
berdarah.
Azzam tidak membalas. Azzam diam dengan amarah
yang meluap-luap. Oleh ayahnya Azzam dilarikan ke dokter
terdekat untuk diobati. Sang ayah lalu menghukum Husna
dengan menghajarnya. Tapi Husna melawan, Husna malah
memukul dan menendang sang ayah. Sang ayah kalap,
Husna nyaris dipatahkan tangannya oleh sang ayah, tapi
Azzam mencegah,
“Jangan ayah! Mungkin tadi Azzam yang salah. Azzam
terlalu keras pada Dik Husna." Sang ayah mengurungkan
niatnya. Akhirnya Husna dihukum dengan diikat di dapur
satu hari penuh. Husna berontak tapi tidak bisa. Kenakalan
dan kebengalan Husna saat itu dikenal hampir oleh semua
orang di kampung.
Namun kenakalan itu perlahan hilang sejak Husna
masuk SMA dan Azzam terbang ke Mesir. Husna berubah
3
44
seratus delapan puluh derajat sejak ayahnya meninggal
dunia. Sejak itu Husna disiplin mengenakan jilbab. Sangat
santun. Penyabar dan penyayang. Ia tahu bahwa di antara
yang punya andil mengubah Husna adalah kakaknya,
Azzam. Hampir setiap bulan sejak di Mesir Azzam selalu
mengirimkan surat ke Indonesia. Husna dan Lia mendapat
surat khusus.
Sekarang Husna, sudah selesai S1. Bahkan sudah selesai
sekolah profesinya sebagai psikolog. Ia sekarang dipercaya
untuk menjadi nara sumber tetap rubrik psikologi remaja di
Radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo. Juga
mengajar di UNS sebagai asisten dosen.
Husna sekarang bukanlah Husna yang badung seperti
dahulu. Husna sekarang adalah bidadari yang sangat
penyabar dan penyayang. Sangat berhati-hati dalam
berbicara dan berperilaku. Tidak mau sedikitpun menyakiti
orang.
Anaknya yang nomor tiga adalah Lia. Lengkapnya Lia
Humaira. Sudah selesai D3 PGSD dan sekarang mengajar di
SDIT Al kautsar di Kadipiro Solo. Sambil mengajar Lia
melanjutkan pendidikannya untuk meraih S1 di STAIN
Surakarta.
Lia lebih cantik dari kakaknya. Sudah ada beberapa
orang yang melamarnya, tapi Lia menolak. Ia ingin kakaknya
duluan menikah. Memang Lia lebih putih kulitnya
dibandingkan kakaknya, Husna. Sebenarnya tidak putih, tapi
kuning langsat. Karena itulah banyak orang mengatakan Lia
lebih cantik dari kakaknya. Namun sebenarnya Husna tidak
kalah cantik. Kulit Husna sawo matang seperti kulit ayahnya.
45
Azzam dan Husnalah yang warna kulitnya mengikuti
ayahnya. Sedangkan Lia dan si bungsu berkulit kuning
langsat seperti ia, ibunya.
Lia tidak kurang baktinya. Sebisa mungkin ia berusaha
menyenangkan hati ibu. Lialah yang paling sering pergi ke
Kudus untuk menengok si bungsu yang sedang belajar di
sebuah pesantren Al Qur’an di Kudus.
Perempuan setengah baya itu kembali batuk.
Ia teringat si bungsu. Sedang apa si kecil Sarah malam
ini. Apakah ia sedang mengaji? Ataukah masih belajar?
Ataukan sedang lelap dalam tidurnya. Jika teringat si kecil
Sarah ia sering tidak bisa menahan rasa haru. Anak itu baru
berusia sembilan tahun sekarang. Sudah satu tahun ini dia di
pesantren. Di pesantren Al Qur’an untuk anak-anak. Ia
laksanakan sesuai dengan wasiat sang ayah beberapa bulan
sebelum meninggal. Sang ayah berwasiat agar anak
bungsunya dimasukkan ke pesantren Al Qur’an supaya hafal
Al Qur’an.
