Minggu, 14 Juni 2009

Pertemuan Di Klewer

Ada yang mengatakan, bahwa Pasar Klewer adalah pasar
tekstil terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebagian
orang-orang Solo meyakini hal itu. Meskipun orang-orang
Jakarta selalu bilang pasar tekstil terbesar adalah Tanah
Abang Jakarta.
Yang jelas Pasar Klewer sebagai pasar batik dan lurik
terbesar di Indonesia hampir tidak ada yang membantahnya.
Dan pasar Klewer dikenal sebagai pasar aneka sandang
terlengkap di Jawa Tengah juga diakui siapa saja.
Pasar Klewer adalah urat nadi perekonomian
masyarakat Solo.
Terletak tepat di sebelah barat Keraton dan tepat di
selatan Masjid Agung. Tiga tempat itu seolah satu kesatuan
249
yang tidak bisa dipisahkan. Karena letaknya yang sangat
strategis Pasar ini tak pernah sepi dari hiruk pikuk pembeli
dan pedagang. Bahkan pelancong.
”Semakin padat saja ya Na Klewer sekarang?” Kata
Azzam pada Husna. Ia sudah berada di sebuah lorong Pasar
Klewer. Depan belakang dan kiri kanannya adalah kios
pedagang sandangan. Mulai dari pakaian bayi, anak anak,
sampai kakek-kakek dan nenek-nenek dijual di situ. Mulai
yang murah sampai yang mahal. Mulai batik sampai jeans.
Mulai baju pesta sampai baju takwa. Semua ada.
”Sangat padat Kak. Menurut data yang saya ketahui
jumlah pedagang resminya saja tak kurang dari 1467
pedagang. Dari pedagang sebanyak itu transaksi yang
berjalan tak kurang dari lima sampai enam milyar setiap
harinya.” Husna menjelaskan.
”Kau mau beli apa Na?”
“Beli jaket dan jilbab buat Si Sarah Kak. Oh ya kapan ya
kita ke Kudus Kak? Dia belum kita beri tahu kalau Kakak
sudah pulang.”
“Bagaimana kalau Ahad depan. Kakak akan sewa mobil
lagi satu hari.”
“Boleh.”
“Ibu dan Lia mana?”
“Di atas Kak. Ibu lagi milih mukena dan Lia lagi mencari
seprai untuk kado pernikahan temannya.”
250
“Wah kok menikah terus ya di mana-mana.”
“Memang lagi musimnya Kak. Mumpung tidak musim
hujan.”
“Ayo kita temui mereka.”
“Ayo.”
“O ya kalian sudah shalat zuhur?”
“Sudah. Tadi kita mampir ke kios temannya Lia. Dan
kita shalat di sana.”
Azzam dan Husna bergegas menemui ibunya. Di
sepanjang lorong Azzam banyak menjumpai pedagang kaki
lima yang dagangannya memenuhi lorong, sehingga cukup
mengganggu para pengunjung, termasuk dirinya. Di lantai
dua, di Kios Sumber Rejeki, Azzam menemui ibunya yang
sedang memilih-milih kemeja.
”Zam Bu’e pilihkan kemeja buat kamu.”
“Wah yang mana Bu?”
“Ini. Bu’e suka warnanya.”
“Kalau Bu’e suka Azzam juga suka.”
“Coba kamu lihat ukurannya.”
Azzam mengambil kemeja dari tangan ibunya. Ia melihat
251
ukurannya dan mengukur ke badannya.
”Kurang besar sedikit Bu.” Ujar Azzam pada ibunya.
”Ukuran di atasnya Mbak!” Pinta Bu Nafis pada penjaga
kios Sumber Rejeki. Penjaga itu perempuan yang masih
sangat muda mungkin masih gadis. Penjaga itu berjilbab
sangat rapi dan modis.
”Iya Bu, ini.” Penjaga itu mengulurkan kemeja yang
berwarna sama.
”Coba ini Zam.”