Beberapa waktu yang lalu ia, Husna dan Lia mengantar-
kan si kecil kembali ke pesantren setelah beberapa hari
liburan. Saat itu sudah hafal juz 27, 28,dan 30. Si kecil begitu
bahagia diantar oleh ibu dan kakak-kakaknya. Dan saat
diajak rekreasi ke pantai Kartini sebelum ke pesantren si kecil
sempat berkata,
“Kalau ada Mas Azzam pasti lebih lengkap bahagianya
ya Bu’e."
Ia hanya menganggukkan kepala.
46
Ia jadi kembali teringat Azzam. Ia tidak bisa menging-kari
bahwa Husna bisa selesai S1, Lia bisa selesai D3 dan si kecil
Sarah bisa masuk pesantren adalah karena kerja keras
Azzam, putra sulungnya yang sampai saat ini belum juga
lulus kuliah di Al Azhar.
Perempuan itu meneteskan air mata kembali. Sebuah
doa ia panjatkan,
“Ya Allah mudahkanlah semua uruasan putraku Azzam.
Aku titipkan keselamatannya pada-Mu ya Allah.
Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya
Allah berkahilah umur dan langkahnya ya Allah. Amin." Ia
mengatupkan pelupuk matanya dan menangis. Ibu mana
yang tidak menangis bila teringat anaknya yang sudah
sembilan tahun tidak dilihatnya. Anaknya yang selama
bertahun-tahun memeras keringat, darah dan air mata untuk
kesejahteraan adik-adiknya. Ibu mana tidak menangis dan
lunak hatinya.
“Bu’e menangis ya?" Suara Husna menyadarkannya. Ia
mengusap air matanya lalu membuka pelupuk matanya.
“Ah tidak kok Na."
“Maafkan jika ada kata-kata Husna dan Lia yang tidak
berkenan bagi Bu’e ya."
“Tidak kok Na. Tidak ada yang salah dari kalian. Ibu
teringat kakakmu di Mesir dan adikmu di Kudus."
“O begitu. Husna kalau teringat Kak Azzam juga sering
47
menangis kok Bu. Ia kakak yang sedemikian baik pada adik-
adiknya. Insya Allah sebentar lagi Kak Azzam pulang Bu."
“Kapan Na?"
“Semoga bulan Agustus nanti. Makanya Bu’e jaga
kesehatannya ya. Biar nanti pas Kak Azzam pulang kita bisa
jalan-jalan bersama. Kak Azzam pasti akan sangat bahagia
melihat ibu sehat dan ceria."
“Ya baik Na. Aku tidak sabar menunggu hari itu. Hari
anak lelakiku pulang. Aku juga ingin melihat dia nikah dan
punya anak. Aku ingin menggendong cucu."
“Ah Bu’e ini terus ke mana-mana. Ya semoga dikabul-
kan Allah. Amin."
“Bu’e mau tidur. Sudah sana teruskanlah pekerjaanmu
Na."
“Baik Bu." Husna kembali ke ruang tamu. Ia kembali
membaca.
Ia harus menuntaskan buku yang dibacanya. Ia sedang
mencari pengkayaan bahan yang akan ia gunakan untuk
mengajar mata kuliah psikologi dasar di Universitas Negeri
Sebelas Maret Surakarta.
Ruang tamu itu senyap. Husna tenggelam dengan
bacaannya dan Lia berkutat dengan tugas-tugasnya. Di luar
puluhan jangkrik mendendangkan lagu malam. Bersahut-
sahutan di tengah kegelapan.
48
Rumah sederhana itu terletak di sebuah dusun kecil
bernama Sraten. Sebuah dusun yang berada di desa
Pucangan, Kartasura. Letaknya di sebelah barat jalan raya
Solo-Jogja. Tak jauh dari markas Kopasus, Kandang
Menjangan, Kartasura.
Sebuah dusun yang damai. Sawah-sawahnya mulai
disulap jadi perumahan. Posisi dusun itu sebenarnya sangat
strategis. Terlelak tak jauh dari pusat peradaban dan budaya.
Tak jauh dari pusat belanja dan pendidikan.
Transportasi juga mudah. Dari jalan raya besar letaknya
hanya ratusan meter saja. Ke jalan raya bisa jalan kaki. Dari
pasar Kartasura bisa dikatakan dekat. Kira-kira dua kilo saja.
Dari kampus STAIN Surakarta juga dekat. Ke bandara juga
dekat. Ke kampus UMS tidak terlalu jauh. Ke pusat kota Solo
sangat mudah.
Dusun Sraten sebuah dusun di pinggir kota yang
sebenarnya sudah mulai hidup dengan cara kota. Tidak lagi
menggunakan cara dusun yang sebenarnya. Dusun yang
sudah tidak orisinil dan perawan kedusunannya.
Gadis-gadis dan para pemudanya tidak lagi lugu dan
polos.
Sudah banyak yang bertingkah mengada-ada dan sok
kota.
Sebagian mereka bahkan tidak mau dicap sebagai orang
desa. Mereka ingin dianggap sebagai orang kota.
Memang beberapa perumahan yang menjadi ciri
49
perubahan masyarakat dari desa ke kota sudah mulai hadir
di samping mereka. Di sebelah barat mereka telah berdiri
Perumahan Pucangan I. Di desa Pucangan sendiri sudah
banyak perumahan bermunculan.
Perumahan-perumahan itulah yang menghadirkan cara
hidup ala kota. Dimulai dari bentuk rumah dan cara interaksi
penduduknya yang tidak lagi cara desa.
Dua gadis itu masih larut dengan pekerjaannya di ruang
tengah ketika tiba-tiba pengeras suara dari masjid Al Mannar
mengumumkan kabar yang mengagetkan seluruh penduduk
Sraten,
“Inna lillahi wa irina ilaihi raaji'un.
Ngaturi kawuningan
dumateng bapak saha ibu sekalian
.
Telah menghadap Allah
4
Swt.
pada malam ini tepat jam sembilan malam lebih sepuluh
menit Bapak Haji Masykur ketua RW sekaligus bendahara
takmir masjid Al Mannar. Jenazah insya Allah akan
dikebumikan besok pagi jam sembilan pagi ..." Husna dan
Lia kaget.

Inna lillahi wa inna ilaihi r aaji'un." Hampir ber sa-
maan
mereka berdua membaca
istirja
'
. Dua perempuan kakak
5
beradik itu beradu pandang dengan wajah kaget.
“Kita takziah ke sana sekarang Mbak?"
“ Terus Bu’e bagaimana?"
5
50
“Kita bangunkan saja. Kita ajak ke sana sekalian."
“Beliau kelelahan, Dik. Kasihan. Biar istirahat saja."
“Kalau begitu kita berdua ke sana."
“Sebaiknya ada yang di rumah nungguin Bu’e. Kalau
tiba-tiba Bu’e bangun dan mencari kita bagaimana? Nanti
bikin beliau bingung dan cemas. Biar aku saja ya yang ke
sana malam ini. Kalau selesaikan saja kerjaanmu itu. Besok
baru kamu ke sana bersama Bu’e."
“Iya. Begitu juga baik Mbak. Apalagi kerjaanku ini belum
rampung juga."
“Kalau begitu Mbak pergi dulu ya Dik."
“Jangan lama-lama ya Mbak."
“Ya." Husna membuka pintu dan melangkah ke arah
masjid.
Lia menutup dan mengunci kembali pintu. Masjid itu
hanya seratus meter dari rumah Husna. Dan rumah Pak
Masykur tepat ada di belakang masjid. Di jalan Husna
bertemu Bu RT dan Pak RT yang juga bergegas ke rumah
duka.
“Bu RT, kayaknya Pak Masykur sehat-sehat saja tho ya
Bu? Tadi pagi saya ketemu beliau di warung Bu War.
Malah beliau pakai sepeda dan sempat berbincang
sebentar dengan saya." Tanya Husna pada Bu RT.
51
“Iya. Tadi siang juga masih sehat. Masih jamaah di
masjid dan sempat mampir ke rumah menanyakan persiapan
kegiatan tujuhbelasan." Jawab Bu RT.
“Saya tadi menjelang Isya' dapat sms dari Pak Mahbub,
Ketua Takmir Masjid, kata beliau Pak Masykur kena serangan
jantung dan dilarikan ke Solo." Pak RT ikut nimbrung.
“Ya itulah kematian, Dik Husna. Kematian itu misteri.
Kita tak tahu kapan datangnya. Tak bisa diajukan. Dan
jika sudah datang tak bisa diundurkan." Tukas Bu RT.