Azzam melihat dan mengukurkan ke badannya.
”Lha kalau ini pas.”
“Ada lagi yang kamu inginkan Nak?”
“Sudah Bu.”
“Kalau begitu Bu’e mau total semua. Berapa semuanya
Mbak?”
“Seratus enam puluh lima Bu.”
“Dipaskan saja Mbak?”
“Aduh ibu, tadi kan masing-masing sudah dikorting.
Sudah dipaskan.
Jujur saya cuma mengambil untung sedikit kok Bu.
252
Kalau dikorting lagi saya dapat apa?”
“Dipaskan seratus lima puluh saja ya Mbak semuanya.”
Aduh nyuwun sewu sanget
Bu, tidak bisa.” Azzam
22
menengahi,
“Sudahlah Bu, dibayar saja. Rasulullah itu suka pada
penjual yang mempermudah dan juga suka pada pembeli
yang mempermudah.
Sudah dibayar saja semoga barakah.”
Perkataan Azzam didengar sang penjaga. Spontan ia
berkata,
“Baik untuk ibu saya diskon lagi lima ribu. Jadi seratus
enam puluh Bu.”
“Baik. Terima kasih ya Mbak.”
“Sama-sama Bu.”
Sebelum meninggalkan kios itu ketika Husna, Azzam
dan Bu Nafis sudah berjalan, Lia iseng bertanya pada
penjaga kios itu,
“Eh maaf Mbak, Mbak sudah menikah belum?”
“Kenapa memangnya?” Jawab Mbak itu.
22
253
”Cuma mau nanya aja. Penampilan Mbak menarik sih.”
“Kebetulan saya belum menikah. Kalau Mbak?”
“Sama. Saya juga belum.” Jawab Lia.
”Eh, itu kakakmu ya?”
“Iya Mbak. Mbak tertarik?”
“Boleh juga. Kerja di mana?”
“Masih menganggur Mbak.”
“Suruh kerja di sini saja sama aku.”
“Ih, Mbak ini ada-ada saja. Kalau bukan mahram kan
tidak boleh berduaan di kios sempit seperti ini.”
“Ya dihalalkan dulu biar tidak dosa.” Ucap gadis
penjaga kios itu santai.
”Mbak bisa saja. Eh kalau boleh tahu siapa nama
Mbak.”
“Kartika Sari. Panggil saja Tika. Kalau Mbak?”
“Lia.”
* * *
“Mau makan di mana kita Bu?” Tanya Azzam.
254
“Bu’e kangen sama nasi Timlo Mbok Yem yang ada di
dekat Sriwedari itu. Banyak kenangan dengan ayahmu
disana.
”Kalau begitu kita ke sana.” Azzam membawa mobilnya
ke barat ke arah Coyudan. Azzam berkeringat, kelihaiannya
mengemudi benar-benar diuji. Jalan dari Klewer ke Coyudan
begitu padat dan semrawut. Tukang becak memarkir
becaknya sembarangan. Angkutan umum ngetem seenaknya
memotong jalan. Mobil box bongkar pasang muatan.
Kendaraan bermotor yang jalan pelan namun tiba-tiba
berzigzag dengan cepat tanpa perhitungan. Hampir saja
Azzam menabrak becak yang tadinya parkir, tiba-tiba
nylonong masuk jalan.
”Hati-hati Kak.”
“Itu tukang becak nyawanya rangkap kali. Nylonong
sembarangan.
Dasar!” Umpat Azzam spontan.
”Nak, kalau ngomong jangan kasar begitulah. Tidak
enak didengar.” Tegur Bu Nafis.
”A
staghfir ullah.
Iya Bu. Kadang setan memang ada di
mulut juga.”
Azzam melewati kawasan Singosaren. Dan terus ke
barat, hingga akhirnya sampai Pasar Kembang. Husna
memandang para pedagang yang duduk menunggu pembeli
255
datang. Ada seorang ibu tua yang duduk termangu,
pandangan matanya kosong. Husna merasa iba.