“Dan kematian bisa datang pada siapa saja. Tidak pilih-
pilih. Lha Mbah Hadi sekarang umurnya sudah sembilan
puluh delapan. Tapi masih segar dan masih bisa ke masjid
sendirian meskipun pakai tongkat. Sementara bulan lalu Si
Jasman yang baru lulus SMA mati karena demam berdarah."
Pak RT menyambung lagi.
Husna diam mendengarkan. Kematian selalu menjadi
ibrah
baginya. Karena satu sebuah kematianlah ia berubah
.
Kematian ayahnya delapan tahun yang lalu menjadi
pelajaran yang tak mungkin terlupakan baginya. Pelajaran
yang menjadikannya mengenal dirinya sebagai manusia,
ciptaan Allah Azza wa Jalla.
“Itu Pak Mahbub sudah ada di sana." Gumam Pak RT.
Husna melihat sudah banyak orang di rumah duka.
Suasana terasa menyedihkan. Ia mendengar raungan
52
tangis Bu Masykur dan anak-anaknya.
“Pak jangan tinggalkan aku Paak...! Kasihan anak-anak
Paak...! Bagaimana nanti aku membesarkan mereka tanpa
Sampean Paak...!" Bu Masykur terus meraung. Bu Mahbub
yang tak lain adalah kakak kandung Bu Masykur mencoba
menenang-kan dan menghibur. Tapi usaha Bu Mahbub
seperti tak ada gunanya. Bu Masykur terus meraung. Husna
tertegun.
Ia berhenti melangkah. Sementara Pak RT dan Bu RT
terus masuk ke rumah duka.
Husna jadi teringat saat ayahnya meninggal karena
kecelakaan. Ibunya sempat menangis meskipun tidak setragis
Bu Masykur. Ia sendiri menangis. Saat itu ia menangis karena
sedih dan menangis karena penyesalan.
Sebuah penyesalan yang sampai saat ini masih bercokol
di hatinya. Sebab ia merasa dirinyalah penyebab kematian
ayahnya.
Saat itu ia ngambek kabur dari rumah karena minta
dibelikan sepeda motor tapi tidak dibelikan. Ayahnya
berkata,
“Nak, ayah tidak bisa beli sepeda motor baru.
Kalau kamu mau sekolah memakai sepeda motor
pakailah motor ayah. Biar ayah kerja pakai sepeda saja." Ia
masih ingat betul apa yang ia katakan pada ayahnya saat itu,
“Aduh Yah, gengsi dong. Masak Husna pakai sepeda
53
motor butut tahun tujuh puluhan begitu. Apa kata teman-
teman Husna nanti. Baiklah, kalau ayah tidak mau
membelikan maka Husna akan minggat!" Ayahnya tetap
tidak membelikan. Karena memang tidak punya uang. Ia lalu
minggat. Pergi dari rumah. Tiga hari ia tidak pulang ke
rumah. Ia tidur numpang dari rumah teman ke rumah teman
yang lain. Rupanya ayah dan ibunya bingung dan terus
mencarinya. Hari ke empat ia tidur di rumah temannya yang
paling jauh. Rumahnya di desa Begajah yang terletak di
sebelah selatan kota Sukoharjo.
Ayahnya mendapat informasi dari seorang temannya
bahwa ia ada di Begajah. Sore itu di tengah hujan deras,
dengan mengendarai sepeda motor butut, ayahnya
menyusulnya ke Begajah. Di tengah jalan, satu kilometer
sebelum masuk kota Sukoharjo sebuah mobil sedan
berkecepatan tinggi menabrak ayahnya dari depan.
Rupanya sopir mobil sedan itu sedang stres dan mabuk.
Ayahnya terpelanting sejauh lima belas meter dan tewas
seketika.