Entah apa yang sedang dilamunkan ibu tua itu. Tiba-tiba
kedua mata Husna menangkap sosok yang ia kenal.
”Kak pelan Kak!”
“Ada apa?”
“Itu seperti Zumrah. Dik Lia coba lihat itu Zumrah kan?”
Lia memandang ke arah yang ditunjuk Husna.
”Iya benar Mbak.”
“Kak Azzam berhenti sebentar!”
Husna sendirian. Ia berjalan cepat menuju sebuah kios
penjual kembang. Zumrah tampak duduk di sana melamun.
Di sampingnya seorang ibu setengah baya yang gemuk
badannya sedang makan jagung godog dengan lahapnya.
”Hei Zum!” Sapa Husna. Zumrah ternganga. Kaget.
“Husna! Lia!”
“Hei, assalamu’alaikum.”
“Wa ’alaikumussalam.”
“Sedang apa kamu di sini? Kamu aku cari-cari ke mana
mana!”
256
“Aku tak tahu harus bagaimana. Aku...”
“Sudah ayo ikut kami makan siang. kamu sudah
makan?”
“Belum.”
“Ayo. Sekalian ketemu kakakku. Dia sudah pulang. Dulu
waktu kecilkan kamu selalu bilang mau jadi manten sama
kakakku.”
“Ah, kamu Na. Semua kenangan masa kecil kamu ingat
semua. Jadi Mas Azzam sudah pulang?”
“Iya. Itu di mobil.”
“Wah keren sudah punya mobil.”
“Itu mobil orang. Ayo!” Husna setengah memaksa.
”Yuk.”
Zumrah dan Husna menyapa ibu gemuk itu lalu
bergegas ke mobil.
”A
ssalamu’alaikum
Bu Nafis, Lia dan Mas Azzam.” Sapa
Zumrah pelan.
”W
a ’alaikumussalam
.” Jawab Bu Nafis, Lia dan Azzam
hampir bersamaan.
Mobil kembali berjalan. Dari kaca spion di dalam mobil
257
sekilas Azzam melihat wajah Zumrah. Wajah yang murung
dan mengguratkan kesedihan. Azzam membawa mobilnya
terus ke barat sampai di perempatan Baron. Lalu belok
kanan. Sampailah di kawasan Sriwedari. Azzam lalu
membawa mobilnya ke arah jejeran toko-toko buku loakan.
Di sela-sela toko buku loakan ada sebuah warung makan
kecil. Warung itu milik ibu tua namanya Mbok Yem.
Tepat di depan warung itu mobil Azzam berhenti dan
semua penumpangnya turun. Azzam mengamati took toko
loakan dengan hati bahagia luar biasa. Rasa bahagia yang
tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ia juga punya
kenangan indah di sebuah toko buku itu. Dulu waktu masih
SD ia memang sering diajak ayahnya ke toko loakan itu
untuk mencari buku-buku pelajaran bekas yang masih bisa
dipakai. Ia sangat bersemangat memilih buku-buku pelajaran
bekas.
Dengan buku-buku bekas itulah ia bisa meraih prestasi
yang baik.
Tak hanya itu, ia juga sering minta pada ayahnya untuk
membeli majalah Bobo. Untuk buku dan masalah baca
membaca ayahnya memang tidak pernah berpikir panjang
mengeluarkan uang. Sejak SD ia sudah keranjingan
membaca. Lain dengan Husna, waktu SD sampai SMP ia
lebih suka main dan dolan dengan teman-temannya.
Itu dulu, sekarang Husna sudah 180 derajat berubah.
Sekarang Husna adalah predator buku, pelahap buku yang
dahsyat. Hampir buku apa saja yang diberikan kepada
Husna pasti habis dibacanya. Kecuali buku berbahasa Arab
yang Husna tidak tahu artinya.
258
”Warung ini tempat aku dan ayahmu dulu sering makan
bersama ketika ayahmu beli buku-buku loakan untuk dibaca-
baca. Sering kali dulu juga mengajak anak anak.” Kata Bu
Nafis mengenang masa lalunya.
“Iya Bu saya masih ingat.” Sahut Azzam.
”Semoga tempat penuh kenangan ini tidak hilang.”
“Ya nggak lah Bu. Masak hilang.”
“Bisa saja Zam, kalau dibuang sama pemerintah kan
bisa hilang.”
“Iya bener juga.”
“Kau mau pesan apa Zam?”
“Aku ikut ibu saja.”
“Semua ikut ibu?”
Husna, Lia dan Zumrah menganggukkan kepala.
”Timlo lima Mbok. Es Tehnya juga lima.” Kata Bu Nafis
pada Mbok Yem yang duduk seperti menunggu aba aba.
Mbok Yem langsung bangkit dari duduknya dan meracik
pesanan pembelinya.
”Mungkin aku bunuh diri saja!” Kata Zumrah serak.
Semua yang mendengar kaget dibuatnya.
259
”Aduh Nduk, jangan! Itu dosa besar! Bisa masuk neraka
selamanya kamu nanti!” Ucap Bu Nafis seketika.
”Apa yang bisa kami bantu untuk menghilangkan
keputusasaanmu Zum?” Lirih Husna.
”Aku tak tahu. Aku seperti tidak punya siapa-siapa Na.
Aku merasa seluruh keluargaku membenciku, menginginkan
kematianku! Hiks... hiks...” Serak Zumrah tersedu.
Kau punya kami Zum. Aku kan sudah bilang sama kamu
agar jika ada apa-apa temuilah aku di radio. kamu malah
menghilang entah ke mana. Zum, aku sudah cerita ke ibumu.
Ibumu sudah memaafkanmu dan juga adik adikmu. Mereka
menginginkan kamu kembali Zum.
Hanya pamanmu saja yang masih marah. Itu kalau
kamu mohon maaf dan menangis di kakinya juga pasti akan
luluh.” Dengan penuh cinta Husna menenangkan dan
membesarkan hati Zumrah.
”Benarkah ibu sudah memaafkanku?”
“Demi Allah Zum. Iya.”
“Tapi aku tak pantas dimaafkan Na. Aku khilaf lagi. Aku
sepertinya sangat susah keluar dari lumpur setan ini. Setelah
ketemu denganmu di pesantren aku ke Jogja. Dan di sana,
maaf, aku kepergok germoku lagi. Aku tak berkutik. Aku
dipaksanya melakukan maksiat lagi.
Meskipun aku sedang hamil Na. Sudah kujelaskan dia
tidak ambil peduli. Aku diancam akan dibunuhnya jika tidak
260
mau Na! Aku harus bagaimana?”
“Kalau kamu ingin bersih, kamu harus tidak lagi dekat-
dekat dengan dunia itu Zum! Kenapa pula kamu ke Jogja?
Pasti kan juga ke daerah yang dikenal mereka dan kamu
kenal tho?”
“Iya Na. Aku memang bingung saat itu. Aku akhirnya ke
kos-kosan temanku. Kok pas germo itu ada di sana!”
“Begini saja Zum. Aku sarankan kamu pulang saja ke
Sraten. Hidup sama keluargamu itu lebih aman.”
“Aku malu Na.”
“Terserah kamu Zum kalau begitu! Mau bunuh diri ya
bunuh diri sana! Dulu kamu melakukan maksiat itu tak
pernah malu! Ini untuk kebaikanmu, yang ini tidak maksiat
malah malu!” Husna jengkel.
Zumrah diam. Ia tahu Husna marah.
”Zum anakku, kalau kamu mau, ibu akan menemanimu
menemui ibumu. Dia pasti senang menerima kedatanganmu.
Orang-orang Sraten masih banyak yang sayang padamu kok
Nduk.”
Zumrah menghela nafasnya. Ia memandang Bu Nafis
yang mengelus-elus kepalanya.
“Aku khawatir jika kedatanganku menerbitkan kembali
amarah ibuku. Aku tahu dosaku terlalu besar.”
261
Menu yang dipesan sudah siap. Mbok Yem
mengeluarkan nasi Timlo lima pasang. Nasi putih dan sayur
Timlonya yang mantap rasanya. Di Solo, selain nasi Timlo,
makanan khas yang juga sangat dikenal di antaranya adalah
nasi liwet, thengkleng, soto lembu, sate buntel, bakso Solo,
garang asem, cabuk rambak, pecel ndeso, gado-gado, tahu
kupat, nasi gudangan dan nasi sambal tumpang. Itu semua
adalah jenis makanan yang sangat dirindukan oleh Azzam.
Karena yang seperti itu di Cairo tidak ada. Kalau pun ada
yang mencoba membuatnya rasanya pasti beda. Sebab
bumbunya tidak sama.
Sesaat masalah Zumrah tidak dibicarakan. Semua diam
menikmati hidangan masing-masing. Azzam masih bingung
dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia sama sekali tidak
tahu apa masalah yang mendera Zumrah sebenarnya. Husna
tidak cerita banyak padanya.
Dan ketika ia sholat di masjid atau ronda orang-orang
juga tidak banyak membicarakannya. Yang ia tahu Kang
Paimo pernah cerita Pak Masykur ayah Zumrah meninggal
karena serangan jantung akibat bertengkar dengan Zumrah.
Dan Zumrah diusir dari rumah.
Setelah itu tidak pernah kembali. Bahkan di hari
pemakaman ayahnya juga tidak kembali.
”Bagaimana Zum?” Tanya Husna selesai makan.
Zumrah diam. Ia gamang mau mengambil jalan yang
mana. Jalan pulang atau jalan pengembaraan panjang yang
gelap dan tidak tahu mana ujungnya. Jalan pulang adalah
jalan yang ia inginkan, tapi entah kenapa jalan yang gelap itu
262
seperti telah begitu akrab dengannya. Jalan yang selama ini
ia lalui dengan darah dan air matanya.
”Mbak Zum, sebagaimana orang untuk jahat dan
berbuat dosa perlu keberanian, perlu nyali, maka orang
untuk baik dan berbuat benar juga perlu keberanian, perlu
nyali yang kuat!” Lia menguatkan.
Azzam yang mendengar kata-kata adiknya itu jadi
kagum. Ia heran dari mana adiknya itu mendapat ilham
untuk mengatakan kalimat yang dalam maknanya itu.
”Baiklah akan aku coba untuk pulang. Aku ikut kalian!”
Ucap Zumrah serak. Husna langsung maju memeluk
sahabatnya itu.
”Bantu aku untuk kuat ya Na. Aku masih sangat rapuh
Na.” Pinta Zumrah.
”Tenanglah Zum, jika kamu merasa tidak punya siapa
siapa, maka kamu masih punya Allah.”
Mereka lalu naik mobil dan bergerak ke dukuh Sraten,
Kartasura.
Azzam bertemu kembali dengan Zumrah. Teman Husna
waktu masih kecil. Zumrah yang dulu bersama Husna sering
main ke rumah dan sering main petak umpet dengannya.
Zumrah yang dulu oleh anak anak yang ngaji di masjid sering
dijodohkan dengannya. Zumrah yang pernah bilang ke ibu-
ibu di Warung Bu War bahwa ia mau jadi manten dengan
kak Azzam saja. Ah masa kecil yang indah itu telah berlalu!
Ia kini bertemu Zumrah dalam keadaan yang jauh dari
263
bayangannya.
Dari pembicaraan di warung Mbok Yem tadi sedikit
banyak ia bisa meraba apa yang dilakukan dan dialami
Zumrah selama ini. Namun ia tidak mau berprasangka yang
tidak-tidak. Sampai di rumah ia yakin Husna akan
menjelaskan semuanya.
264

Tidak ada komentar:

Posting Komentar