Saat diberi tahu ayahnya meninggal mulanya ia tidak
percaya. Dan setelah melihat sendiri jenazah ayahnya ia
menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa menjadi
anak paling durhaka di dunia. Ia merasa ialah sebenarnya
yang menabrak ayahnya hingga terpelanting lima belas meter
dan tewas seketika. Ia sangat menyesal. Tapi penyesalannya
tidak akan pernah mengembalikan nyawa ayahnya. Satu hal
yang paling membuatnya semakin menyesal adalah ketika ia
tahu bahwa sang ayah siangnya baru saja pinjam uang di
bank untuk membayar uang muka membeli sepeda motor
54
baru. Ayahnya ingin menjemputnya dan keesokan harinya
akan diajak ke dealer agar ia sendiri yang memilih kendaraan
yang ia inginkan. Selanjutnya ayah akan membayar setiap
bulan dengan cara kredit. Ia sangat menyesal. Betapa
sebenarnya ayahnya sangat mencintai dan menyayanginya.
Dan ia merasakan itu ketika ayahnya sudah meninggal
dunia. Sejak itu ia berubah.
Air mata Husna meleleh. Ia teringat dosa-dosanya.
“Ya Allah ampunilah dosa hamba-Mu ini." Ia
mengatupkan kedua pelupuk matanya.
“Dik Husna, ayo masuk, jangan berdiri di kegelapan
sendirian begitu. Cobalah ikut menghibur Bu Masykur dan
anak-anaknya." Panggilan Bu RT membuatnya tergagap
sesaat. Ia mengusap lelehan air matanya.
Husna beranjak masuk. Bu Mahbub masih terus
menghibur adik kandungnya. Husna mendekati anak-anak
Bu Masykur yang semuanya putri. Jumlah anak Pak Masykur
empat. Yaitu Zumrah, Zaimah, Zuhriah, dan Zahrah. Husna
hanya mendapati tiga dari mereka. Husna tidak menemukan
Zumrah.
Zaimah, Zuhriah dan Zahrah semuanya menangis
tersedu-sedu. Zaimah pingsan berkali-kali. Sementara si
bungsu Zahrah terus memanggil-manggil nama ayahnya.
Semuanya sudah dihibur para tetangga dan sanak
saudara.
“Bu RT, saya kok tidak melihat Si Zumrah. Apa dia
55
belum diberi tahu kalau ayahnya meninggal?" Lirih Husna
bertanya pada Bu RT.
Bu RT mendekatkan mulutnya ke telinga Husna,
“Ssst! Kamu jangan membicarakan Zumrah. Sensitif.
Tadi saya tanya begitu sama Bu War. Ternyata Zumrah-
lah penyebab ayahnya kena serangan jantung. Menurut Bu
War tadi sore Zumrah pulang kuliah. Habis maghrib katanya
Zumrah cerita pada ayahnya sudah hamil. Dan yang
menghamili katanya pacarnya yang bukan seagama.
Dan katanya Zumrah sudah pindah agama. Zumrah
langsung diusir Pak Masykur. Seketika itulah Pak Masykur
jatuh kena serangan jantung."

Astaghfir ullah!"
Desis Husna.

Dan katanya Zumrah sedang diburu sama Si Mahrus
pamannya yang anggota Serse. Si Mahrus marah besar.
Katanya Zumrah mau didor!" Lanjut Bu RT sambil tetap
mendekatkan mulutnya pada telinga Husna.

La haula wa laa quwwata illa billah!
Harus dicegah
itu,
jangan sampai hal itu terjadi Bu." Kata Husna setengah
berbisik,
“Karena itulah sekarang ini para pemuka sedang
musyawarah di rumah Pak Joyo. Pak RT sebentar lagi juga
mau ke sana!" Balas Bu RT.
56
Husna menghela nafas panjang. Gadis berjilbab cokelat
itu memejamkan mata. Ia merasakan betapa besar musibah
yang dirasakan Bu Masykur. Lebih-lebih jika anak sulungnya
itu benar-benar pindah agama, menjadi penyebab kematian
ayahnya, dan berakhir tragis di tangan pamannya sendiri
yang terkenal tegas dan tak kenal takut pada siapa.
Dalam hati Husna berharap bahwa semua yang ia
dengar tidak benar adanya. Ia tidak percaya bahwa Zumrah
yang sampai lulus SD menjadi teman mengajinya di masjid
sampai berbuat seperti itu. Zumrah yang oleh ayahnya
diharapkan akan menjadi isteri Azzam kakaknya jika sudah
pulang nanti. Ia belum bisa mempercayai apa yang baru ia
saja ia dengar. Ia berharap apa yang ia dengar sama sekali
tidak benar.
57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar